Wanita yang ia panggil Nayla—atau setidaknya, begitulah yang ia percayai—berbalik menatapnya. Senyum lembut terlukis di wajahnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata yang agak kecoklatan itu. Meski Zavier tidak menyadarinya, wanita itu adalah Sefia, yang telah mengambil wajah Nayla melalui manipulasi cermat.
Sefia dengan tinggi yang disamarkan karena memakai sepatu hak tinggi, tersenyum penuh arti.
“Mari kita pulang,” jawab wanita itu sambil meraih tangan Joen di sebelah kiri dan Fernando di sebelah kanan dengan senyum penuh kemenangan.
Ia berjalan mendekati Zavier, dengan langkah ringan yang terlihat anggun dan tenang. Rambut panjangnya berkilau dalam sorotan lampu, berayun mengikuti setiap gerakannya, persis seperti yang Zavier ingat tentang Nayla. Sebuah celemek masih mengingat di tubuhnya dan wajahnya masih ada sisa coklat.
Saat jarak mereka semakin dekat, Sefia—yang mengenakan wajah Nayla—berlari kec
"S-saya belum tahu, Nyonya. Sepertinya iya, karena wajah kalian sama persis."Nayla memperhatikan lembaran foto yang dia dapatkan dalam ponsel pelayan itu. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh pelayan itu kecuali merekam dan mengambil foto dari televisi yang dibatasi oleh kaca toko."Pria ini..." Nayla mengelus gambar Zavier dengan penuh perasaan yang tidak dia ketahui. "Siapa dia?" tanya Nayla.Pelayan kecil yang tidak mendapatkan informasi apa pun hanya menggelengkan kepala. "Sepertinya, pria itu adalah suaminya."Nayla segera berlutut di hadapan pelayan kecil itu, "tolong, tolong bantu saya cari informasi. Itulah adikku? Atau Kakakku?"Pelayan itu mundur sedikit karena ketakutan, sifat majikannya yang berubah dari ketegasan tadi membuatnya bingung sekaligus merasa simpati."Nyonya, saya akan pergi mencari tahu lebih banyak, tetapi apakah Nyonya mau menghabiskan sarapan Anda terlebih dahulu? Nyonya bisa sakit bila tidak makan?"
"Ini adalah obat anti depresi, bukan termasuk obat yang berbahaya, tetapi bila digunakan tidak sesuai dengan anjuran Dokter, mungkin bisa membahayakan."Perkataan apoteker yang Sara temui membuat dia melamun sambil memilih apel.Sekali lagi Sara mengeluarkan botol pil dari kantongnya dan membaca anjuran pakai."Ini hanya boleh dikonsumsi satu kali sehari sementara Nyonya menghabiskan dua butir pil dan sehari tiga kali. Ini berlebihan. Dokter Bram...""Aku harus bertindak!" seru Sarah lalu memasukkan beberapa apel ke dalam kantong belanjaannya. Pada saat memutar tubuhnya, tidak sengaja dia menabrak seorang anak gadis.Anak gadis itu adalah Joen dan Sara merasa pernah mengenalnya. Apel yang mereka pegang jatuh dan berguling di lantai."Aduh, maaf, Tante." Joen segera membantu memungut apel-apel yang berjatuhan.Karena mengenalinya, Sara segera pura-pura bertanya, "di mana Ibumu?""Anda mengenal Ibuku? Dia menunggu di mobil bersam
Sara tiba di rumah dan segera memberitahukan semua kepada Nayla. "Nyonya, saya bertemu dengan Joen tanpa sengaja, lalu kami saling bertukar nomor telepon."Nayla terdiam dan menatap Sara tanpa mengerti, "Siapa Joen?" tanyanya kembali dengan ingatan yang sepenggal.Sara menggelengkan kepala, "bukan masalah, tapi... Joen mengatakan bahwa dia akan membuat pie apel.""Pie apel?" ulang Nayla. Nayla berusaha mengingat sesuatu tetapi dia tidak bisa mengingat dengan jelas."Sara, aku tidak mengingat apa pun. Eh, di mana obatku? Aku belum makan obat sama sekali untuk hari ini. Ingatanku mungkin akan semakin kacau," ucap Nayla dengan panik. Dia sama sekali tidak menyimak informasi yang diberikan oleh Sara seolah-olah dia bangun dan melupakan segalanya.Sara mengeluarkan sebuah botol obat yang ternyata dia sudah menggantikan dengan vitamin dari herbal untuk kulit. Tanpa pikir banyak, Nayla segera mengambil dua butir dan menelannya."Semua untuk kebaika
"Gadis kecil itu, Joen. Dia suka pie apel," gumam Nayla dengan setengah berbisik tetapi masih bisa didengar oleh Sara yang berdiri sangat dekat dengannya.Sara menahan napas, merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam diri Nayla. "Mungkin dengan Joen, Nyonya?" usulnya hati-hati.Namun Nayla menggeleng pelan. "Bukan... bukan dengan Joen... Aku ingat seseorang, tapi itu bukan dia. Tapi kenapa aku merasa pie ini begitu familiar?""Seorang pria..."Saat kata-kata itu keluar dari bibirnya, tubuh Nayla tiba-tiba merasa aneh. Kepalanya mulai sedikit pusing, dan rasa lelah kembali menjalari tubuhnya."Aargh, telingaku berdengung kembali," ucap Nayla dengan suara bergetar menahan nyeri."Nyonya..."Dengan pelan, Nayla meletakkan potongan pie yang sudah digigitnya sedikit kembali ke piring, mencoba menyusun apa yang sedang terjadi di dalam pikirannya."Sara... aku lelah... mungkin aku perlu beristirahat..." katanya sambil menutup matany
Sefia sedang menyisir rambutnya, tersenyum manis di cermin, kemudian berbalik dan membalas pelukan Zavier dengan penuh kasih sayang. Dia mendekatkan wajahnya, hendak mencium suaminya, tapi tiba-tiba Zavier menolak dengan lembut. Dia memalingkan wajahnya, membuat Sefia terhenti di tempat."Zavier, ada apa?" Sefia bertanya, suaranya bergetar antara marah dan kecewa. "Kamu selalu saja seperti ini... kenapa?"Zavier menghela napas, bingung dengan apa yang dia rasakan. Secara logis, dia tahu bahwa wanita yang sedang memeluknya saat ini adalah wanita yang dia rindukan selama berbulan-bulan, wanita yang dia cintai. Namun, entah kenapa, perasaannya tidak selaras dengan kenyataan di depan matanya. Wajah itu, tubuh itu, adalah milik istrinya—tetapi sesuatu di dalam dirinya menolak untuk mendekat lebih jauh, apalagi menciumnya."Aku... lelah, Sefia," jawab Zavier pelan, mencoba memberikan alasan yang bisa diterima. "Hari ini berat. Aku hanya butuh waktu untuk beristi
Sementara Zavier berendam di air hangat sambil membayangkan saat-saat lalu di mana dia begitu obsesif untuk menyiksa Nayla setiap hari, sampai wanita itu hamil dan banyak kejadian.Tiba-tiba, Zavier terkejut karena sisi maskulin dalam dirinya kembali bereaksi. Dia segera berdiri dan keluar dari bathtub dan membungkus dirinya dengan melilitkan handuk di pinggang.Zavier keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah dan menemui sang istri, namun ternyata wanita itu sudah tertidur dalam tangisan.Melihat itu, Zavier duduk di sisi ranjang dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih. Sisi maskulin Zavier kembali tertidur namun pria itu tidak menuntut apa-apa.Dengan langkah santai, dia hendak kembali ke kamar mandi, namun tiba-tiba menyadari bahwa dia sudah tidak mengandalkan tongkat untuk berjalan."Aku sudah bisa berjalan normal!" serunya dengan suara tertahan, tidak ingin membuat Nayla terbangun.Zavier kembali ke sisi ranjang dan duduk
"Yah, kamu tahu sendiri, Kakak Fernando. Aku cuma pengen ketemu dia lagi, kayaknya ada salah paham soal nomor telepon," kata Joen sambil tertawa kecil, tapi Fernando bisa merasakan ada sedikit keresahan di hati adiknya."Bukankah Kakak juga suka pie apel? Ayah kita juga menyukainya, dan resep itu sepertinya lebih enak," lanjut Joen, berusaha menyakinkan sang kakak."Bukankah ada banyak resep di internet? Mengapa kamu tidak mencarinya di sana saja?"Joen menggelengkan kepala lalu merengut, "resep warisan pasti beda rasanya dengan resep umum yang beredar di internet!""Kalau tidak mau menemani ya sudah, tidak apa-apa," ucap Joen lalu dengan bibir yang masih kerucut, dia berbalik dan hendak kembali ke ruangannya, tetapi Fernando segera menariknya sehingga gadis kecil itu jatuh ke dalam pangkuannya kembali."Ya, ya. Kakak akan menemanimu, besok. Kita singgah sepulang dari sekolah, bagaimana adik manis?"Mendengar itu, Joen segera memeluk Kakakny
Bagian dari dirinya merasa aneh menyembunyikan sesuatu dari Joen, terutama dengan keramahan dan ketulusannya yang begitu terlihat. Tapi di sisi lain, Sara tahu, mempertemukan Joen dengan Nayla saat ini adalah risiko yang terlalu besar."Bagaimana kalau akhir pekan ini?" tanya Joen, masih dengan penuh semangat. "Aku akan pastikan semuanya sudah siap."Sara mengangguk. “Akhir pekan sepertinya sempurna. Aku akan pastikan punya waktu luang.”Saat mereka berpisah, Sara merasa lega tapi juga sedikit gelisah. Meskipun dia berhasil menunda pertemuan di rumahnya, perasaan bahwa segala sesuatunya bisa semakin rumit terus menghantuinya.***Malam itu, Dokter Bram pulang dengan harapan bisa menikmati makan malam yang tenang bersama Nayla. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, keheningan yang sama menyelimuti mereka.Nayla duduk di seberang meja, matanya kosong, tidak ada percakapan yang berarti. Hanya suara sendok dan garpu yang bergemerinc
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu