Wajah Naka yang begitu ceria membuat hatiku bergetar hebat. Naka sedang memasak makanan untukku, gerakkan tangannya begitu seksi, sial aku ingin memeluknya.
Aku mendekati Naka yang sedang menggoreng nasi, tangannya begitu lihai bak chef handal kelas dunia. Aku meneguk ludahku begitu kakiku berhenti tepat di belakangnya, Naka membalikkan badannya. Tangannya secara otomatis mengelus puncak kepalaku dengan lembut.Aku menatapnya senang, Naka tertawa menampilkan deretan gigi putihnya. Aku berkata, "Naka, kamu terlihat seksi,"Sedang bibir tipis Naka tersungging manis, aku memegang wajahnya dan kembali berseru, "Kenapa wajahmu sangat indah, Naka!"Naka menggelengkan kepalanya, "Aku memang tampan, sayang. Sudahlah, duduk di sana sebentar lagi nasi goreng akan segera tiba di depanmu."Naka kembali mengaduk nasi di atas wajan panas, aku belum beranjak pergi. Tanganku melingkari tubuhnya, kepalaku menyenderkan pada punggung lebarnya. Aku berseru pelan, "Tempat palingAku memegangi kepalaku yang pening, pandanganku masih menghadap pada ponsel berharap ponsel Naka segera aktif. Aku begitu khawatir pada pemuda itu dan sedikit mengesampingkan rasa peningku.Aku menghembuskan napas kasarku, sampai sekarang ponsel Naka belum juga bisa dihubungi. Sebenarnya, ada apa dengan pemuda itu? Atau jika memang tidak ingin diganggu kebersamaan dengan teman-temannya, hubungi aku, beri tahu aku agar aku tidak perlu menunggu tanpa kepastian seperti ini.Rasanya benar-benar kesal campur khawatir. Aku kembali mengirimi pemuda itu pesan singkat, dan lagi-lagi pesan itu tidak terkirim karena Naka menonaktifkan ponselnya.Aku menyerah, aku menghempaskan ponsel di atas kasur. Badanku pun segera kurebahkan, mataku mulai kupejamkan dengan paksa. Rasa pening di kepalaku tak bisa kukesampingkan lagi, kepalaku tak sekuat itu.Namun tak bertahan lama, aku kembali memandangi ponsel. Aku tak bisa tenang, hatiku, pikiranku selalu saja tertuju pada Naka. Apa yang sedan
Aku membuka mataku, aroma makanan langsung tercium di hidungku. Aku beranjak dari tempat tidur, mendatangi sumber bau makanan. Dari harumnya saja, sudah pasti makanannya sangatlah lezat.Aku duduk dengan santai menanti makanan tersedia di meja makan. Naka yang memasak makanan tak menyadari kehadiranku di meja makan. Begitu makanan selesai di masak, pemuda itu berseru, “Astaga, sejak kapan kamu di sini, Alice?”Aku terbahak saja, wajah Naka sedikit lucu nan menggemaskan hingga aku tak tahan untuk tidak mencubitnya.Aku mendatangi pemuda itu, tanganku dengan cekatan mengambil makanan yang Naka masak, tak lupa kecupan di pipinya aku berikan. Naka hanya terkekeh gemas, pemuda itu berjalan pelan di belakangku.“Apa kamu sudah tidak pusing? Demammu sudah turun, ‘kan?” aku mengangguk santai.Naka berdehem, aku mengalihkan tatapanku. “Ada apa, Naka?” seruku.Naka menggeleng, senyuman di bibirnya masih saja m
Pandanganku masih terfokus pada Alma dan Dean di depan sana, hingga tanpa sadar aku mengabaikan Naka yang berada di sampingku.Badanku bergetar hebat saat mataku tak sengaja bertatapan dengan mata Dean, bayangan tentang hubungan gelapku bersamanya menari-nari di kepalaku tanpa bisa kucegah. Aku memejamkan mataku berusaha menghapus berbagai bayangan itu.Tangan kucengkeramkan dengan kuat, dadaku naik turun, napasku berhembus tak beraturan.“Alice ….” Aku membuka mataku saat suara Naka masuk melewati gendang telingaku.Aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca, Naka berucap pelan, “Astaga, Alice tidak usah memikirkan tentang hadiah lagi. Mama tidak akan mempermasakahkan itu, percayalah.”Aku mengangguk samar, “I-iya, Naka ….”Naka membawa lenganku pelan, pemuda itu berbicara pelan sembari berjalan, “Mari menemui mama dulu, setelah itu kita bisa bebas menikmati pesta malam ini, setuju?&rdq
Rina membawaku duduk bersamanya, wanita itu memperkenalkanku pada teman-teman sosialitanya. Suara Rina begitu bangga memperkenalkanku membuat hatiku menghangat karena diterima di keluarga Naka. Aku tak mengira ini terjadi.Aku menatap Rina dari samping, mungkinkah jika wanita ini melupakan masalahku dengan Dean? Atau justru Rina tidak mengetahui itu?Pikiran itu membuat badanku bergetar, aku menoleh dan menganggukkan kepala begitu Rina menanyakan sesuatu."Nama kamu Alice, 'kan, sayang?"Rina tersenyum membelai kepalaku lembut, "Baiklah, coba ceritakan bagaimana pertemuan pertama kalian? Bagaimana Naka mengajakmu berkencan, sayang?"Aku menatap Rina kaku, sedang Rina mendesakku untuk menjawab. Aku tersenyum tipis dan berkata, "Alice tidak berkencan dengan Naka, tante ...."Rina membelalakkan matanya kaget dan langsung berkata, "Astaga, jadi Naka tidak memberikan kamu kepastian, ya?"Aku menggeleng tersenyum tipis, "Alice dan Naka hanya berteman, ta
Suasana menjadi begitu hening setelah perkataan dari Rina. Aku menghembuskan napas beratku, mataku masih memandang ujung sepatu yang kukenakan."Bersihkan wajahmu sebelum menemui Naka! Dengar, jangan pernah membahas ini bersamanya, kamu mengerti?" Aku mengangguk samar.Rina dan Alma telah pergi di hadapanku. Badanku merosot ke lantai, suara tangisan yang kutahan sejak tadi keluar. Aku memukuli dadaku, rasanya aku sangat bodoh. Terjebak ke dalam hubungan percintaan yang begitu rumit, sulit untuk dideskripsikan.Menghirup udara saja begitu sulit rasanya, dadaku dipenuhi dengan rasa sesak. Rasa bersalah dan membenci diri sendiri begitu mendominasi. Sulit untuk dikendalikan, bahkan aku tak bisa mengendalikan perasaan ini.Aku melirik ponselku yang bergetar, nama Naka terpampang di sana. Aku menghapus sisa-sisa air mata di wajahku segera, menetralkan suara sebaik mungkin dan segera beranjak menghampiri pemuda itu.Begitu tiba di sana, aku hanya menunduk dan berpu
Aku memandangi Naka dari samping, pemuda itu sedang fokus menyetir mobil. Kami sedang dalam perjalanan menuju kampus.Dilihat dari samping sekalipun, wajah Naka tetap saja tampan, hatiku kembali berdebar. Pandanganku turun menuju tangan kami yang saling bertautan, sekarang aku yakin, perasaanku telah sempurna. Tak ada keraguan lagi di dalam hatiku, aku begitu mencinta pemuda di sampingku.Aku menatapnya dengan pandangan bahagia, entah bagaimana kehidupanku setelah ini, untuk sekarang aku ingin selalu bersama Naka, menghabiskan sisa waktuku bersamanya. Saling berpelukan, berciuman, dan melakukan kegiatan yang lebih intim.Karena ... aku sudah mencintanya terlalu dalam."Ada apa, Alice?" ucapan Naka membuatku tersadar bahwa sedari tadi aku memandanginya terus menerus.Aku tersenyum hangat, "Tidak ada ....""Ada apa dengan senyumanmu, hei?" aku menggeleng dengan diam, memilih untuk tidak menjawabnya.Naka terkekeh, mobilnya ia tepikan, pemuda itu menarik tengkukku
Naka mengalihkan pandangannya, ia meantapku dengan pandangan hangatnya. Tangannya yang berada di pundakku ia lepaskan. Aku menatap itu dengan perasaan yang sesak.Kemudian Naka berkata dengan sedikit kekehan, "Tidak, kami hanya berteman. Iya, 'kan, Alice?"Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, walau aku dari awal sadar jika kalimat itulah yang akan ia katakan, namun tetap saja mendengarnya langsung dari mulut Naka membuat hatiku nyeri.Aku mengangguk patah-patah, terkekeh pelan menutupi perasaanku yang patah berkeping-keping. "Iya, kami hanya berteman, Rio ...." Ujarku membenarkan.Naka terkekeh, ia memegang tanganku melanjutkan perjalanan menuju kelas. Naka berkata pelan, "Kenapa semua orang menganggap kalau kita berkencan? Bukankah itu terlalu berlebihan, Alice?"Aku lagi-lagi hanya mengangguk, wajahku kubuat seceria mungkin agar Naka tak menyadari hatiku yang sakit mendengar perkataannya."Kamu benar, ini terlalu berlebihan ...."Naka menangguk semang
Pancaran kemarahan dapat kutangkat dari mata Naka, aku membenahi posisiku dan berdiri dengan tegap.Naka mengeratkan tangannya pada tubuhku. Ia melingkari pinggangku dengan tangannya, terkesan sedikit posesif. Aku menunduk menatap ujung sepatuku, tak berani mendongakkan wajahku walau sejenak."Ada apa ini?" Diva datang dan berbicara memecahkan raut ketegangan.Naka masih diam, ia menatap Rio tajam. Sedang Rio terkekeh pelan, ia berucap santai, "Tidak, tadi Alice hampir menabrakku dan aku hanya membantunya. Itu saja,"Diva beralih menatap Naka meminta kebenaran. Naka tak mengalihkan pandangannya, ia masih menatap Rio dengan raut tak suka, terlihat sangat kentara sekali."Jangan menyentuh Alice!"Rio menatap Naka tidak mengerti, "Apa maksudmu? Bro, aku hanya membantunya yang hampir terjatuh, apa itu salah?""Tentu saja salah, kamu menyentuh Alice dan itu kesalahanmu!" Naka menjawab dengan marah."Maaf, tapi aku merasa tidak melakukan kesalahan. Bro,
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel