Bagaimana bisa manusia mengenal bagaimana langkah kaki seseorang dan menghafalnya di luar kepala? Irama langkah kaki seseorang, terlepas dari jenis sepatu apa yang ia pakai, entah bagaimana caranya dengan mudah terekam di kepala kita.
Begitulah, ketika Padma mendengar langkah kaki yang ia kenal. Sekuat apa pun Padma mencegah dirinya, ia tetap menoleh dan mendapati Badai berjalan menghampirinya.
“Hon,” panggil Badai pelan. Ia masih tetap memanggil Padma dengan ‘Hon’, tak peduli seratus kali Padma memintanya memanggil dengan namanya saja.
“Kamu nggak bareng sama Anastasya?”
“Nggak.” Sampai ia belum tahu siapa anak yang dikandung Anastasya, Badai masih akan bersikeras kalau ia adalah milik Padma seorang.
Sebuah
“Aku mau membakarnya.”“Seribu undangan ini?” Mili menatap tumpukan undangan itu dengan tak percaya. “Di jam tiga pagi begini?”“Aku nggak bisa tidur,” aku Padma dengan jujur. Saat ini Mili memang menginap di rumah Padma atas inisiatifnya sendiri, Padma pun membiarkannya.Karena jauh di dalam hatinya, ia tak ingin melewati malam ini sendiri. Harusnya malam ini adalah malam terakhirnya sebagai perempuan lajang.Tapi lihatlah ia di sini, berada di samping kolam renang rumahnya dengan drum yang berisi api dan tumpukan undangan berinisial B&P.Undangan yang tidak akan pernah disebar.“Oke, kalau itu maumu.” Mili akhirnya menyerah. Ia ikut mengambil setumpuk undangan dan melempa
“Aku merasa pesta pernikahan ini lebih seperti acara pemakaman.”“Emang semencekam itu sih auranya.”Ksatria menoleh pada Padma dengan terheran-heran. Hari ini lelaki itu menghadiri pernikahan sahabatnya dengan keempat anggota VIP club yang lain. Ketika mengambil dessert yang disediakan, ia melihat Padma berdiri di sana sambil memilih kue-kue dengan potongan sekali makan.“Aku baru kali ini ngeliat mantan calon pengantin perempuannya ada di pernikahan mantan calon suaminya.”“Kalimatmu nggak efektif, ribet banget, Ksatria,” komentar Padma. “Dan ngomong-ngomong, kamu harus cobain kuenya. Ini enak, pilihanku nggak pernah salah.”Ksatria dengan anehnya menuruti saran Padma. Ia mengambil potongan strawberry cheese
“Kamu bisa tidur di sini,” ucap Badai sambil membuka pintu kamarnya. “Ini kamar paling besar di rumah ini. Pagi tadi sepertinya barang-barangmu udah ditata di sini.”“Kamu?”“Aku di sebelah.” Badai menunjuk pintu kamar yang bersebelahan dengan pintu kamar Anastasya.“Kurasa ini tadinya kamarmu.”“Iya, ini tadinya kamarku.” Badai mengonfirmasi tebakan Anastasya. Kamar yang sudah disiapkan Anastasya memang merupakan kamarnya. Tapi Badai memilih pindah ke kamar tamu karena kamarnya jauh lebih nyaman untuk Anastasya dibanding kamar tamu.“Aku ke kamarku dulu,” ucap Badai ketika Anastasya tak berkomentar sama sekali. “Istirahatlah, kamu pasti lelah.”
“Kamu terlihat baik-baik aja.”“Karena aku emang baik-baik aja.” Padma mengerutkan keningnya. Ia menatap Galih yang juga tengah menatapnya dengan penuh penilaian.“Padahal dulu kamu terlihat sangat bersemangat untuk menikah dengan Tanaka itu.”Kali ini Padma terlalu malas untuk mengoreksi bagaimana Galih menyebut Badai sebagai Tanaka itu. Padma memutuskan untuk tidak langsung menyahut ucapan Galih.Ia menyapa dan menjawab sapaan dari orang-orang yang melewatinya, atau bahkan menyempatkan diri untuk berhenti dan mengucapkan selamat pada Padma.Acara malam ini adalah semacam perayaan atas berhasilnya salah satu proyek kerja sama antara Sadira Group dengan perusahaan keluarga Padma, yang dimulai bahkan seminggu setelah pernikahan B
“Ibu hari ini ada jadwal rapat dengan pihak retail, lalu ada dokumen tentang proyek dengan Sadira Group yang harus Ibu periksa—dokumen ini baru datang pagi ini, Bu, dan….” Bestari mengangkat wajahnya dari jurnal yang berisi jadwal Padma.“Kemarin asisten Pak Alkadri Tanaka menelepon ke kantor, ingin bertemu dengan Ibu kalau Ibu bersedia dan ada waktu.”“Alkadri Tanaka?” Padma mengulang nama yang baru saja ia dengar. Ayah Badai. “Terus kamu jawab apa?”“Saya mau konfirmasi ke Ibu dulu. Kemarin beliau telepon sudah hampir malam dan Ibu ada meeting di luar dari jam tiga sore.”“Oh, oke…. Beliau ninggalin kontak ke kamu untuk ngasih tahu jawaban saya?”Bestari mengangguk.
“Terus kemarin Padma dateng ke acara nggak jelas bikinan ibu-ibu sosialita gitu ngewakilin ibunya. Yang kuheran, kenapa dia mau aja dateng ke sana? Kupikir dia nggak suka pesta.”Yogas langsung menggeleng mendengar komentar Ksatria. “Seminggu lalu aku ngobrol sama Padma, dia bilang dia suka pesta karena banyak makanan enak. Yang dia nggak suka cuma ibu-ibu cerewet yang sok tahu sama hidupnya.”Ksatria, Yogas, Ipang, Nara, dan Kalu langsung tertawa terhibur dengan jawaban Padma yang diceritakan ulang oleh Yogas. Mereka seperti membicarakan seorang teman baik yang tengah absen dari acara kumpul rutin mereka.“Metabolismenya boleh juga ya. Dia makannya banyak, tapi badannya segitu-gitu aja
“Kamu mau ikut blind date?”“Nggak usah teriak bisa nggak?” pinta Padma dengan jengkel saat mendengar suara Mili yang meningkat tiga oktaf ketika Padma memberi tahu rencananya minggu depan.Perempuan yang hari itu sudah mengenakan jersey klubnya menoleh pada ponsel yang ada di meja. Ia memang memasang mode loudspeaker karena Mili menelepon ketika ia tengah bersiap untuk latihan menembak seperti biasanya.“Namanya juga orang kaget.” Mili menggerutu pelan. “Blind date dari mana ini? Ikut sehati.com kayak yang waktu itu aku saranin atau dari biro jodoh di tangan Mama?”Padma langsung tertawa ketika Mili menyebut biro jodoh di tangan Mama. Hal itu adalah istilah yang mereka pakai kalau berkenalan dengan seseorang berkat campur tan
“Gimana pacar barumu?”“Dia bukan pacarku.” Padma mengibaskan tangannya di udara. “Kami cuma dekat.”“Yakin? Aku bisa menghitung berapa kali dan di mana aja kamu dan laki-laki itu kencan.”“Dan kenapa kamu bisa tahu semua itu?” Padma memicingkan matanya, menatap Ksatria yang tengah tertawa penuh konspirasi di samping Mili yang ikut tertawa. “Kamu beneran stalking aku ya?”“Nggak, hanya kebetulan kita ada di lingkup pergaulan yang sama.” Pelajaran dalam berbohong yang lupa diterapkan orang lain adalah konsisten.Sejak beberapa bulan lalu Ksatria dengan
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec