“Langsung saja, ya. Bisakah kamu memutuskan hubungan gelapmu dengan suamiku? Aku pikir, kamu pasti cukup cerdas untuk tidak berhubungan dengan pria yang sudah memiliki keluarga.”
Aku terdiam, otakku setuju pada perkataan istri Dean yang bernama Alma, namun tidak dengan hatiku. “Sejujurnya ….”
Alma terlihat buru-buru, ia dengan cepat memotong, “Aku sangat sibuk untuk berbicara panjang lebar di sini. Selesaikan hubunganmu dengan suamiku, atau aku akan beri tahu semua orang tentang semuanya. Akan kubuat kehidupan mahasiswamu hancur dan tak ada satu pun perusahaan yang akan menerimamu bekerja, Alice!”
“Ngomong-ngomong, uang yang suamiku berikan tidak bisa menghidupimu sampai mati!”
Aku terdiam, wajahku memucat. Otakku mendesak untuk segera memutuskan hubungan terlarang ini. Rasanya begitu menakutkan. Aku paling tidak bisa diancam seperti ini, otakku tak bisa berpikir dengan jernih dan selalu dipenuhi dengan ketakutan ataupun pikiran negatif.
Hingga Alma meninggalkanku tak ada pergerakkan dariku barang sesenti pun. Aku begitu takut dan kembali jatuh pada jurang kebimbangan yang dalam. Masa depanku atau janin yang kukandung?
Rasanya duniaku selalu saja dilanda kesialan. Seperti tak bisa menghirup ketenangan saja, selalu saja kesialan datang menghampiriku tanpa ada undangan sebelumnya, tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Aku menatap pria dewasa yang ada di depanku dengan sendu. Pria ini adalah salah satu dosenku, umurnya sudah menginjak kepala tiga dan sudah memiliki seorang putra tampan dan pintar. Aku pernah bertemu dengan anak kecil itu dan rasanya sangat menyenangkan. Jemari kekar itu melingkari pinggangku yang ramping di tengah koridor yang sepi, aku mendongak dan memandangi dosenku dengan wajah yang memelas. Aku berkata dengan pelan, “Pak, tolong lepas … saya adalah murid bapak ….” Namun, pria dewasa ini tak memberikan respon apapun, justru lebih mendekatiku dan mengelus wajahku denga
Aku membuka pintu Supermarket yang jaraknya tak jauh dari tempat tinggalku. Perutku berbunyi keroncongan pagi ini, aku akan membeli beberapa makanan ringan yang bisa mengganjal isi perutku agar bisa beraktivitas dengan baik.Setelah selesai memilah makanan ringan, segera aku berjalan menuju kasir untuk menyelesaikan proses transaksi. Aku merogoh tas yang kubawa untuk mencari dompetku, setelah menemukan aku menyerahkan kartu untuk membayar belanjaanku.“Mohon maaf, kak kartunya tidak bisa dipakai.” Ucap seorang kasir yang melayaniku.Aku tersenyum malu dan kembali menyerahkan kartu yang lain, namun lagi-lagi kasir kembali berbicara, “Sepertinya kartu ini juga tidak bisa dipakai, Kak.”Jantungku mu
Aku duduk di kursiku dan tak kusangka Naka ikut duduk di sampingku. Pemuda ini berkata tepat di telingaku, “Gimana kalo kita bener-bener pacaran?”Aku menggeleng sambil tertawa pelan, “Apa sih! Kita aja nggak kenal, tau!”Naka tertawa mendengar ucapanku. Ia kembali mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu di sana, “Tapi, aku kenal kamu udah lama, Alice.”Aku menatap wajahnya yang masih menampilkan senyuman. “Kamu kenal aku? Gimana bisa?” tanyaku heran.Naka hendak menjawab, namun Dosen sudah tiba di kelas. Tetap saja Naka tak memperdulikan pembicaraan Dosen di depan. Naka hanya memandangiku saja dan berkata pelan, “Kamu gadis tercantik di Fakultas. Siapa yang nggak kenal kamu, Alice?”Aku tertawa mendengar godaan dari Naka. “Astaga, masih banyak yang lebih cantik dari aku, Naka.”Naka menjawab lagi, tak lupa senyuman menggodanya ia tampilkan di bibirnya, “Tapi,
Aku dapat merasakan seseorang ada di hadapanku. Aku mendongak. Benar saja, Naka sedang berdiri menjulang di hadapanku. Aku membenahi posisiku dan tersenyum begitu pemuda ini duduk di hadapnku.Naka berbicara dengan pelan, “Tugas kamu udah selesai, Alice? Butuh bantuan?”Aku menjawab ragu-ragu, “Emh, udah, Naka,” setelah itu aku diam dan mulai membereskan barang-barangku.“Kata Diva kamu mau ikut main nanti malam? Mau berangkat bareng aku, Alice?” ucap Naka tiba-tiba.Aku menatapnya, “Diva ngomong gitu, ya? Sebenarnya ….” Aku diam. aku kembali mempertimbangan perkataan Diva yang mengajakku untuk bergabung nanti malam. Namun, bukannya aku tak mau, aku tak boleh boros
Aku menjauhkan tangan yang menutupi wajahku, aku tak memikirkan apapun lagi, karena fokusku sudah hancur akibat perutku yang meronta-ronta minta diisi. Aku menganggukkan kepalaku saja, dan senyuman Naka merekah dengan sempurna.Langsung saja Naka membawaku ke Kedai Makan dekat kampus. Setelah makanan tiba di hadapanku, aku menyantapnya langsung dengan cepat. Seketika, aku melupakan kehadiran Naka, aku tak lagi memikirkan apakah Naka akan merasa jijik dengan caraku makan saat ini. Benar-benar tak mempedulikan itu lagi.Setelah makanan yang ada di dalam piringku bersih tak bersisa, aku tak sengaja bersendawa dengan kencang. Cepat-cepat aku menutupi mulutku dan memukul-mukul kepalaku karena begitu tak memiliki etika. Aku berkata pelan sambil menyembunyikan wajahku, “Naka, maaf … kamu pasti jijik sama aku, ya?”
Tangan Naka mengarah ke kepalaku dan mengacak rambutku dengan gemasnya. Aku biarkan saja walaupun jantungku berdetak di atas rata-rata dengan perlakuan Naka barusan. Naka berbicara lagi, “Jangan takut, Alice aku pasti bantu kamu, kok!” Naka menampilkan senyuman yang menawan.Wajahku cukup memerah mendapatkan perlakuan seperti itu. Jantungku berdegub dengan kencangnya, aku dan Naka saling memandangi satu sama lain, lalu tawa Naka yang menggelegar memutuskan tatapan diantara kami.Aku menunduk, rasanya sangat malu. Wajahku pasti sudah memerah saat ini. Entah mengapa saat bersama Naka suasana hatiku selalu saja bahagia.Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Dean berada di sana, ia mendekati Kenzo dan mengendong anak lelaki itu lalu mengecup pipinya.Aku tanpa sadar memandangi Dean terlalu intens membuat Naka menyadarinya. Aku tersenyum tak enak dan menatap Dean dengan canggung.“Kamu ngerasa aneh ya liat Pak Dean kayak gitu sa
Pintu kamar inapku terbuka, aku menatap temanku yang membuka pintu tersebut. Aku tersenyum padanya, namun Diva langsung saja memelukku dengan erat. Diva bahkan meneteskan air matanya melihat kondisiku sekarang.Aku hanya bisa tersenyum, aku tersenyum karena masih Diva mengkhawatirkanku. Di sela-sela tangisannya yang belum berhenti, Diva memukul lenganku pelan, ia berbicara dengan nada jengkel khasnya, “Siapa yang bikin kamu kayak gini, Alice? Siapa pelaku yang bikin kamu hamil, hah?”Pikiranku langsung tertuju pada Dean, tentu saja tak mungkin aku mengatakan pada Diva jika Dosen yang bernama Deanlah ayah dari janin yang sedang kukandung. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi yang akan Diva tunjukkan, atau bagaimana Naka bisa memandangku sebagai gadis penghancur rumah tangga orang lain atau sebagai gadis yang baik seperti yang Naka bilang beberapa waktu yang lalu.Aku tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaannya, hanya diam saja yang bisa kulakuka
Hubunganku dengan Naka menjadi lebih dekat karena kami tinggal satu atap. Aku benar-benar merasa gila karena berdekatan dengan Naka membuat wajahku selalu saja memanas, karena Naka benar-benar tampan bak pangeran di negeri dongeng, tidak sejujurnya Naka lebih tampan dari pangeran manapun.Mataku menatap Naka yang keluar dari kamarnya, pemuda itu melemparkan senyuman manisnya padaku yang kusambut dengan senyum malu-malu.“Pagi, Alice. Kamu kelihatan lebih sehat dan tambah cantik aja, hehe.” Aku menundukkan kepalaku mendengarkan godaan receh dari Naka, walau aku tahu jika itu hanyalah godaan receh, tetapi aku begitu menyukainya.“Pagi, Naka!” jawabku pelan. Aku menuangkan segelas susu dan memberikannya pada Naka.“Minum dulu, Naka!” segelas susu itu disambut Naka dengan senyuman indah bagai bunga mawar yang mekar di pagi hari. Sial, aku selalu saja terpesona akan senyuman indah itu.Naka meletakkan gelas begitu sus
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel