Adimas berharap ia salah dengar. Namun, ia benar-benar bisa mendengarnya dengan jelas. Informasi yang mengatakan bahwa pria itu adalah orang kepercayaan Brixton. “Mengapa foto dia ada di sakumu? Apakah ... Mas berurusan dengan dia?” tanya Karina dengan hati-hati. Raut wajahnya berubah menjadi cemas. Sementara Adimas, wajahnya terlihat kaku. Ia tidak tahu harus mengangguk atau menggeleng. Bahkan, Adimas pun menanyakan hal yang sama. Bagaimana pria itu bisa dekat dengan Laras? Bagaimana mungkin … pria seperti dia bisa masuk ke lingkungannya? Pertanyaan itu seketika membuat Adimas teringat akan perkataan Jerry. Bahwa Laras seolah dihantui oleh tanggung jawab untuk melaporkan sesuatu. Dia melaporkan seluruh kegiatannya. Adimas hampir tidak menyangka jika dirinya telah dimata-matai selama ini. Tidak heran, Laras didapatkan pada kondisi kritis, tetapi performanya sangat baik. Itu semua karena dia memiliki niat terselubung. Sudut bibir Adimas tertarik membentuk seringai kering. “Sep
Pikiran Adimas terbelah dua antara Jade dan acara yang tengah berlangsung. Sebagai pimpinan dari sebuah perusahaan, ia dituntut untuk tetap bisa bersikap profesional pada keadaan seperti ini. Adimas dipaksa untuk fokus pada rapat yang ia ikuti saat pikirannya ingin cepat-cepat mendatangi rumah sakit. Berulang kali, kakinya menghentak dengan gusar di bawah meja. “Berapa lama lagi acara ini berlangsung?” tanyanya pada Laras di sela-sela rapat itu. “Sekitar tiga jam, Tuan,” jawab wanita itu. Terlalu lama! pikir Adimas. Namun, tidak mungkin pria itu meninggalkan rapat begitu saja. Kualifikasinya sebagai pemimpin utama akan dipertanyakan. Nama baik perusahaannya pun bisa tercoreng di antara pebisnis lainnya. Kabar itu seperti angin segar di antara semua masalah yang datang. Namun, Adimas benar-benar harus bersabar.Di sisi lain, Malvin telah mengutus orang untuk ‘mengurus’ Jade. Ya, bangunnya Jade dari koma di luar prediksinya. Ia yakin telah membuat kecelakaan itu cukup parah. Set
Karina memperhatikan kepergian Laras dengan sorot tangguh sekaligus menahan kekesalan. Ini kali pertama ada seseorang yang berhasil membangkitkan gejolak tidak enak dalam benak Karina. Beruntung, ia gemar mengikuti para pelayannya menonton drama Korea. Itu salah satu teknik yang pernah ia pelajari. Padahal, sebenarnya Karina tidak yakin apakah Adimas menyukai minuman itu atau tidak. Namun, melihat dari reaksi Laras, jelas wanita itu benar-benar berbohong untuk memancingnya. Setelah Laras pergi, Karina menyusul suaminya ke dalam kamar rawat inap itu. Kata dokter, pria itu sudah sadar, tetapi Karina mendapatinya dalam keadaan terpejam. “Dia baru saja kembali beristirahat.” Adimas menjelaskan. Ia berdiri untuk menyambut sang istri. Namun, langkahnya terhenti saat melihat kejanggalan. Raut wajah Karina terlihat berbeda. Tampak memerah sekaligus kesal. “... ada apa?” tanyanya. Bibir dan dagu Karina mengerucut. Dia memandang Adimas dengan sorot tegas, tetapi tidak mengintimidasi. “A
“Istri saya belum selesai?” Adimas bertanya kepada seorang pegawai di salon kecantikan itu. Beberapa jam lalu, Adimas mengajak Karina ke sebuah salon kecantikan untuk mempersiapkan diri sebelum datang ke pesta. Ia berpikir Karina mungkin tidak sempat bersiap karena Mark sehingga sengaja mengajaknya kemari. Namun, sudah hampir dua jam, istrinya itu masih belum juga selesai. Padahal, Adimas pun sudah rapi dengan tuksedo dan dasi kupu-kupu yang melingkari lehernya. “Sudah, Tuan,” jawab wanita itu. Beberapa wanita yang ditugaskan untuk merias Karina pun sudah keluar dan berganti merias pelanggan lain. Adimas mengernyitkan alis. “Lalu, mengapa dia belum keluar?” Pegawai salon itu ikut terlihat bingung. Benar juga, pikirnya. “Saya akan mengeceknya,” ujarnya, kemudian mulai melangkah pergi, tetapi Adimas menghentikannya. “Tidak perlu. Saya akan pergi,” ujarnya. Dia membetulkan jas di bagian pergelangan tangannya, kemudian melenggang pergi. “Bukankah dia benar-benar tampan?” Para pe
“Saya berencana mengalihkan perusahaan ini menjadi milik istri saya.” Adimas mengumumkan. Di hadapannya, terduduk dua belas orang investor penting di perusahaannya. Pagi-pagi sekali, pesan dari Adimas tiba di ponsel mereka masing-masing. Di sana, Adimas meminta mereka untuk berkumpul secara mendadak. Bukan di kantor pusat perusahaan, melainkan di sebuah ruang pertemuan hotel mewah. Umumnya, para pemegang saham jarang berkumpul, terkecuali pada acara penting seperti pelantikan pemimpin baru. Kini, tiba-tiba Adimas meminta mereka untuk berkumpul dalam waktu yang mendesak. Mereka langsung bisa menyadari kejanggalan dan tahu-tahu pria itu mengumumkan keputusan tersebut..Keputusan yang menurut mereka seperti ide yang gila. “Apa?” “Apa-apaan keputusan itu?” protes yang lain, tidak terima dengan pengumuman tiba-tiba ini. “Mengapa tiba-tiba, Adimas?” ujar yang lain. Sehari yang lalu, keadaan masih stabil. Perusahaan mereka berjalan lancar, termasuk saham mereka yang tetap stabil, kini
“The K grup meminta untuk membatalkan kontrak kerja sama, Tuan.” Sebuah pesan turut masuk di antara berita yang berseliweran. “Indo Grup juga, Tuan.” Begitu pesan yang sama dari divisi kerja sama dan tim pemasaran. “Gawat, Tuan. Perusahaan Trans juga meminta pembatalan kontrak secara sepihak.” “Jika terus seperti ini, kita mungkin benar-benar akan bankrut, Tuan.” Semua pesan itu juga masuk ke dalam ponsel Laras yang berada di dalam grup. Gadis itu tidak menyangka jika kehancuran Adimas akan datang secepat ini. Bisnis perusahaannya yang semula berdiri tegak seolah berhasil dihempaskan dalam waktu beberapa menit. Dan Laras turut menjadi penyebab di dalamnya.Wanita itu melirik ke arah Adimas dengan cemas sekaligus takut. Adimas tampak sedikit kewalahan. Dalam hati, Laras benar-benar merasa bersalah terhadap pria itu. Ponsel Adimas jauh lebih ramai. Tidak hanya pesan, panggilan telepon terus berdatangan dari banyak pihak. Mulai dari kolega yang bekerja sama hingga kerabat. Bahkan
“Aku akan memberimu satu kesempatan lagi.” Suara Malvin terdengar di telinga. Selang semenit setelah panggilan telepon Laras diputus sepihak, pria itu kembali menghubunginya. Pikiran Laras yang sudah kusut berantakan seketika mengernyit mendengarnya. “Apa …?” “Aku memiliki dua misi untukmu. Buktikan jika kamu memang benar tidak mengkhianatiku!” sergah Malvin. Laras terdiam sesaat. Tampak menimbang-nimbang. Setelah melihat tatapan Adimas tadi, Laras menjadi ketakutan untuk kembali berulah di sekitar pria itu. Namun, ia sangat membutuhkan kepercayaan Malvin demi kesembuhan sang ibu. “Apa yang harus aku lakukan, Tuan?” tanya wanita itu dengan nada lirih. “Aku akan menculik Karina. Tugasmu adalah memastikan Adimas tidak mengetahuinya. Jika bisa, tahan dia untuk tetap di kantor!” titah Malvin. Mata Laras membelalak. Nyaris tidak percaya dengan ide Malvin. Ia menelan saliva dengan gugup dan menoleh ke arah Adimas yang kini tengah sibuk menjawab pertanyaan reporter satu per satu. Pr
“Aku benar-benar bodoh,” gumam Malvin. Pria itu telah berada di sebuah tempat yang mirip dengan semi-pelabuhan di mana terdapat banyak kontainer di sekitarnya. Di kanan kiri pria itu terdapat beberapa anak buah yang berkeliaran, sementara di hadapannya, tampak Karina yang sudah diikat pada sebuah kursi. Beberapa saat lalu, Malvin masih merasa kesal dan geram karena kegagalannya. Beruntung, anak buahnya cukup cekatan hingga berhasil menangkap Karina secepat ini. Kini sebuah seringai puas kembali terbit di wajahnya. “Sejak awal, aku berfokus untuk menghancurkan bisnis Adimas. Padahal, aku bisa langsung menghancurkan hidup pria itu hingga ke akarnya dengan menghabisimu,” ucap Malvin. Karina tidak menjawab. Lebih tepatnya, dia tidak bisa menjawab karena mulutnya disumpal oleh sebuah kain putih. Kedua tangannya terikat ke belakang. Karina tidak bisa berbuat apa-apa. Malvin berjalan maju dan mengangkat dagu wanita itu. Membuat Karina mendongak menatap ke arah Malvin. “Apakah kau mas
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki