Mata-mata dengan tatapan tajam melihat ke arah Marcella. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya Marcella kembali menginjakkan kaki di salah satu gedung perkantoran termewah itu. Beberapa karyawan tampak canggung untuk menyapanya. Hubungan Bayu dan Marcella yang berantakan dan penuh kepahitan ten
Bayu melihat sekilas ke arah Marcella. Baik Marcella dan Ricky berdiri untuk menyambut Bayu. Sebelum kemudian Bayu duduk di kursi yang ada di kepala meja. “Jadi, Marcella, kau sekarang adalah direktur keuangan di Naomi Company. Perusahaan yang sedang kami proyeksikan untuk investasi terbesar di tah
Bayu menghentikan langkah kakinya. Keadaan seketika membeku. Marcella berhenti pada kalimat terakhirnya. Ricky berdiri tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bayu masih dalam posisi memunggungi meja meeting dan menunggu. Dua langkah lagi Bayu nyaris menuju pintu. Dia berpikir bisa melepaskan diri dar
Bukan merasa itu sebagai tuntutan, Bayu justru melihatnya sebagai permintaan akan kebutuhan. Sebelah tangan kekar Bayu masih berada di pinggang runcing Marcella. Dia begitu posesif seolah tidak akan pernah melepaskan Marcella untuk selamanya “Tolong….” Marcella menundukkan kepala. Dia telah sampai
“Video percobaan pemerkosaan dari rekaman CCTV di kantorku malam itu, saat kau datang untuk memintaku membayar tubuhmu demi biaya operasi Aryani, masih tersimpan dengan baik. Dan Video itu bisa menjadi bukti terbaik untuk merusak nama baikmu juga membawamu mendekam di dalam penjara!” Nirina mendeci
“Ada apa denganmu? Tidak biasanya kau memaksa seperti ini?” tanya Marcella merajuk ketika dia menyandarkan punggung di kursi mobil. Avan sama sekali tidak menjawab. Dia mencondongkan tubuh di depan Marcella. Wajahnya tepat di depan wajah Marcella. Hidung mereka nyaris bertemu dan sesaat nafas kedua
“Wow! Avan, it’s so wonderful place.” Marcella perlahan melepaskan tangannya dari genggaman. Bagian belakang cafe itu menghadap ke lereng gunung. Kabut tipis menyelimuti permukaan yang menghamparkan kerlip lampu pemukiman yang ada di bawahnya. Seperti bintang bertaburan di atas permukaan tanah. Ang
Avan memandang hampa pada tangannya yang kosong. Sesaat kemudian dia mengikuti Marcella dan duduk di kursi yang ada di depannya. Avan membiarkan semua keheningan tetap diam sebanyak waktu yang Marcella perlukan. Marcella menarik nafas panjang sebelum memulai kembali. “Aku bukan wanita yang bebas, A