Hati yang bersih selalu memegang prinsip kejujuran. Seseorang yang terbiasa bertindak benar akan merasa ketakutan sendiri ketika berbuat salah. Kinanti dilema.Perempuan yang masih memakai gaun putihnya itu terus memandang Haidar Baskoro. Menimbang akan mengatakan kesalahannya atau tidak. Jika dia diam, ayahnya tidak akan tahu. Namun, hatinya tidak tenang.“Ayah ….”"Maafkan, Kinanti."Kinanti menatap tubuh yang terbaring di atas ranjang dengan rasa bersalah yang besar, “Maafkan Kinanti,Yah. Semua ini gara-gara aku. Aku yang menyebabkan ayah terkena serangan jantung.”Kinanti meraih jemari Haidar Baskoro, Menggenggamnya. Kulit tangan itu telah keriput di sana-sini. Hidup yang keras dijalaninya demi menghidupi keluarga. Minggu pun dia akan tetap masuk bekerja bila ada yang memintanya.“Kemana semua orang?”Kinanti menoleh ke asal suara, Gunawan muncul dari pintu.“Kami bergantian menjaga Ayah. Ibu dan Karenina pulang, mereka lelah.” Kinanti menjawab dengan malas.Lelaki itu, Gunawan. Di
“Siapa yang menyuruhmu membayarnya, hah?’ Kinanti meradang. Dia tidak tahu jika Gunawan telah membayar uang rumah sakit ayahnya. “Ini sebagai bukti kesungguhanku ingin menikahimu. Kinanti.”"Omong kosong! Pergi dari sini.""Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu, Kinanti."Di dunia ini beberapa orang berpikir dapat membeli semua hal. Asalkan dia punya uang, cinta, kedudukan sekalipun bisa dibeli. Gunawan adalah salah satu tipe orang yang mengandalkan uang.“Tolong jangan buat keributan disini, ayahku sedang sakit. Kasian dia!” Kinanti takut ayahnya terbangun jika mendengar keributan mereka.“Tolong pergi dari sini,” bentak Kinanti.“Begini caramu membalas budi orang yang telah membayar biaya rumah sakit ayahmu, hah?” Bukannya pergi Gunawan malah mendekat. Dia menatap Kinanti dengan tatapan singa yang ingin menerkam mangsanya, “Kalau begitu kembalikan uangku.”“Berapa sih, uang yang kamu keluarkan untuk ayahku!” tantang Kinanti tak mau kalah. Harga diri, adalah satu-satunya yang bisa K
Perawat yang tadi dipanggil Kinanti segera datang ke ruang rawat Haidar Baskoro. Ayah Kinanti mulai membuka mata. pandangan matanya masih kosong, tidak fokus. Perawat itu berusaha mengetes sensor motorik. Mengarahkan senter kecil ke netra Haidar Baskoro.Kinanti senang, tak henti menatap Haidar Baskoro. Ayahnya mulai bisa diajak berkomunikasi oleh perawat tadi. Alat bantu pernapasan dilepas. Siti Aminah, Karenina dan Prasetyo baru datang. Mereka ikut senang dengan perkembangan Haidar Baskoro. Mendekat ke ranjang, untuk melihat kepala keluarga mereka.Melihat suaminya sudah bangun Siti Aminah berkata, “Kinanti, sekarang pulanglah. Biarkan kami yang menjaga ayah. Kamu pasti lelah belum beristirahat sejak pagi tadi.”“Aku masih ingin di sini, Bu. Menemani Ayah.”“Pulanglah Kak, ikuti perkataan Ibu.” Karenina ikut menimpali percakapan.Saat mereka sedang berbicara Gunawan menatap Prasetyo lekat-lekat. Ada kode entah sebuah perintah yang disampaikan lewat tatapan mata itu.“Baiklah Bu, ak
“Kinanti?’Suara yang familiar. Kinanti merasa mengenal pemilik suara itu. Dia menoleh, seorang lelaki mendorong pintu kaca. Setelah berada di hadapannya, barulah Kinanti tahu siapa yang memanggilnya tadi.Kinanti menunjuk ke arah si lelaki, “Abimanyu Permana?”“Iya, aku. Lupa ya? Mentang-mentang aku jarang ke perpustakaan lagi. Ngapain di sini?”“Ayahku sakit.”Keduanya saling menatap dan melempar senyum. Kinanti sedikit terhibur dengan kehadiran Abimanyu. Terkadang Tuhan menghadirkan hari yang buruk lalu mengirim penawar.“Kamu baru aja nikah?” tebak Abimanyu. Matanya memindai pakaian Kinanti dari bawah hingga atas.Kinanti tersenyum, “Mana ada pengantin buluk kayak aku,” ujarnya merendah. Kinanti cukup tahu diri walau tidak berkaca, penampilannya sangat kacau. Seharian dia belum membasuh diri.Abimanyu mengerutkan keningnya, masih penasaran entah heran. Dia menunjuk gaun putih Kinanti dan rambut disanggul yang mulai acak-acakkan.“Gaunku? Adikku baru tadi pagi, menikah. Sebelum aca
Kinanti menaiki angkutan umum, bus antar kota dengan dominasi warna hijau. Duduk di sebelah kaca, disandarkan kepalanya pada kaca. Jendelanya terbuka selebar tiga ruas jari orang dewasa. Angin semilir menerpa wajahnya, rambut hitamnya beterbangan.Perempuan bergaun putih itu menutup matanya. Lelah juga mengantuk, ingin sekali dia tidur dan segera sampai ke apartemen keluarganya. Sepanjang perjalanan kinanti memejamkan mata, tetapi pikirannya tak henti berkelana. Satu jam berada dalam angkutan umum, bus akhirnya menepi. Kinanti turun di depan halte apartemen. Tinggal berjalan beberapa meter untuk sampai.Tiiin!Tiin!Sebuah mobil BMW berwarna putih tulang menyalakan lampunya lebih terang dan membunyikan klakson mobil beberapa kali. Kinanti menoleh, menutupi wajah dengan satu tangan karena silau. Berjalan mendekat, sepertinya orang di dalam mobil ada perlu dengannya.Sejenak Kinanti menghentikan langkah. Dia mematung sekitar dua meter dari mobil itu. Firasatnya tidak enak.Melihat kina
Apartemen itu gelap, hanya lampu penerangan jalan yang menerobos lewat kaca jendela, juga lampu di koridor apartemen yang menyinari. Kinanti membiarkan pintunya tetap terbuka. Tangan kanan Kinanti meraba ke sisi dinding, sebelah kanan pintu masuk. Menyalakan saklar lampu. Berjalan menuju kamar Gio. Rasa lelahnya sedari tadi hilang, digantikan amarah yang tersulut oleh Gunawan. Soal kehamilannya saja membuat Kinanti pusing, belum ditambah hutang keluarganya pada Gunawan. Perempuan mana yang kuat bertahan dihantam cobaan bertubi-tubi sendirian?Kinanti langsung menuju kamar Gio. Matanya membulat ketika menemukan beberapa hal janggal, “Bagaimana mungkin ada kaos itu di pinggir ranjang?”Seingat Kinanti terakhir dia masuk ke apartemen Gio. Dia sudah membereskan kamar itu, “Kenapa bisa ada di sini?”Benar saja itu adalah salah satu kaos milik Gio. Ditaruh dengan asal di pinggir ranjang, hingga hampir jatuh ke lantai. Kinanti mengambil kaos abu-abu itu. Ada aroma parfum bercampur keringat
Sebaris tulisan yang ditinggalkan Gio mampu menenangkan Kinanti. Dia tidur cukup pulas. Terkadang rasa lelah yang teramat membuat seseorang jatuh pada gelap terdalam. Telepon rumah di ruang tamu berdering beberapa kali. Deringan itu tak membangunkan Kinanti.00.15 Telepon kembali berbunyi nyaring. Entah, sudah di dering yang ke berapa, Kinanti menggeliat, memicingkan mata ke arah jam bulat di dinding kamarnya.“Pukul dua belas lebih, aku ketiduran,” ucap Kinanti. Dia menggosok matanya beberapa kali, menguap lebar karena tidurnya terganggu, “siapa yang malam-malam begini menelepon?”Kinanti berusaha bangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengangkat kedua tangan ke atas, meregangkan tubuh. Telepon di ruang tamu masih berdering. Dia bergegas berjalan ke sana.“Halo?”“Apa? B-bagaimana bisa?” Kinanti terkejut mendengar berita dari si penelepon. Wajahnya berubah panik, “Baik aku akan segera ke sana.”“Jam segini? Bus kota sudah gak lewat. Naik apa aku ke sana?”Kinanti berbicara seor
“Lampunya masih menyala terus. Kapan operasi ini segera berakhir!” Siti Aminah berulang kali menatap lampu merah di atas ruangan itu. Pertanyaannya entah ditujukan pada siapa. Kinanti baru saja tiba. Hanya dokter yang tahu pastinya keadaan di dalam. Namun, Tuhan yang lebih punya kuasa atas nyawa manusia. Mereka hanya bisa berdoa.“Tenanglah Bu, para dokter masih berusaha di dalam.” Kinanti berusaha menenangkan ibunya.“Sudah hampir empat puluh lima menit mereka di dalam dan tak satupun yang keluar untuk memberi kita kejelasan, Kak.”Anggota keluarga Haidar Baskoro dalam keputusasaan. Semuanya sedih, berharap dalam ketidakpastian. Mulai mengutuk nama Tuhan, karena tidak segera memberi keajaiban.“Seharusnya pernikahanku adalah awal kebahagiaan bagi keluarga kita. Setelah kesialan dari pembatalan perjodohan Kakak yang berulang kali.”“Karenina, diam.” Siti Aminah mengingatkan. Anak kedua Haidar Baskoro itu memang suka menyalahkan orang lain atas takdir yang Tuhan gariskan.Kinanti tah
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya