“Matari, jangan lama-lama!” seru Eyang Putri keras dari lantai bawah.
“Makasih ya, Lis,” kata Matari.
“Sama-sama. Semoga cepet kelar masalahnya. Baru tahu gue Davi ngambekan. Hahahah, ya udah sana!” sahut Lisa kemudian menutup telepon.
Matari mengambil salah satu LKSnya dengan asal-asalan dari dalam kamarnya, kemudian turun ke bawah dengan cepat.
“Yang, aku mau fotokopi di sebelah dulu, bentar ya!” seru Matari dan berjalan ke arah pintu.
“Oke, ada uangnya nggak?” tanya Eyang Putri sambil melipat koran yang sedang dibacanya.
Matari mendapat ide. Meskipun licik, tambahan uang fotokopi dari Eyang bisa membantunya untuk menambah biaya ongkos menelepon Davi di wartel (warung telepon*
Namun, sampai hari Senin menjelang ekskul tambahan untuk panahan, Matari tidak melihat Davi. Entah karena dia menghindar, tapi Matari sama sekali tidak melihat anak laki-laki itu di manapun. Matari pun akhirnya tetap berkonsentrasi pada kegiatan memanahnya.“Cowok lo tuh!” bisik Echa pada Matari.Matari menoleh pada arah yang ditunjuk Echa. Tampak Davi duduk di tepi gedung serbaguna. Tampak mematung dalam diam sambil mendengarkan lagu dariheadset-nya. Davi tampak berusaha tetap memegang ucapannya untuk menemani Matari selesai pulang ekskul. Rasa hangat menjalar di hati Matari. Ingin rasanya buru-buru ke sana dan mengobrol dengannya.“Yah, oke. Saya rasa cukup untuk hari ini. Memang ini masih bulan September, tapi hari akan cepat berlalu dan nggak akan terasa tiba-tiba bulan Maret 2002 datang. Lomba kejuaraan tingkat DKI akan dibuka. Saya akan kirim 3 orang kali ini. Matari, Echa dan Lilo. Lilo
Sandra memang menyukai ekskul Pramuka melebihi apapun. Pokoknya bertualang dengan alam adalah favoritnya. Itulah kenapa dia sangat suka pada Lia. Lia memiliki kakak laki-laki yang bernama Bram yang aktif di kegiatan pecinta alam di kampusnya. Meskipun bandel, Bram sangat suka membagi pengalaman-pengalamannya saat naik gunung. Hampir separuh gunung di Indonesia telah didakinya selama bertahun-tahun ini. Makanya di SMP nya yang dulu, Sandra tergabung dengan ekskul Pramuka, karena untuk tingkat SMP masih belum ada ekskul pecinta alam. Saat ini pun, ketika dia pindah ke sekolah Matari, Sandra memilih ekskul pramuka dan langsung tergabung menjadi senior pengampu karena keberanian dan ketangkasannya.Sebagai senior, Sandra telah dipilih mewakili SMP untuk mengikuti perlombaan pramuka antar SMP se-DKI Jakarta serta mengikuti Jambore Nasional nantinya. Ketertarikannya pada aktivitasoutdoormembuatnya se
“Ciyeee, yang udah satu bulan jadian, makin mesra aja!” tandas Lisa saat melihat Matari dan Davi saling pukul-pukulan dan meledek satu sama lain di kantin.“Hehehehe, jadiiiii, kapan mulai ngapelin? Udah satu bulan loh!” ledek Abdi sambil membawa mangkok soto ayamnya yang penuh dengan nasi.“Gila lo, Di! Masih pagi udah makan segitu banyak?” tanya Thea saat melihat mangkok soto ayam milik Abdi.“Gue nggak sarapan, terus tadi ulangan IPS Sejarah. Laperrrr gue!” jawab Abdi sambil memberikan sambal banyak-banyak pada mangkok soto ayamnya.“Eh bocoran soal dong, gue masih besok!” kata Matari. “Lo kapan San?”Sandra mengangkat bahu. “Harusnya kemarin, tapi Bu Anita datang kesiangan, ada masalah sama kereta atau gimana gitu, nggak ngerti gue. Jadi masih minggu depan. Heheheh, iya dong, bocoran dong!&rdq
“Matari!!! Sandra!” seru Pak Narto, wali kelas Matari di kelas 2 A.“Bentar, Pak, kita parkir sepeda dulu,” sahut Sandra setengah berteriak.Dengan buru-buru, Matari dan Sandra segera mendekati Pak Narto.“Hari ini, ada dua anak baru. Agak telat masuk memang, namun keduanya berbarengan masuk pindah ke sekolah kita. Salah satunya, yang perempuan, namanya Narita, dari Kediri. Kemudian yang kedua, laki-laki, namanya Rio, pindahan dari Bandung. Narita akan masuk ke kelas Matari dan Rio akan masuk ke kelas Sandra. Masing-masing dari kalian harap menemani mereka masuk kelas ya,” kata Pak Narto. “Mereka berdua sepertinya sudah datang dan menunggu di depan ruang kepala sekolah. Harap ditemani. Nanti perkenalan resmi akan dilakukan oleh masing-masing guru jam pelajaran pertama kalian. Oke?”Matari dan Sandra pun mengiyakan permintaan Pak Nart
Beberapa hari kemudian, saat Matari harus latihan untuk kejuaraan memanah di hari Jumat, Matari menyadari bahwa Davi telah tiba di sekolah terlebih dahulu dibanding dirinya sore itu. Kejuaraan dadakan sepakbola akan dimainkan oleh tim sepakbola cadangan, bukan tim inti, mengingat tim inti harus bermain untuk kejuaraan yang lebih besar, kejuaraan sepakbola tingkat SMP Se-Jabodetabek. Matari menikmati memperhatikan Davi dari pinggir lapangan saat Rocky mendekat.“Belum masuk?” tanya Rocky.Matari tersenyum tipis. Sejak informasi Lisa tempo hari, membuat Matari berusaha susah payah bersikap biasa saja, meskipun terasa susah terhadap Rocky. Di samping Rocky tampak Ricko berdiri mematung sambil mendengarkanwalkm*nmiliknya sendiri.“Kalian sendiri?” balas Matari.“Ekskul teater lagi libur. Sebagai gantinya kita harus hapalin naskah buat pementasan na
Bagi Matari, mendapatkan teman perempuan baru di kelas 2 A ini adalah hal yang menyenangkan. Paling tidak, kelas yang tadinya jumlah perempuannya ganjil menjadi genap. Dan paling enggak, Matari jadi punya teman satu kelas perempuan yang bisa diajak berpasangan jika pelajaran olahraga. Biasanya, sebelum kedatangan Narita, Matari akan berpasangan dengan Ibu Fitria, guru olahraga di kelas dua yang kebetulan perempuan juga. Berpapasan dengan Ibu Fitria selalu terasa canggung, karena selain galak, beliau juga terlalu perfeksionis dalam hal gerakan olahraga tertentu. Jika Matari tidak sesuai, dia akan disindir-sindir sepanjang sisa kelas olahraga.“Jadi, lo nggak punyasneakers?” tanya Matari suatu hari saat menyadari Narita tampak mengikuti pelajaran olahraga hanya dengan sepatu flat biasa berwarna hitam, warna wajib sepatu di sekolah mereka.“Beneran nggak ada kalo warna hitam. Makanya gue sementara pakai
“Apaan sih, Lis?” tanya Matari kesal saat dengan sedikit kasar, Lisa menariknya ke kamar mandi murid perempuan bersama Thea. “Lo juga, ketua Osis, masa diem aja ada murid diginin?”“Sorry,gue nggak ikutan, hahahah!” kata Thea sambil tertawa.“Sini, ini rahasia. Gue nyolong dan toloooong banget yaaaa, disimpen baik-baik, karena gue udah berbaik hati nyolongin buat lo,” kata Lisa sambil merogoh saku seragam SMP-nya.Matari tampak bingung, kemudian Lisa menyerahkan sesuatu di tangan Matari. Matari menatap foto berukuran 3 x 4 itu. Ternyata itu adalah foto Davi.“Kan anak-anak ekskul sepakbola disuruh ngumpulin pas foto 3 x 4 buat pendaftaran kejuaraan, nah pas mereka tadi ngisi formular, gue iseng diem-diem colongin satu foto Davi buat lo. Gimana? Seneng nggak?” tanya Lisa.“Ya ampun. Nanti kalau
Matari menatap Davi yang masih bermain di lapangan sepakbola. Saat itu semburat senja mulai terlihat, jam telah menunjukkan pukul 5 lewat, namun Davi tampaknya tak ada tanda-tanda akan selesai. “Ri, aku kayanya masih lama deh. Kamu pulang duluan aja, gimana?” tanya Davi saat istirahat lima menit diinstruksikan oleh Pak Halim, guru olahraga yang melatih mereka hari itu. “Oh, gitu, ya udah pas banget. Aku capek. Pengen buru-buru mandi terus rebahan,” jawab Matari kemudian beranjak dari tempatnya duduk sejak tadi. “Iya, dua bulan lagi ada kejuaraan ya? Ya udah kamu pulang duluan aja ya,” kata Davi sambil mengelus rambut Matari dengan lembut. Meskipun mereka sudah berpacaran, sentuhan-sentuhan lembut Davi selalu berhasil membuat Matari berdegup kencang. Tidak terlalu berlebihan namun cukup membuatnya berbunga-bunga. “Ya udah, aku balik dulu y
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di