“SUMPAH! GUE KESEL BANGET SAMA YANG NAMANYA IKO DAN EYANG POER!” seru Lisa saat Matari selesai menceritakan kejadian selama liburan di Anyer.
“Gue nggak terlalu kebawa perasaan kan? Wajar nggak sih gue marah atau sekedar kecewa?” tanya Matari kemudian. “Soal Eyang gue, itu udah biasa sih. Kalo Iko….”
“Wajar banget! Iko itu aneh ya, kalo nggak ada Raline kadang tuh sikapnya agak-agak perhatian sama lo. Kalau ada, kaya buta banget orang-orang di sekitarnya. Udah gitu sok-sok ngajarin soal free sex, tapi dia sendiri ngelanggar! Aneh banget!”
“Sebenernya, gue agak nggak yakin sih sama yang terakhir beneran ngelakuin apa nggak.”
“Mau adu naif sama gue, Ri? Ri, gue nih hidup di dunia di mana semua itu lumrah terjadi. Bahkan beberapa temen di agensi gue, udah sering ngelakuin itu sama entah pacarnya, entah sutradara, entah fotografer. Itulah kenapa gue dimanagerin langsung sam
Matari memarkirkan sepedanya di sebelah sepeda Sandra. Sandra akhirnya memutuskan untuk membeli sepeda juga, agar tidak membebani Matari. Hari Senin tahun ajaran baru, parkiran sepeda tidak terlalu penuh. Memang yang membawa sepeda di SMP mereka tak lebih dari 20 anak.“Kalo nggak pake rok, gue kira lo cowok,” kata seseorang di sebelah mereka pada Sandra.Matari melihat badge nama di seragam anak laki-laki itu, namanya tertulis Lingga. Setahu Matari, dia sama-sama anak kelas 2. Matari tidak terlalu mengenalnya secara personal. Dulunya, Lingga adalah penghuni kelas 1 E. Kelas yang paling adem ayem. Mereka terpisah dalam satu kelompok besar, tidak pernah tergabung dengan kelas lain, terkecuali Indah tentunya karena berpacaran dengan Joan.Sandra melotot. “Lo ngatain gue?”Lingga hanya tertawa. “Habisnya potongan rambut lo cepak banget. Kaya anak laki! Hahahah!”Sandra menendang sepeda Lingga. “Nggak usah bawa
Hari kedua, Matari menyadari bahwa dia tidak duduk sendiri lagi di deretan depan. Ada sebuah tas tergeletak di sampingnya. Dan saat ini sudah ada kursi di sampingnya, karena hari sebelumnya dia hanya duduk sendirian. Didatanginya Echa yang tampak sedang sibuk menyisir rambutnya.“Sebelah gue siapa?” tanya Matari pada Echa.Echa mengangkat bahu. “Coba tanya Eve, dia datang paling pagi biasanya.”Eve yang sedang duduk-duduk di depan kelas juga menjawab tidak tahu. “Mungkin anak baru, karena pas gue dateng, tas dia udah ada di sana,” jawab Eve yang disambut dengan anggukan Hanni.“Gue denger emang ada anak baru yang masuk hari ini. Tapi cowok,” kata Hanni kemudian. “Coba kita tanya ketua kelas kita, si Agam.”Agam yang baru datang mengiyakan. “Masih di ruang Tata Usaha, katanya ngambil seragam.”“Cowok, Gam?” tanya Hanni penasaran.“Iya, cowok. Pind
Matari hendak memejamkan matanya ketika teleponnya berdering beberapa kali. Menyadari bahwa tak ada seorangpun yang mau mengangkat telepon, akhirnya Matari beranjak keluar kamar. Anggota keluarga di rumah Eyang Putri sudah hapal jadwal telepon Davi, bahkan suaranya. Karena memang hanya satu-satunya anak laki-laki yang menelepon ke rumah dan mencari Matari hanya dia. Eyang Putri tak keberatan, karena bukan dirinya yang membayar tarif telepon Davi. Meskipun awalnya beliau sering menegur, namun lama-kelamaan beliau sudah merasa lelah menegur berulang-ulang yang mana bukan dirinya sebagai pihak yang dirugikan.“Halo….,” sahut Matari malas, karena siang itu dia cukup mengantuk.Matari pun sudah beradaptasi untuk tidak mengucapkan "Assalamualaikum" dengan seenaknya, karena dia tahu Davi yang menelepon.“Hai, Ri. Lagi apa? Lemes banget suaranya,” jawab Davi.“Iya Dav, ngantuk. Hoaaahmmm….!”“Oh, mau
“Ri, temenin gue dong. Plis, plis, plis. Gue udah bawain lo majalah nih. Gue males kerja kelompok di rumah Abdi tanpa lo!” seru Lisa saat istirahat di hari Kamis minggu berikutnya, yang telah memasuki bulan September.“Heiiii, gue ekskul panahan, kan udah mulai masuk nih,” sahut Matari. “Banyak anak baru dan gue diminta untuk nunjukin latihan dasar buat mereka.”Lisa merengut.“Emang Thea ke mana? Nggak sekelompok?” tanya Matari sambil meneguk es jeruknya tanpa sedotan, karena sedotan sedang habis.“Enggak. Kan ini kelompoknya dipilihin sama Bu Anisa, guru mapel Bahasa Inggris. Bener-bener acak. Yang lain gue nggak gitu kenal, makanya gue males ajak ke rumah gue buat ngerjain. Lagian Thea hari ini mantau penghitungan suara Osis. Besok Jumat bakalan diumumin kandidat pemenang kan. Jadi kayanya dia mau nebeng nama doang, atau maksimal besok abis kelar sekolah ngerjain bareng-bareng kelompoknya. Tapi mepe
Lisa hendak memanggul tasnya saat Davi menghentikan langkahnya.“Wah, kenapa, Dav? Gue ada pemotretan nih!” seru Lisa sambil memberi isyarat pada Thea agar tidak pergi keluar kelas duluan.“Gue pengen tanya sesuatu sama lo. Mungkin kalo Thea nggak keberatan, dia boleh gabung!” jawab Davi saat melihat Thea mendekat ke arah mereka.Abdi menyelimpangkan tasnya. “Guys, dia mau nembak Matari. Gimana menurut lo semua?”Thea mengangkat bahu sambil berkata, “Terserah aja gue sih. Yakin nih?”“Kata Lisa, Matari ada perasaan juga sama gue. Ya kan Lis?” timpal Davi.Lisa mengangguk kemudian berkata, “Gue yakin sih. Menurut lo gimana The? Sepemahaman nggak sama gue?”Thea terdiam sejenak dan menyahut dengan cepat, “Iya, kayaknya gitu.Btw, nanti gue diceritain aja ya, gue harus cabut duluan, ada rapat Osis.”“Siap, Bu Ketua. Sem
Matari tiba di rumahnya sore itu dan mendapati sebuah motor H*nda seri terbaru di tahun 2001, terparkir dengan rapi di pekarangan rumahnya. Dan dari luar, dia bisa mendengar suara Ayahnya tertawa bersama seseorang. Itu masih hari Selasa, Matari tak menyangka, Ayahnya datang lagi setelah kembali ke kotanya bekerja hari Minggu sore. Apalagi motor tuanya tak tampak di mana-mana.“Assalamualaikum!” seru Matari sambil melepas sepatunya di depan pintu.Di ruang tamu tampak Ayahnya duduk santai dengan seorang laki-laki yang berusia tak jauh dari Ayahnya dan tampak asing. Setidaknya Matari baru pertama bertemu saat itu.“Waalaikumsalam. Ini dia anak gua yang kedua, Matari, yang kebetulan salah satu murid di SMP negeri yang lo mau masuk besok. Matari, sini salam, ini namanya Pak Haikal, dia calon guru pelajaran Tata Busana di sekolah kamu,” kata Ayah dengan nada semangat.Matari menyalami dengan sopan dan menatap Pak Haikal dengan baik-baik
Matari hendak melangkahkan kakinya menuju parkiran sepeda saat melihat Davi sudah berdiri di samping lorong yang akan membawa mereka menuju halaman parkir. Davi selalu ada di sana, menunggunya pulang. Tanpa disuruh. Meskipun mereka akan berpisah masing-masing di gerbang sekolah karena Matari harus mengayuh sepedanya bersama Sandra. Sandra hari itu harus pulang cepat karena akan ekskul pramuka. Sedangkan Abdi, tentu saja mempersiapkan kejuaraan sepakbola antar SMP sejabodetabek yang akan digelar bulan November hingga Desember nanti.“Ri, mau ke parkiran?” tanya Rocky sambil mensejajarkan langkahnya di samping Matari.“Iya nih…,” sahut Matari sambil berjalan semakin dekat ke arah Davi.Rocky melihat Davi di sana, menatapnya tanpa ekspresi apapun.“Hai, Dav!” sapa Rocky.“Yoook…..!” sahut Davi acuh.Matari menghentikan langkahnya di depan Davi. Rocky ikut mendekat. Akhirnya mereka be
Matari menatap Echa dengan bingung.“Seriusan?” ulang Matari.“Iya, pengumuman lomba mading untuk kelas 1 kan yang lo maksud? Udah selesai ditempel kok. Kalau kelas 2 masih lama, diduluin kelas 3 yang lomba Mading, takut kalau kelas 3 belakangan, ngeganggu jadwal mereka bimbingan menjelang Ujian Nasional. Emang sih tahun ini lomba mading dibedain dari tahun lalu, biar nggak bosen. Dan tahun ini hadiahnya seperangkat komputer, dikasih hibah dari perusahaan Papanya Lisa. Sekolah kita dapat 10 unit komputer tapi 3 buah diperuntukkan lomba Mading. Jadi masing-masing Angkatan dapat 1 pemenang. Biar pada niat ikutan lomba,” kata Echa panjang lebar.Matari tentu tidak menyangsikan perkataan Echa barusan. Terlebih dia menjabat sebagai ketua, menggantikan Kak Seno.“Tapi, gue diminta Lisa buat bantuin dia pasang pengumuman lomba. Jadi gimana dong?” tanya Matari.Echa mengerutkan dahi. “Ya udah, nanti gue coba tanya
Matari dan Sandra mengumpulkan formulir pendaftaran SMA Negeri B Tebet itu bersama calon pendaftar yang lain. Di dekat mereka, tampak Narita juga ikut serta. Meskipun Narita tak terlalu berharap banyak dan telah memiliki SMA Negeri dan swasta cadangan yang lain, dia tahu, dia tidak akan semudah itu diterima di SMA Negeri B Tebet yang syarat pendaftaran kelulusannya untuk anak-anak dengan Nilai Ujian Nasional yang lebih tinggi daripada miliknya. Perpindahannya di SMP saat kelas 2 serta keadaannya yang lumayan terseok-seok mengikuti pelajaran sekolah, membuatnya harus puas untuk bisa lulus dengan nilai yang cukup namun tidak terlalu memuaskan.Selentingan kabar sudah terdengar bahwa SMA Negeri B membuka jalur pendaftaran khusus bagi siswa-siswa dengan nilai yang tidak terlalu bagus namun memiliki materi berlebih untuk ikut menyumbang dalam dana pembangunan sekolah yang lebih tinggi dari standar yang seharusnya. Narita tak ingin masuk jalur itu. Lebih baik masuk ke SMA Negeri la
Kelulusan di SMP Matari, pengumumannya diberikan langsung ke orangtua murid. Beberapa anak lainnya, ada yang ikut datang dengan menunggu di mobil. Ada pula yang menunggu di sekitar area sekolah. Sedangkan Matari, yang saat itu diwakilkan oleh Kak Bulan menunggu dengan setia di rumah. Tante Dina pun sudah masuk terlebih dulu di kelas Sandra. Sesi yang tak sampai 2 jam itu menimbulkan suasana tegang di mana-mana. Bahkan, Matari dan Sandra yang menunggu di rumah dengan setia, terus berdoa bersama-sama. Bahkan Eyang Putri juga berdoa di dalam kamarnya berharap cucu-cucunya lulus dengan baik.Menjelang makan siang, suara mobil kijang lama Tante Dina masuk ke pekarangan rumah. Matari dan Sandra segera loncat dan turun ke lantai 1 dan menyambut dengan penuh antusias.Wajah Tante Dina sama sekali tidak bisa dibaca. Kak Bulan tampak tak ikut serta.“Kakakmu langsung balik ke kampus lagi, ngejar jadwal kereta. Untung tadi masih keburu kekejar. Tapi dia udah nitipin
Matari sedang mengecek rantai sepedanya saat Iko membuka pagar rumahnya. Saat itu dia tak sengaja berhenti di depan rumah Iko. Persis di dekat gerbang rumahnya yang besar.“Matariiiii! Long time no see!” seru Iko heboh.Matari menoleh, mendapati Iko sedang berdiri di dekat pagar rumahnya. Wajahnya berbinar karena senang. Rambut keritingnya yang biasanya tampak awut-awutan, kali ini tampak rapi.“Hai! Bentar ya, rantai gue kenapa ya? Kaya kendor gitu?” tanya Matari.Iko mendekat. “Gue cekin bentar deh, sambil kita ngobrol. Yuk, masuk! Gimana, udah pengumuman belom? Lulus kan?”Iko berjalan menuntun sepeda Matari dan Matari mengikutinya. Rumah Iko masih tak berubah. Wangi-wangian yang dari bunga-bunga kering yang dibuat Tante Indira dan memenuhi seluruh sudut rumah, menyeruak keluar. Bunga-bunga kering itu didengarnya adalah dari bunga-bunga yang rontok atau tidak laku di tokonya di Bandung.“Belum pen
Keesokan harinya, kado sudah dititipkan ke Umar melalui Sandra. Matari bahkan sudah lupa bagaimana nantinya karena hari itu banyak tugas-tugas sekolah yang menuntut pikiran dan tenaganya. Hingga akhirnya saat Gilang mengajaknya pergi ke ruang guru, Matari ikut dengan setengah hati. Tugasnya bahkan baru dikerjakan separuhnya. Namun Gilang bersikeras karena dia nggak mau pergi sendirian.Di tengah jalan, Matari berpapasan dengan Arga dan Umar.“Eciyeeee, udah ngucapin terimakasih belom? Nih orangnya!” seru Umar.Matari tersipu malu. Meskipun dia niat nggak niat, namun dia merasa malu juga harus berhadapan dengan Arga. Nggak seperti sebelumnya.“Eh, Kak, saya mau ngomong sebentar bisa?” tanya Arga to the point.“Hmm, bentar. Lang, lo ke ruang guru duluan, nanti gue nyusul,” jawab Matari pada Gilang.Gilang yang sejak tadi penuh tanda tanya akhirnya menurut masuk ke ruang guru.“Makasih, Kak, buat
Bagi idola baru anak kelas 2, tentu saja informasi hari ulang tahun Arga secepat kilat berhembus kesana-kemari. Bahkan, anak-anak basket semuanya tanpa terkecuali telah mengetahui informasi itu. Sudah menjadi budaya mereka, kalau nanti ada salah satu tim basket berulangtahun, mereka akan mengguyur dengan air dan kertas yang dipotong kecil-kecil. Tepung dan telur sudah lama dilarang untuk perayaan ulang tahun di sekolah. Tentu saja hal ini sudah sampai ke telinga Thea.“Ri, Arga mau ultah lho!” seru Thea sambil mendekati Matari yang sedang duduk santai di kursinya sendiri saat jam istirahat.“Argaaaa??? Siapa tuh?” sambung Gilang yang duduk di belakang Matari kepo.“Arga, anak basket. Elo mah nggak gaul, nggak usah tahu!” seru Thea kesal.“Hah? Emang ada anak basket namanya Arga? Don, anak basket ada yang namanya Arga?” tanya Gilang pada Dono, salah satu mantan tim basket inti kelas 2 di jaman Thea dulu, yang
Sandra terus menjodoh-jodohkan Matari dan Arga, yang tentu saja ditolak oleh Matari. Kedua sahabatnya yang lain, Thea dan Lisa sih mendukung aja, asalkan jangan ngeganggu masa-masa persiapan mereka menuju ujian demi ujian menjelang kelulusan.“Kayak lo belajar aja, Sa!” kata Sandra meledek.“Yeeee, gue belajar tahu. Kata Mama tuh yang penting dapet nilai minimal. Yang penting lulus. Jangan ada salah satu yang nilainya merah atau 5. Ya udah gue ngehapalin yang gue bisa aja. Kata Mama kan gitu,” timpal Lisa.“Ya bener kata Mama lo. Cuma kan soalnya banyak banget dan lo harus bisa minimal 60 % aja. Lo yakin, sanggup?” tanya Thea.“Harus sanggup. Lagian gue tuh SMA nggak di sini kan? Sebenernya gue ada back up plan. Jadi kalaupun gue nggak lulus, gue akan ikut kejar paket, dan abis gitu les buat ikut semacem tes atau sekolah persamaan. Gue bak
Tak banyak yang tahu kalau Matari suka banget kucing. Saat dulu masih tinggal di rumah lama, Matari memelihara beberapa kucing bersama Ibunya. Saat di rumah Eyang Putri pun, dia kerap memanggil kucing-kucing lewat dan memberikan makanan sisa rumah mereka. Mbok Kalis pun sering melakukan hal yang sama karena majikan kecilnya menyukainya.Suatu sore, dia sedang bermain bersama kucing liar di teras rumahnya. Hari itu hari Sabtu sore. Jadwal bimbel tidak ada. Sehingga Matari bebas untuk melakukan apapun di rumahnya. Eyang Putri sedang arisan. Mbok Kalis sedang mempersiapkan makan malam sekaligus memasak nasi. Hari ini, Kak Bulan akan pulang. Dan menginap sampai Senin pagi.“Kak Matari?” seseorang menyapanya dari luar pagar.Matari mendongak. Dan mendapati Arga di sana. Dia masih memakai seragam basket yang basah di bagian punggungnya. Tas gym mahalnya tampak penuh dengan bola dan
“Tahu nggak, di ekskul basket ada anak baru join. Ganteng. Bersiiiih banget, lalet nempel kepleset kayanya,” kata Thea disuatu hari saat mereka semua sedang makan di kantin saat jam istirahat.Tahu gue, anak kelas 2 F kan? Namanya Arga kan?” tebak Sandra sambil mencomot cimol dengan lahap.“Lahhhh, kok udah tahu duluan lo? Jangan-jangan udah ada yang ngincer ya, di antara kalian?” tanya Thea kaget.“Kaga ada yang ngincer. Kita baru sebatas cuma suka ngeliatin doang. Nyegerin mata ya nggak, Ri?” timpal Sandra sambil tertawa.“Seriusan lo? Ama adik kelas?” ledek Lisa. "Bukannya nyari level di atas kita, malah downgrade lo!”Matari terkekeh. “Anjir, kagak! Kita aja baru kenal! Lagian ngeliatin doang tuh bukan berarti suka beneran. Nggak semua-muanya itu dihubungin sama perasaan, Lis!”“Kalian kenal di mana? Baru join b
Persiapan UN bahkan udah dimulai sejak Matari menginjakkan kakinya di kelas 3. Setengah tahun berlalu, dia memutuskan untuk ikut bimbel di sekolah, karena biayanya jauh lebih murah dibanding di luar. Biaya itu dipakai untuk jasa yang diberikan kepada para guru honorer yang ikut serta membantu mereka. Setiap selesai kelas, pasti Matari dan Sandra udah nongkrong di kantin untuk makan siang sambil nungguin jadwal bimbel. Seperti hari itu.“Arah jam 11,” kata Sandra sambil berbisik pada Matari.“Apaan?” tanya Matari bingung.“Anak baru, seragamnya beda, mau pindahan sini kayanya. Perasaan sekolah ini banyak banget nerima anak baru,” jawab Sandra sambil menunjuk sebuah mobil yang datang dari arah gerbang.Matari menatap mobil kijang kapsul itu dengan lekat-lekat. Di samping mobil itu, ada seorang anak laki-laki seusia dengannya. Badannya tinggi, berkulit putih dan berkacamata. Rambutnya di