"Tita Shanum," sapa Ken menepuk pipiku, aku terkesiap kaget. Aku melamun."Maaf, aku tadi lagi bayangin kita nikah." Astaga, konyol!"Cieee ... Sini peluk," goda Ken."Kenzo, jitak nih."Kenzo malah mencium pipiku, aku mencubit pinggangnya."Aku ikhlas mau dicubit sampe bengkak pun kalo buat cium kamu," ujarnya."Heh," tangkasku sambil kembali mencubit pinggangnya."Sini cium lagi," pintanya."Kenzooooooo ...," teriakku, kupukul juga lengan atasnya. Tanpa meringis dia malah tertawa."Kamu tuh gemesin." Dia menjawil pipiku.Alarm di ponselku berbunyi, tanda memo mengingatkan kalau hari ini dan jam ini ada janji."Astagfirallah, Ken, aku ada janji ketemu bu ustadzah Fitri.""Gak usah panik, yuk aku antar.""Alhamdulillah, ayok. Kita ke jalan Gatot Subroto ya tepatnya di mesjid agung.""Siap nyonya," katanya berdiri dengan tegap. Kenzo memang ganteng, putih tapi gagah. Apa mungkin bapak kandungnya juga ganteng, ya tuhan masih sempat mikir demikian aku ini."Silahkan tuan putri," seru Ke
"Assalamualaikum," uluk salamku pada ibu-ibu pengajian itu."Waalaikumsalam," koor semuanya menjawab salamku."Kebetulan nih ada anak muda, coba tanya dia lebih memilih patuh pada pemerintahan atau menolaknya." Seorang ibu berkerudung biru muda lengkap dengan kelap-kelipnya itu menunjuk kami."Waduh, pas tuh materi kamu, Yank."Kenzo mencolekku. Sepertinya sedang ada perdebatan tentang pemerintahan. Aku justru fokus ke seorang ibu berjilbab putih dengan kacamata minus, ya, bu Indi. Tapi dia segera menempelkan jari telunjuknya kode bahwa aku harus diam, dia menutup mukanya dengan masker. "Silahkan nak tita dijawab," seru ustadzah."Tita memang kurang suka sama pemerintahan, bahkan kemarin saya golput.""Bisa lebih dijelaskan alasannya?" tanya bu ustadzah lagi."Menurut saya saat ini, pemerintahan kita dah kek zaman Firaun. Manusia didirect dengan ketakutan sehingga tak ada penolakan dari masyarakat. Lalu kenapa saya dan calon istri saya menolak dengan semua kebijakan pemerintahan saat
Aku melihat bu Indi di halaman mesjid, tapi dia segera menghindar ke tempat wudhu perempuan. Aku pamit pada Kenzo berpura ikut buang air di toilet mesjid, Ken mengizinkan. Aku segera mengejar bu Indi, yang benar dugaanku dia berada di tempat wudhu perempuan."Kenapa ibu harus menghindar?" tanyaku ke hadapan bu Indi, dia terlihat kaget karena aku ternyata mengejarnya."Tita, ngapain kamu kejar ibu. Nanti Ken curiga dan ngejar ibu juga.""Gak bu, gak mungkin Ken masuk ke area khusus perempuan. Ibu kenapa menghindari saya dan Ken?""Pergi, Nak. Jangan buat Ken curiga. Dia bahaya buat ibu, ibu mohon!""Tenang Bu, ada aku. Aku harap ibu mau bertemu aku nanti sore ya,""Tidak Tita, jangan mengambil resiko untuk ketemu ibu. Tolong, jangan kotori hatimu untuk balas dendam pada Maya.""Ya Tuhan, tidak. Aku tak pernah terpikir untuk balas dendam sama maya, Bu. Aku cuma mau tau cerita maya dengan kenzo.""Buat apa? toh kalian mau menikah. Menjauh dari kami, Nak.""Tidak, aku harus tau dulu ada a
Lukaku berdarah lagi, rupanya robek karena gesekan keras tadi. Kembali dokter menjahit lukaku."Masih sakit?""Masih.""Sabar ya," ungkap Ken mengusap kepalaku. Aku menolak dirawat, maka Ken meminta dokter untuk tidak rawat inap. Beruntung dokter mengizinkan asal memang dijaga sangat benar."Kita pulang sekarang, Sayang."Aku dipapah Ken keluar ruangan setelah mendapat pengobatan dari dokter."Pelan saja ya, Ken, sakit geraknya.""Iya sayang senyaman kamu, kalo perlu aku gendong lagi boleh," tawarnya."Gak, malu.""Mau pulang ke rumah yang mana?""Maksudnya?""Hee ... Kali mau ke rumah kita.""Kamu ini, kita belum halal.""Biar aku ngurusin kamunya gak kagok gitu loh,""Kagok gimana?""Ya megang kamunya, kalo dah halal pan megang yang lain juga boleh kan," serunya mengerling nakal. Aku melotot ke arahnya, sambil menunjukan kepalan tangan."Wih takut nyonya Kenzo marah,""Jangan bercanda,""Iya deh iya.""Aduuuuuh Ken, aw."Aku meringis kesakitan saat kakiku menaiki mobil, baju atasan
Semua sudah terencana dari mulai awal acara sampai akhir. Mereka mengatur semuanya, aku hanya pasrah saja meski ada hal yang mengganjal dalam hati. Aku ingin tahu siapa bu Indi bagiku juga bagi Maya."Umi," sapaku lalu kutempelkan jari telunjukku ke bibir tanda kalau apa yang akan aku sampaikan adalah rahasia."Kenapa, Nak?" tanya umi pelan dan hampir berbisik."Tadi ada bu Indi," jawabku dengan berbisik juga. Umi menutup mulutnya dengan telapak tangan kanan, beliau tak percaya apa yang aku katakan."Jangan bercanda, Nak.""Gak, tadi aku sempat ngobrol dengannya, dia seperti ketakutan. Tapi dia terharu melihat kita.""Benarkah?""Umi tau sesuatu?""Bu Indi itu orang baik, jujur, waktu dia jadi asisten rumah tangga kami. Satu kesalahan dia, dia mau merebut abi dari umi."Astaga, drama apalagi ini ya Allah. Terlalu pelik cerita ini, aku hanya ingin tau siapa maya dan Ken kenapa malah mendapat cerita seperti ini."Merebut bagaimana?""Dia menjebak abi dengan berbagai cara supaya dia bisa
[Ta,] sebuah pesan dari nomor yang tidak diketahui. Kulihat foto profilenya, bu Indi.[Iya Bu, ada yang mau ibu sampaikan?][Ibu tunggu di taman kota,][Baik, aku siap-siap dulu.]Aku sudah mulai siap pergi, tapi ibu menghadang."Mau kemana, Sayang?""Ada janji ketemu teman, Bu. Sebentar saja ya,""Gak minta Ken antar?""Gak, dia kerja. Gak apa Tita sendiri saja.""Ya sudah hati hati ya," pesan ibu."Iya Bu."Akupun datang ke taman kota, sendiri. Kulihat bu Indi sudah duduk di sana. Kusapa beliau dengan uluk salam, dengan tenang dia menjawabnya."Gimana, Bu. Apa yang mau ibu kasih tau sama saya?" tanyaku duduk di sampingnya."Selamat ya, Nak. Sebentar lagi kamu menikah.""Iya, tapi bukan itu bu. Ada hal lain yang harus ibu ceritakan.""Soal apa?""Siapa ayah maya?""Bukan urusanmu,""Tita tau cerita ibu, ibu hamil dan minta abi menikahi ibu kan?"Kulihat bu Indi kaget mendengar kalimat yang aku utarakan."Tau dari mana? Oh, si Devi cerita.""Umi sudah memaafkan ibu dan gak pernah dend
"Angkat saja dulu," seru bu Indi. Aku pun manut. "Iya bu Assalamu'alaikum, ""Waalaikumsalam, di mana kamu? Mau hujan loh, ibu suruh Ken jemput kamu ya?""Gak usah, sebentar lagi aku pulang ko.""Yasudah, buruan.""Iya, Bu.""Pulang sana, sebelum hujan turun.""Yuk, bareng," ajakku. Tapi bu Indi menggeleng. "Cerita kita belum selesai, di mana anak ibu dan abi?""Tita, sudah. Cepet kamu pulang sana.""Ayolah bu,""Besok lagi saja,""Ibu janji ya cerita lagi ya,""Iya, sana pulang. Hati-hati ya."Akupun pulang sebelum hujan turun, semoga tidak ada anak buah Kenzo yang melihat aku dan bu Indi mengobrol. ***Kasih, kupagari taman-taman itu di lepas pantai ketika aku melewati hutan bebatuan. Padi-padi melambai, puisi pun ikut membentangkan langit pada burung-burung yang terbang karena merindukan sangkarnya. Angin berlari-lari kecil menjelang fajar ditengah sawah antara pohon kelapa dan sayap-sayap yang patah. Birahi memelas jenazah, menghilangkan jejak di pasir putih dengan bayangannya
Semburat jingga sore itu membuat aku betah berlama-lama di halaman belakang rumah. Memetik dedaunan juga bunga di sana, menikmati segarnya air terjun buatan di kolam ikan. "Nak," sapa ayah menghampiriku. "Iya, ayah." "Boleh ayah bicara sesuatu?""Tentu saja ayah, kenapa?""Sebentar lagi kamu akan menikah, ada yang harus kamu ketahui. Ayah tidak bisa jadi wali nikahmu.""Loh, kenapa ayah?""Ayaah, anter ibu ke pasar sebentar!" belum juga ayah menjawab, ibu datang minta tolong padanya. "Boleh, ayah anter ibumu dulu ya, Nak," pamitnya. "Iya ayah, hati-hati."Ayah mau ngomong apa tadi, kenapa dia bilang tak bisa jadi wali nikah aku? Apa yang salah denganku? [Di mana?] tanyaku dalam pesan singkat whatsapp. [Kangen ya, aku di rumah sakit. Jenguk Rio.] balas Ken. [Napa gak ngajak aku, kan pengen nengok dia juga,][Ya sudah aku jemput sekarang, kamu siap-siap gih.][Ok, Sayang.]Akupun segera berbenah, mengganti pakaian yang lebih sopan dan rapi. Berhijab sesuai syariat juga. Bagaiman