"Gadis kecil itu, Joen. Dia suka pie apel," gumam Nayla dengan setengah berbisik tetapi masih bisa didengar oleh Sara yang berdiri sangat dekat dengannya.
Sara menahan napas, merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam diri Nayla. "Mungkin dengan Joen, Nyonya?" usulnya hati-hati.
Namun Nayla menggeleng pelan. "Bukan... bukan dengan Joen... Aku ingat seseorang, tapi itu bukan dia. Tapi kenapa aku merasa pie ini begitu familiar?"
"Seorang pria..."
Saat kata-kata itu keluar dari bibirnya, tubuh Nayla tiba-tiba merasa aneh. Kepalanya mulai sedikit pusing, dan rasa lelah kembali menjalari tubuhnya.
"Aargh, telingaku berdengung kembali," ucap Nayla dengan suara bergetar menahan nyeri.
"Nyonya..."
Dengan pelan, Nayla meletakkan potongan pie yang sudah digigitnya sedikit kembali ke piring, mencoba menyusun apa yang sedang terjadi di dalam pikirannya.
"Sara... aku lelah... mungkin aku perlu beristirahat..." katanya sambil menutup matany
Sefia sedang menyisir rambutnya, tersenyum manis di cermin, kemudian berbalik dan membalas pelukan Zavier dengan penuh kasih sayang. Dia mendekatkan wajahnya, hendak mencium suaminya, tapi tiba-tiba Zavier menolak dengan lembut. Dia memalingkan wajahnya, membuat Sefia terhenti di tempat."Zavier, ada apa?" Sefia bertanya, suaranya bergetar antara marah dan kecewa. "Kamu selalu saja seperti ini... kenapa?"Zavier menghela napas, bingung dengan apa yang dia rasakan. Secara logis, dia tahu bahwa wanita yang sedang memeluknya saat ini adalah wanita yang dia rindukan selama berbulan-bulan, wanita yang dia cintai. Namun, entah kenapa, perasaannya tidak selaras dengan kenyataan di depan matanya. Wajah itu, tubuh itu, adalah milik istrinya—tetapi sesuatu di dalam dirinya menolak untuk mendekat lebih jauh, apalagi menciumnya."Aku... lelah, Sefia," jawab Zavier pelan, mencoba memberikan alasan yang bisa diterima. "Hari ini berat. Aku hanya butuh waktu untuk beristi
Sementara Zavier berendam di air hangat sambil membayangkan saat-saat lalu di mana dia begitu obsesif untuk menyiksa Nayla setiap hari, sampai wanita itu hamil dan banyak kejadian.Tiba-tiba, Zavier terkejut karena sisi maskulin dalam dirinya kembali bereaksi. Dia segera berdiri dan keluar dari bathtub dan membungkus dirinya dengan melilitkan handuk di pinggang.Zavier keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah dan menemui sang istri, namun ternyata wanita itu sudah tertidur dalam tangisan.Melihat itu, Zavier duduk di sisi ranjang dan mengelus rambutnya dengan penuh kasih. Sisi maskulin Zavier kembali tertidur namun pria itu tidak menuntut apa-apa.Dengan langkah santai, dia hendak kembali ke kamar mandi, namun tiba-tiba menyadari bahwa dia sudah tidak mengandalkan tongkat untuk berjalan."Aku sudah bisa berjalan normal!" serunya dengan suara tertahan, tidak ingin membuat Nayla terbangun.Zavier kembali ke sisi ranjang dan duduk
"Yah, kamu tahu sendiri, Kakak Fernando. Aku cuma pengen ketemu dia lagi, kayaknya ada salah paham soal nomor telepon," kata Joen sambil tertawa kecil, tapi Fernando bisa merasakan ada sedikit keresahan di hati adiknya."Bukankah Kakak juga suka pie apel? Ayah kita juga menyukainya, dan resep itu sepertinya lebih enak," lanjut Joen, berusaha menyakinkan sang kakak."Bukankah ada banyak resep di internet? Mengapa kamu tidak mencarinya di sana saja?"Joen menggelengkan kepala lalu merengut, "resep warisan pasti beda rasanya dengan resep umum yang beredar di internet!""Kalau tidak mau menemani ya sudah, tidak apa-apa," ucap Joen lalu dengan bibir yang masih kerucut, dia berbalik dan hendak kembali ke ruangannya, tetapi Fernando segera menariknya sehingga gadis kecil itu jatuh ke dalam pangkuannya kembali."Ya, ya. Kakak akan menemanimu, besok. Kita singgah sepulang dari sekolah, bagaimana adik manis?"Mendengar itu, Joen segera memeluk Kakakny
Bagian dari dirinya merasa aneh menyembunyikan sesuatu dari Joen, terutama dengan keramahan dan ketulusannya yang begitu terlihat. Tapi di sisi lain, Sara tahu, mempertemukan Joen dengan Nayla saat ini adalah risiko yang terlalu besar."Bagaimana kalau akhir pekan ini?" tanya Joen, masih dengan penuh semangat. "Aku akan pastikan semuanya sudah siap."Sara mengangguk. “Akhir pekan sepertinya sempurna. Aku akan pastikan punya waktu luang.”Saat mereka berpisah, Sara merasa lega tapi juga sedikit gelisah. Meskipun dia berhasil menunda pertemuan di rumahnya, perasaan bahwa segala sesuatunya bisa semakin rumit terus menghantuinya.***Malam itu, Dokter Bram pulang dengan harapan bisa menikmati makan malam yang tenang bersama Nayla. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, keheningan yang sama menyelimuti mereka.Nayla duduk di seberang meja, matanya kosong, tidak ada percakapan yang berarti. Hanya suara sendok dan garpu yang bergemerinc
Hari yang dinantikan akhirnya tiba bagi Sara dan Joen. Kebetulan yang tidak pernah direncanakan adalah bahwa Sefia dan Zavier harus menghadiri pertemuan bisnis di luar kota selama beberapa hari.Ini tentu adalah peluang emas bagi Sara untuk mewujudkan rencananya tanpa hambatan dari keluarga Joen.Sefia tidak akan ada untuk mencampuri atau mencurigai apa pun, terutama karena Fernando yang mengatur segalanya dengan cermat.Fernando, yang menyadari keanehan dalam hubungan Joen dan Sara, sudah mulai memperhatikan gerak-gerik wanita asing yang terlihat ingin sekali mendekati Joen hanya dengan beberapa resep baking.Namun, Fernando memilih untuk tidak menyinggung hal itu, terutama karena Joen tampak bahagia dan tidak curiga terhadap apa pun.Sara sudah mempersiapkan diri dengan matang, datang tepat waktu ke rumah Joen, membawa beberapa bahan tambahan untuk pie apel yang akan mereka buat bersama, juga sudah menyalin beberapa resep kue lain yang mungkin bi
Dia akhirnya menemukan ruangan kerja Zavier. Begitu masuk, dia mengedarkan pandangannya, mencari-cari dokumen atau petunjuk yang bisa memberinya gambaran lebih jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi.Sara membuka laci Zavier dengan hati-hati dan menemukan dokumen-dokumen yang mengejutkan."Apa ini?"Di antaranya, ada dokumen penceraian yang sudah ditandatangani, menandakan bahwa hubungan Zavier dan Sefia mungkin tidak sekuat yang dia kira. Namun, yang paling mengejutkan adalah dokumen pernikahan kontrak Nayla, yang menyatakan bahwa Zavier dinyatakan koma.Karena tidak mengerti, Sara melanjutkan pencariannya.Beberapa saat kemudian, Sara menemukan album foto di sudut laci. Dengan cepat, dia membukanya dan melihat foto-foto kebersamaan Zavier dengan seseorang yang sangat mirip dengan majikannya, Nadia.Ada juga foto seorang wanita lain yang tidak kalah cantik, namun Sara tidak mengenalnya, Sara mempertanyakan dirinya sendiri mengenai wanita
Namun, Nayla hanya menatapnya dengan tatapan kosong, tidak mengerti apa yang diminta."Tidak, aku tidak mau," jawabnya pelan, tetapi dengan penolakan yang jelas. Dia merasa terjebak dalam tubuh yang tidak sepenuhnya dia kenali, dan perintah-perintah Bram terasa semakin menekan."Aku pelukis dan lihat, apakah ini sudah cantik?"Bram menoleh ke arah kanvas yang hanya berisi coretan kasar. Tidak ada bagusnya sama sekali dan pria itu tahu betul bahwa menjadi pelukis adalah kalimatnya, Nayla sama sekali tidak memiliki bakat dalam melukis apa pun!Kemarahan mulai membara di dalam diri Bram. Dia merasa seolah-olah menghadapi tembok yang tak bisa dia jebol. "Nadia, ini bukan saatnya untuk menolak. Kamu perlu menjaga kebersihan dan kesehatanmu! Kamu kotor sekali!" suaranya mulai meninggi.Nayla, yang sudah dalam keadaan mental yang rapuh, mulai merasa tertekan. Air mata menggenang di matanya saat dia berusaha menghindari perintah suaminya.“Tol
Nayla terisak, masih dalam keadaan bingung, dan Bram merasakan hatinya hancur melihat keadaan istrinya. “Maafkan aku, Nadia” ucapnya pelan, tetapi rasa bersalahnya tetap membara.Dia ingin memberikan ciuman, tetapi sekali lagi Nayla segera menoleh ke arah lain.Melihat itu, Bram mengeratkan rahangnya sekali lagi. Tubuhnya sendiri juga sudah basah dan dia merasa kedinginan.Setelah selesai menyeka tubuh Nayla sampai kering. Bram menggendongnya lagi dan membawanya ke ranjang. Sementara Nayla masih terkejut dan bingung, tidak bisa sepenuhnya memahami situasi yang sedang berlangsung.Begitu sampai di ranjang, Bram membaringkan Nayla dengan lembut, tetapi kemarahan dan frustrasi yang menggebu membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Tanpa peringatan, dia menundukkan kepalanya dan mencium Nayla dengan paksa. Tindakan itu membuat Nayla terkejut dan merasa terjebak, tidak berdaya.“Bram, tolong! Jangan!” teriak Nayla, mencoba m
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu