“Arrgghhhhhh.” Nisa berteriak dengan sekeras mungkin di kamar itu, di kamar yang ada di rumah mertuanya. Entahlah padahal pernikahannya sudah menginjak pada bulan kesatu, akan tetapi Nisa masih belum juga berhasil dijebolkan oleh Reza keperawanannya.
Ia selalu berteriak histeris lagi dan lagi ketika Reza hendak mencoba untuk memasukinya, seolah ia punya rasa trauma yang begitu besar. “Hussstttt, berisik tahu, Nis! Nanti kita dimarahi sama si Bunda.” Reza menempelkan jari telunjukanya di bibirnya, memberikan isyarat agar istrinya itu tidak menjerit lagi, dan mau diam. Nisa hanya nyengir lebar saja, ketika mendapati respon suaminya itu yang nampaknya khawatir dengan jeritannya, dan pada akhirnya mengakhiri usahanya untuk menjebolkan pertahanan Nisa. Reza luruh di samping Nisa, merebahkan dirinya lagi. “Yaah, kok cepat banget sih layunya, berdirinya cuma bentar,” ucap Nisa ketika mendapati Reza junior di bawah sana sudah mengerucut, kembali ke bentuk awalnya ya“Gimana, Bu? Udah ada tanda-tanda mau isi?” tanya Deden kepada Nisa, iseng saja, ketika ia berada di sekolah, ya lebih tepatnya di kantor sekolah. Sudah hal lumrah bagi sebagian pasangan yang baru menikah jika ditanya sudah ada tanda-tanda hamil atau belum.Nisa masih terdiam sejenak, ia sendiri bingung dengan pertanyaan dari Deden, ia bingung untuk menjawabnya, sebab memang jangankan mau hamil, dijebolkan saja pun belum berhasil, bagaimana mau hamil?‘Gimana mau hamil, bolong aja belum,’ ucap Nisa dalam hatinya.“Eh, kok diam aja sih ditanya Pak Deden! Malah ngelamun lagi!” Riri membuyarkan lamunan Nisa, yang sebenarnya sedang bergumam di dalam hatinya. Ia bingung juga ingin menjawab dengan jujur atau tidak masalah ranjangnya itu yang masih juga belum terjamah.“Apa jangan-jangan belum berhasil, ya?” celetuk Deden menebak sekenanya saja, mendadak wajah Nisa berubah menjadi pias, ia tersentak dengan tebakan Deden yang memang benar adanya itu, tak terbantahka
“Sayang, kita coba lagi yuk malam ini!” Nisa mengajak suaminya untuk mencoba lagi, ya mencoba untuk membolongi. Sesuai dengan saran dari Riri yang diberikan tadi di sekolah.Reza yang sedang focus dalam ponselnya pun kini menoleh kepada Nisa, lalu meletakkan ponselnya di bawah bantal.“Duh, nanti kamu teriak lagi, ntar dimarahi sama si Bunda, udah, ya nanti aja. Aku juga ngantuk nih,” tolak Reza kepada Nisa, seolah ia sama sekali tidak ada hasrat untuk bercinta, padahal biasanya tanpa ditawari pun, sang lelaki akan dengan senang hati melakukannya.Ada apa dengan Reza? Atau memang ia merasa sebal juga karena teriakan Nisa dan susahnya untuk dimasukin olehnya sehingga menjadikan dia enggan untuk mencoba? Ahh, bukannya lelaki suka sekali tantangan?Nisa langsung mengerucutkan bibirnya, tak suka ditolak seperti itu, padahal ia ingin melayani suaminya dengan baik seperti istri pada umumnya.“Udahlah, nanti aja, ya! Gak usah ngambek begitu, di sini tuh bener
“Astaga, Nisa! Pelan-pelan dong kalau bersih-bersih, duh kamu ini, ya!” ucap Eneng bersungut-sungut seraya mengambil pot bunga plastic yang terjatuh tidak sengaja oleh Nisa.“Eh, iya, Bun, Nisa gak sengaja, Nisa minta maaf, ya.” Nisa meminta maaf dengan sedikit ketakutan, khawatir jika mertuanya itu akan murka kepadanya.“Kan tadi Bunda sudah ajarkan kepada kamu, bagaimana caranya menyapu yang benar, dan juga mengepel yang benar, harus lihat-lihat juga sekeliling, jangan asal aja!” Eneng kembali bersungut-sungut mengomentari pekerjaan Nisa.“Iya, Bun, maaf,” ucap Nisa lagi untuk kedua kalinya meminta maaf kepada mertuanya.“Ya sudah, nanti kamu harus lebih hati-hati, ya, Bunda juga bukan marahin kamu, hanya saja karena Bunda ingin agar kamu nanti bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang pintar masak, pintar bersih-bersih rumah, dan juga pintar nyari uang, agar suamimu itu nanti bisa bangga punya istri seperti kamu.”DEGNisa sempat tersentak
Maya hanya diam saja, memasang wajah kesal, marah, emosi, dan juga lelah, ya semuanya kini menjadi satu kesatuan rasa menyesal karena telah memilih untuk menikah dengan lelaki seperti Wahyu. Bahkan lihatlah kini! Lelaki itu malah melempar sapu ke depan mukanya sendiri, entah apa yang ada di dalam benak lelaki itu.Maya masih menatap Wahyu dengan tatapan tajam setelah sapu itu dilemparkan olehnya begitu saja. Maya sendiri tidak menyangka jika emosinya pada malam ini akan menjalar ke mana-mana.Ahh, ternyata kehidupan pernikahan tak seindah seperti yang terjadi di negeri dongeng. Tentu saja TIDAK seperti itu, pada kehidupan nyata, pernikahan tidak semudah itu, pernikahan bukan berarti awal bahagia akan suatu kehidupan, tapi malah sebaliknya, pernikahan adalah awal mula dari sebuah bencana yang datang, awal mula dari sebuah perjuangan.“Apa maksudmu melemparkan sapu itu, hah?” tanya Maya lagi kepada Wahyu dengan mata yang berkilat-kilat, penuh dengan kemarahan
“KAYAK GAK ADA PIRING AJA! COBA SANA AMBIL YANG BENAR!” bentak Eneng kepada Reza, anak kesayangannya itu, ketika mengambil piring dengan ukuran sedang, tentu saja itu tak membuat Nisa terkejut karena hal sepele saja ibu mertuanya bisa memarahi anaknya di depan istrinya sendiri.Hal yang tak seharusnya dilakukan oleh Eneng kepada Reza, terlebih dengan usianya saat ini, sudah punya istri, tak seharusnya diperlakukan sebagai anak kecil dan dimarahi habis-habisan seperti memarahi anak kecil saja.“Iya, Bun, maaf,” ucap Reza dan langsung menukar piring ukuran sedang itu, dengan piring ukuran besar, yang diameternya sekitar 26 cm, piring yang sama, dengan yang digunakan oleh orang yang ada di sana, termasuk adiknya Reza.Sebab memang yang disediakan di meja makan berbahan marmer dan bundar itu hanya lauknya saja, sedangkan nasinya, tersimpan rapi di rice cooker, yang tak jauh dari sana.Bagi Nisa, tentu saja ini hal yang sangat sepele, kenapa harus dipermasalahkan
“Ingat, kan Nis, semua apa yang udah Bunda ajarkan sama kamu?” tanya Eneng kepada Nisa, memberikan wejangan kepada menantunya sebelum akhirnya pindah ke rumah barunya, rumah yang sudah disiapkan oleh kedua orang tua Reza.“Iya, Bun, Nisa udah ingat semua kok.” Nisa menjawab seraya menganggukkan kepalanya saja pasrah dan patuh kepada ibu mertuanya, yang memang selama tiga bulan ini ia seperti sedang dalam masa training saja.“Jadi selama tiga bulan kamu tinggal di sini, Bunda sudah mengajarkan kamu bagaimana caranya menjadi istri yang baik di rumah dan juga bagaimana caranya melayani Reza, sebab kamu tahu sendiri kan kalau suamimu itu kalau gak dilayani, ya gak akan keurus.” Eneng kembali menegaskan.“Kamu harus perhatikan terus penampilannya, ya, bajunya yang rapi, pokoknya harus selalu disetrika, terus itu juga mukanya Reza kamu nanti yang bersihkan, ya. Sebab biasanya Bunda yang ngebersihin mukanya, tapi kan sekarang Reza sudah punya istri dan pindah rumah, jadi
“Bunda sama Ayah bela-belain nguras tabungan 300 jutaan untuk rumah kalian berdua ini, jadi tolong, ya dijaga rumahnya,” ucap Eneng lagi kepada Nisa dan Reza ketika keduanya kini sedang berkemas di rumah baru.Yaa lebih tepatnya yang beres-beres adalah Nisa sendiri, dan dibantu oleh mertuanya sebentar, sementara Reza? Tentu saja ia hanya diam berdiri saja karena memang dilarang oleh Ibunya untuk membantu.“Iya, Bun, makasih, ya.” Reza ikut berkomentar kepada Bundanya, Nisa hanya tersenyum saja menimpali ucapan ibu mertuanya ini yang entah sudah keberapa kalinya diucapkan.“Iya, sayang, apa lagi sekarang mesjidnya di samping rumah banget tuh,” sahut Bunda lagi kepada anaknya.“Denger ucapan si Bunda, tuh Reza! Kamu harus rajin sekarang ke mesjidnya, tuh masjid samping rumah banget,” sahut Ayah kepada Reza, yang memang sulit sekali jika diajak sholat berjamaah ke masjid, ada saja alasannya.“Harus sering ngedoakan Bunda dan Ayah, supaya kami berdua punya
“Kita coba malam ini yuk,” ajak Nisa kepada suaminya. Ajakan yang seharusnya mereka lakukan sejak malam pengantin, akan tetapi sampai saat ini, di usia pernikahannya yang sudah ketiga bulan, masih belum berhasil juga dijebolkan keperawanannya. “Duh, sayang, nanti aja, ya. Aku capek, kan tadi kita abis bersih-bersih, memangnya kamu gak capek apa?” Reza membalikkan tanya kepada Nisa, seraya merebahkan dirinya di atas kasur, ya kasur sebagai tempat favoritenya untuk tidur. Padahal sejak tadi pun, ia sama sekali tidak melakukan apa pun, karena yang membereskan semuanya adalanya Nisa sendiri, dibantu oleh mertuanya sebentar. Sedangkan Reza, dibiarkan saja tidak melakukan apa pun. “Yah, gagal lagi, ditunda lagi dong,” seru Nisa dengan wajah masam, cemberut, padahal ia hanya ingin menunaikan tugasnya sebagai istri saja, tidak lebih, akan tetapi suaminya selalu saja menolaknya, entah karena apa. “Kan masih bisa besok-besok, ya. Gak usa
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih