Matahari telah kembali pada tempatnya, tetapi Naka belum juga kembali. Perasaan dongkol nan kecewa menguasai diriku, aku berjalan sembari menyiapkan beberapa barang untuk kubawa ke kampus sambil menghentak-hentakkan kaki.
"Brengsek, aku pengen banget gigit orang!" ucapku yang sebenarnya kutujukan pada Naka. "Sial, nyebelin banget sih jadi cowok!" "Udahlah, mending ke kampus sekarang aja, semoga aku nggak ketemu sama wajah Naka." Aku mengumpulkan buku dan jurnal menjadi satu lalu kumasukkan ke dalam tas yang biasa kupakai saat ke kampus.Tibalah di kampus setelah aku menaiki transportasi umum. Jarak Apartemen Naka sebenarnya tak terlalu jauh, hanya 15 menit saja. Namun tetap saja akan terasa lama jika ditempuh dengan berjalan kaki.Aku melintasi gedung dan masuk ke dalam gedung Fakultas. Saat berjalan telingaku tak sengaja menangkap para gadis yang sedang membicarakanku. Hatiku kembali menjadi dongkol.Aku berjalan dengan cepat, aku berusahaSedang mobil telah berhenti di tengah pemandangan hutan dan suasana yang sepi. Aku menatap Naka takut lalu bertanya, "Kamu yakin ini tempat rahasiaku, Naka? Kamu mau ngapain aku, hei!?"Naka menarik pergelangan tanganku, jemari Naka langsung saja melingkari perutku erat. Bibirnya terasa dekat di telingaku, Naka berbisik, "Lihatlah ke sana, ada danau yang sangat indah. Mau melihatnya, Alice?"Aku menatap arah yang ditunjukkan oleh Naka. Aku mengangguk saat memandangi danau yang begitu indah. Di sana ada dermaga yang terbuat dari kayu, aku berlari pelan untuk menjangkau dermaga kecil itu.Naka berteriak, aku tak mempedulikan, "Jangan berlari, Alice kamu bisa terpeleset!”Aku pun ikut berteriak, "Tidak akan, cepatlah kesini air danau terasa dingin dan sejuk, Naka!"Naka tertawa singkat, pemuda itu ikut bergabung bersamaku. Kaki kami sengaja dimasukkan ke dalam air. Terasa begitu sejuk.Dengan sengaja, aku menciprat air ke wajah Naka. Aku tertaw
Diva tertawa pelan, "Ayo kita nongkrong nanti malam, Alice sebagai gantinya aku akan memberikan buku ini. Bukankah isi buku ini sesuai dengan tugas kuliahmu, sayang?"Aku menghela napas, "Jika aku belum bilang iya, kamu tidak bakal berhenti membujuk."Diva memelukku dari samping, bibirnya dimanyunkan dengan sengaja, "Jadi, mari kita nongkrong nanti malam, ya!"Aku mengangguk terpaksa, "Iya, Diva sayang,"Senyuman Diva langsung merekah sempurna. Buku yang Diva pegang langsung diberikan padaku. Diva mendorongku menuju kasir, gadis itu berbisik pelan, "Cepatlah bayar, malam sebentar lagi tiba,"Aku mengibas-ibaskan tanganku, "Ya-ya,"*****Aku sudah berada di Apartemen Naka. Aku mendekatkan bagian mataku saat pensil alis sudah tergambar dengan rapi. Huh, rasanya memang sedikit terpaksa, tetapi aku tetap akan merias diri secantik mungkin.Begitu pakaian yang kukenakan terasa pas di tubuhku, aku mendatangi pintu dan menariknya. Aku keluar ber
"Tidak, aku mau pulang. Sebenarnya ... aku memiliki banyak tugas,"Naka mengerucutkan bibirnya, "Ayolah, bagaimana kalau aku menagih 2 permintaan yang tersisa. Kamu pasti setuju, 'kan?"Aku memejamkan mataku, "Tapi aku banyak tugas, Naka ....""Ayolah, Alice,"Aku akhirnya mengangguk, "Baiklah, tapi jangan ke tempat aneh-aneh, ya!"Naka menangguk senang, mobil berjalan santai menyusuri jalan yang lenggang. Naka menambah kecepatan mobilnya, selang beberapa menit mobil telah berhenti di club malam.Naka membukakan pintu untukku, aku berseru tak suka, "Naka, ih kenapa ke sini?"Naka terkekeh singkat, "Ayolah, aku akan menjagamu, aku janji!"Naka melingkarkan tangannya di bahuku, kami berjalan masuk. Suara dentuman musik begitu kuat memekakkan telinga.Aku menatap sekeliling, banyak pasangan yang sedang menari. Sedang Naka memelukku dari belakang, Naka berbisik, "Menarilah Alice,"Aku menoleh membuat bibir Naka hampi saja menyentuh
Aku membuka mataku, di sampingku ada Naka yang masih terpejam. Aku langsung duduk, selimut yang menutupi tubuhku hingga dadaku melorot, aku membolakan mataku kaget.Aku berteriak kencang, "Aaah!"Mata Naka langsung terbuka, pemuda itu langsung duduk di sampingku dan berkata, "Hei, ada apa, Alice?"Aku menatapnya, badanku bergetar tak karuan. Aku berkata terbata-bata, "N-naka a-apa yang sudah kita l-lakukan?"Naka langsung menutupi tubuh telanjangku dengan selimut. Pemuda itu mengacak-acak rambutnya, napasnya berembus berat. Ia memegang bahuku pelan, "Alice, tidak apa-apa, kamu percaya sama aku, 'kan?"Aku menggeleng, aku bingung tak tahu harus bersikap apa, "N-naka, aku tidak tahu harus apa? A-aku bingung, aku tidak tahu ...."Naka membekap mulutku dengan meletakkan tangannya di bibirku, Naka menggeleng pelan, "Kamu percaya sama aku, 'kan, Alice?"Aku langsung memeluk Naka erat, aku berbisik di telinganya, "Naka aku tidak tahu, tapi aku berus
Wajah Naka yang begitu ceria membuat hatiku bergetar hebat. Naka sedang memasak makanan untukku, gerakkan tangannya begitu seksi, sial aku ingin memeluknya.Aku mendekati Naka yang sedang menggoreng nasi, tangannya begitu lihai bak chef handal kelas dunia. Aku meneguk ludahku begitu kakiku berhenti tepat di belakangnya, Naka membalikkan badannya. Tangannya secara otomatis mengelus puncak kepalaku dengan lembut.Aku menatapnya senang, Naka tertawa menampilkan deretan gigi putihnya. Aku berkata, "Naka, kamu terlihat seksi,"Sedang bibir tipis Naka tersungging manis, aku memegang wajahnya dan kembali berseru, "Kenapa wajahmu sangat indah, Naka!"Naka menggelengkan kepalanya, "Aku memang tampan, sayang. Sudahlah, duduk di sana sebentar lagi nasi goreng akan segera tiba di depanmu."Naka kembali mengaduk nasi di atas wajan panas, aku belum beranjak pergi. Tanganku melingkari tubuhnya, kepalaku menyenderkan pada punggung lebarnya. Aku berseru pelan, "Tempat paling
Aku memegangi kepalaku yang pening, pandanganku masih menghadap pada ponsel berharap ponsel Naka segera aktif. Aku begitu khawatir pada pemuda itu dan sedikit mengesampingkan rasa peningku.Aku menghembuskan napas kasarku, sampai sekarang ponsel Naka belum juga bisa dihubungi. Sebenarnya, ada apa dengan pemuda itu? Atau jika memang tidak ingin diganggu kebersamaan dengan teman-temannya, hubungi aku, beri tahu aku agar aku tidak perlu menunggu tanpa kepastian seperti ini.Rasanya benar-benar kesal campur khawatir. Aku kembali mengirimi pemuda itu pesan singkat, dan lagi-lagi pesan itu tidak terkirim karena Naka menonaktifkan ponselnya.Aku menyerah, aku menghempaskan ponsel di atas kasur. Badanku pun segera kurebahkan, mataku mulai kupejamkan dengan paksa. Rasa pening di kepalaku tak bisa kukesampingkan lagi, kepalaku tak sekuat itu.Namun tak bertahan lama, aku kembali memandangi ponsel. Aku tak bisa tenang, hatiku, pikiranku selalu saja tertuju pada Naka. Apa yang sedan
Aku membuka mataku, aroma makanan langsung tercium di hidungku. Aku beranjak dari tempat tidur, mendatangi sumber bau makanan. Dari harumnya saja, sudah pasti makanannya sangatlah lezat.Aku duduk dengan santai menanti makanan tersedia di meja makan. Naka yang memasak makanan tak menyadari kehadiranku di meja makan. Begitu makanan selesai di masak, pemuda itu berseru, “Astaga, sejak kapan kamu di sini, Alice?”Aku terbahak saja, wajah Naka sedikit lucu nan menggemaskan hingga aku tak tahan untuk tidak mencubitnya.Aku mendatangi pemuda itu, tanganku dengan cekatan mengambil makanan yang Naka masak, tak lupa kecupan di pipinya aku berikan. Naka hanya terkekeh gemas, pemuda itu berjalan pelan di belakangku.“Apa kamu sudah tidak pusing? Demammu sudah turun, ‘kan?” aku mengangguk santai.Naka berdehem, aku mengalihkan tatapanku. “Ada apa, Naka?” seruku.Naka menggeleng, senyuman di bibirnya masih saja m
Pandanganku masih terfokus pada Alma dan Dean di depan sana, hingga tanpa sadar aku mengabaikan Naka yang berada di sampingku.Badanku bergetar hebat saat mataku tak sengaja bertatapan dengan mata Dean, bayangan tentang hubungan gelapku bersamanya menari-nari di kepalaku tanpa bisa kucegah. Aku memejamkan mataku berusaha menghapus berbagai bayangan itu.Tangan kucengkeramkan dengan kuat, dadaku naik turun, napasku berhembus tak beraturan.“Alice ….” Aku membuka mataku saat suara Naka masuk melewati gendang telingaku.Aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca, Naka berucap pelan, “Astaga, Alice tidak usah memikirkan tentang hadiah lagi. Mama tidak akan mempermasakahkan itu, percayalah.”Aku mengangguk samar, “I-iya, Naka ….”Naka membawa lenganku pelan, pemuda itu berbicara pelan sembari berjalan, “Mari menemui mama dulu, setelah itu kita bisa bebas menikmati pesta malam ini, setuju?&rdq
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel