Aku menengadah menatap langit yang mulai kelabu. Rintik air hujan jatuh ke bumi, tanah dan pepohonan mulai basah olehnya.Embusan napas berat keluar dari mulutku, “Huh.”Aku berjalan menuju ruanganku, pekerjaan sudah menumpuk lantaran kemarin aku sempat cuti sesaat karena ada urusan. Melihat pekerjaan yang menumpuk, aku jadi tersenyum kecut.“Semangat bekerja, Alice!” teriakku pada diriku sendiri.Aku mengangkat kedua tanganku untuk mengikat rambut. Mataku menajdi fokus memandang layar monitor, tidak peduli pada kegiatan orang-orang di sekelilingku.“Alice!” teriakkan kencang itu membuatku terperanjat kaget.Aku menoleh menatap sumber suara. “Ada apa?” tanyaku dengan suara pelan.Adam berjalan mendatangi mejaku, ia tersunggut-sunggut. “Alice, tolong bantu aku.”Aku menatapnya mencoba memahaminya. “Ada apa, Adam? Apa yang terjadi denganmu?”Ia menarik lenganku. “Kita harus berbicara, aku mohon.”Aku mengangguk setuju. “Baiklah, ayo.”Ketika berada di atap gedung, cekalan pada lenganku
Ucapan David itu masih membekas diingatanku. Aku tak bisa menghilangkan bayangan dia memintaku untuk menikah dengan adiknya.Aku tidak bisa menyetujuinya, aku tidak menyukai Adam sebagai seorang lelaki. Aku hanya memandangnya sebagai seorang teman. Tidak lebih.Dan pada akhirnya, setelah pulang bekerja cepat-cepat aku pergi meninggalkan gedung. Aku tidak ingin baik Adam ataupun David mencegatku nantinya.Kepalaku terasa pening memikirkan itu. Tanganku terkepal, sekali lagi aku menegak minuman keras hingga habis tak bersisa.Aku menenggelamkan kepalaku pada lipatan tangan yang berada di atas meja. Tanpa sadar aku berkata, “Mengapa orang memintaku untuk menikah? Aku tidak menyukai pria itu dan tidak memiliki keinginan untuk menikah.”“Aku tidak ingin menikah!”Aku kembali menuangkan cairan di dalam botol dan menegukknya hingga habis dalam satu kali tegukan. Pandanganku mulai memburam, samar-samar aku melihat ada seseorang yang berjalan mendekatiku.“Hai, mau bermain denganku?” suara pri
Aku menatap Joana dan Javin yang tengah tertawa di sana. Jangan lupakan Adam yang tengah bersama kedua adikku pun ikut tertawa.Aku memandang pria itu tajam, aku benar-benar tidak suka ketika ketakutanku dipermainkan seperti ini. Terlebih oleh Adam, ia adalah teman yang sangat kupercayai.“Apa yang terjadi?” ucapku dingin.Adam berdehem menyaut, “Oh, hai Alice kamu sudah datang?”Aku tidak menanggapi respon Adam. Tatapanku tertuju pada Joana yang sedang duduk di ranjang dengan wajah tertunduk. Tak berbeda jauh dengan Javin, ia menatap ke arah lain enggan bertatapan denganku.“Kalian pikir ini lucu? Aku berlari dengan perasaan takut. Jangan mempermainkan hal yang seperti ini.” Ujarku tajam.“Alice, aku yang salah. Aku yang meminta Javin dan Joana untuk melakukan itu.” Perkataan Adam membuat pandanganku beralih menatapnya.“Itu dia, seharusnya kamu cukup paham untuk tidak mempermainkan hal yang seperti ini. Apa kesehatan seseorang hanya lelucon untukmu, Adam?” ucapku tajam. Aku tahu uca
Aku menatap Yumna dengan tangan terkepal. “Apa maksud perkataanmu, Yumna? Sebenarnya, apa yang ingin kamu katakan padaku?”“Dengar, aku tahu ini pasti akan menyinggung perasaanmu. Tapi coba pikirkan, cinta yang kamu harapkan itu tidak ada di dunia ini. Berhentilah bermimpi, Alice!” ujarnya tegas.“Apa salahnya aku memimpikan hal seperti itu? Apa salahnya aku berharap menemukan pasangan yang membuatku nyaman dan mencintainya? Apa salahnya aku berharap pada cinta?” ucapku dengan tubuh lemas.Yumna datang mendekatiku. “Memimpikan hal seperti itu tidaklah salah, kamu tidak salah, Alice. Tapi melakukan hal yang sia-sia, bukankah melelahkan?”Tubuhku dipeluk, ia berbisik di telingaku. “Cobalah untuk menerima Adam. Aku yakin jika Adam adalah pasangan yang pas untukmu, dia pria yang baik. Yang paling penting, Adam menerima kekuranganmu. Adam menerima kedua adikmu, Alice.”*****Percakapan itu berlangsung enam tahun yang lalu ketika Adam menghilang. Lebih tepatnya ketika Adam pergi setelah per
Aku tidak tahu apa yang terjadi di belakangku antara Javin dan David, tapi apapun itu aku mengerti jika yang terjadi bukanlah sesuatu hal yang baik.Perkataan Yumna bertahun-tahun yang lalu melayang di kepalaku. Terdapat beberapa alasan mengapa aku tetap menolak menjadi pasangan Adam.Saat itu, aku sangat menyadari jika Adam memiliki perasaan lebih padaku. Adam adalah pria yang baik, dia selalu membantuku. Terlebih … dia tak hanya menyayangiku sebagai temannya, tetapi Adam juga menyayangi kedua adikku, Javin dan Joana.Sikapnya yang terlalu baik padaku membuatku berpikir jika Adam pasti akan mendapatkan pasangan yang baik di masa depan. Aku mengunci rapat-rapat perasaanku agar sama sekali tak terpengaruh pada sikap Adam yang baik.Aku bahkan bermain-main bersama Dion, aku melakukan itu agar Adam merasa jijik padaku. Agar perasaan Adam padaku segera sirna, Adam tidak pantas menyukai wanita sepertiku.Perkataan mamanya Adam ada benarnya. Sosok pria yang baik pasti akan mendapatkan wanit
Paman dan bibi yang akan datang pada makan malam keluarga, ternyata tidak jadi datang. Alasannya apa, aku tidak tahu. Mungkin saja paman dan bibi sudah membicarakan ini bersama Javin. Aku memilih untuk tidak bertanya untuk sekarang.Aku menatap wajah Javin yang terkesan datar. Aku jadi berpikir, bagaimana jika tadi aku lupa malam ini ada makan malam bersama keluarga Diana, Javin pasti akan kesal sekali padaku.Javin memegang tanganku, aku menatapnya memberikan senyuman menyemangatinya. Aku tahu sekarang ia sedang gugup, aku berusaha menguatinya.“Kakak,”Aku melemparkan senyuman menenangkan. Javin mengangguk, kami masuk ke dalam restoran yang sudah diresevarsi sebelumnya.Aku duduk tersenyum menyapa keluarga Diana, di samping kananku javin dan di samping kiriku Joana.“Selamat malam om, tante.” Aku menyapa dengan senyuman ceria. Joana menundukkan tubuhnya beberapa derajat sebagai bentuk penghormatan.“Selamat malam, Alice. Aku sudah mendengar banyak hal tentangmu dari putriku, Diana.
“Javin, apa yang kamu katakan tadi?” tanyaku benar-benar tidak mengerti.Javin tak memberikan jawaban padaku, tatapannya lurus ke depan menatap jalanan. Aku melirik Joana yang sedari tadi diam saja, aku memegang tangannya dan memeluknya.“Jo, apa kamu tahu masalah ini?” bisikku pelan.“Jo tidak tahu, kak. Javin tidak mengatakan apapun.”Aku membelai puncak kepala Joana, selama perjalanan menuju rumah, suasan mobil hening. Baik aku dan Joana memilih untuk diam saja.Ketika mobil berhenti, kami turun. Aku langsung masuk ke dalam kamarku, aku berusaha untuk tidak membahas kejadian tadi lagi. Aku tahu itu pasti membuat Javin kesal.“Kakak,” suara Javin yang memanggilku membuatku menghentikan langkah. Aku membalikkan badan dengan senyuman tipis.“Tidak perlu membahasnya sekarang, tenangkan dirimu dulu, Javin. Kakak tahu Javin sudah dewasa, Javin tahu harus membuat keputusan yang seperti apa.” Ucapku lembut.Aku menatap Joana dan Javin bergantian, “Istirahatlah, Jo. Kamu pasti lelah. Kamu j
Ketika aku melangkah menuju tempat parkir, di depan mobilku Adam berdiri di sana. Mataku bertatapan dengannya, seketika tubuhku memanas dengan kaki yang bergetar.Aku menunduk menarik napas dalam-dalam. Ketika aku mendongak dan berjalan menuju ke arahnya, pria yang sudah lama tak kujumpai melemparkan senyuman tipis.“Alice ….” Ia berujar dengan suara rendah.Aku tersenyum tipis meresponnya. “H-hai, Adam.” ucapku dengan kaku.Senyumannya semakin mengembang. “Kamu datang juga.”Aku menatapnya dengan perasaan canggung. “Kamu pasti menungguku lama, ya?”Ia terkekeh dengan salah satu tangannya menggaruk bagian kepalanya. “Tidak, aku baru saja sampai. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Alice.”Aku mengangguk samar. “Baiklah, katakanlah.”Ia kembali tertawa tipis. “Tidak di sini.”Ia menatap sekeliling lalu melanjutnya ucapannya. “Mau makan malam bersama?”Aku mengangguk tipis setelah menimbang-nimbang tawarannya. “Baiklah,” ujarku dengan suara pelan.Adam duduk di depanku. Ia menatapku