“Jadi kamu benar-benar akan menikah dengan Badai?”
Mili jelas-jelas menekankan suaranya di kata benar-benar ketika bertanya pada Padma. Mili memang sudah tahu mengenai isu perjodohan Badai dan Padma.
Tapi ketika di hari Rabu ini mereka bertemu untuk makan malam bersama di Ta Wan dan Padma mengajak Mili untuk jadi bridesmaid-nya, Mili merasa ia butuh untuk bertanya dan memastikannya sendiri.
“Iya. Jumat nanti kami mau ketemu pihak WO yang udah dihubungin Jack, asisten Badai.”
“Wow….” Mili mendesah pelan. “Wow,” ulangnya sekali lagi dengan lebih pelan.
“Yeah, wow.” Padma mengulang respons Mili dengan datar. “Ada yang mau kamu bilang ke aku, Mil?”
Badai menatap jam tangannya begitu turun dari mobil. Sudah pukul setengah sembilan malam saat ia sampai di Plaza Indonesia. Ia memang berjanji menjemput Padma karena lagi-lagi mobil perempuan itu masih harus menginap di bengkel dan Badai tak keberatan.Bahkan ia yang menawarkan diri."Apa mobilnya aku bakar aja sekalian?" gumam Badai sambil berjalan masuk dan mengingat di mana letak restoran Ta Wan.Entah kenapa menjemput Padma kini menjadi rutinitas yang cukup menyenangkan.Saat ia memasuki restoran itu, ia melihat sosok perempuan berambut ikal dan duduk memunggunginya, mengenakan blus berwarna baby pink dengan blazer yang disampirkan di punggung kursi.Itu dia Padma-nya."Hai, Hon," sapa Badai begitu tiba di samping
Laki-laki mana yang minta izin dulu sebelum mencium pasangannya?Seumur hidup, baru kali itu Padma mendengar ada orang yang meminta izin untuk menciumnya. Tapi yang lebih terpenting adalah Padma tak tahu kalau ia bisa membeku tanpa memberi jawaban sama sekali.“Hai, Hon,” sapa Badai begitu Padma membuka pintu mobilnya yang berhenti di pelataran lobi.Hari ini Badai memang kembali menjemputnya di kantor. Entah kenapa perbaikan mobilnya belum kunjung selesai.“Hai.” Padma menaruh tasnya di kursi belakang dan memakai seat belt-nya. “Lama nggak nunggunya?”Rasanya… semalam ia seperti bisa melihat sisi lain lagi dari seorang Badai Tanaka. Padma tak pernah berpikir kalau Badai akan menanyakan hal tersebut, sehingga sat
Apa semua perempuan yang berhasil tidur dengan Badai Tanaka akan mengatakan kalau hal itu adalah sebuah prestasi?Karena jelas, apa yang tersirat dari tatapan serta kata-kata yang diucapkan Violet adalah seperti itu. Sebuah prestasi jika bisa naik ke ranjang bersama Badai Tanaka.“Kamu udah pernah tidur sama dia?”Pertanyaan itu membuat Padma menoleh. Siapa lagi yang bertanya kalau bukan Violet? Malam semakin larut dan kini Padma duduk berdampingan dengan Violet.Badai yang tadinya tak rela meninggalkan Padma di antara teman-temannya, terpaksa harus keluar sebentar untuk mengurus sesuatu yang mendesak hingga manajernya sampai mengumpulkan keberanian untuk menghampiri ruang VIP 6.“Kenapa emang?” tanya Padma. “Kamu mau pamer apa aja yang kamu l
“Kayaknya aku mulai gila,” gumam Padma sambil berjalan menuju lift.Siang ini ia baru kembali dari meeting di luar, tepatnya di daerah Kemang. Dan ketika menyadari kalau mobilnya melewati The Clouds Kemang, Padma agak memelankan laju mobilnya untuk menatap bangunan tersebut dengan penuh rasa ingin tahu.Apa Badai ada di sana?Padahal pagi tadi Badai dengan jelas mengatakan kalau ia akan berkeliling cabang Red House di Jakarta untuk quality control.Padma berdecak pelan. Otaknya jadi agak konslet sejak ciuman panas mereka semalam. Rasanya Padma bahkan masih bisa merasakan jejak tangan Badai yang menggodanya di sepanjang garis tulang punggungnya kemarin.
“Bisa nggak kita nginep di hotel aja daripada dateng ke pestanya Shua?” tanya Badai dengan kurang ajar. “Kalau kita nggak bisa bercinta, setidaknya aku bisa menatap kamu semalaman sampai puas.”“Apa kamu pikir aku seperti patung di kolam air mancur?”“Kadang aku berpikir kalau kamu benar-benar lucu, Hon,” puji Badai yang tak bisa menahan tawanya.Ia menghampiri Padma dan meraih punggung tangannya untuk ia cium dengan khidmat (dan berlebihan, menurut Padma).Tatapan Badai tertumbuk pada cincin yang dikenakan Padma malam itu. Cincin yang ia berikan pada Padma sebagai simbol hubungan mereka. “Aku senang kamu belum terpikir untuk buang cincin itu.”“Walaupun aku nggak suka dengan ukuran berliannya, tapi
“Mungkin aku harus berterima kasih sama Shua sedikit.”“Untuk?”“Mengacaukan mood-ku untuk datang ke pestanya dan sekarang….” Badai menatap Padma dengan hasrat yang tak tertahankan lagi. “Jadi mendapat malam istimewa sama kamu.”“Nggak perlu berlebihan, B.” Padma terkekeh sambil mengaduk nasi goreng di wajannya.“Ini sama seperti yang waktu aku sekolah, sangat aku sukai,” kata Badai sambil menatap Padma dengan penuh khayal.“Apa?”“Main ke rumah pacar yang kosong dan orangtuanya lagi pergi.”Padma tergelak lalu mematikan kompornya. Setelah tadi saling menggoda di hotel, Padma menga
Apa karena Badai dan Padma bukan pasangan yang sejak awal memang ingin menikah, makanya proses persiapan pernikahan mereka berjalan selancar ini?“Gimana? Ada yang kurang?”Padma menatap pantulan dirinya yang tengah mengenakan gaun pengantinnya. Harus ia akui, saat ini ia seperti melihat orang lain di cermin tersebut.“Kayaknya nggak.” Padma memiringkan tubuhnya, melihat bagaimana gaun tersebut memeluk tubuhnya dengan sempurna.Hanya tinggal berhitung kurang dari 31 hari lagi sampai akhirnya ia resmi menjadi Nyonya Tanaka.Padma tak tahu apakah ia benar-benar beruntung atau bagaimana, tapi ibunya berhasil menemukan
Badai tak tahu apa itu rasa sayang pada seorang perempuan yang bukan keluarganya, sampai ketika ia terbangun di pagi hari dan yang pertama ia cari dan hubungi adalah Padma Hardjaja.“K-kamu ngomong apa?”Kerjapan mata Padma membuatnya terlihat lucu di mata Badai. Kalau saja mereka mereka bukan ada di rumah sakit, Badai pasti sudah menciumnya habis-habisan.“Nggak ada siaran ulang,” ledek Badai. “Udah sana, ke tempat Om Banyu. Nanti aku susul, Hon.”Padma mengerucutkan bibirnya. “Nanti aku tagih lagi apa yang barusan kamu bilang.”“Bilang aja kamu mau bikin aku ngucapin itu seratus kali,” cibir Badai sambil melepas pelukannya pada Padma dengan tak rela.
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec