Tugas membuat notulensi itu telah diberikan kepada Chris. Namun, pria itu tidak sempat mengerjakannya karena sibuk mencari sekretaris baru untuk Adimas. Kini, pria itu sengaja memberikannya kepada Laras untuk mengujinya dan sambil mengerjakan hal lain, dia terus menghitung. Umumnya, akan membutuhkan waktu satu jam lebih bagi pemula untuk merangkumnya. Namun, di luar dugaan, waktu baru menginjak menit ketiga puluh saat kembali terdengar ketukan di pintu ruangan Adimas. Laras berjalan masuk sembari membawa beberapa lembar kertas. High heels yang menopang kaki rampingnya itu terantuk-antuk di lantai. “Ini hasilnya, Tuan,” katanya sembari menyerahkan kertas tersebut. Adimas hampir tidak memercayainya. Ia langsung memeriksa hasil pekerjaan wanita itu dan sedikit tersentak. Bagus dan rapi. Hasil ketikannya mudah dipahami dan rapi. Jauh lebih baik dari harapan Adimas. Tampaknya, benar kata Chris, Laras adalah orang yang cocok. “Lumayan,” ujar Adimas. Laras menahan senyum bangga yan
Tiga hari sebelumnya ….Duaaakk Suara yang kencang terdengar saat seseorang mendobrak pintu kayu di kontrakan itu. Di dalam, terlihat sosok Laras yang tengah merawat ibunya yang terbaring lemah karena sakit. Tubuhnya langsung terlonjak kaget sekaligus ketakutan saat mendengar suara serangan itu. Dua orang pria bertubuh sangar dengan potongan rambut cepak ala militer dan pakaian serba hitam merangsek masuk. “Mana wanita tua itu?! Dia memiliki utang yang sangat banyak kepadaku!” hardik seorang pria berwajah keras itu. Wanita tua yang tidak lain adalah ibunya Laras itu seketika terlonjak kaget dan mulai memegangi lehernya karena kesulitan untuk bernapas. Laras menjadi panik. Ia cepat-cepat mengarahkan kedua rentenir itu ke petak depan rumahnya. Ya, rumah Laras hanya berupa bangunan kontrakan tiga petak yang amat minimalis. Di rumah itu bahkan tidak ada kasur, hanya kasur lantai yang sudah tipis yang menjadi alas tidur sang ibu yang tengah sakit. Pakaian Laras pun terlihat sangat l
Bagi Laras, misi seperti ini bukanlah hal yang baru. Gadis itu mengambil foto tersebut dan memperhatikannya dengan saksama. Terlihat sosok Adimas dalam balutan kemeja dan jas yang rapi, tetapi Laras tidak mengenalinya. “Apakah dia yang menjebloskan Tuan Brixton ke penjara?” tanya gadis itu. Malvin memandang lurus ke arahnya dan menyeringai puas. “Ternyata kau benar-benar cerdas seperti apa yang dikatakan Tuan Brixton. Kau benar. Tuan Brixton ingin membalaskan dendam karena sudah dipermalukan. Dia menunjukmu untuk menjadi sekretarisnya dan memata-matai pria itu. Catat apa saja kegiatan pria itu, siapa saja orang yang dia temui, dan proyek apa yang akan dia kerjakan. Dengan demikian, kita bisa menghancurkan bisnisnya dari dalam.” Itu adalah tawaran yang menggiurkan. Pekerjaannya pun tidak terlalu sulit. Laras hanya perlu berakting dan berpura-pura. Namun, semenjak didepak keluar dari lingkaran bisnis Brixton, wanita itu sudah bertekad untuk menjauh dari kehidupan kotor semacam ini
Khusus hari ini, Laras datang lebih pagi. Ia ingin menjelajahi seluruh penjuru perusahaan Adimas dan menghafal tata letaknya. Siapa yang tahu, informasi itu mungkin akan berguna baginya suatu saat nanti. Hingga hari mulai siang dan ruangan terakhir yang ia datangi adalah kantor Adimas sendiri. Pria itu belum datang sehingga Laras memiliki banyak ruang untuk memperhatikan dengan bebas. Ruangan kantor pria itu tampak luas. Ada tiga pasang sofa yang sengaja disediakan untuk tamu, meja-meja dan ornamen. Di dekat singgasana Adimas sendiri, terdapat lemari yang menyimpan banyak arsip perusahaan. Perhatian Laras langsung tertuju pada bingkai foto di meja Adimas. Di sana, terlihat wajah Adimas yang tersenyum hangat bersama sang istri dan putra sulung mereka. Sudut bibir tertarik ke atas membentuk seringai tidak senang. Entah mengapa, ia sangat tidak senang dengan foto itu. Terlebih, wajah sang istri tidak terlihat cantik. Bukan tipe yang cocok untuk bersandar dengan Adimas. Bahkan, Lar
Kata-kata terakhir yang Adimas katakan benar-benar membuat Laras hampir gila. Apa maksudnya itu? Mengapa Adimas ingin mengenalnya? Apakah wajar untuk menanyakan hal itu kepadanya? Dahulu, saat bekerja dengan Brixton, Laras dikelilingi oleh pria berwatak keras dan kasar. Kata-kata kasar tidak pernah luput dalam pembicaraan mereka. Beruntung, Laras hanya mengurus bagian administrasi dan keuangan sehingga tidak ada yang berani bermacam-macam dengannya. Akan tetapi, bekerja di lingkungan seperti itu jelas akan tetap membawa pengaruh baginya, sadar ataupun tidak sadar. Sehingga sikap Adimas yang normal, bahkan terkesan lembut, membuat Laras kebingungan. Ucapan Adimas benar-benar berhasil mengguncang perasaan Laras hingga gadis itu membatalkan niatnya untuk memberikan laporan kepada Malvin. Ya, Laras belum melaporkan pertemuan Adimas itu kepada Malvin. Ia takut Malvin akan menghancurkan rencana Adimas, yang secara tidak langsung juga akan menghancurkan perusahaan Adimas. Ia dikirim
Alis Malvin menekuk sesaat setelah ia membaca pesan dari Laras. Ini benar-benar di luar prediksinya. “Kau bergerak jauh lebih cepat dari yang kukira, Adimas,” gumam pria itu dengan nada serius. Namun, tentu saja, Malvin pasti akan menghentikan dan mengacaukannya. Dia akan membuat semesta seolah tidak berpihak kepada Adimas. Malvin memulainya dengan memanggil orang kepercayaannya. Pria itu langsung datang dalam beberapa detik. “Kirim orang untuk memata-matai Maddison. Cari orang dalam di dunia pers yang bisa kita manfaatkan,” titah Malvin. Pria di hadapannya langsung mengangguk dengan patuh. “Baik, Tuan.” Setelah menjawabnya, ia berjalan pergi untuk segera melaksanakan titah bosnya itu. Tentu tidak sulit bagi Malvin dan komplotannya untuk melakukan itu. Ia merasa semakin dekat pada kehancuran Adimas. “Kerja bagus, Laras.” Kirim. ******Di sisi lain, Adimas tengah menikmati makan siang bersama keluarga kecilnya di sebuah restoran yang cukup tenang. Ia telah membuat reservas
Laras semakin hilang akal. Dari hari ke hari, ia merasa semakin kehilangan akal sehatnya. Saat bersama Adimas maupun tidak. Saat bersamanya, jantung Laras seakan terus berdetak dengan cepat. Saat tidak bersamanya, Laras merasakan kerinduan yang meresahkan perasaannya. Ia tidak tahu jika rasa cinta bisa menyiksanya seperti ini. “Kau masih memikirkan bos tampan itu?” Tasya yang duduk di sisinya bertanya. Sepulang bekerja, keduanya kembali sepakat untuk bertemu di kelab yang sama. Suara musik memekakkan telinga terdengar dan lampu kelap-kelip tampak menyilaukan mata. Suasana di sekitar Laras sudah begitu ramai, tetapi gadis itu memilih merenung sejak tadi. Laras mengangguk. Gadis cantik itu mengembuskan napas panjang. “Hari ini aku bertemu dengan istri dan anaknya. Itu membuatku semakin kesal,” tuturnya. Hanya dengan mengingat wanita itu saja membuat dada Laras merasa dongkol. Tasya menggelengkan kepala dengan tidak habis pikir. “... kamu pasti cemburu.” Dia berkomentar. Tidak h
Adimas tidak pernah bersikap seperti ini. Ia tidak pernah menyangka uang senilai dua puluh juta itu bisa amat mengganggu pikirannya. Bukan berarti Adimas tidak ikhlas memberikannya. Bahkan meski seluruh kekayaan dan asetnya jatuh ke tangan Karina, Adimas tidak akan protes. Namun, satu yang mengganggunya adalah Karina yang sengaja merahasiakan hal itu dari Adimas. Mengapa istrinya itu merahasiakannya? Apakah Adimas tidak boleh tahu? Memang, apa yang akan gadis itu lakukan dengan uang senilai dua puluh juta itu? Jika pun Karina memintanya untuk diberikan kepada keluarganya yang membutuhkan, Adimas tidak akan menolak. Hanya dengan satu syarat: izin dari Adimas sendiri. Namun, karena ini adalah kali pertama Karina meminta sesuatu darinya, jelas Adimas tak dapat menolak. Oleh sebab itu, Adimas membiarkannya. Namun, sekarang perkara itu justru terus mengganjal dalam pikirannya. Hingga saat pertama Adimas tiba di lobi perusahaannya, ada sebuah notifikiasi yang masuk ke ponselnya. Selam
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki