“Karina Yang Tersayang, Bagaimana kondisimu? Jika suatu saat kamu membaca surat ini, itu berarti aku tidak lagi berada di sisimu. Aku tidak pernah menulis sebuah surat sebelumnya, tapi aku tidak tahu dengan cara apalagi aku akan memberitahumu. Mengenal dan menikah denganmu adalah hal terbaik yang datang dalam hidupku. Aku tidak pernah menyesali pernikahan kita. Kamu mengajarkan banyak hal untukku, bahkan aku tidak menyangka jika aku bisa jatuh cinta sedalam ini kepada seseorang. Dan, itu adalah kepadamu, Karina. Kamu tidak akan bisa membayangkan betapa bahagia aku tiap melihatmu. Betapa besar cintaku hingga rasanya sesak saat menulis surat ini. Kamu dan Mark adalah alasan aku selalu tersenyum di pagi hari, sepanjang bekerja, dan setiap malam. Aku selalu berharap diberikan umur panjang. Supaya aku bisa menua bersamamu. Melihat rambutmu menjadi putih. Menyaksikan anak-anak kita tumbuh besar. Tapi, ternyata hidup tidak selalu berjalan seperti yang aku inginkan. Maaf karena membuatmu
Mata Karina semakin sembab karena menangis sepanjang malam. Ia tidak kunjung bisa tertidur dan hanya terus menangis di atas ranjangnya yang dingin.Kini kelopak matanya terasa berat sekadar untuk melihat. Karina tidak bisa tampil seperti ini di hadapan para investor saham. Pada akhirnya, ia mengambil sebuah kacamata dari kamar ganti mereka. Sebuah senyum pahit kembali terbit pada bibir Karina saat menatap kacamata hitam itu. Ada cerita di balik benda tersebut.Saat Karina tengah mengandung, dia pernah pergi berbelanja bersama Adimas dan Adimas bersikeras membelikan kacamata hitam itu untuk Karina meski Karina menolaknya. Wanita itu tidak percaya jika ia benar-benar akan menggunakannya suatu saat nanti. Mata Karina mulai berkaca-kaca kali ini wanita itu menghapusnya sebelum sempat terjatuh. Ia harus tampil tangguh hari ini. Karina bergegas menuju pintu depan dan hendak menghampiri sopirnya saat ia menemukan dua orang pria yang sudah menuggu. “Selamat pagi, Nyonya.” Seorang pria me
Juna nyaris tidak percaya saat melihat wajah Adimas terpampang di berita. Pada awalnya, pria itu mengira berita itu menampilkan kesuksesan Adimas, tetapi rupanya justru memberitakan kasus hilangnya pria itu setelah insiden baku tembak. Ia langsung menghubungi Karina, tetapi wanita itu tidak menjawabnya. Kini, setelah pulang dari negara seberang, Juna langsung meluncur untuk menemui Karina. “Kamu baik-baik saja? Aku ingin langsung mendatangimu saat mendengar berita itu, tetapi baru bisa melakukannya sekarang,” ucap Juna saat keduanya berdiri berhadapan. Benak Juna seakan tersayat oleh besi panas saat melihat kondisi Karina. Wanita itu terlihat seperti orang yang telah sakit selama berhari-hari. Wajahnya terlihat lesu dengan mata yang sembab. Bahunya pun tampak ringkih. Namun, Karina berusaha mengukir senyum di wajahnya, kemudian mengangguk meski semua orang tahu wanita itu tidak baik-baik saja. Keduanya kini duduk di sebuah kursi yang berada di sisi koridor. “Apakah ... kamu sud
Karina benar-benar terselamatkan berkat kehadiran sang ayah. Pada awalnya, para pemegang saham itu tampak hendak menolak ide Karina. Namun, setelah melihat keputusan yang dibuat oleh Markus, mereka terdiam. Markus memang telah memiliki latar belakang dalam bidang tersebut. Tidak heran jika keputusan dan penyelesaian masalahnya cukup jitu hingga membuat mereka tidak bisa membantah. Bahkan Karina merasa takjub oleh kemampuan pria itu. Selama ini, Karina memandang Markus sebagai sosok ayah yang mengerikan. Dalam ingatannya, Marku selalu berbuat kasar kepadanya saat Karina tinggal di kediaman Covey. Namun, saat itu berkaitan dengan bisnis, Markus bersikap sangat profesional. Tidak hanya tampak gagah dalam balutan jas, tetapi Markus benar-benar berhasil menunjukkan kredibilitasnya sebagai pebisnis veteran. “Terima kasih. Ayah benar-benar terlihat hebat,” ucap Karina setelah rapat berakhir. Kini, hanya ada keduanya di dalam ruang rapat luas itu. Wajah Karina terlihat cerah dan lega.
Pada awalnya, Erwin hanya berniat mengambil peralatan di gudang kabin belakang. Namun, pria itu justru dikejutkan oleh keberadaan orang tak dikenal. Bahkan, pria itu sampai jatuh tersungkur saat tiba-tiba sosok itu bergerak dan duduk. Wajah dan penampilannya compang-camping, persis seperti zombie. “Siapa kau?! Mengapa kau bisa berada di sini?” sergah pria itu dengan wajah waspada bercampur ketakutan. Adimas mengabaikan seruannya. Dia memperhatikan area sekitarnya. Dia masih dikelilingi kumpulan kontainer warna merah tua dan biru, persis seperti yang dia ingat. Namun, kini hanya ada laut biru di sekitarnya.“Di mana aku? Akh ….” Dia memegangi kepalanya yang terasa berat dan pening. Tidak hanya itu, sisi badan daerah kirinya pun terasa nyeri dan perih. “Kau—kau terluka!” Erwin kembali berseru. Wajahnya terlihat ngeri dan tangannya menunjuk-nunjuk pada noda darah di kemeja putih kecokelatan Adimas, menembus pada jas hitam pria itu juga. Tidak heran Adimas merasakan perih di sisi tubu
“Maksud Anda, penyelidikan akan dihentikan?” Ilona bertanya. Dia memandang tidak percaya pada dua orang petugas yang baru saja datang ke rumahnya. Hari masih pagi saat satpam berkata mereka kedatangan tamu yang tidak lain adalah petugas yang bertanggung jawab terhadap pencarian Adimas. Pada awalnya, Ilona mengharapkan kabar baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Belum sempat polisi itu menjawab, Karina sudah datang dan bergabung. Ia berjalan mendekat sembari menggendong Mark. “Ada apa? Apakah sudah ada kabar terbaru?” tanya wanita itu dengan penuh harap. Petugas itu sedikit menunduk seakan merasa bersalah. Ia terlihat ragu untuk mengatakannya. Ia menggelengkan kepala. “Tidak,” jawabnya, “Kami datang untuk memberitahu bahwa sesuai dengan ketentuan, jika seorang korban tidak dapat ditemukan selama lima hari, maka penyelidikan akan dihentikan dan korban akan dianggap ... tiada.” Hati Karina seakan mencelos mendengarnya. Napasnya tiba-tiba terasa berat. Ia berharap kabar bai
Saat membuka matanya, Jade menemukan dirinya tidak lagi berada di luar, melainkan terjebak dalam sebuah ruangan putih dengan aroma khas. Area kakinya terasa greges, didera oleh rasa letih setelah berjalan selama berhari-hari. Dan punggung tangannya terasa perih seakan disusupi jarum panas. Samar-samar, dia bisa melihat seorang wanita yang membungkuk di dekatnya. “Siapa … kau? Di mana aku?” tanya Jade dengan suara lirih. “Anda dirawat di rumah sakit setelah pingsan di jalan, Tuan,” jawab wanita yang berpakaian suster itu. Alis Jade mengernyit heran. “…. siapa yang membawaku kemari?” tanyanya sembari beranjak duduk. “Seorang wanita yang katanya mengenalmu,” jawab perawat itu. Alisnya mengernyit semakin dalam. Dia merasa sudah pergi sejauh mungkin. Ke tempat yang bahkan ia sendiri tidak ketahui. Bagaimana bisa ada seseorang yang justru mengenalnya? “…. siapa?” Jade memandang sekeliling. “Dia tidak ada di sini.” “Dia langsung pergi setelah Anda mendapatkan perawatan,” ujarnya
Tenggorokan Bella seakan tersumbat saat mendengar jawaban Jade. Dia berkedip canggung. “Apa? Berada dalam bahaya?” Jade mengangguk. Wajahnya masih terlihat pucat, tetapi tatapannya terlihat serius dan meyakinkan. “Perusahaan Adimas itu benar-benar besar. Bahkan, menjadi lebih besar setelah menjalin kerja sama dengan Maddison Group. Sekarang, Adimas menghilang. Mereka akan menggunakan celah ini untuk menargetkan Karina sebagai istri Adimas,” ucapnya. Sesaat, tubuh Bella nyaris terguncang mendengar jawaban itu. Selama ini, dia selalu merudung Karina dan merasa bersalah setiap mengingat seluruh kesalahannya di masa lalu. Ia kira Karina selalu hidup dalam keadaan berkecukupan. Ia tidak tahu jika rupanya sang kakak mengalami keadaan sulit juga. “Gawat,” ucap Bella dengan risau, “Aku tidak tahu kalau keadaannya sangat genting. Tapi …, jika keadaannya seperti itu, mengapa kau justru berada di sini?” Bella terlihat penasaran. Jade terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertany
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki