Apartemen itu gelap, hanya lampu penerangan jalan yang menerobos lewat kaca jendela, juga lampu di koridor apartemen yang menyinari. Kinanti membiarkan pintunya tetap terbuka. Tangan kanan Kinanti meraba ke sisi dinding, sebelah kanan pintu masuk. Menyalakan saklar lampu. Berjalan menuju kamar Gio. Rasa lelahnya sedari tadi hilang, digantikan amarah yang tersulut oleh Gunawan. Soal kehamilannya saja membuat Kinanti pusing, belum ditambah hutang keluarganya pada Gunawan. Perempuan mana yang kuat bertahan dihantam cobaan bertubi-tubi sendirian?Kinanti langsung menuju kamar Gio. Matanya membulat ketika menemukan beberapa hal janggal, “Bagaimana mungkin ada kaos itu di pinggir ranjang?”Seingat Kinanti terakhir dia masuk ke apartemen Gio. Dia sudah membereskan kamar itu, “Kenapa bisa ada di sini?”Benar saja itu adalah salah satu kaos milik Gio. Ditaruh dengan asal di pinggir ranjang, hingga hampir jatuh ke lantai. Kinanti mengambil kaos abu-abu itu. Ada aroma parfum bercampur keringat
Sebaris tulisan yang ditinggalkan Gio mampu menenangkan Kinanti. Dia tidur cukup pulas. Terkadang rasa lelah yang teramat membuat seseorang jatuh pada gelap terdalam. Telepon rumah di ruang tamu berdering beberapa kali. Deringan itu tak membangunkan Kinanti.00.15 Telepon kembali berbunyi nyaring. Entah, sudah di dering yang ke berapa, Kinanti menggeliat, memicingkan mata ke arah jam bulat di dinding kamarnya.“Pukul dua belas lebih, aku ketiduran,” ucap Kinanti. Dia menggosok matanya beberapa kali, menguap lebar karena tidurnya terganggu, “siapa yang malam-malam begini menelepon?”Kinanti berusaha bangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengangkat kedua tangan ke atas, meregangkan tubuh. Telepon di ruang tamu masih berdering. Dia bergegas berjalan ke sana.“Halo?”“Apa? B-bagaimana bisa?” Kinanti terkejut mendengar berita dari si penelepon. Wajahnya berubah panik, “Baik aku akan segera ke sana.”“Jam segini? Bus kota sudah gak lewat. Naik apa aku ke sana?”Kinanti berbicara seor
“Lampunya masih menyala terus. Kapan operasi ini segera berakhir!” Siti Aminah berulang kali menatap lampu merah di atas ruangan itu. Pertanyaannya entah ditujukan pada siapa. Kinanti baru saja tiba. Hanya dokter yang tahu pastinya keadaan di dalam. Namun, Tuhan yang lebih punya kuasa atas nyawa manusia. Mereka hanya bisa berdoa.“Tenanglah Bu, para dokter masih berusaha di dalam.” Kinanti berusaha menenangkan ibunya.“Sudah hampir empat puluh lima menit mereka di dalam dan tak satupun yang keluar untuk memberi kita kejelasan, Kak.”Anggota keluarga Haidar Baskoro dalam keputusasaan. Semuanya sedih, berharap dalam ketidakpastian. Mulai mengutuk nama Tuhan, karena tidak segera memberi keajaiban.“Seharusnya pernikahanku adalah awal kebahagiaan bagi keluarga kita. Setelah kesialan dari pembatalan perjodohan Kakak yang berulang kali.”“Karenina, diam.” Siti Aminah mengingatkan. Anak kedua Haidar Baskoro itu memang suka menyalahkan orang lain atas takdir yang Tuhan gariskan.Kinanti tah
Menjelang subuh mobil jenazah rumah sakit terparkir di depan apartemen. Keadaan jalan yang lengang dan hak istimewa mobil jenazah untuk lewat lebih dulu memudahkan perjalanan mereka. Penghuni apartemen ke luar untuk melihat siapa yang dibawa mobil jenazah itu.“Neng Kinanti?” Pak Sanip berpapasan dengan Kinanti saat turun dari mobil jenazah. Dia duduk di depan untuk menunjukkan jalan. Sementara Prasetyo, Karenina dan ibunya menumpang di mobil Gunawan.“Jadi Pak Haidar baskoro?” Pak Sanip tidak melanjutkan dugaanya, takut menyinggung Kinanti yang berduka.“Iya, Pak. Ayah meninggal,” sahut Kinanti dengan lemah. Dia merasa kehilangan tenaga juga semangatnya.Para tetangga membantu petugas rumah sakit mengangkat jenazah Haidar Baskoro. Berikutnya pemandian, pengkafanan juga proses lainnya akan dilaksanakan di apartemen. Seharusnya pernikahan Karenina akan menjadi hal yang membahagiakan keluarga mereka. Namun, bukannya suka cita mereka harus melewati hari dengan duka cita. Karenina tak h
09.00 WIB.Apartemen keluarga Kinanti terlihat lebih lengang. Jenazah ayahnya sudah dikebumikan. Hanya tinggal kursi sofa yang tetap berada di lorong depan apartemen.Nanti malam sudah masuk acara tahlil seharinya almarhum Haidar Baskoro. Pak Sanip dan beberapa tetangga yang ikut membantu sudah pulang ke rumah masing-masing."Kinanti, saya pulang dulu. Nanti sekitar pukul tiga atau empat sore saya akan datang lagi, bantu-bantu.""Iya Bu, terima kasih banyak sudah membantu."Kinanti mengantar tetangganya. Mereka satu lantai, tetapi hanya bertegur sapa jika bertemu di halte. Namun, saat ada kesusahan semua tetangganya datang.Karenina sedang bersama Prasetyo di ruang tamu. Duduk di atas tikar, sofa masih di luar.Prasetyo berdehem menyikut lengan istrinya. Karenina mendongak, "Kak, ad yang ingin kami bicarakan.""Ada apa?" Kinanti ikut duduk di atas tikar."Mengenai masalah hutang kita pada Pak Gunawan, bagaimana?"Kinanti menarik napas dengan berat, mengembuskannya dengan pelan. Dia ti
Kinanti menyandarkan kepalanya di kaca bus. Dia memejamkan mata, silau. Di luar sedang teriknya, “Aku yakin ada sesuatu saat Ayah meninggal. Sebelumnya dia sudah sadar, bahkan sempat berbicara dengan Ibu. Bukan aku tidak percaya pada takdir Allah, tapi ….”“Aku merasa ada sesuatu yang janggal.”“Rumah sakit … rumah sakit?”“Kiri Bang ….” Kinanti segera membuka mata. Tujuannya telah sampai. Takut jika terlewati dan harus berjalan kembali.Dia segera berdiri dan maju ke pintu, bersiap untuk turun. Sengaja tidak pamit pada ibunya atau memberitahu orang lain bahwa dia pergi ke rumah sakit lagi. Kinanti menuju ke lobby rumah sakit. Bertanya pada penjaga resepsionis, “Siang Mba, saya ingin melihat rekaman cctv di sekitar lantai dua kawasan ruang anggrek bulan.”“Kalau boleh tahu ada keperluan apa ya, Mba?” Resepsionis tadi balik bertanya.“Saya tidak bisa memberitahukannya sekarang, tapi saya sedang memastikan sesuatu perihal kematian ayah saya.”Dalam hati Kinanti sendiri juga ragu. Dia ha
Kinanti tersenyum menatap benda di tangannya. Dia berhasil mendapatkan rekaman cctv saat ayahnya mengalami gagal jantung. Dugaannya terbukti, Gunawan si lelaki licik itu ada di sana.“Hahaha!” Kinanti tertawa seorang diri. Dia memberikan nomor telepon adiknya, Karenina pada petugas jaga tadi.“Dasar lelaki, sama saja. Tidak Gunawan tidak security tadi. Kalau ada maunya baik.”Bagaimana Kinanti tidak tertawa. Petugas tadi dengan mudahnya membantunya mencari rekaman cctv dan memberikan salinannya. Ternyata dia punya maksud lain. Kinanti terpaksa berpura-pura tersenyum dan menuruti keinginan petugas itu. Padahal yang diberikannya adalah nomor Karenina. Dia berdalih, ponselnya mati karena belum di cast dan berpesan, “Hubungi aku sekitar satu jam dari sekarang, saat aku sudah di rumah dan mencharger ponsel.”Petugas berpakaian seperti polisi tadi cukup gagah dengan kulit kecokelatannya. Usianya mungkin sekitar awal tiga puluhan. Saat dia mengeluarkan ponsel di layar utama ada gambar dir
“Bu, Kinanti dan kalian kemarilah, kita perlu berbicara.”Kematian Haidar Baskoro sudah berlangsung selama tujuh hari. Selama itu pula, acara tahlil dan doa bersama digelar di apartemen mereka. Tepat di hari ketujuh, setelah acara selesai Gunawan mengenakan topeng bijaknya.Menunggu semua yang hadir pulang Gunawan mengajak kami, Ibu, Karenina dan Prasetyo juga Kinanti duduk bersama. Tentu saja Kinanti sudah bisa menebak arah pembicaraan itu.“Ada apa sebenarnya, Nak Gunawan?” Ibu memulai pembicaraan. Karena kami saling pandang satu sama lain dalam kebisuan.“Begini Bu, mengenai biaya rumah sakit Pak Haidar Baskoro.”Kinanti memalingkan wajahnya, “Mulai lagi!”Siti Aminah mengerjapkan mata dengan cepat. Dia tahu cepat atau lambat Gunawan tentu akan membahas masalah ini. Namun, dia tidak menduga akan secepat ini, “Tolong beri kami waktu. Kami masih dalam suasana berduka. Nanti, kami pasti akan mengembalikannya.”“Nanti itu kapan, Bu?” Gunawan segera angkat suara.Siti Aminah menundukkan
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya