Aku menjauhkan tangan yang menutupi wajahku, aku tak memikirkan apapun lagi, karena fokusku sudah hancur akibat perutku yang meronta-ronta minta diisi. Aku menganggukkan kepalaku saja, dan senyuman Naka merekah dengan sempurna.
Langsung saja Naka membawaku ke Kedai Makan dekat kampus. Setelah makanan tiba di hadapanku, aku menyantapnya langsung dengan cepat. Seketika, aku melupakan kehadiran Naka, aku tak lagi memikirkan apakah Naka akan merasa jijik dengan caraku makan saat ini. Benar-benar tak mempedulikan itu lagi.
Setelah makanan yang ada di dalam piringku bersih tak bersisa, aku tak sengaja bersendawa dengan kencang. Cepat-cepat aku menutupi mulutku dan memukul-mukul kepalaku karena begitu tak memiliki etika. Aku berkata pelan sambil menyembunyikan wajahku, “Naka, maaf … kamu pasti jijik sama aku, ya?”
Naka tertawa lagi, ia hanya menjawab, “Bersendawa itu normal, Alice. Aku juga kalo selesai makan pasti bersendawa, kamu hebat karena nggak makan kayak Tuan Putri di depan aku.”
Ucapan Naka berhenti, pemuda itu menyedot jus jeruk sejenak lalu kembali berbicara pelan, “Banyak gadis yang makan kayak Tuan Putri, lama banget! Sampe bosen aku nunggunya. Sedangkan kamu, Alice makanan aku belum habis tapi kamu udah habis aja. Keren!”
Aku memandangnya marah, “Kamu ngejek aku ya, Naka? Kamu mau bilang kalo aku itu nggak ada sopan santun, iya, ‘kan?”
Naka menggeleng dengan cepat, “Aku ngomong jujur, Alice kamu keren banget!”
Aku masih menatapnya dengan raut tak suka. Namun Naka tak peduli dengan tatapanku ia masih fokus pada piringnya yang belum bersih dari makanan.
Naka berkata pelan, “Kamu bisa habisin semuanya nggak, Alice? Aku kenyang banget! Ini makanannya masih banyak banget, nggak sopan rasanya kalo ditinggalin gitu aja.”
Aku kembali menatapnya dengan marah, “Kamu sengaja biar aku ngerasa kalo makan aku banyak, ya? Kamu ngeselin tau nggak, Naka!”
Aku hendak berdiri karena merasa sangat kesal dengan Naka, namun aku urungkan saat jemari lembut Naka menahan lenganku. Aku memandangnya kesal sedangnya Naka menatapku dengan sendu. Naka berkata dengan suara lembutnya, “Tunggu bentar, kamu nggak boleh kabur. Ingat, kamu harus bayar aku dengan 3 permintaan.”
Aku kembali duduk di hadapannya. Dengan cepat Naka menghabiskan makanan yang ada di piringnya lalu berdiri. Aku ikut berdiri dan mengikuti langkah kaki Naka yang membawa menuju Halte Bus.
Aku dan Naka naik Bus dan duduk di kursi secara berdampingan. Langsung saja Naka mengatakan, “Alice, kakak aku bilang dia lagi dinas ke Luar Kota. Tapi, kalo kamu butuh banget sama kerjaan itu, kamu boleh ketemu sama suami kakak aku. Kamu keberatan nggak, Alice? Aku jadi nggak enak sama kamu.”
Aku terdiam, Naka kembali melanjutkan perkataanya, “Kakak aku tiba-tiba banget berangkatnya. Kalo kamu sungkan buat ketemu sama suami kakakku, kamu bisa kerja mulai besok. Lagian, keponakkan aku pasti butuh banget pengasuh. Kasihan, sendirian di rumah, orang tuanya sibuk terus sama kerjaan masing-masing. Tapi, kakak aku minta kalo kamu nginap di rumahnya. Kamu keberatan nggak, Alice?”
Aku masih terdiam, aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak pernah bekerja, apalagi mengurus anak kecil. Aku menatap Naka, “Aku nggap pernah ngurus anak kecil, Naka. Aku takut ….”
Naka tersenyum, “Aku yakin kamu bisa, Alice. Kamu … benar-benar butuh pekerjaan ini, ‘kan?”
Aku mengangguk singkat, Naka kembali melengkungkan bibirnya membentuk senyuman yang sangat manis. Aku seketika merasa tenang melihat senyuman semanis itu di hadapanku. Naka kembali berbicara, “Aku pasti bantu kamu, Alice. Jangan takut, okay?”
Aku menganggukkan kepalaku tanpa sadar. Naka tersenyum hangat membuat jantungku meleleh dengan cepat. Aku menundukkan kepalaku saat merasakan wajahku mulai memanas, sedangkan Naka fokus pada ponselnya seolah membiarkanku dengan perasaan aneh yang membuatku bingung, tapi disisi lain membuatku tersenyum cukup sering hari ini.
Bus berhenti, Naka langsung menarik lenganku dan membawaku ke rumah yang tak asing untukku. Aku berhenti melangkah saat menyadari ini adalah rumah pria yang sangat ingin aku jauhi.
Aku mengerjapkan mataku saat Naka meremas lenganku pelan, aku menatapnya bingung, “kenapa, Naka?”
Naka terseyum tipis, “Kamu nggak denger ya? Sebenernya, kamu bakal kerja di rumahnya Pak Dean. Kamu cukup kenal, ‘kan sama Pak Dean? Sebenernya beliau adalah kakak ipar aku.”
Aku mengangguk kaku, dan tersnyum dengan wajah yang cukup masam, “I-iya, Naka,”
Naka mengelus rambutku pelan, “Kamu pasti kaget, ya? Maaf, kamu pasti kurang nyaman dengan fakta ini ya, Alice?”
Aku menggeleng tak enak hati. Aku pun menampilkan senyum manisku, “Nggak kok, Naka. Aku kayaknya bakal suka kerja di sini ….”
Naka tertawa pelan, “Kenapa kamu seyakin itu? Pak Dean galak lo.”
Aku tersenyum tipis, aku memandang wajah Naka dari samping, “Mungkin karena aku udah kenal sama majikan aku.”
“Kamu benar. Mungkin karena kamu cukup dekat sama Pak Dean, Alice.”
Ucapan Naka cukup menggangguku, aku tertawa pelan walaupun di dalam pikiran, aku ingin menangis saja jika Naka menyadari siapa aku sebenarnya.
“Cukup dekat gimana maksud kamu, Naka?”
Naka menatapku, ia berjalan dan membuka pintu yang tak dikunci. Aku mengikutinya dari belakang. Naka menjawab pertanyaanku tadi dengan suara yang ia pelankan, “Karena kamu mahasiswa yang aktif di organisasi dan cukup dikenal oleh dosen-dosen.”
Aku menatapnya heran, “Darimana kamu tau kalo aku aktif organisasi, Naka?”
Naka tertawa, ia mempersilahkan aku duduk di sofa, “Siapa yang nggak tau tentang kamu Alice? Gadis paling cantik di Fakultas dan cukup berprestasi.”
Aku cukup tersanjung dengan pujian yang disampaikan oleh Naka. Ia memberikanku minuman kaleng lalu pergi ke belakang.
Selagi Naka tak ada di sini, aku menatap sekitar karena cukup penasaran dengan detail rumah Dean. Aku pernah ke rumah Dean sekali, namun tak cukup memperhatikan secara mendetail. Melihat rumah ini, aku tiba-tiba merindukan Ibuku dan kedua Adikku.
Mataku mulai berkaca-kaca, tapi kutahan saat Naka datang dan menggandeng seorang anak laki-laki tampan. Naka mendekatkan anak laki-laki itu ke arahku, aku tersenyum memandangnya. Sudah lama aku tak berjumpa dengan Kenzo. Tanganku terulur begitu saja, aku mengelusnya dengan penuh kasih sayang.
Naka berbicara menghentikan pergerakkan tanganku, “Namanya Kenzo, Alice. Dia putra tunggal di rumah ini, jadi sedikit manja.”
Aku masih tersenyum menatap kenzo, “Aku tau,”
“Maksud kamu apa, Alice?”
Aku baru menyadari jika aku tak sadar mengatakan itu. Aku menetralkan mimik wajahku lalu menatap Naka, “Sebenernya, Pak Dean pernah cerita sedikit tentang anaknya, hehe.”
Naka tak menghiraukan jawaban dariku, ia kembali menceritakan tentang segala hal tentang anak laki-laki ini. Aku menyimaknya sambil memperhatikan wajah Naka.
“Ken punya alergi debu sama bulu kucing, Alice. Dia dilarang keras buat makan-makanan seafood, setiap pagi dia wajib untuk minum susu. Nanti aku bakal kasih jadwal lesnya Ken. Tugas kamu antar jemput Ken, entah mau berangkat TK atau berangkat les. Setelah pulang les, kamu bisa bantu dia untuk mandi, makan, setelah itu kamu bisa bantu Ken belajar.”
Aku tercengang dengan tugas yang harus kulakukan, sebanyak itu? Bagaimana dengan jadwal kuliahku?
Naka menatapku tak enak, ia berkata, “Kerjaannya banyak ya, Alice?”
Aku menggelengkan kepalaku cepat. Aku menjawab cepat, “Nggak kok, Naka.” Aku tersenyum untuk menutupi hatiku yang tiba-tiba khawatir.
Tangan Naka mengarah ke kepalaku dan mengacak rambutku dengan gemasnya. Aku biarkan saja walaupun jantungku berdetak di atas rata-rata dengan perlakuan Naka barusan. Naka berbicara lagi, “Jangan takut, Alice aku pasti bantu kamu, kok!” Naka menampilkan senyuman yang menawan.Wajahku cukup memerah mendapatkan perlakuan seperti itu. Jantungku berdegub dengan kencangnya, aku dan Naka saling memandangi satu sama lain, lalu tawa Naka yang menggelegar memutuskan tatapan diantara kami.Aku menunduk, rasanya sangat malu. Wajahku pasti sudah memerah saat ini. Entah mengapa saat bersama Naka suasana hatiku selalu saja bahagia.Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Dean berada di sana, ia mendekati Kenzo dan mengendong anak lelaki itu lalu mengecup pipinya.Aku tanpa sadar memandangi Dean terlalu intens membuat Naka menyadarinya. Aku tersenyum tak enak dan menatap Dean dengan canggung.“Kamu ngerasa aneh ya liat Pak Dean kayak gitu sa
Pintu kamar inapku terbuka, aku menatap temanku yang membuka pintu tersebut. Aku tersenyum padanya, namun Diva langsung saja memelukku dengan erat. Diva bahkan meneteskan air matanya melihat kondisiku sekarang.Aku hanya bisa tersenyum, aku tersenyum karena masih Diva mengkhawatirkanku. Di sela-sela tangisannya yang belum berhenti, Diva memukul lenganku pelan, ia berbicara dengan nada jengkel khasnya, “Siapa yang bikin kamu kayak gini, Alice? Siapa pelaku yang bikin kamu hamil, hah?”Pikiranku langsung tertuju pada Dean, tentu saja tak mungkin aku mengatakan pada Diva jika Dosen yang bernama Deanlah ayah dari janin yang sedang kukandung. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi yang akan Diva tunjukkan, atau bagaimana Naka bisa memandangku sebagai gadis penghancur rumah tangga orang lain atau sebagai gadis yang baik seperti yang Naka bilang beberapa waktu yang lalu.Aku tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaannya, hanya diam saja yang bisa kulakuka
Hubunganku dengan Naka menjadi lebih dekat karena kami tinggal satu atap. Aku benar-benar merasa gila karena berdekatan dengan Naka membuat wajahku selalu saja memanas, karena Naka benar-benar tampan bak pangeran di negeri dongeng, tidak sejujurnya Naka lebih tampan dari pangeran manapun.Mataku menatap Naka yang keluar dari kamarnya, pemuda itu melemparkan senyuman manisnya padaku yang kusambut dengan senyum malu-malu.“Pagi, Alice. Kamu kelihatan lebih sehat dan tambah cantik aja, hehe.” Aku menundukkan kepalaku mendengarkan godaan receh dari Naka, walau aku tahu jika itu hanyalah godaan receh, tetapi aku begitu menyukainya.“Pagi, Naka!” jawabku pelan. Aku menuangkan segelas susu dan memberikannya pada Naka.“Minum dulu, Naka!” segelas susu itu disambut Naka dengan senyuman indah bagai bunga mawar yang mekar di pagi hari. Sial, aku selalu saja terpesona akan senyuman indah itu.Naka meletakkan gelas begitu sus
Minuman yang Naka tuangkan sudah habis kutegak. Aku hendak mengambil sekaleng soda, jaraknya cukup jauh dari tempatku. Melihat aku kesulitan, Naka berinisiatif mengambil soda itu untukku.Aku menunggu Naka membukakan kaleng soda, namun Naka tak memberikannya padaku. Naka meminumnya, “Aku mau soda, Naka.”Naka memandangiku kemudian pemuda itu menggeleng singkat, “Kamu baru keluar dari rumah sakit, Alice. Nggak boleh minum soda dulu, okay?”Aku memanyunkan bibirku tanda tak setuju, “Ayolah, aku lagi pengen minum soda, Naka,”Naka tetap tidak memberikan soda walau seteguk saja, “Tidak, Alice kamu masih sakit, nggak boleh minum soda dulu.”Mendengar jawaban dari Naka, bibirku secara otomatis merengut. Aku tak lagi berbicara, aku menjadi pendnegar saja saat teman-teman lainnya mulai berbicara ringan satu sama lain.“Teman-teman, ayo kita memainkan permainan yang seru!” ucap Diva dengan s
Aku tengah duduk di meja ditemani setumpuk jurnal, cukup membuat kepalaku berdenyut. Aku berdengus sebal tatkala suara-suara bising menggangu konsentrasiku. Aku menahan diriku untuk sedikit bersabar, lagipula aku sedang duduk di tempat umum, wajar saja ada banyak kebisingan.Sedang di sampingku, tadi ada Naka yang sekarang sedang izin ke toilet. Aku menunggunya yang cukup lama belum juga kembali.Aku menarik gelas yang berisi jus jeruk dan kutegak saja untuk mengurangi dahaga. Aku cukup sebal karena aku ditinggal sendiri tetapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku mengikuti Naka hingga ke toilet.Aku menatap ke arah sumber suara yang lagi-lagi memecah konsentrasiku. Pintu kafe terbuka, muncul Diva dan Anna yang mendatangiku. Diva langsung mencomot makanan ringan yang ada di meja, aku menatapnya sedikit malas. Tak berbeda dnegan Diva, Anna juga mengambil gelasku yang berisi jus jeruk, langsung saja ditegak hingga tak bersisa.Aku memandangi mereka b
Aku berjalan melintasi koridor yang ramai, ucapan-ucapan tak mengenakkan terdengar di telingaku. Aku meremas gaun yang kukenalan, mataku kupejamkan berharap berbagai perkataan yang membuatku sakit hati segera hilang.Aku memandang ke depan, ada Naka dan Diva yang berjalan mendatangiku. Naka langsung memelukku erat, Diva berdiri saja di sampingku.Naka berkata dengan nada khawatir, "Astaga, Alice kamu tidak apa-apa, 'kan? Apa mereka menyakitimu?"Aku menggeleng, "Aku tidak apa, tapi ...."Diva langsung menyelang percakapanku dan Naka, "Alice, kamu pulang ke kos aku!"Naka menggeleng tegas, "Apa-apaan Diva, Alice tetap tinggal di Apartemenku!"Diva tertawa remeh memandang Naka, "Naka, semua ini terjadi karena kamu memaksa Alice untuk tinggal di Apartemen kamu! Kamu itu biang masalah, sadar dong!"Naka tak mendengarkan perkataan Diva, pergelangan tanganku ditarik oleh Naka dan dibawa ke dalam mobilnya. Naka berkata pelan, "Kamu akan tetap tinggal di A
Matahari telah kembali pada tempatnya, tetapi Naka belum juga kembali. Perasaan dongkol nan kecewa menguasai diriku, aku berjalan sembari menyiapkan beberapa barang untuk kubawa ke kampus sambil menghentak-hentakkan kaki."Brengsek, aku pengen banget gigit orang!" ucapku yang sebenarnya kutujukan pada Naka."Sial, nyebelin banget sih jadi cowok!""Udahlah, mending ke kampus sekarang aja, semoga aku nggak ketemu sama wajah Naka." Aku mengumpulkan buku dan jurnal menjadi satu lalu kumasukkan ke dalam tas yang biasa kupakai saat ke kampus.Tibalah di kampus setelah aku menaiki transportasi umum. Jarak Apartemen Naka sebenarnya tak terlalu jauh, hanya 15 menit saja. Namun tetap saja akan terasa lama jika ditempuh dengan berjalan kaki.Aku melintasi gedung dan masuk ke dalam gedung Fakultas. Saat berjalan telingaku tak sengaja menangkap para gadis yang sedang membicarakanku. Hatiku kembali menjadi dongkol.Aku berjalan dengan cepat, aku berusaha
Sedang mobil telah berhenti di tengah pemandangan hutan dan suasana yang sepi. Aku menatap Naka takut lalu bertanya, "Kamu yakin ini tempat rahasiaku, Naka? Kamu mau ngapain aku, hei!?"Naka menarik pergelangan tanganku, jemari Naka langsung saja melingkari perutku erat. Bibirnya terasa dekat di telingaku, Naka berbisik, "Lihatlah ke sana, ada danau yang sangat indah. Mau melihatnya, Alice?"Aku menatap arah yang ditunjukkan oleh Naka. Aku mengangguk saat memandangi danau yang begitu indah. Di sana ada dermaga yang terbuat dari kayu, aku berlari pelan untuk menjangkau dermaga kecil itu.Naka berteriak, aku tak mempedulikan, "Jangan berlari, Alice kamu bisa terpeleset!”Aku pun ikut berteriak, "Tidak akan, cepatlah kesini air danau terasa dingin dan sejuk, Naka!"Naka tertawa singkat, pemuda itu ikut bergabung bersamaku. Kaki kami sengaja dimasukkan ke dalam air. Terasa begitu sejuk.Dengan sengaja, aku menciprat air ke wajah Naka. Aku tertaw
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel