~Ada satu tempat yang terkadang kita merasa bahwa kita tidak seharusnya ada di situ~
"Nah! Mari kita mulai pelajaran pertama kita. Sebelum kita jauh-jauh belajar merawat bayi, kita harus tahu dulu apa itu bayi. Kita harus memahami sifat dasar yang harus kita punya saat berhadapan dengan yang namanya bayi."Pelajaran pertama sudah dimulai. Instruktur yang tadi bermasalah dengan Yoga mulai berbicara banyak hal tentang bayi. Jidan dan Yoga berada di tempat duduk paling depan. Instruktur itu sengaja melakukannya agar ia bisa memantau Yoga dengan baik."Sifat pertama yang paling kalian harus miliki saat berhadapan dengan bayi adalah, es asa be aba r. Sabaaaaarrrr."Instruktur itu menjerit dengan tidak sabar mengucapkan kata sabar. Aneh sekali. Mengucapkan kata sabar dengan sangat tidak sabaran. Jidan bahkan sampai menahan tawa."Sarap nih orang." Yoga berbisik pada Jidan."Uhuk! Uhuk." Jidan hanya bisa terbatuk.~Orang yang sedang kalut terkadang hanya butuh waktu untuk menyendiri~"Haiya rugila, rugila.... Haiya... Begini celitanya, owe Lugila..."Cika tertawa mendengar suaranya sendiri saat mengejek Jidan ketika menceritakan semua pengalaman dirinya dan Yoga di tempat latihan merawat bayi.Yoga sendiri masih hanya duduk di sofa pojok ruangan yang ada di kebun. Ia malas menanggapi tawa Cika. Seharusnya Jidan tidak menceritakan hal itu, namun ia tidak bisa mengelak pada Sagita ketika wanita cantik itu bertanya kenapa Jidan cepat sekali pulangnya. Baru kelar suara tawa Sagita, Cika dan Risa, Cika mulai berulah lagi."Haiya, lugila owe ini. Lugi uang pendaftaran, padahal owe mau kawenlah, haiya butuh banyak modalah. Hahahaha."Cika tertawa lagi dengan senang hati. Jidan tampak memasang wajah kesal. Yoga juga. Keduanya tampak sangat tidak nyaman dengan situasi saat ini. Risa menyikut Cika, mulai mencoba menyadarkan makhluk s
~Hadiah dari orang tersayang, pasti selalu istimewa~"Hadiah apa?" Risa bertanya dengan serius pada Cika. Mereka berdua sedang memancing di kolam tengah kebun sambil membahas jika nanti Jidan dan Sagita menikah, mereka memberi kado apa."Doa." Cika menjawab dengan mantap.Sore itu suasana kebun terasa sejuk. Hujan ringan baru saja mengguyur. Entah ada angin apa, Cika justru mau memancing di salah satu kolam yang ada di kebun itu."Cik, kalau pelit jangan kebangetan napa.""Ih siapa yang pelit Risa? Doa itu adalah doa terindah yang bisa diberikan oleh sesama muslim. Bukankah kita dianjurkan untuk saling mendoakan? Kamu mendoakan aku dan aku mendoakan kamu. Sama seperti kalau kita memberi doa pada Kak Sagita.""Dasar Cika gila." Risa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa jika temannya itu sudah tidak waras."Ih kok gila? Doa itukan baik.""Iya Cika iya. Yang bilang doa itu e
~Makan gratis adalah ide yang baik untuk meminta maaf~Undangan makan malam kali ini tidak biasa. Bukan undangan makan malam seperti undangan makan malam Jidan pada Sagita. Undangan makan malam kali ini terlihat mencurigakan.Cika dan Risa sudah bisa dipastikan tidak mau memenuhi undangan itu. Namun bagaimana dengan Sagita? Ia masih berusaha untuk berpikir positif. Mencoba untuk berpikir bahwa ini adalah niat baik dari yang mengirimkan."Aku sih No. Enggak tahu deh kalau Mas Anang," celoteh Cika tanpa ragu menirukan perkataan dewan juri salah ajang pencarian bakat."Aku juga No." Risa menjawab mantap tanpa ragu. Sagita masih belum bersuara. Jawaban Sagita sebenarnya tidak penting. 2 orang sudah bersuara. Suaranya hanya satu. Mau apapun jawbaannya, tidak datang adalah solusinya.Handphone Sagita berdering. Bahkan sebelum ia sempat menjawab keputusannya ia harus mengurus urusan lain lagi. Panggilan itu dari Jidan. S
~Akan ada selalu maaf yang tercipta~Makan malam itu berjalan walau cukup alot. Cika berkali-kali mengulangi doanya. Risa yang mendengar lirih suara Cika menyikut."Apa-apaan sih?" protes Cika."Buat jaga-jaga loh. Jadi, kalau ada racunnya, racunnya hilang."Risa menepuk jidatnya. Pasalnya kalau Cika memang curiga ada racun di makanan itu, kenapa ia makan dengan lahap? Cika mengambil udang besar, bebek panggang bahkan ia juga mengambil satu mangkuk penuh sup kepiting. Di antara semuanya, makanan Cika yang paling banyak."Luh gimana sih Cik? Katanya Luh takut diracun, tapi kenapa justru makanan kamu yang paling banyak?" Risa mengerutkan dahinya."Aku kerasukan sepertinya Ris.""Kerasukan apa?""Jin tukang makan."Risa menyikut Cika lagi. Ia merasa malu pada Delia. Ia merasa jika Delia pasti menganggap mereka selama ini tidak pernah makan enak. Namun, Delia justru hanya santai m
~Orang jahat seperti apapun, bisa berubah menjadi baik, jika waktunya tepat~Sagita memperhatikan sekali lagi ruangan itu. Ia menyadari sesuatu. Ia melihat sebuah boneka yang berukuran cukup besar jatuh luruh di atas lantai. Sagita mengerutkan dahinya. Seingat iya, posisi boneka itu tidak ada di sana. Boneka itu seharusnya lebih ke arah kanan sedikit. Sagita tahu dan sadar jika boneka itu bergeser dari posisinya semula saat ia masuk ke dalam ruangan itu.Saat Sagita masuk ke dalam ruangan itu, boneka itu memang sudah ada di lantai, namun posisinya tampak sedikit berubah. Sagita maju mendekati boneka itu. Itu adalah sebuah boneka beruang besar yang bulunya bewarna ungu. Sagita menyentuh boneka itu dan bulunya terasa lembut sekali. Ia lalu mencoba untuk menegakkan boneka besar itu, dan seketika Sagita menarik napas lega.Tepat di bagian bawah boneka itu seorang bayi tertidur pulas sambil mengulum jempolnya. Sagita tertawa kecil sambil me
~Cobalah untuk tidak pelit pada teman sendiri, tapi jangan juga memeras teman dengan dalih persahabatan~Bruuuk!Yoga memeluk Jidan dengan erat. Ia merasa bahagia sekali. Raut wajahnya menunjukkan raut bahagia yang belum pernah ia seperti itu. Jidan membalas pelukan itu dengan canggung. Lama mereka selama ini berteman, namun tentu jarang berpelukan. Bahkan tidak pernah seingat Jidan.Di kebun sedang ramai-ramainya. Semua orang tampak melihat ke arah Yoga dan Jidan. Jidan berusaha melepaskan pelukan Yoga. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri."Kamu kenapa heh? Sakit?" Jidan bertanya pada Yoga."Delia menerimaku. Dia menerima lamaranku. Kami akan menikah. Akan menikah Jidan. Kau percaya itu? Terima kasih banyak. Terima kasih banyak."Baru berkata seperti itu dan belum sempat melihat ekspresi Jidan, Yoga langsung berlari ke arah Sagita, Cika dan Risa. Mereka bertiga ada di dalam ruanga kerja kebun itu. Pintu te
~Kejadian tak terduga bisa terjadi kapanpun~Hari-hari selanjutnya berjalan sempurna. Jidan dan Sagita sibuk dengan persiapan pernikahan mereka. Cika dan Risa juga tidak kalah sibuk membantu Sagita mempersiapkan semuanya. Mereka ingin pernikahan itu nantinya di adakan di kebun itu dengan konsep wedding garden.Konsep itu adalah konsep yang dipilih Sagita. Mereka bahkan tidak perlu menggunakan jasa dekorasi, mereka bisa menggunakan semua bunga yang ada di kebun itu. Konsep itu juga disetujui Jidan. Lebih tepatnya Jidan setuju apapun konsepnya selama ini tetap bisa menikah dengan Sagita.Yoga juga tidak kalah sempurna hari-harinya. Ia juga mulai mempersiapkan pernikahannya dengan Delia. Bahkan satu kabar baik muncul, instruktur pengajar mengurus bayi menghubunginya. Instruktur itu berkata jika uang pendaftaran Yoga dan Jidan tidak hangus, mereka boleh kembali lagi kapanpun mereka mau. Delia yang mendengar rencana Yoga untuk belajar mengurus ba
~Hujan deras membawa cerita~Risa dan Cika mengusap peluh yang ada di dahi mereka. Nyatanya mengirim undangan juga menghabiskan tenaga. Mereka harus jalan dari rumah ke rumah, pintu ke pintu untuk memastikan undangan yang mereka antarkan sampai ke semua undangan.Hari ini jalur pembagian undangan mereka ada di jalan samping kanan dan kiri rumah Jidan. Beberapa tetangga Jidan memang sudah mengenal Cika dan Risa. Apalagi belakangan ini, keduanya sering naik sepeda keliling kompleks perumahan Jidan dengan alasan untuk olahraga sore.Semua undangan sudah tersebar. Cika dan Risa merasa lega. Setidaknya mereka sudah melakukan tugas hari itu dengan baik. Cika merasa dirinya sangat bersemangat hari itu. Mereka berdua lalu mulai kembali mengayuh sepeda, kembali ke kebun. Sayangnya baru beberapa goesan, Risa mengingat sesuatu."Cika!""Apa?""Kita lupa.""Lupa apa?""Ada satu lagi Cik. Satu