"A-apa Mas Mahes benar-benar menyukaiku?"Napas Mahes tercekat, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar pertanyaan Bellia barusan. Seluruh syaraf di dalam tubuhnya seolah-olah kehilangan fungsi.Mahes bergeming, kaku, lidahnya mendadak kelu. Sedikit pun dia tidak pernah menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Bellia.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia jujur pada Bellia tentang perasaannya?"Bellia, a-aku ...." "Apa yang Pak Daniel katakan tidak benar 'kan, Mas? Mas Mahes tidak mungkin menyukaiku, 'kan?"Mahes menghela napas panjang lalu menatap Bellia dengan lekat. "Bagaimana kalau yang Daniel katakan benar?"Tubuh Bellia menegang mendengar pertanyaan Mahes barusan. Kedua matanya menatap Mahes dengan lekat, berusaha mencari kebohongan di sana. Namun, dia tidak menemukannya.Apa Mahes benar-benar menyukainya?"Mas ...." Bellia menatap Mahes dengan sendu. Selama ini dia selalu menyangkal dengan perhatian yang Mahes berikan pada dirinya.
Khaisar berjalan dengan cepat meninggalkan ballroom hotel. Kedua matanya memperhatikan sekitar dengan lekat, berusaha menemukan seseorang yang sudah dia cari sejak sepuluh menit yang lalu.Dia sudah berusaha menelepon, tetapi ponsel Daniel ternyata tidak aktif. Merasa panik dia pun bergegas mencari sahabatnya itu.Langkah Khaisar melambat ketika berhasil mendapati sosok yang dia cari. Embusan napas lega sontak lolos dari bibirnya ketika melihat Daniel yang sedang merokok di taman.Napas Khaisar tampak terengah-engah, bulir-bulir keringat keluar membasahi tubuhnya. Daniel tadi meminta dirinya untuk menemani pergi ke pesta. Namun, sahabatnya itu tiba-tiba menghilang ketika dia pergi ke toilet sebentar. “Aku sudah mencarimu dari tadi, ternyata kamu asyik merokok di sini.” Khaisar menepuk pundak Daniel pelan lalu duduk di sampingnya.“Ada apa, Khai?” tanya Daniel setelah Khaisar berhasil mengatur napas. “Kenapa kamu mencariku?”“Aku takut kamu pulang diam-diam.”“Cuma karena itu?” Daniel
"Bunga untuk pesanan jam satu siang nanti apa sudah siap, Dit?" tanya Bellia sambil merangkai bunga baby's breath pesanan pemuda berseragam SMA yang ada di hadapannya. Setelah selesai, dia langsung memberikan bunga tersebut ke pemuda itu."Ini bunga untuk mendiang ibumu. Lain kali jangan bolos sekolah lagi, ya?" ucap Bellia membuat pemuda itu tersenyum malu.Setelah membayar bunga dan mengucapkan terima kasih, pemuda itu segera pergi meninggalkan toko.Bellia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah pemuda yang sudah menjadi pelanggan tetap di toko bunganya itu. Dia sudah sering mengingatkan pemuda itu agar tidak bolos sekolah. Namun, pemuda itu hanya mendengar nasehatnya sekali, setelah itu mengulangi lagi."Jadi, gimana, Dit? Apa sudah selesai?" tanya Bellia dengan suara yang sedikit keras, mengingat Dita ada di ruang sebelah."Astaga! Aku lupa, Bell!" pekik Dita terdengar panik.Bellia cepat-cepat menghampiri Dita yang sedang gelisah di tengah bunga yang berserakan. "Kenapa
Cuaca siang ini cukup cerah. Daniel mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang ramai tetapi lancar. Matanya yang tajam sesekali memperhatikan sekitar, menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang dilaluinya.Bukit-bukit hijau yang membentang di tepi jalan menyuguhkan panorama yang menyejukkan mata. Pemandangan seperti ini jarang sekali bisa dia nikmati saat berada di tengah hiruk-pikuk kota yang begitu menyesakkan. Seharusnya dia kembali ke kantor setelah meninjau proyek pembangunan pusat perbelanjaan baru yang dikembangkan oleh perusahaannya. Namun, dia malah membawa mobilnya ke luar kota.Kota kecil tempat Bellia tinggal.Daniel sendiri tidak mengerti mengapa dia bisa seperti ini, padahal Bellia sudah menolaknya berkali-kali. Namun, dia hanya mengikuti kata hatinya yang memintanya untuk pergi ke kota ini.Daniel memarkir mobilnya di seberang sekolah yang terlihat mulai lengang. Waktu pulang sekolah telah tiba dan satu per satu anak-anak meninggalkan gerban
Bellia tertegun, sepasang iris hezel miliknya terpaku pada Daniel yang sedang berjalan dengan tegap dan mantap sambil menggandeng tangan kecil Marvell. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam memandangi lelaki itu.Masih tergambar jelas di ingatan Bellia apa yang Daniel lakukan pada dirinya saat terakhir kali mereka bertemu. Daniel dengan lancang mencium bibirnya karena dia terus menyangkal kebenaran yang lelaki itu coba ungkapkan.Bukan tanpa alasan mengapa Bellia selama ini terus menyangkal. Dia takut Daniel akan merebut Marvell darinya jika lelaki itu tahu kalau Marvell adalah putranya karena mereka pernah menghabiskan malam bersama.Lagi pula Daniel sudah memiliki tunangan dan dia tidak ingin menjadi penghalang di antara hubungan Daniel dengan tunangannya.Akan tetapi, Daniel ada di hadapannya sekarang. Lelaki itu bahkan berani membalas tatapan matanya, seolah-olah tidak pernah melakukan kesalahan pada dirinya.Menyebalkan!Bellia tanpa sadar mengepalkan kedua tangann
Kaki Bellia bergerak gelisah, berkali-kali dia menggigit kuku jari tangannya sambil memperhatikan jalanan melalui kaca mobil yang ada di sampingnya dengan cemas. Tarikan napas panjang tidak berhasil membuat perasaannya menjadi lebih tenang. Dia malah semakin merasa gelisah, takut, dan cemas.Nenek memang sering sakit-sakitan, tetapi baru pertama kali ini beliau jatuh hingga tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit.Bellia takut terjadi sesuatu yang buruk dengan neneknya karena hanya wanita itu satu-satunya keluarga yang dia miliki selain Marvell.Sementara itu Daniel fokus mengendarai mobilnya sambil sesekali melirik Bellia yang duduk di sampingnya, dan Marvell yang duduk di kursi penumpang belakang melalui kaca spion depan.Marvell terlihat kebingungan, meskipun begitu Marvell patuh duduk diam di belakang. Sedangkan Bellia terlihat begitu panik.Sebagai seorang lelaki, Daniel tidak bisa diam saja melihat Bellia yang terlihat panik. Dia harus melakukan sesuatu agar perasaan
Bellia berulang kali menghela napas panjang lalu menatap pintu kaca yang ada di hadapannya dengan cemas. Sudah tiga jam berlalu, tetapi operasi sang nenek belum juga selesai.Marvell yang duduk di atas pangkuannya sejak tadi terus menguap. Anak itu pasti bosan menunggu nenek buyutnya. Bellia sebenarnya tidak tega membiarkan Marvell berlama-lama di rumah sakit. Dia takut Marvell tertular penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya tidak sekuat orang dewasa.Biasanya dia selalu minta tolong Mahes untuk menjaga Marvell. Akan tetapi, dia tidak mungkin melakukannya karena sedang menghindari lelaki itu. Sebenarnya Daniel tadi sudah menawarkan diri untuk menjaga Marvell. Namun, dia tidak mungkin membiarkan Marvell bersama lelaki itu. Terdengar jahat memang, tetapi Bellia meyakinkan dirinya sekali lagi kalau dia tidak punya pilihan.Dia takut Marvell akan semakin dekat dengan Daniel jika terlalu sering menghabiskan waktu dengan lelaki itu.Helaan napas panjang kembali lolos dari bibir mungil
Bellia memakan nasi kepalnya dalam diam. Setelah selesai dia langsung membuang bungkus makanan itu ke tempat sampah dan kembali duduk di samping Daniel.Alis Daniel mengernyit melihat makanan yang dia beli untuk Bellia masih tersisa banyak. “Kamu tidak akan kenyang kalau cuma makan sedikit, Bellia. Cepat makan lagi!”Bellia tergagap mendengar ucapan Daniel. “Ta-tapi saya sudah kenyang, Pak.”Daniel menghela napas panjang. “Kalau begitu buang saja sisanya,” ucapnya terdengar dingin.Bellia menunduk dalam melihat wajah Daniel yang terlihat kesal. Tanpa sadar kedua tangannya meremas ujung baju yang dipakainya hingga kusut. Bellia sebenarnya tidak bermaksud mengabaikan perhatian Daniel yang sudah membeli makanan untuknya. Dia hanya sungkan jika mengambil makanan terlalu banyak.“Bukan itu maksud—” Bellia ingin menjelaskan, tetapi urung ketika mendengar pintu ruangan operasi terbuka. Bellia lebih memilih untuk cepat-cepat menghampiri seorang dokter yang baru saja keluar dari sana daripada
Bellia lupa kapan terakhir kali dia bisa bernapas dengan lega seperti ini. Selama lima tahun terakhir kehidupan yang dia jalani terasa begitu berat, hingga membuatnya kesulitan untuk sekadar menarik napas.Kejadian malam itu masih membekas di ingatan Bellia sampai sekarang. Dia tidak akan pernah lupa ketika Daniel merenggut mahkota paling berharga di hidupnya dengan tidak sengaja.Saat dia ingin memberi tahu Daniel tentang kehamilannya dan kejadian yang sebenarnya, dia malah melihat Daniel berciuman dengan wanita lain di ruangannya.Akhirnya Bellia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daniel dan mencoba menjalani hidup tanpa bayang-bayang lelaki itu. Awalnya tentu saja tidak mudah, apa lagi kondisi Nenek Amira semakin hari semakin memburuk.Namun, Bellia tidak menyerah begitu saja karena dia memiliki tekad yang begitu kuat demi kesembuhan Nenek Amira serta bayi yang berada di dalam kandungannya.Kehidupan Bellia pun berangsur-angsur membaik setelah Marvell lahir. Kehadiran anak itu m
Bellia tidak bisa menikmati sarapan dengan tenang, dia mengunyah nasi gorengnya dengan enggan, sementara kedua matanya terus mencuri pandang ke arah Daniel yang duduk di hadapannya.Bellia tidak pernah menyangka dia akan kembali berciuman dengan Daniel. Dia bahkan mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki itu dan membalas ciumannya tidak kalah panas.Entah setan apa yang sudah merasuki pikirannya. Dia mendadak berubah menjadi lebih liar jika bersama dengan Daniel. Lelaki itu mempunyai pesona dan daya tarik yang sangat kuat dan sulit sekali untuk ditolak.Untung saja Marvell tadi memanggilnya. Jika tidak, dia dan Daniel pasti sudah berakhir di ranjang."Kenapa kamu makan cuma sedikit? Apa kamu tidak berselera?"Pertanyaan Daniel barusan sukses membuat Bellia tergagap. "Em, tidak. Nasi goreng ini enak, kok."Daniel menatap Bellia dengan alis terangkat sebelah. Biasanya Bellia mengajak Marvell bicara saat makan, tapi ibu dari anaknya itu sekarang lebih banyak diam."Kenapa kamu dari t
"Mas Daniel, kamarnya sudah siap."Daniel segera beranjak dari tempat duduknya begitu mendengar suara Bellia, pergi ke kamar yang ada di sebelah."Maaf ya, Mas. Kamarnya jelek."Daniel mengamati kamar bernuansa biru muda itu. Sebuah ranjang berukuran sedang ada di tengah-tengan kamar. Di samping ranjang tersebut ada sebuah meja kayu yang menghadap langsung ke arah jendela. Di sebelah meja tersebut, ada sebuah pot bunga berukuran besar yang membuat suasana terasa lebih segar. Daniel akui kamar ini jauh lebih kecil dari pada kamarnya yang ada di apartemen. Namun, dia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia hanya merasa sedikit kurang nyaman karena kamar ini tidak dilengkapi dengan mesin pendingin ruangan. Sepertinya dia harus tidur dengan bertelanjang dada agar tidak merasa gerah."Jangan bilang seperti itu, Bie. Kamar ini cukup nyaman. Terima kasih sudah mengizinkanku menginap di rumahmu.""Baiklah kalau begitu, selamat tidur, Mas."Daniel mengangguk, dia langsung melepas kemeja yang
Tiba-tiba saja Bellia menggeliat pelan lalu mengerjapkan kedua matanya perlahan. Dia sontak bangun dan duduk di ujung tempat tidurnya ketika sadar kalau dirinya berada di dalam kamar sementara Daniel berada sangat dekat dengannya.Lelaki itu bahkan menatapnya dengan sangat lekat. Seolah-olah tidak ada hal lain di dunia ini yang lebih imdah selain dirinya.“Ma-Mas Daniel?!” Bellia tersentak, jantungnya berdebar hebat karena mencium aroma musk bercampur dengan keringat yang menguar dari tubuh Daniel. Aroma yang menenangkan sekaligus membuat jantungnya berdebar.“Kamu tadi tidur sangat lelap, aku jadi tidak tega membangunkanmu. Karena itu aku membawamu ke sini,” jelas Daniel tanpa Bellia meminta.“Te-terima kasih,” ucap Bellia terdengar gugup. Bellia pikir Daniel akan segera menjauh dari darinya. Akan tetapi lelaki itu tetap bertahan di posisinya.“Bie ...,” panggil Daniel pelan. Suaranya terdengar rendah tapi dalam membuat Bellia gugup luar biasa.“Em, ya?” Bellia memberanikan diri memb
Bellia tidak langsung menjawab, terlalu banyak kebaikan yang sudah Daniel berikan untuknya. Dia merasa tidak pantas menerima kebaikan lelaki itu lagi.“Bie ....”Bellia tersentak ketika Daniel meraih kedua tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Entah mengapa tatapan Daniel yang begitu meneduhkan tidak mampu membuat perasaannya tenang. Dia justru merasa semakin gelisah.“Jangan pernah merasa tidak pantas menerima bantuanku, Bie.”Ucapan Daniel sukses membuat Bellia terhenyak. Sepasang iris hezelnya menatap Daniel dengan pandangan tidak percaya.Kenapa Daniel bisa membaca pikirannya? Apa lelaki itu seorang cenayang?“Aku bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan karena semua terlihat jelas di wajahmu.”“Maaf ....” Bellia menunduk dalam, dia merasa malu sekali sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Daniel.Daniel menggenggam jemari tangan Bellia lebih erat. “Jadi ... bagaimana? Kamu mau menerima bantuanku, ‘kan?”Daniel bertanya dengan sangat hati-hati mengingat Bellia memiliki sifat
Jantung Bellia berdetak tidak karuan ketika melihat pesan yang baru masuk di ponselnya. Rasanya aneh sekali karena dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Jantungnya sekarang berdegup kencang setiap kali nama Daniel muncul di layar ponselnya. Daniel tidak pernah absen mengirim pesan sejak dia memutuskan untuk memberi lelaki itu kesempatan. Isi pesan yang begitu manis membuatnya sempat berpikir kalau orang yang mengirim pesan bukanlah Daniel. Namun, dugaannya ternyata salah. Orang yang setiap pagi mengirim ucapan selamat pagi tersebut memang Daniel. Bellia tidak pernah menyangka orang sekaku dan sedingin Daniel bisa mengirim kalimat yang begitu manis pada dirinya. Sepertinya lelaki itu benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Awalnya Bellia sempat merasa ragu, tapi Daniel bisa membuktikan jika dirinya benar-benar serius lewat caranya sendiri. Perhatian serta kasih sayang yang lelaki itu berikan perlahan-lahan berhasil meruntuhkan dinding yang dia bangun d
“Kamu tidak turun?”Bellia tergagap, dia tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya sudah tiba di rumah karena terlalu asyik melamun. Daniel bahkan sudah membukakan pintu untuknya.Bellia pun cepat-cepat turun lalu mengucapkan terima kasih.Daniel hanya mengangguk lalu meraih tubuh Marvell yang sudah terlelap ke dalam gendongannya.“Biar saya saja, Pak.”Daniel menggeleng pelan. “Bukakan saja pintunya, biar aku yang menggendong Marvell ke kamar.”Bellia tidak membantah, dia segera membuka pintu rumahnya lalu menuntun Daniel ke kamar untuk menidurkan Marvell.“Apa kita bisa bicara sekarang?”Bellia tersentak, dia pikir Daniel akan langsung kembali ke kota setelah mengantarnya dan Marvell pulang. Akan tetapi lelaki itu langsung bertanya setelah menidurkan Marvell di kamar.“Aku tidak bisa manahannya lagi, Bellia. Kita harus bicara sekarang.”“Baiklah.” Bellia menghela napas panjang, perasaan gugup mulai menguasai dirinya. “Kita bicara di luar.”Bellia berjalan keluar dari kamarnya l
Suasana makan siang kali ini terasa sangat berbeda. Bellia biasanya selalu menanggapi apa yang sedang Marvell dan Daniel bicarakan di meja makan. Akan tetapi, dia kali ini lebih banyak diam dan sibuk dengan makanannya. Dia hanya menanggapi ucapan Marvell, seolah-olah tidak menganggap keberadaan Daniel.“Marvell sudah selesai makan?”“Sudah, Ma.”Bellia beranjak dari tempat duduknya, mengambil piring kotor milik Marvell dan Daniel lalu membawanya ke belakang untuk dicuci. Setelah selesai dia segera mengajak Marvell ke toko karena dia hari ini memiliki pesanan bunga lumayan banyak. Tidak lupa dia menyiapkan segala keperluan Marvell sebelum pergi agar anaknya itu tidak bosan selama menunggunya bekerja.“Aku akan mengantar kalian ke toko.”Bellia tersentak ketika Daniel tiba-tiba mengambil tas yang ada di tangannya menuju mobil lelaki itu.“Tidak perlu, Pak. Kami akan pergi naik motor,” ucap Bellia berusaha setenang mungkin, meski dalam hati dia merasa kesal sekali. Dia sontak berhenti me
Suasana di dalam mobil kembali hening, tapi ketegangan masih sangat terasa. Tangan Daniel mencengkeram kemudi dengan erat hingga buku-buku jarinya gemetar, napasnya pun terdengar tidak beraturan, menunjukkan emosi yang berusaha dia tahan.Kedua mata Daniel memang fokus memperhatikan jalan, tetapi pikirannya melayang pada kejadian di sekolah Marvell tadi. Bayangan Marvell yang menangis tersedu-sedu karena diejek teman-temannya terus melintas di pikirannya.Daniel tidak bisa berhenti menyalahkan diri. Dia merasa gagal dan tidak berguna menjadi seorang ayah. Seharusnya dia ada di sisi Marvell sejak awal. Seharusnya dia melindungi Marvell dari hinaan teman-temannya yang kejam.Seharusnya ....Daniel menarik napas dalam-dalam, berusaha menghalau sesak yang menghimpit dadanya. Andai saja lima tahun lalu dia mau menekan egonya dan mencari Bellia, Marvell tidak akan kehilangan sosok ayah dan mengalami kejadian buruk seperti tadi.Rasanya Daniel ingin sekali kembali ke masa lalu untuk memperba