“Apaan sih, Lis?” tanya Matari kesal saat dengan sedikit kasar, Lisa menariknya ke kamar mandi murid perempuan bersama Thea. “Lo juga, ketua Osis, masa diem aja ada murid diginin?”
“Sorry, gue nggak ikutan, hahahah!” kata Thea sambil tertawa.
“Sini, ini rahasia. Gue nyolong dan toloooong banget yaaaa, disimpen baik-baik, karena gue udah berbaik hati nyolongin buat lo,” kata Lisa sambil merogoh saku seragam SMP-nya.
Matari tampak bingung, kemudian Lisa menyerahkan sesuatu di tangan Matari. Matari menatap foto berukuran 3 x 4 itu. Ternyata itu adalah foto Davi.
“Kan anak-anak ekskul sepakbola disuruh ngumpulin pas foto 3 x 4 buat pendaftaran kejuaraan, nah pas mereka tadi ngisi formular, gue iseng diem-diem colongin satu foto Davi buat lo. Gimana? Seneng nggak?” tanya Lisa.
“Ya ampun. Nanti kalau
Matari menatap Davi yang masih bermain di lapangan sepakbola. Saat itu semburat senja mulai terlihat, jam telah menunjukkan pukul 5 lewat, namun Davi tampaknya tak ada tanda-tanda akan selesai. “Ri, aku kayanya masih lama deh. Kamu pulang duluan aja, gimana?” tanya Davi saat istirahat lima menit diinstruksikan oleh Pak Halim, guru olahraga yang melatih mereka hari itu. “Oh, gitu, ya udah pas banget. Aku capek. Pengen buru-buru mandi terus rebahan,” jawab Matari kemudian beranjak dari tempatnya duduk sejak tadi. “Iya, dua bulan lagi ada kejuaraan ya? Ya udah kamu pulang duluan aja ya,” kata Davi sambil mengelus rambut Matari dengan lembut. Meskipun mereka sudah berpacaran, sentuhan-sentuhan lembut Davi selalu berhasil membuat Matari berdegup kencang. Tidak terlalu berlebihan namun cukup membuatnya berbunga-bunga. “Ya udah, aku balik dulu y
“GILAAAA! Keren keren!” seru Thea saat melihat tindikan di telinga kiri Lisa sedikit di bagian atas.“Sssst, pelan-pelan dong! Jangan sampai ketahuan guru, bisa disidang Bu Euis nanti!” sahut Lisa. “Lo jangan ngomong apa-apa sama Tante lo ya, Nar!”“Enggak! Ngapain juga gue ngomong sama dia!” tandas Narita, sedikit tersinggung dengan tuduhan Lisa.“Eh santai, Nar! Nggak usah emosi,” kata Thea menengahi.“Tindik sendirian atau gimana?” tanya Matari penasaran.“Make Up Artist (MUA)gue yang ngelakuin. Dia punya alatnya, cuma karena pas ada nyokap, doi minta disterilin dulu kemarin. Bagus nggak?” timpal Lisa.“Bagus bagus aja sih. Lo kan cakep. Tapi nyokap lo asyik juga ngebolehin, kalo nyokap gue, pasti udah marah-marah!” sahut Thea.“Hehehe. Kalo kalian mau, gu
Matari menolak ajakan sahabat-sahabatnya untuk ke kantin. Melihat Matari tidak pergi ke kantin, akhirnya Narita memutuskan untuk menemani Matari di kelas. Saat itu, Narita baru menyadari bahwa gadis itu tampak lesu.“Lo kenapa?” tanya Narita.“Nggak papa. Lo beneran nggak ke kantin? Kalau mau jajan, susulin mereka aja!”“Enggak ah. Gue nemenin lo aja.”“Mmm, nggak ke Bu Euis?”“Nggak, males. Kalo boleh jujur, di sana tuh berantakan banget data siswa sekolah kita dari zaman baheula. Dari yang bermasalah, berprestasi, sampai yang keterima ke sekolah favorit tanpa tes, terus yang rangking 1-10, belum yang keluarganya bermasalah, hadeeeehhhh…! Pusing kepala gue di sana!”“Wah, jadi lo tahu semua rahasia anak-anak sini dong?!”“Yaaaah, gitu deh. Oh iya, gara-gara itu, gue juga baru tahu kalau ny
Matari berjalan pelan menuju ke sepedanya. Biasanya, Davi akan menunggunya di dekat lorong yang menghubungkan dengan parkiran, namun, hari itu, Matari tak melihatnya sama sekali di sana. Matari sejujurnya merasa bingung, sebenarnya masalah bermula memang karena Ayahnya, kemudian setelah Davi berkata seperti itu, dia sendiri juga yang pertama menutup telepon.“Ri! Mau pulang?” tanya Gilang yang tiba-tiba datang menghampiri.“Iya. Kenapa, Lang?” sahut Matari.“Lagu udah dapet nih. Lo sama Narita jangan lupa buat latihan nyanyiin kalo pas di rumah ya.”“Lo udah ngomong sama Narita?”“Belum. Kan sebenernya, gue maunya elo yang nyanyi.”“Oke. Nanti gue bilangin sama Narita sekalian. Jadi apa nih lagunya sekarang?”“Gue belum sempet rekamin buat kalian ya. Lagi bokek gue, jadi nggak bisa beli kaset kos
“Ri, semangat banget lo latihan! Hati-hati bahu lo!” kata Kak Uya, senior kelas 3 yang tahun lalu berhasil meraih juara 2 kejurnas memanah.Matari hanya melirik sejenak dan tampak tak peduli dan terus menerus berlatih memanah.“Abis putus cinta kak, biarin aja!” sanggah Echa sambil terkekeh.“Drawing*) dia udah mulai nggak konstan tuh, kayanya dia harus istirahat deh,” ujar Kak Uya.Belum sempat Echa memastikan, pekikan terdengar. Matari terduduk dan memegang tangannya. Darah segar mengalir dari sana.“Tuh kan apa gue bilang, Cha! Panggilin Pak Adnan, cepet!!!!” seru Kak Uya sambil menghampiri Matari.“Ri, lo nggak papa?” tanya Kak Uya lagi.Matari meringis. Tali busur panah miliknya terkena noda-noda darah. Tali itu melukainya tanpa sadar. Pak Adnan yang sedang fokus pada Janna, segera mengh
Flashback ke beberapa hari sebelumnya.... Sandra meletakkan beberapa kaset berbagai macam jenis lagu rock di salah satu sisi meja belajar, yang saat ini sudah digeser, agar Matari bisa dengan mudah mengambil apapun di sana. Ini sudah hari ketiga sejak Matari cidera. Dan dia masih diizinkan untuk absen dari sekolah hingga seminggu sesuai anjuran dokter. Selain sahabat-sahabatnya, beberapa teman satu kelas sebagai perwakilan telah bergantian menjenguk. Bahkan anak-anak satu ekskul panahan. Pihak sekolah telah bertanggung jawab dengan membiayai seluruh biaya pengobatan Matari dan juga memberikan tugas kepada guru yang mengampu Matari agar mencatatkan pelajaran dan juga tugas-tugas selama dia tidak masuk. Pak “Lo yakin mau dengerin musik ginian?” tanya Sandra. “Ini keras banget lho.” Matari mengangguk dengan yakin sambil memakan buah apelnya dengan sa
Februari 2002, 2 minggu sebelum Pentas Bulan Bahasa“Jadi kita audisi urutan ke 12 ya?” tanya Lisa pada Gilang. “Lo yakin?”“Yakin. Sesuai apa yang diminta panitia, kalau misal lolos, kita harus siap 1 lagu lagi. Gue udah mikir kayanya lagunyaDon’t Stop Believing-nya the Journey. Cuma kalau lolos sih. Lo tahu lagunya kan, Ri?” sahut Gilang.“Tahu, dong! Gile lo, bagus tuh lagunya!” seru Matari.“Lo tuh yang gileee, sekarang banting stir hapal lagu-lagu rock, terutama lagu-lagurocklama, lo kesambet setan pengikut setia lagurockya? Hahahaha!” ledek Gilang.“Jangan gitu dong, itu lagu-lagu ngebantu Matari buat bangkit dari patah hatinya. Lo nggak bisa bayangin, November sampai Desember tahun lalu itu, berat banget buat dia?&rdq
Bulan Maret 2002, menjelang Kejurnas Memanah“Ri, lo yakin?” ulang Thea lagi.Matari mengangguk. “Nanya terus.”“Gue yang nggak yakin, lo beneran nerima Rocky?” tanya Thea.Matari mengangguk.“Lo gila ya? Bukannya lo masih suka sama Davi?” tanya Thea lagi.Lisa menarik napas. Kemudian menatap Sandra. Sandra cuma angkat bahu.“Ya kali kalau gue jalan sama orang lain, gue bisa lupain Davi. Ya nggak?” sahut Matari enteng.“Tapi kan lo nggak suka sama Rocky?” sanggah Thea lagi. “Ri,are you stupid now? Lo nggak kasihan sama dia?”Matari diam. “Justru karena gue kasihan sama dia, makanya gue nggak nolak dia.”Teman-temannya terdiam.“Udah, biarin aja. Kejurnas bentar lagi. Biarin aja
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di