“Badai, bangun.”
“Huh?”
Padma menatap prihatin pada Badai yang tertidur di sofa kamar rawat inap tersebut. Ada laptop dan ponsel yang bertebaran di meja dekat sofa itu, menandakan kalau Badai memang bekerja di kamar tempat ayahnya dirawat sepanjang waktu.
“Bangun,” ulang Padma yang raut wajahnya sudah berubah kembali datar begitu Badai membuka matanya. “Makan. Kamu mau ikut sakit kayak Om Al?”
Anehnya, Badai merengut seperti anak kecil ketika Padma mengomelinya seperti itu. Pemandangan tersebut tak luput dari mata ayah Badai yang tengah duduk di ranjangnya setelah lebih dari dua hari hanya berbaring atas paksaan Badai.
“Dia kan sejak dulu nggak pernah dipaksa, Padma. Makanya dia merengut kayak anak kecil begitu.”<
“Apa?”“Ayo, kita menikah,” ulang Padma. “Apa pendengaranmu bermasalah? Kita perlu ke dokter THT sekalian hari ini?”“Kamu barusan ngelamar aku?”Padma bahkan tak tahu apakah ajakannya tadi terhitung sebagai lamaran atau tidak. Ia pun mengedikkan bahunya. “Semacam itulah.”“Kok kamu yang ngelamar sih?” protes Badai. “Hei, aku bahkan nggak pernah bermimpi bakal dilamar perempuan. Harusnya aku yang ngelamar—“Padma tersenyum simpul melihat kebingungan di wajah Badai. Mereka berdua tahu, hidup terikat dalam pernikahan bukan hal yang dipikirkan Badai bahkan mungkin selama satu dekade terakhir.Jelas saja sekalipun Padma menyetujui untuk menikah dengann
“Padahal aku udah nggak mau masuk ke tempat ini sampai tiga tahun ke depan,” desah Padma saat masuk ke klub paling banyak diminati di kawasan Jakarta Selaran tersebut.Setelah kejadian ia tidur dengan Badai waktu itu, Padma memang bersumpah kalau ia tak akan kembali ke tempat ini sampai tiga tahun ke depan, supaya tidak perlu bertemu dengan lelaki asing yang tidur dengannya.Tapi lihat sekarang, ia bahkan akan menikah dengan lelaki asing yang tadinya ingin ia hindari itu.“Bu Padma, sudah ditunggu Pak Badai di ruangannya.”Padma menoleh dan mengangguk saat mendengar ucapan dari manajer The Clouds yang menghampirinya. Pasti Badai sudah memberi tahu pegawainya kalau ia akan datang malam ini.Dengan langkah pasti, Padma berjalan menuju lorong yang di d
Padma menatap pantulan dirinya di vanity mirror yang ada di kamarnya. Ia mencondongkan tubuhnya agak ke depan, mengamati bagian di dekat tulang selangkanya.“Untung nggak terlalu keliatan,” gumam Padma tanpa sadar saat mengamati jejak kemerahan yang ditinggalkan bibir Badai di sana semalam.Padma rasanya ingin mencium tangan siapa pun yang menemukan teknologi bernama concealer. Walaupun Padma yakin, orang itu menciptakan concealer pada awalnya bukan untuk menutupi jejak hickeys yang ditinggal lelaki liar seperti Badai.“Sayang, udah siap? Badai udah sampai tuh.”Padma sedikit terperanjat karena tiba-tiba mendengar suara sang ibu dari belakangnya. Ketika ia menoleh, ia mendapati pintu kamarnya memang hanya tertutup setengah dan ibunya kini berdiri di
Satu hal yang Padma ketahui dengan pasti adalah hampir semua anggota keluarga Tanaka menyukai dirinya.Kecuali Shua Tanaka.Padma menemukan sosok tinggi langsing itu tengah duduk tak jauh dari Oma Badai. Ia segera memasang senyumnya begitu melihat kalau Oma Badai menyadari kehadirannya.“Malam, Oma,” sapa Padma pada perempuan yang masih cantik bahkan di usia senjanya tersebut. Ia memeluk dan mencium kedua pipi perempuan yang dituakan di keluarga itu.“Padma,” sahut Oma Badai dengan antusias. Mereka memang sudah berkenalan di pesta Sadira Group sebelumnya. “Lama nggak ketemu sama kamu. Oma udah takut cucu Oma ini nggak becus jadi laki-laki yang benar untuk kamu.”Badai meringis saat lengannya di
Padma dan Badai tak perlu mendentingkan gelas champagne untuk memberi tahu semua orang mengenai hubungan mereka.Pergi bersama dan saling menempel seperti pintu dengan kenopnya atau panci dengan tutupnya, sudah lebih dari cukup untuk mengenyangkan jiwa-jiwa haus gosip di antara kalangan mereka.CrazyRichJakarta: Congratulation for Badai Tanaka and Padma Hardjaja! Setelah beberapa jam sebelumnya masuk ke CrazyRichJakarta karena ‘skandal kecil’-nya dengan Shua Tanaka, Badai Tanaka dikabarkan go public dengan calon istrinya Padma Hardjaja. Apa kabar pernikahan mereka yang akan datang hanya senjata lainnya untuk mengubur skandalnya dengan Shua?“Kamu pernah penasaran nggak sih
“Ada yang salah, B?”“Nope.”Padma tentu saja tak langsung percaya dengan jawaban Badai. Saat ini lelaki itu jelas-jelas tengah menghindari tatapannya. Mereka tengah menunggu pizza yang dipesan Padma selagi menyantap calamari yang sudah tiba lebih dahulu.“Kamu….” Padma menatap lelaki di hadapannya dengan cermat. “Pernah tidur sama Anastasya ya?”Badai tersedak salivanya sendiri dan Padma sudah tak butuh jawaban verbal dari Badai. Perempuan itu bisa melihat perubahan ekspresi Badai ketika berkenalan dengan Anastasya.Sepupunya yang baru kembali dari Melbourne itu pun mengerling sejenak pada Badai sebelum kembali bersikap sopan, layaknya sepupu pada umumnya.
“Bagaimana kalau kalian menikah bulan depan?”“Hah?!”Ayah Badai dan kedua orangtua Padma langsung tertawa mendengar respons Badai dan Padma, yang lebih mirip seperti teriakan histeris.“Papa cuma bercanda,” timpal ayah Badai masih dengan tawa yang tersisa. “Walaupun sebenarnya Papa juga nggak keberatan kalau kalian menikah secepatnya. Lebih cepat lebih baik kan?”“Kurasa begitu.” Kali ini ibu Padma mengangguk. “Kemarin anak temanku menyiapkan pernikahan mereka juga hanya sebulan, karena calon suaminya harus berangkat sekolah ke Jerman.”“Emangnya ada WO yang mau dikasih kerjaan semepet itu, Ma?” tanya Padma seraya menahan diri untuk tidak mengera
“Jadi kamu benar-benar akan menikah dengan Badai?”Mili jelas-jelas menekankan suaranya di kata benar-benar ketika bertanya pada Padma. Mili memang sudah tahu mengenai isu perjodohan Badai dan Padma.Tapi ketika di hari Rabu ini mereka bertemu untuk makan malam bersama di Ta Wan dan Padma mengajak Mili untuk jadi bridesmaid-nya, Mili merasa ia butuh untuk bertanya dan memastikannya sendiri.“Iya. Jumat nanti kami mau ketemu pihak WO yang udah dihubungin Jack, asisten Badai.”“Wow….” Mili mendesah pelan. “Wow,” ulangnya sekali lagi dengan lebih pelan.“Yeah, wow.” Padma mengulang respons Mili dengan datar. “Ada yang mau kamu bilang ke aku, Mil?”
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec