Itu kali pertama Jade menaiki sepeda motor lagi setelah bertahun-tahun. Rasanya benar-benar aneh karena biasa melihat Bella yang selalu diantar ke mana-mana oleh sopir. Kini, justru wanita itu yang menyopirinya di depan sepeda motor. Memang terhitung sudah hampir dua tahun keduanya tidak bertemu. Adimas pun jarang memintanya untuk mengecek kabar Bella. Kini, Jade benar-benar terkejut dengan perubahan wanita itu. Jade tambah terperanjat kaget saat sepeda motor mereka memasukia area padat penduduk dan berhenti di depan sebuah indekos yang terlihat sangat sederhana. Mesin motor telah dimatikan, tetapi Jade tidak kunjung turun. “Kau tidak akan turun?” tanya Bella, merasa heran. Pria itu berkedip dua kali dengan canggung, kemudian beranjak turun dari sepeda motor itu. Sementara Bella memarkir motornya, Jade mengamati pemandangan sekitar. Ia merasa … asing. Pemukiman itu cukup padat penduduk dan terlihat anak-anak yang ramai berlalu-lalang. Jade benar-benar merasa asing dengan lingkun
Bella sedikit tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Kecoa? Ia mengikuti arah tunjuk Jade dan menemukan serangga kecil berwarna cokelat di sana. Sekali lagi, Bella menoleh ke arah Jade. Mencoba menilik Jade yang sepenuhnya baik-baik saja.Dengan sigap, Bella meraih gayung. Dia menuang air sabun ke dalamnya. Jade memandang dengan sorot horor saat Bella melakukan teknik untuk membalikkan tubuh kecoa itu, kemudian mengguyurnya dengan air sabun tanpa ampun. Kaki-kaki kecil kecoa itu bergerak cepat seakan meronta, semakin lama makin lemah hingga berhenti seolah membeku. “Sudah selesai. Kau bisa turun,” ucap Bella seraya mengembalikan gayung tersebut. Jade menelan saliva, kemudian beranjak turun perlahan. Dia berdeham satu kali. “Terima kasih,” ucapnya dengan suara berat. Jelas pria itu merasa malu karena salah satu kelemahannya baru saja diketahui Bella, tetapi Jade tidak memedulikannya. Ia fokus menetralisir jantungnya yang masih berdegup cepat. Bella meniti penampilan Jade yan
“Untuk malam ini, lebih baik kau menginap, kemudian kita akan kembali besok pagi,” ucap Bella. Kini, Jade telah membersihkan diri, begitu pula Bella yang sudah mengganti pakaiannya dengan piyama. Meski Jade sangat ingin kembali ke kota mereka, tetapi tidak mungkin melakukannya malam-malam. Terlebih, saat pria itu dalam kondisi belum sepenuhnya pulih.Jade akhirnya mengangguk setuju. Akan tetapi, detik berikutnya, justru Bella yang menatap kosong seakan bingung. “Ada apa?” tanya Jade. “Aku lupa jika aku hanya memiliki satu kasur lipat.” Bella menjawab seraya melirik ke arah sudut. Di sana, tepatnya di atas meja, terlihat tumpukan kasur lantai dan selimut yang ditata rapi. lengkap dengan dua buah bantal. Rahang Jade seakan jatuh seketika. Tidak hanya rahangnya, tetapi ekspektasi Jade pun seakan runtuh. Sejak tadi, dia memang tidak melihat ranjang apa pun di dalam indekos itu. Namun, ia sama sekali tidak curiga. Kini, ia terhenyak oleh fakta bahwa dia akan tidur di atas kasur lant
Jade berniat mengangkat kaus yang melekat di tubuhnya itu. Ia sangat tergoda untuk tidur bertelanjang dada. Namun, begitu ia menariknya, Bella langsung mengambil ancang-ancang. “Aku akan mengusirmu keluar jika berani melakukannya,” ancam wanita itu. Sorot matanya terlihat waspada. Andai tubuh Jade sedang dalam performa yang bagus, dia pasti akan menang melawan Bella. Namun, kini pergerakkannya pun tidak bisa bebas. Pada akhirnya, Jade kembali menurunkan kausnya daripada harus tidur di luar. “Baiklah, aku tidak melakukannya!” jawab Jade, setengah tidak terima. Pada akhirnya, keduanya kembali berbaring di tempat masing-masing. Saling memunggungi. Suasana yang semula hening kini selalu dihiasi oleh bunyi dari kipas yang berputar. Tek tek tek tek tek Jade harus menutupi telinganya dengan bantal agar bisa melepaskan diri dari bunyi itu. Ia sama sekali tidak bisa tidur dengan keributan seperti itu. Sementara Bella tampak tenang. Ia sangat anteng seperti seseorang yang tengah bermedit
Firasat buruk Karina seakan terjawab saat Markus datang dan memberitahu kabar buruk itu. Masalah kembali datang dan Karina bertanya-tanya apakah Adimas biasa menghadapi kesulitan semacam ini. Kesulitan yang membuat kepala Karina terasa pening setiap memikirkannya. "Apakah Ayah tahu siapa orangnya?" Wanita itu bertanya. Perusahaan Adimas adalah perusahaan besar. Jelas tidak mudah untuk merebutnya begitu saja. Markus menggeleng, tetapi Karina mendapat kesan sesuatu disembunyikan di sana. "Aku tidak yakin, tetapi sepertinya salah satu dari para pemegang saham," jawab pria itu. Sejujurnya, Markus belum pernah menghadapi masalah seperti ini sebelumnya. Namun, pria itu bisa langsung menyadari dan mendapatkan firasat itu. Firasat bahwa seseorang tengah mengincarnya dan berniat melengserkan Markus yang sekarang masih menjabat sebagai CEO sementara. Dia baru akan diresmikan dua hari lagi. Bukannya merasa tenang, Markus justru semakin resah dengan adanya firasat ini. "Pemegang saham u
“Papa Mama …. Papa Mama!” Mark mengoceh sembari berlari ke sana kemari. Meski kaki mungilnya terlihat belum sepenuhnya kokoh dan seimbang, tetapi Mark yang usianya lebih dari satu tahun itu tidak menyerah. “Pakai celana dulu, Mark.” Karina memanggil dan berusaha mengejar. Batita itu terkekeh dan berlari lebih jauh. “Papa Mama!” Dia kembali bergumam. Mengucapkan dua kata yang berhasil dipelajarinya dengan sempurna. Karina tersenyum. Mark memang telah berhasil mempelajari dua kata tersebut. Belakangan ini, bahkan bocah itu lebih sering memanggil nama sang Papa. Seakan Mark turut merasakan kerinduan akan kehadiran pria itu. Tiba-tiba pikiran Karina kembali melayang pada masalah yang belum berhasil ia selesaikan. Perusahaan yang selama ini telah dibangun Adimas kini terancam direbut oleh seseorang yang lebih berpengaruh dan kuat. Seperti rumah yang dimasuki pencuri, Karina harus maju dan menghadapinya. Namun, bagaimana caranya? “Papa Mama!” Wanita itu terlonjak kaget saat sebuah
“Apa!?” Jade terperangah kaget. Pria itu terlihat tidak percaya dengan nama yang baru Karina sebutkan. “Markus yang melakukannya?!” Suasana di ruang tamu megah itu seketika menjadi hening. Ekspresi Bella ikut terhenyak. “Maksud Kakak ... Ayah?” tanyanya. Rasanya sudah sangat lama ia tidak mendengar nama itu disebutkan. Terlebih, mengingat Karina dan Markus yang tidak pernah akur, rasanya aneh mendengar Karine menyebutkan nama itu. Namun, Karina mengangguk. Tidak terlihat keraguan di wajahnya. “Mas Adimas melimpahkan kepemimpinannya kepadaku, tapi aku tidak mampu. Jadi aku meminta bantuan Ayah,” tutur Karina. “Dirga tidak bisa menolong karena sibuk dengan perusahaannya. Tapi, Markus benar-benar kompeten dan bisa diandalkan.” Ilona menambahkan. Semakin meyakinkan Jade dan Bella. Meski demikian, Bella sedikit merenung. Ia memang mengasingkan diri dari semua orang setelah menyadari kesalahannya. Ia tidak menyangka jika semuanya sudah berubah drastis. Karina dan Markus yang awalnya
Prang Bahu Karina terlonjak kaget saat tanpa sengaja gelas di tangannya meluncur jatuh. Kini, pecahan beling berserakan di sekitar kaki wanita itu. “Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?” Seorang pelayan cepat-cepat menghampiri Karina. Wanita itu terlihat masih tenggelam dalam lamunanya. Ia berkedip satu kali, dan melihat hasil perbuatannya. “Maaf,” ucapnya, kemudian berjongkok untuk membereskannya. “Biar saya saja yang melakukannya, Nyonya,” ucap pelayan itu, “Nyonya berhati-hatilah.” Karina mengangguk. Sekali lagi, dia menatap pada pecahan beling di sekitarnya. Entah mengapa, jantungnya mulai berdebar dengan resah, dan satu sosok langsung terbesit dalam pikirannya. Adimas …. Apakah terjadi sesuatu pada pria itu? “Anda tidak berangkat, Nyonya?” Pertanyaan pelayan itu membuyarkan lamunan Karina. Karina mengangguk. “Terima kasih sudah membantuku,” katanya. Ini adalah hari yang penting. Wanita itu langsung bersiap-siap mengenakan setelan kemeja dan jasnya.******“Kau membawa M
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki