“Bokap gue mau ngomong.” Gilang menarik paksa Kiya, ke sudut ruang tersembunyi di bawah tangga. “Gue barusan bilang mau balik ke Jurnal, tapi bokap minta ketemu sama lo dulu.”
“Kenapa Mas Gilang nggak berunding sama saya dulu,” ujar Kiya bicara dengan perlahan. “Harusnya—“
“Bilang ke bokap, kalau gue sudah siap,” putus Gilang terburu. “Terus, masalah hubungan kita, bilang juga sudah selesai, karena kita lebih cocok jadi partner kerja. Nggak lebih dari itu. Paham, lo?”
Kiya mengangguk. “Lain kali, semua masalah harus dibicarakan dan direncanakan—“
“Ki, mending lo diam, terus masuk ke ruang kerja.” Gilang sudah tidak sabar menunggu keputusan Adi. “Pokoknya lo bilang, seperti yang sudah gue kasih tahu barusan. Ngerti, kan, lo? Entar gue tambahin gajian lo bulan ini. Jangan khawatir.”
Mentang-mentang Kiya melakukan semua hal demi uang, bukan berarti Gilang lantas memperlakukannya seperti sekarang. “Mas, ini bukan Cuma masalah uang. Tapi—“
“Udahlah nggak usah muna,” putus Gilang lagi. “Lo sendiri yang bilang butuh uang buat anak sama keluarga lo, kan? Jadi, sekarang masuk ke dalam sana dan bicara baik-baik sama bokap gue. Buru!”
Sabar.
Kiya memang masih membutuhkan pekerjaan ini lebih lama lagi. Ada biaya sekolah Duta yang tidak murah, dan pembangunan rumah yang harus Kiya kebut dengan segera. “Oke, saya ke dalam. Permisi.”
Kiya menghela pasrah dan segera beranjak pergi ke ruang kerja Adi. Ia mengetuk pintu yang tidak tertutup, dan segera masuk ketika Adi mempersilakannya.
“Tolong tutup pintunya,” pinta Adi segera beranjak dari kursi hitam kebesarannya. Ia duduk pada arm chair, lalu kembali mempersilakan Kiya duduk berseberangan dengannya.
“Kita langsung, Ki,” ujar Adi tidak ingin berbasa-basi, dan berlama-lama berada berdua saja dengan Kiya di ruang kerjanya. “Laporkan tentang perkembangan Gilang. Bagaimana pemahamannya sejauh ini tentang media.”
Kiya mengangguk tegas, dan sudah tahu apa yang akan ia sampaikan kepada Adi. “Mas Gilang termasuk fast learner. Dia cepat belajar, cepat dapat solusi, tapi juga cepat bosan. Kalau menurut saya, itu karena Mas Gilang sudah terbiasa kerja di lapangan. Jadi, waktu dia ada di belakang meja dengan kerjaan monoton dan nggak menantang, di situ Mas Gilang bisa stuck. Kalau sudah begitu, emosinya pasti sedikit terganggu dan mudah tersinggung. Ada yang nggak enak sedikit, pasti bakal marah, Pak.”
“Kamu juga pernah kena marah?” Terkait tempramen Gilang saat ini, Adi juga sudah mengetahuinya. Seluruh asisten rumah tangga di kediaman Mahardika pun, pernah mengeluhkan tentang kepribadian Gilang yang sangat berubah 180 derajat. Mereka lebih menyukai Gilang yang dahulu kala, daripada yang sekarang.
Kiya mengangguk pelan dan ragu. “Pernah. Tapi, marahnya masih dalam batas wajar, kok, Pak.” Kiya tidak bisa membongkar semua hal secara terperinci, karena surat perjanjian mereka berdua. “Kalau saya nggak salah, mas Gilang juga nggak akan marah.”
“Apa dia sudah siap terjun ke Jurnal?” tanya Adi lagi.
“Kalau boleh jujur, secara teknis mas Gilang sudah bisa ditempatkan di Jurnal,” ungkap Kiya. “Tapi, saya masih khawatir dengan masalah emosinya. Andai mas Gilang beda pendapat waktu meeting, di situ yang saya khawatirkan. Kalau sampai dia nggak bisa kontrol emosi, jadinya senjata makan tuan. Mas Gilang sendiri yang bakal rugi nantinya.”
“Oke, saya paham.” Setelah ini, Adi telah menyusun rencana sendiri untuk Gilang. “Pertanyaan selanjutnya, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Gilang, Ki?”
“Oh.” Kiya berusaha bersikap tenang, walaupun pertanyaan barusan cukup mengagetkan. Ia tidak menduga, Abi akan melemparkan pertanyaan tersebut di saat mereka tengah membicarakan kesiapan Gilang di Jurnal. “Hubungan kami baik, Pak.”
“Baik dalam artian?” Geregetan rasanya melihat hubungan Gilang dan Kiya hanya jalan di tempat. Mirip seperti Elok dan Lex, di saat awal-awal menjalin hubungan.
“Baik … sepertinya kami lebih cocok jadi partner kerja, Pak.” Akhirnya, Kiya mengikuti perintah Gilang.
“Apa karena emosi Gilang yang naik turun?” selidik Adi dengan perlahan dan tidak perlu terburu-buru.
“Itu juga jadi salah satu faktor, kami nggak bisa meneruskan hubungan lebih dari pekerjaan.” Kiya menunduk sejenak, lalu mencoba tersenyum dan kembali mengangkat wajah menatap Adi. “Maaf, Pak.”
Adi menyilang kaki. Menyatukan kesepuluh jarinya di atas lutut tertingginya. Masih meneliti ekspresi Kiya yang terlalu formal. Tidak ada setitik emosi sakit hati, maupun kecewa, saat mengatakan hubungannya dengan Gilang telah berakhir. Adi jadi curiga, kedekatan seperti apa yang sebenarnya terjadi selama beberapa bulan belakangan ini?
“Bagaimana kalau Gilang sudah bisa mengatur emosinya?” lanjut Adi mempertanyakan.
“Kalau … memang jodoh, nggak akan ke mana, Pak.” Kiya masih mempertahankan senyum palsunya di depan Adi. “Tapi, untuk sekarang, kami lebih nyaman seperti ini. Jadi, biarlah kami saling instropeksi, sambil terus jalani pekerjaan yang ada.”
“Oke, tolong panggilkan Gilang,” pinta Adi. “Saya mau bicara dengan kalian berdua.”
~~~~
“Dengan sangat menyesal, Papa belum bisa bawa kamu ke Jurnal dan menempatkan kamu di jajaran direksi.” Adi menatap Gilang yang segera memandang Kiya. Gilang seperti hendak menumpahkan emosinya pada Kiya, tetapi ada sesuatu yang menahannya.
“Tapi …” Adi menambahkan dan kembali melanjutkan kalimat yang sengaja ia jeda. “Kamu bisa kembali ke Jurnal sebagai karyawan biasa. Kamu bisa pilih kembali aktif mengurus EO-mu seperti dulu. Aktif dalam artian, kamu harus balik lagi ke kantor seperti dulu, bukan di rumah seperti sekarang.”
“Pilihan selanjutnya?” Gilang merasa tidak percaya diri, bila harus berbaur dengan banyak orang seperti dahulu kala.
“Papa mau angkat Kiya jadi sekretaris eksekutif, dan kamu bekerja di bawa Kiya.” Adi yakin, kedua hal tersebut akan membuat Gilang tidak nyaman.
“Pa—“
“Posisinya, Papa, Kiya, setelah itu baru kamu,” putus Adi menjelaskan. “Kalau kamu memilih bekerja di bawah Kiya, Papa jamin, dalam satu tahun kamu bisa masuk ke jajaran direksi.”
“Satu tahun?” Cobaan apa lagi ini? Mengapa Gilang harus bekerja di bawah Kiya, sementara papanya adalah pemilik utama perusahaan. “Pa, dari aku lulus SMA, aku sudah magang dan tahu semua tentang Jurnal.”
“Tapi bukan masalah direksi,” sahut Adi mematahkan ucapan Gilang. “Yang kamu tahu, cuma bersenang-senang di luaran sana, tapi kamu nggak tahu menahu tentang masalah yang ada di manajemen. Semua itu beda, Lang.”
“Tapi satu tahun terlalu lama,” bantah Gilang.
“Dan kamu bisa kembali urus EO-mu,” ucap Adi. “Papa ngasih pilihan, dan pilihannya ada di tanganmu. Tapi ingat, setiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Tetap di EO, dan kamu nggak akan bisa masuk ke jajaran direksi. Jadi bawahan Kiya, dan dalam satu tahun kamu bisa pegang salah satu jabatan di direksi, dengan syarat dan ketentuan berlaku tentunya.”
“Ditambah lagi syarat dan ketentuan berlaku?” Gilang tidak habis pikir, mengapa jalannya tidak bisa mulus seperti Elok. Kakaknya itu bisa pindah dari Antasena ke Jurnal dengan mudah, dan langsung berada di jajaran tertinggi. Sementara Gilang, masih saja dipersulit seperti sekarang.
“Lang.” Adi mulai berdiri perlahan. “Dalam satu tahun ke depan, Papa pasti akan evaluasi semua kinerjamu. Papa harus tahu, keahlian kamu itu lebih condong ke mana, dan di situlah Papa akan tempatkan kamu.”
“CEO?”
Adi tegelak detik itu juga, saat Gilang menyebut jabatan yang disandang Elok saat ini. “Tunjukkan ke Papa kalau kamu lebih layak untuk dapat jabatan itu. Mbakmu itu memang … nantinya pasti keluar dari struktur manajemen Jurnal, tapi, bukan berarti kamu bisa langsung duduk di kursi CEO menggantikan Elok Mahardika. Kamu harus memantaskan diri dulu, dan berdarah-darah. Baru bisa sampai di posisi CEO. Paham sampai sini, Lang?”
Sebelum Gilang menjawab, Adi segera mengarahkan telunjuknya pada Kiya. Gadis itu sedari tadi hanya diam mendengarkan, dan terlihat cukup tenang. “Kiya, tolong panggilkan bu Elok dan suaminya.”
“Baik, Pak.” Kiya mengangguk dan segera berdiri melaksanakan perintah Adi. Sedari tadi, Kiya meredam rasa gembiranya karena akan menjadi sekretaris eksekutif di Jurnal. Ia akan bekerja langsung di bawah Adi, dan otomatis gajinya juga pasti akan bertambah. Pembangunan rumahnya akan bisa dipercepat, dan mereka akhirnya akan tinggal di lingkungan baru dengan kehidupan yang layak bagi Duta.
Akhirnya … perjuangan dan kesetiaan Kiya selama ini tidaklah sia-sia.
“Sekali lagi saya ingatkan, jangan perlakukan Gilang dengan istimewa,” pesan Adi saat berhenti di depan meja Kiya. “Gilang Mahardika bukan anak pemilik Jurnal, dan dia di sini CUMA karyawan biasa. Tiga bulan bulan pertama, anggap dia anak magang dan jangan mau diperintah sama dia. Paham, Kiya?”Kiya yang sudah berdiri dari kursinya segera mengangguk. “Baik, Pak.”“Pagi semuaaa.” Elok menahan tawa saat melihat Gilang berdiri di balik mejanya. Ia menghampiri sang adik, lalu berdiri di sebelah Gilang dan merangkulnya. “CEO, kan?” bisiknya di telinga Gilang, sambil menepuk keras dada pria itu. “Semangat!”Hanya itu, kemudian Elok melepas tawa sambil berlalu menuju ruangannya. Sekilas, Elok memberi anggukan formal pada Adi, tetapi tidak berniat berhenti melangkah ataupun menegur sang papa.Sementara Gilang, spontan memegang dadanya yang nyeri karena ulah Elok barusan. Akhirnya, daripada harus kembali mengurus Event Organizer miliknya, Gilang memilih menjadi asisten Kiya. Bersabar selama sa
