“Kenapa lagi, Nis? Kok mukanya berubah gitu?” tanya Riri penasaran ketika melihat perubahan pada raut wajah Nisa, padahal sebelumnya ia nampak terlihat ceria, akan tetapi kini berubah lagi menjadi pias.
Nisa menyerahkan ponselnya kepada Riri dan Deden, memperlihatkan isi pesan yang dikirimkan yang membuat wajahnya nampak tidak mood, isi pesan yang dikirimkan oleh Siti. “Astaga, ini Bu Siti yang yang satu sekolah dengan Pak Dani itu kan?” Riri memastikan. Nisa pun hanya mengangguk saja, ia sendiri bingung kenapa Siti malah mengirimkan pesan itu kepadanya, padahal sebelumnya mereka sama sekali tidak punya urusan. Deden hanya diam saja sebab memang dijelaskan bagaimana pun, ia tidak akan tahu. “Memangnya kamu punya masalah sama dia? Duh, tapi dia itu sama julidnya tahu! Ikut campur aja urusan orang lain.” Riri bersungut-sungut, kesal juga kepada Siti yang juga memang ia tahu bagaimana watak wanita itu. Nisa hanya menggelengkan kepalanya lagi, lalu berkata“Hei, Nisa! Kenapa kamu tidak membalas pesan saya? Sombong sekali, ya kamu ini! Sama aja sombongnya dengan calon mertua kamu itu,” cerocos Siti lagi bersungut-sungut kepada Nisa, ketika keduanya tidak sengaja bertemu di jalan.“Maaf, Bu Siti, saya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bu Siti, saya sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan Pak Dani.” Nisa membuka suaranya setelah beberapa saat tadi ia hanya bergeming saja, karena terkejut juga dengan kehadiran Siti yang tiba-tiba, yang menghadang jalannya.“Sudahlah! Kamu tidak usah lagi menutupi hubungan gelap kamu dengan Pak Dani, memangnya saya tidak tahu, hah? Seharusnya kamu malu sama jilbab kamu yang panjang itu, seharusnya kamu malu sama lulusan pesantren, bisa-bisanya menjalin hubungan dengan suami orang.”Siti memaki Nisa habis-habisan, entahlah Nisa sendiri tidak tahu dari mana wanita itu bisa tahu semua rahasia besarnya.“Saya gak nyangka ternyata ada, ya perempuan liar yang bersembuny
“Alhamdulillah, akhirnya anak kita menikah juga, ya Bun. Lega sudah, karena Reza kini sudah mendapatkan istri, dan tentunya kita pun sebentar lagi akan punya cucu,” ucap Toni kepada istrinya, Eneng, ketika mereka sudah dalam perjalanan pulang ke rumahnya lagi. Ya, karena hari sudah menunjukkan senja.“Iya, Ayah, semoga saja Nisa memang adalah mantu yang baik untuk kita, yang bisa diatur dengan baik,” sahut Eneng kepada suaminya itu.“Ayah juga udah ngomong ke Reza kalau besok mereka berdua sudah harus ada di rumah kita kok, Bun, tenang saja. Bunda gak usah kahwatir, ya,” sahut Toni kepada istrinya yang seolah sudah tahu kekhawatiran yang ada di dalam hati istrinya kepada Reza.Karena memang sejak kecil Reza tidak pernah jauh dari orang tuanya, Reza tidak pernah dibiarkan untuk pergi jauh, sehingga ketika dewasa pun, lelaki itu masih bergantung kepada kedua orang tuanya, terlebih kepada ibunya sendiri.Begitu pula dengan Eneng, yang tidak rela berjauha
“Yank, aku udah gak kuat nih,” ucap Reza kepada Nisa ketika keduanya baru saja merebahkan dirinya di kamar pengantinnya beberapa menit lalu, bahkan Nisa sendiri masih canggung dengan kehadiran lelaki di sampingnya.Sebab memang meski sebelumnya Nisa sudah menjalin hubungan terlarang dengan Dani, akan tetapi keduanya hanya sebatas melakukannya dengan virtual saja, tidak pernah bertatapan langsung.Dengan segera pula, Reza kini sudah siap untuk melakukan aksinya, ia sudah membuka celananya, melorotkannya, sehingga munculnya sebuah benda di bawah perutnya, yang nampaknya sudah mengeras, dan tidak terlalu panjang, mungkin karena terjepit oleh badannya yang gempal oleh lemak. Lelaki itu, langsung saja membuka rok Nisa, dan melorotkan celana dalamnya dengan paksa, tanpa persetujuan pemiliknya, karena Reza sudah focus ingin menuju bawah perut Nisa, lubang kenikmatan, ia ingin segera menyatukan miliknya pada lubang milik istrinya tersebut, yang selalu digembor-gemborkan
“Itu loh, Bun, Nisa katanya pengin ngontrak aja supaya mandiri, gak mau tinggal di sini selamanya,” celetuk Reza kepada Bundanya, di depan Nisa dan juga Ayahnya, Toni, ketika keduanya baru saja sampai di rumah Ayah dan Bundanya.Eneng menatap ke arah Nisa ketika anak kesayangannya itu mengatakan hal demikian kepadanya, melaporkan apa yang dikatakan oleh Nisa, lebih tepatnya.“Ngontrak?” tanya Eneng meyakinkan Nisa kembali dengan tatapan datar.“Iya, Bun, biar lebih mandiri aja,” jawab Nisa singkat dan ragu kepada ibu mertuanya itu.Eneng nampak menghela nafanya panjang, lalu mengembuskannya lagi berulang kali, sebelum akhirnya ia menimpali ucapan Nisa yang ingin tinggal di kontrakan dengan alasan agar mandiri, begitu katanya.Padahal tentu saja layaknya seorang menantu perempuan, hal itu adalah cukup wajar, yang tak ingin melulu tinggal bersama dengan mertuanya, entah sebaik apa pun mertuanya itu.“Bunda gak tega kalau melihat Reza harus tinggal
“Arrgghhhhhh.” Nisa berteriak dengan sekeras mungkin di kamar itu, di kamar yang ada di rumah mertuanya. Entahlah padahal pernikahannya sudah menginjak pada bulan kesatu, akan tetapi Nisa masih belum juga berhasil dijebolkan oleh Reza keperawanannya.Ia selalu berteriak histeris lagi dan lagi ketika Reza hendak mencoba untuk memasukinya, seolah ia punya rasa trauma yang begitu besar.“Hussstttt, berisik tahu, Nis! Nanti kita dimarahi sama si Bunda.” Reza menempelkan jari telunjukanya di bibirnya, memberikan isyarat agar istrinya itu tidak menjerit lagi, dan mau diam.Nisa hanya nyengir lebar saja, ketika mendapati respon suaminya itu yang nampaknya khawatir dengan jeritannya, dan pada akhirnya mengakhiri usahanya untuk menjebolkan pertahanan Nisa. Reza luruh di samping Nisa, merebahkan dirinya lagi.“Yaah, kok cepat banget sih layunya, berdirinya cuma bentar,” ucap Nisa ketika mendapati Reza junior di bawah sana sudah mengerucut, kembali ke bentuk awalnya ya
“Gimana, Bu? Udah ada tanda-tanda mau isi?” tanya Deden kepada Nisa, iseng saja, ketika ia berada di sekolah, ya lebih tepatnya di kantor sekolah. Sudah hal lumrah bagi sebagian pasangan yang baru menikah jika ditanya sudah ada tanda-tanda hamil atau belum.Nisa masih terdiam sejenak, ia sendiri bingung dengan pertanyaan dari Deden, ia bingung untuk menjawabnya, sebab memang jangankan mau hamil, dijebolkan saja pun belum berhasil, bagaimana mau hamil?‘Gimana mau hamil, bolong aja belum,’ ucap Nisa dalam hatinya.“Eh, kok diam aja sih ditanya Pak Deden! Malah ngelamun lagi!” Riri membuyarkan lamunan Nisa, yang sebenarnya sedang bergumam di dalam hatinya. Ia bingung juga ingin menjawab dengan jujur atau tidak masalah ranjangnya itu yang masih juga belum terjamah.“Apa jangan-jangan belum berhasil, ya?” celetuk Deden menebak sekenanya saja, mendadak wajah Nisa berubah menjadi pias, ia tersentak dengan tebakan Deden yang memang benar adanya itu, tak terbantahka
“Sayang, kita coba lagi yuk malam ini!” Nisa mengajak suaminya untuk mencoba lagi, ya mencoba untuk membolongi. Sesuai dengan saran dari Riri yang diberikan tadi di sekolah.Reza yang sedang focus dalam ponselnya pun kini menoleh kepada Nisa, lalu meletakkan ponselnya di bawah bantal.“Duh, nanti kamu teriak lagi, ntar dimarahi sama si Bunda, udah, ya nanti aja. Aku juga ngantuk nih,” tolak Reza kepada Nisa, seolah ia sama sekali tidak ada hasrat untuk bercinta, padahal biasanya tanpa ditawari pun, sang lelaki akan dengan senang hati melakukannya.Ada apa dengan Reza? Atau memang ia merasa sebal juga karena teriakan Nisa dan susahnya untuk dimasukin olehnya sehingga menjadikan dia enggan untuk mencoba? Ahh, bukannya lelaki suka sekali tantangan?Nisa langsung mengerucutkan bibirnya, tak suka ditolak seperti itu, padahal ia ingin melayani suaminya dengan baik seperti istri pada umumnya.“Udahlah, nanti aja, ya! Gak usah ngambek begitu, di sini tuh bener
“Astaga, Nisa! Pelan-pelan dong kalau bersih-bersih, duh kamu ini, ya!” ucap Eneng bersungut-sungut seraya mengambil pot bunga plastic yang terjatuh tidak sengaja oleh Nisa.“Eh, iya, Bun, Nisa gak sengaja, Nisa minta maaf, ya.” Nisa meminta maaf dengan sedikit ketakutan, khawatir jika mertuanya itu akan murka kepadanya.“Kan tadi Bunda sudah ajarkan kepada kamu, bagaimana caranya menyapu yang benar, dan juga mengepel yang benar, harus lihat-lihat juga sekeliling, jangan asal aja!” Eneng kembali bersungut-sungut mengomentari pekerjaan Nisa.“Iya, Bun, maaf,” ucap Nisa lagi untuk kedua kalinya meminta maaf kepada mertuanya.“Ya sudah, nanti kamu harus lebih hati-hati, ya, Bunda juga bukan marahin kamu, hanya saja karena Bunda ingin agar kamu nanti bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang pintar masak, pintar bersih-bersih rumah, dan juga pintar nyari uang, agar suamimu itu nanti bisa bangga punya istri seperti kamu.”DEGNisa sempat tersentak
“Nisa menolak, Neng. Dan kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa lagi membujuknya, karena Nisa sudah memberikan peringatan kepada kedua orang tuanya untuk tidak lagi ikut campur dengan urusannya, apa lagi yang menyangkut masa depannya, bahkan Nisa akan meninggalkan rumah jika bapak dan ibunya tetap memaksakan kehendak.”Bu Wawat panjang lebar memberikan penjelasan kepada Eneng dan suaminya yang ada di sana, termasuk Reza, seketika wajah ketiganya pun kini berubah menjadi muram, hanya kekecewaan saja yang terpancar.“Kamu yang sabar, ya Reza! mungkin memang sudah sebaiknya kita harus introspeksi diri atas apa yang pernah kita lakukan pada Nisa, Bunda juga menyesal, Za, sungguh menyesal, gak kebayang jika anak perempuan bunda pun akan diperlakukan seperti Nisa oleh ibu mertuanya…“Yang jelas Bunda sebagai orang tua, akan membawa kembali si Anggi ke rumah jika ia diperlakukan tidak baik oleh suami dan mertuanya.” Eneng panjang lebar, ia kini sudah sadar, ya sepenuhnya, sudah menga
“Eh, Bu Wawat,” seru Bu Aisyah ketika tahu bahwa yang bertamu ke rumahnya itu adalah Bu Wawat, entah mau apa? Apa mungkin ada kaitannya dengan pesan yang dikirimkan oleh Erma kepada Nisa tadi malam? Begitu pikir Bu Aisyah di dalam hatinya. “Ayok silakan masuk, Bu!” Bu Aisyah mempersilakan Bu Wawat untuk masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu dengan sofa yang sudah pudar warnanya, kusam, akan tetapi di atas meja itu sudah ada air mineral gelas dan toples berisi kue kering, sehingga Bu Aisyah tidak pelru repot-repot lagi membuatkan minum untuk tamu yang datang. “Mohn maaf nih, Bu, kalau pagi-pagi udah ke sini, he he.” Bu Wawat basa-basi kepada bu Aisyah, sebelum akhirnya mengatakan tujuan dan maksudnya datang ke rumahnya. “Gak apa-apa, Bu. Saya sudah beres semuanya kok, Nisa juga udah berangkat sekolah,” sahut Bu Aisyah seraya masih tersenyum juga. “Sebenarnya saya datang ke sini untuk minta maaf, dengan kabar dua hari lalu yang saya berikan, mengenai pernikahan Reza, terny
“Nis, saya mau tanya sama kamu, boleh?” Erma mengirimkan pesan kepada Nisa atas permintaan ibunya sendiri, Bu Wawat, bahkan wanita paruh baya itu pun masih di sana menunggu balasan Nisa.“Gimana, Er? Udah ada balasan dari Nisa belum?” tanya Bu Wawat tidak sadar kepada anaknya itu,yang masih setia menunggu.“Belum, Mah. Sabar dulu, kan baru dikirim tadi pesannya juga,” jawab Erma kepada Mamahnya yang memang sudah tidak sabaran lagi, lalu kini Bu Wawat hanya diam saja, seraya matanya kini focus kembali pada TV, karena ia sedang menonton acara sinetron kesukaannya.“Tapi kalau Nisa nolak, kenapa Mamah gak bujuk orang tuanya aja kayak kemarin, aku rasa Nisa akan nurut aja kalau orang tuanya yang minta,” celetuk Erma memberikan saran jika memang nanti Nisa menolak untuk diajak rujuk oleh Reza.Bu Wawat terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh anaknya itu, mengenai saran untuk membujuk orang tuanya Nisa saja, yang menurut Erma lebih efektive.“Eh, iya juga, ya.
“Iya, Teh, rujuk, Reza ingin rujuk dengan Nisa, dan Neng pun kini sadar dengan kesalahan Neng, bahwa gak ada lagi memang yang bisa menerima Reza selain Nisa, makanya Neng ingin agar Reza kembali rujuk dengan Nisa.” Eneng menjelaskan lagi.Bu Wawat hanya menghela nafasnya saja pelan ketika mendengar penjelasan dari adiknya itu, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak menyangka bahwa adiknya saat ini bisa mengakui kesalahan dirinya sendiri, tidak seperti biasanya, yang selalu keras kepala.“Tapi kalau Nisa menolak gimana? Kok kalian bisa sih semudah itu berpikir kalau Nisa mau menerima begitu aja setelah apa yang kalian lakukan?” Bu Wawat tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya itu, ya meskipun Eneng itu adalah adiknya sendiri, akan tetapi setelah tahu dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, seperti apa yang Nisa katakan pada Bu Rini dan Bu Ineu pada beberapa bulan lalu, maka ia faham dan mengerti bahwa adik dan keponakannya itu salah.“Ya, siapa tahu, karena setahu Neng
“Tuh, kan Bun! benar apa kataku juga, gak ada wanita yang mau menerimaku selain Nisa,” keluh Reza atas nasib yang menimpanya, ya selama satu tahun perceraian ini, sudah 3 kali ia dikenalkan dengan anak dari teman Ayah dan Bundanya.Akan tetapi, pada pertemuan kedua atau ketiga setelah perkenalan, sang wanita akan mundur dengan teratur, karena menganggap bahwa Reza bukanlah lelaki yang baik untuk dijadikan suami.Ya meskipun pengakuan Eneng dan Toni adalah bahwa Reza bercerai karena ditinggalkan oleh istrinya yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi ternyata perlahan, semuanya terbuka, siapa yang sebenarnya bersalah dalam perceraian tersebut.“Sabar, Reza! teman Ayah dan Bunda masih banyak yang punya anak single, kamu tenang aja dulu, ya. Baru juga nyoba tiga kali, kamu jangan bosan!” Eneng meyakinkan anaknya itu bahwa suatu saat nanti akan ada wanita yang mau menerimanya sebagai suami.“Tapi, Bun, aku yakin gak akan mudah, coba aja dulu kalau aku gak bercerai dengan Nisa, k
Hari berganti menjadi minggu, begiut pula dengan minggu kini sudah berganti menjadi bulan, kondisi Nisa saat ini sudah jauh lebih baik, tidak ada lagi penyerangan yang terjadi dari keluarga mantan suaminya. Mungkin sudah bosan juga.“Nisa belum menikah lagi, Bu Aisyah? Kalau Reza Alhamdulillah udah menikah lagi, dapat istri PNS (pegawai negeri sispil)” ungkap Bu Wawat ketika bertemu dengan ibunya Nisa, ya lebih tepatnya sengaja mendatangi rumahnya Nisa ketika Nisa sedang di sekolah, entah untuk apa, hanya sekadar untuk memberikan informasi tidak jelas saja.“Oh begitu, ya syukur kalau Reza sudah menikah lagi, kalau Nisa belum, kayaknya dia masih belum siap juga,” jawab Bu Asiyah kikuk, meski di dalam hatinya menggerutu, ‘untuk apa juga bilang itu ke saya? Apa Cuma mau pamer aja kalau setelah lepas dari Nisa bisa langsung nikah lagi?’Bu Wawat mangguk-mangguk saja ketika mendengar jawaban dari Bu Aisyah itu mengenai responnya kepada Reza.“Ya sudah kalau begitu, saya pamit dul
[“Jadi benar dengan kabar yang tersebar, Nis? Kamu sudah resmi bercerai?”] isi pesan yang dikirimkan oleh Dani kepada Nisa pada siang hari itu, ketika Nisa sedang berada di kantor sekolah, seperti biasanya.Nisa diam sejenak ketika mendapati isi pesan dari Dani yang kini tiba-tiba datang kembali setelah beberapa bulan ini menghilang, seperti biasaya, datang dan pergi begitu saja karena memang ada istrinya pula yang harus dijaga.Wanita muda itu kini menghela nafasnya panjang, berat, ia tahu dengan kondisinya saat ini jika membalas pesan Dani hanya akan membuat suasananya semakin kacau saja, akan ada salah faham antara Dani dan istrinya lagi.“Kenapa? Kayaknya gabut banget?” tanya Riri kepada Nisa kini sedang menyandarkan tubuhnya itu di sandaran kursi.Nisa tak menjawab, ia tak ingin Riri tahu bahwa dirinya baru saja mendapat pesan dari Dani, ia tak ingin Riri tahu juga jika Dani kembali mengirim pesan, karena memang tak ada gunanya juga, untuk saat ini Nisa ingin menjauhi Da
“Wah, Nis, gila tahu gossip kamu rame banget, emangnya gimana tadinya sampe debat gitu sama Bu Ineu dan Bu Rini si ratu gossip?” tanya Riri kepada Nisa ketika di sekolah, seperti biasa, penasaran, karena memang Riri yang jarak rumahnya hanya sekitar 500 m saja, tentu sudah dapat mendengar desas desus apa yang terjadi kepada Nisa.Nisa hanya mengerutkan dahinya saja, tidak langsung menjawabnya. Dan membuat Riri harus bertanya untuk kedua kalinya.“Dih, kamu kebiasaan deh kalau aku nanya, pasti gak langsung dijawab, harus dua kali nanya aja,” keluh Riri, menggerutu, tidak suka dengan kebiasaan Nisa. Nisa terkekeh saja, sebelum akhirnya ia menjawab.“Ya, merekanya duluan yang lebih dulu marah-marah gak jelas di depan rumah orang, ya aku lawanlah, sekalian orang model begitu harus dikasih pelajaran, biar kapok, mereka pikir, aku akan diam aja kali, ya, gak bakal ngelawan,”“Ha ha ha. Iya juga sih, benar. Banyak yang bilang ibu-ibu, katanya lu adalah orang yang paling berani melaw
“Gimana, Teh? Aman kan semuanya? Udah beres?” baru saja Bu Ineu sampai di rumah Eneng, akan tetapi sang pemilik rumah sudah memberondongi tanya kepadanya, menanyakan hal yang memang ia tugaskan kepada Tetehnya itu untuk menyebarkan gossip mengenai Nisa.Akan tetapi orang yang ditanya kini malah menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa, lalu menghela nafas berat, dan diam saja untuk beberapa saat sehingga menjadikan Eneng bertanya-tanya.“Kok lemas gitu sih, Teh? Ada apa memangnya?” tanya Eneng lagi penasaran dengan tetehnya itu, yang ia harapkan tentunya mendapat kabar baik mengenai nama baiknya itu di kampung, meski pada faktanya bertolak belakang dengan keinginan wanita tersebut.“Kenapa kamu gak bilang kalau si Reza itu impoten, Neng?” Bu ineu bertanya langsung saja pada masalah intinya, sehingga menjadikan Eneng tersentak dan hanya membulatkan matanya saja, sempurna, tidak percaya dengan pertanyaan yang dilayangkan oleh tetehnya itu.“Lho kok Teh Ineu malah nanya itu sih