“Mungkin aku harus berterima kasih sama Shua sedikit.”
“Untuk?”
“Mengacaukan mood-ku untuk datang ke pestanya dan sekarang….” Badai menatap Padma dengan hasrat yang tak tertahankan lagi. “Jadi mendapat malam istimewa sama kamu.”
“Nggak perlu berlebihan, B.” Padma terkekeh sambil mengaduk nasi goreng di wajannya.
“Ini sama seperti yang waktu aku sekolah, sangat aku sukai,” kata Badai sambil menatap Padma dengan penuh khayal.
“Apa?”
“Main ke rumah pacar yang kosong dan orangtuanya lagi pergi.”
Padma tergelak lalu mematikan kompornya. Setelah tadi saling menggoda di hotel, Padma menga
Apa karena Badai dan Padma bukan pasangan yang sejak awal memang ingin menikah, makanya proses persiapan pernikahan mereka berjalan selancar ini?“Gimana? Ada yang kurang?”Padma menatap pantulan dirinya yang tengah mengenakan gaun pengantinnya. Harus ia akui, saat ini ia seperti melihat orang lain di cermin tersebut.“Kayaknya nggak.” Padma memiringkan tubuhnya, melihat bagaimana gaun tersebut memeluk tubuhnya dengan sempurna.Hanya tinggal berhitung kurang dari 31 hari lagi sampai akhirnya ia resmi menjadi Nyonya Tanaka.Padma tak tahu apakah ia benar-benar beruntung atau bagaimana, tapi ibunya berhasil menemukan
Badai tak tahu apa itu rasa sayang pada seorang perempuan yang bukan keluarganya, sampai ketika ia terbangun di pagi hari dan yang pertama ia cari dan hubungi adalah Padma Hardjaja.“K-kamu ngomong apa?”Kerjapan mata Padma membuatnya terlihat lucu di mata Badai. Kalau saja mereka mereka bukan ada di rumah sakit, Badai pasti sudah menciumnya habis-habisan.“Nggak ada siaran ulang,” ledek Badai. “Udah sana, ke tempat Om Banyu. Nanti aku susul, Hon.”Padma mengerucutkan bibirnya. “Nanti aku tagih lagi apa yang barusan kamu bilang.”“Bilang aja kamu mau bikin aku ngucapin itu seratus kali,” cibir Badai sambil melepas pelukannya pada Padma dengan tak rela.
“Apa?” Badai melongo selama beberapa saat. “Hamil? Anakku?”Langkah lelaki itu terhenti, berjarak satu meter dari posisi calon istrinya, Padma Hardjaja, yang kakinya dipeluk erat oleh sepupunya.“Jawab aku, Anastasya!” tagih Padma dengan emosi yang mulai menguasai tubuhnya. “Itu anak Badai atau bukan?!”“Nggak mungkin!” sergah Badai langsung. “Aku selalu pakai pengaman—““Kamu lupa pakai sekali, Dai.”Suara Anastasya yang menyela ucapannya membuat Badai menggeram keras. Ia menghampiri Anastasya dan menyentak tangan perempuan itu agar terlepas dari kaki Padma, lalu menariknya hingga berdiri.“Apa-apaan ini?” tanya Badai dengan marah. Ia hanya bercinta satu malam dengan Anastasya dan selalu memakai kondom. Lalu kenapa tiba-tiba perempuan ini… hamil?Anaknya?Tanpa sadar, cengkeraman Badai menguat di lengan Anastasya. Perempuan itu meringis dan menatap Badai dengan takut-takut.“Kamu… kita….” Anastasya benar-benar gugup. Matanya bolak-balik menatap Padma dan Badai bergantian. “Waktu itu
Apa yang lebih menyakitkan dibanding mengantar sepupumu dan calon suamimu untuk tes DNA dari anak yang dikandung sepupumu?“Hon….”Panggilan bernada frustasi itu mengetuk pintu hati Padma. Ia tak perlu melirik ke sebelahnya untuk melihat bagaimana kacaunya Badai saat ini.Tiga kursi dari mereka, duduklah Anastasya seorang diri. Kepadanya Padma melirik dengan enggan, kemudian memutuskan keputusannya salah karena kali ini semuanya terlihat jelas.Perut perempuan itu benar-benar seperti seorang ibu hamil.“Namaku Padma,” tegas Padma mencoba menjadi si jalang berhati dingin (apa yang dulu sering ia dengar dari mantan-mantan kekasihnya) ketika dihadapkan pada seorang Badai.“Aku nggak mau menikah sama dia,” gumam Badai pelan. “Aku cuma mau kamu.”“Kamu jangan gila, Badai. Kalau Anastasya mengandung anakmu, kamu harus menikah sama dia.”“Kamu nggak bisa melakukan ini sama aku.”“Kamu juga nggak bisa melakukan ini sama aku,” balas Padma dengan kata-kata yang persis sama. “Kamu jahat banget k
Baru kali ini Badai tak punya tempat tujuan.Ia sudah mengitari kawasan Kemang sejak satu jam yang lalu, tapi belum memutuskan untuk berhenti. Matanya sedikit-sedikit melirik ke arah ponselnya, tapi harapannya tak terkabul.Tidak ada telepon atau pesan dari PadmaSetelah bensinnya sekarat, Badai baru menjalankan mobilnya menuju The Clouds Kemang. Klubnya malam itu cukup ramai, antreannya mengular dan banyak juga beberapa perempuan yang menyapanya dengan centil.“Dari mana, Dai?”Pertanyaan itu membuat Badai menoleh dan mendapati Ksatria tengah mengimbangi langkahnya.“Baru dateng?” Badai memilih bertanya balik.“Iya, yang lain sih udah di dalam,” jawab Ksatria dengan santai.Lelaki bernama aneh dan terlalu berat itu melirik pada Badai yang wajahnya benar-benar kusut. Tanpa kata, ia menepuk pelan bahu Badai beberapa kali dan menggiring lelaki itu menuju ruang VIP 6.Seminggu yang lalu, Badai datang ke ruangan tersebut setelah absen selama tiga hari. Hal yang ia katakan pertama kali ada
Bagaimana bisa manusia mengenal bagaimana langkah kaki seseorang dan menghafalnya di luar kepala? Irama langkah kaki seseorang, terlepas dari jenis sepatu apa yang ia pakai, entah bagaimana caranya dengan mudah terekam di kepala kita.Begitulah, ketika Padma mendengar langkah kaki yang ia kenal. Sekuat apa pun Padma mencegah dirinya, ia tetap menoleh dan mendapati Badai berjalan menghampirinya.“Hon,” panggil Badai pelan. Ia masih tetap memanggil Padma dengan ‘Hon’, tak peduli seratus kali Padma memintanya memanggil dengan namanya saja.“Kamu nggak bareng sama Anastasya?”“Nggak.” Sampai ia belum tahu siapa anak yang dikandung Anastasya, Badai masih akan bersikeras kalau ia adalah milik Padma seorang.Sebuah
“Aku mau membakarnya.”“Seribu undangan ini?” Mili menatap tumpukan undangan itu dengan tak percaya. “Di jam tiga pagi begini?”“Aku nggak bisa tidur,” aku Padma dengan jujur. Saat ini Mili memang menginap di rumah Padma atas inisiatifnya sendiri, Padma pun membiarkannya.Karena jauh di dalam hatinya, ia tak ingin melewati malam ini sendiri. Harusnya malam ini adalah malam terakhirnya sebagai perempuan lajang.Tapi lihatlah ia di sini, berada di samping kolam renang rumahnya dengan drum yang berisi api dan tumpukan undangan berinisial B&P.Undangan yang tidak akan pernah disebar.“Oke, kalau itu maumu.” Mili akhirnya menyerah. Ia ikut mengambil setumpuk undangan dan melempa
“Aku merasa pesta pernikahan ini lebih seperti acara pemakaman.”“Emang semencekam itu sih auranya.”Ksatria menoleh pada Padma dengan terheran-heran. Hari ini lelaki itu menghadiri pernikahan sahabatnya dengan keempat anggota VIP club yang lain. Ketika mengambil dessert yang disediakan, ia melihat Padma berdiri di sana sambil memilih kue-kue dengan potongan sekali makan.“Aku baru kali ini ngeliat mantan calon pengantin perempuannya ada di pernikahan mantan calon suaminya.”“Kalimatmu nggak efektif, ribet banget, Ksatria,” komentar Padma. “Dan ngomong-ngomong, kamu harus cobain kuenya. Ini enak, pilihanku nggak pernah salah.”Ksatria dengan anehnya menuruti saran Padma. Ia mengambil potongan strawberry cheese