Kiya menelan ludah. Menatap Adi dan Elok yang berada di depannya secara bergantian. Kemudian, ia tertunduk dan menghela panjang karena memikirkan nasibnya saat ini. Gilang sungguh keterlaluan, karena sudah membongkar rahasia yang selama ini Kiya simpan rapat-rapat. Hanya satu harapan Kiya saat ini, jangan sampai kedua orang itu memecatnya. Banyak hal yang belum Kiya selesaikan, termasuk biaya sekolah Duta yang memang tidak murah. Karena ingin memberi semua yang terbaik, maka Kiya juga menyekolahkan putranya di tempat yang terbaik pula. “Jadi Ki, saya mau dengar semuanya dari mulut kamu sendiri,” pinta Elok. “Pak Adi dan saya di sini, sudah nganggap kamu itu seperti keluarga sendiri, jadi, ceritakan semuanya dan nggak perlu sungkat.” “Dan jangan ada lagi yang ditutupi,” tambah Adi bersedekap tegak menatap Kiya. Sulit dipercaya, bila Kiya memang benar sudah memiliki suami dan seorang putra. Bahkan, usia putranya lebih tua satu tahun daripada Kasih. Sementara itu, selama ini Kiya sela
Gilang menutup pintu ruangan Elok dengan kasar, sehingga membuat sang kakak yang baru saja duduk di kursinya kembali berdiri dan menghardik pria itu.“Apa-apaan, sih, Lang!” Elok menghela panjang, sambil mengusap perutnya dengan kedua tangan. “Belum waktunya lahiran, aku sudah brojol duluan gara-gara kamu!” “Itu!” Gilang menghampiri Elok, sembari mengarahkan telunjuk ke arah luar ruangan. “Si Kiya itu makin besar kepala gara-gara papa nggak mecat dia!”“Lang.” Elok membuang napas kecil, lalu kembali duduk di kursinya. Ia bersandar pelan, kemudian menyalakan perangkat komputer di mejanya. “Setelah aku sama papa ngobrol empat mata, yang bermasalah di sini itu sebenarnya kamu, bukan Kiya.”“Aku?” Gilang menunjuk wajahnya sendiri. Ia menarik kursi yang berseberangan dengan Elok, kemudian menghempas kasar tubuhnya di sana. “Aku nggak ada masalah, Mbak. Tapi Kiya sudah bohongin keluarga kita selama ini.”“Dan dia punya alasan untuk itu.” Elok berusaha sabar, kerena sudah membahas permasala
“Siang, Pak Pemred,” sapa Elok menghampiri Bumi lalu mengulurkan tangan lebih dulu. “Lama kita nggak bersua, ya! Apa kabar? Antariksa baik, kan? Pak Dewa gimana? Galak, nggak?”Bumi segera berdiri, lalu menyambut jabat tangan Elok dengan suka Cita. Ia juga memberi kekehan, karena Elok langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. “Lebih galak dari Bu Elok.”Elok tertawa kecil, lalu mempersilakan Bumi untuk duduk kembali. Ia melihat secangkir kopi yang sudah ada di hadapan, dan tersenyum. Satu langkah kecil ini, bisa membuat Gilang sedikit menurunkan egonya di hadapan semua orang.“Tapi bukan pak Dewa yang ngurus Antariksa, Bu,” lanjut Bumi seraya duduk dengan perlahan. “Pak Reno! Kabar awalnya bu Rindu yang diminta masuk Antariksa, tapi beliau nggak mau karena sibuk ngurus anak sama kuliah.”“Ah! Ya, ya, ya.” Elok jadi memikirkan permintaan Lex untuk berhenti bekerja, setelah anak mereka lahir nantinya. Namun, Elok masih bernegosiasi agar bisa tetap bekerja membantu sang papa di Ju
“Sore Pak Lex,” sapa Kiya yang baru saja berdiri dan hendak pergi ke ruangan Adi. Ia melihat Lex berjalan menuju mejanya, dan memberi anggukan singkat pada saat Kiya menyapanya.“Sore, Ki.” Lex membalas saat sudah berhenti di depan meja Kiya. Ia tersenyum kecil pada Gilang, lalu ikut menyapanya. “Sehat, Lang?”“Sehat, Mas.” Gilang balas tersenyum dan menyapa, sembari membereskan barang-barang di mejanya. Ia melirik sejenak pada Kiya, yang selalu saja terlihat memiliki energi lebih untuk menghadapi semua hal.“Bu El, ada di ruangan pak Adi,” kata Kiya setelah mendengar Gilang membalas sapaan Lex. “Biar saya panggilkan sebentar dan silakan menunggu di ruangan bu Elok.” Kiya mempersilakan Lex masuk ke ruangan istrinya, dan membukakan pintu terlebih dahulu. “Silakan, Pak.”“Terima kasih.” Lex mengangguk dan segera pergi menuju ruangan Elok, setelah kembali menegur adik iparnya.Kiya berbalik, dan segera pergi ke ruangan Adi. Mengetuk pintunya dua kali, kemudian masuk dan menghampiri kedua
“Apa-apaan ini?” Langkah Adi terhenti saat hendak menyeberang ke ruangan Elok. Ia memutar tubuh, lalu menghampiri Kiya yang mematung dan masih berjongkok di hadapan Gilang. Adi tidak meninggikan nada bicaranya. Ia hanya penasaran, apa yang Kiya lakukan sambil berjongkok di hadapan putranya.Mereka tidak mungkin berbuat hal yang bukan-bukan, karena posisi Kiya dan Gilang sangat terbuka. Namun, tetapi saja semua itu membuat rasa penasaran Adi tergelitik.“Kakinya Mas Gilang kambuh lagi, Pak,” lapor Kiya akhirnya membuka mulut. “Harusnya, Mas Gilang itu masih tetap terapi.”“Skala sakit, Lang?” tanya Adi berusaha tidak memperlihatkan kekhawatirannya, karena ia tahu benag Gilang tidak suka dikasihani. “Dari satu sampai sepuluh.”“Lima … enam.”Adi menghela, lalu melihat Kiya yang membuka kaos kaki Gilang. “Kiya, berhenti. Kamu bukan perawat Gilang, dan biarkan dia lakukan itu sendiri.”“Oh …” Mendadak, Kiya jadi serba salah. Namun, ia tetap melepas kaos kaki Gilang lalu meletakkannya di d
“Sudah lihat semua foto dan dokumennya?” tanya Lex kemudian berdiri dari kursinya, dan mempersilakan sang istri duduk di tempat tersebut. Lex mengambil kursi meja rias Elok, lalu meletakkannya di samping Elok. Mereka melihat layar laptop berdua, dan membaca lagi dokumen yang ada di flash disk yang diberikan Bumi.“Aku baru sempat lihat foto-fotonya, tapi belum sempat baca dokumennya.” Elok menoleh pada Lex, yang tetap lurus melihat layar dengan serius. Suaminya itu, memang tidak bisa dipancing jika sedang serius seperti sekarang. Padahal, Elok sudah mengenakan slip dress dan sengaja menurunkan satu tali spaghettinya dari bahu, tetapi Lex tetap saja sibuk membaca dokumen di depan mata. Belum lagi, Elok juga sudah memakai wewangian dengan aroma yang lembut, tetapi Lex …“Kamu sempat tanya siapa suami Kiya?” tanya Lex sembari menurunkan dokumen di layar, sedikit demi sedikit.“Nggak.” Elok meraih lengan kiri sang suami lalu memeluknya. “Tapi, sepertinya teman SMA-nya. Karena, mereka nika
“Beneran, aku boleh ikut Bunda?”Ini sudah kesekian kalinya Duta bertanya hal yang sama pada Kiya. Sejak bangun tidur, Duta kerap mengajukan pertanyaan tersebut, untuk meyakinkan diri, semua yang didengarnya kemarin malam bukanlah sebuah mimpi.“Boleh,” angguk Kiya seraya mengangkat bakwan sayur yang sudah matang dari penggorengan. “Makanya buruan mandi, sarapan, baru ikut Bunda ke kantor sebentar. Habis itu, kita ke hotel!”“Waaah!” Duta masih saja tidak bisa memercayainya. Setelah sekian lama, akhirnya sang bunda mengajaknya pergi mengunjungi kantor tempatnya bekerja. Selama ini, Duta hanya mendengar gambaran tempat kerja Kiya dari sang nenek. Sebuah gedung yang tingginya mengalahkan mall, sama seperti yang sering duta lihat setiap berangkat sekolah. “Kita ke hotel juga!”“Iya, makanya buruan mandi,” titah Kiya lalu mematikan kompornya dan berbalik. “Bunda nggak mau kejebak macet.”“Siiiap!” seru Duta sambil berlari ke kamar mandi.“Beneran nggak papa, kamu bawa Duta ke kantor, Ki?”
Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter
“O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan
“Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan
“Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng
Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada
Pada akhirnya, Gilang membiarkan Kiya kembali bicara empat mata dengan Garry. Mereka mengantarkan Duta ke hotel yang ditempati pria itu, lalu menuju ke lounge terlebih dahulu. Sebenarnya, Gilang keberatan bila Kiya masih saja bertemu dan bicara berdua dengan Garry. Namun, karena Kiya ingin sekali menuntaskan beberapa hal agar tidak menjadi beban pikiran, maka Gilang pun menyetujuinya. “Jangan lama-lama,” pesan Gilang yang sudah lebih dulu menyuruh Duta mencari tempat duduk. “Kita masih ada urusan habis ini.” “Iyaaa.” Kiya memberi senyum kecil, sambil mengusap lengan sang suami. “Aku cuma sebentar. Temenin Duta dulu.” “Oke!” Gilang meraih pinggang Kiya, dan menjatuhkan satu kecupan di pipi dengan cepat tanpa memedulikan Garry. Jika tidak ada Duta, Gilang pasti akan menyambar bibir sang istri dengan sengaja. Garry hanya diam. Menatap datar dan tidak berkomentar. Tidak ada juga yang harus dilakukannya, karena Garry benar-benar sudah kehilangan Kiya. “Jadi, Gar, ada yang mau aku bica
Kiya menutup pintu mobil, lalu melihat ke seluruh penjuru sekolah baru Duta. Dahulu kala, ia sempat beberapa kali menjemput Kasih sepulang sekolah, ketika gadis kecil itu rewel, dan Elok maupun Harry tidak bisa datang menghampiri. Karena tidak ingin merepotkan kakek nenek dari kedua belah pihak, maka Elok pasti akan mengutus Kiya ke sekolah Kasih. Kehidupan Kasih dahulu kala, tidak jauh berbeda dengan Duta. Orang tua mereka sibuk mencari nafkah, dan hampir tidak pernah memberi perhatian secara emosional. Baik Kiya maupun Elok, hanya tahu memberi materi, tanpa melimpahkan kasih sayang yang seharusnya. “Ayo ke kantor dulu,” ajak Kiya pada Duta yang baru saja menutup pintu mobil yang berseberangan dengannya. “Habis ketemu wali kelasnya, nanti Bunda tinggal. Berani, kan?” “Beran—” “Enduuut!” Duta berdecak, saat melihat Kasih melewatinya sambil melambai dari dalam mobil. Sudah seringkali Duta mengatakan, jangan memanggilnya dengan sebutan tersebut, tetapi Kasih tetap saja tidak menghir
“Kenapa mau pindah sekolah?” Sebelumnya, Kiya sudah menjelaskan pada Gilang tentang permasalah Duta. Bocah itu mengeluh lelah, dan tidak ingin lagi meneruskan sekolah full day-nya. Duta ingin pindah sekolah dengan jam belajar seperti Kasih, tetapi tidak ingin ikut les apa pun di sore harinya.“Capek.” Duta bertelungkup di kasur, dengan sebuah buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. “Aku mau pulang sekolahnya kayak Kasih, Pa.”“Terus les kayak Kasih?” Gilang mendesah panjang, saat merebahkan tubuhnya melintang di hadapan Duta. Meskipun sudah tahu jawabannya, tetapi Gilang ingin mendengar langsung dari mulut Duta sendiri.Duta menggeleng. “Aku belajar sendiri aja di rumah, sama bunda. Nggak mau les, capek.”Tatapan Gilang menerawang. Melihat langit-langit kamar yang sudah jarang ditempatinya sejak kecelakaan. Gilang menempati kamar di lantai bawah, untuk memudahkan semua mobilitasnya, dikarenakan kondisi kaki yang pada saat itu tidak bisa bergerak bebas. Daripada harus naik turun tan