“Apa-apaan ini?” Langkah Adi terhenti saat hendak menyeberang ke ruangan Elok. Ia memutar tubuh, lalu menghampiri Kiya yang mematung dan masih berjongkok di hadapan Gilang. Adi tidak meninggikan nada bicaranya. Ia hanya penasaran, apa yang Kiya lakukan sambil berjongkok di hadapan putranya.Mereka tidak mungkin berbuat hal yang bukan-bukan, karena posisi Kiya dan Gilang sangat terbuka. Namun, tetapi saja semua itu membuat rasa penasaran Adi tergelitik.“Kakinya Mas Gilang kambuh lagi, Pak,” lapor Kiya akhirnya membuka mulut. “Harusnya, Mas Gilang itu masih tetap terapi.”“Skala sakit, Lang?” tanya Adi berusaha tidak memperlihatkan kekhawatirannya, karena ia tahu benag Gilang tidak suka dikasihani. “Dari satu sampai sepuluh.”“Lima … enam.”Adi menghela, lalu melihat Kiya yang membuka kaos kaki Gilang. “Kiya, berhenti. Kamu bukan perawat Gilang, dan biarkan dia lakukan itu sendiri.”“Oh …” Mendadak, Kiya jadi serba salah. Namun, ia tetap melepas kaos kaki Gilang lalu meletakkannya di d
“Sudah lihat semua foto dan dokumennya?” tanya Lex kemudian berdiri dari kursinya, dan mempersilakan sang istri duduk di tempat tersebut. Lex mengambil kursi meja rias Elok, lalu meletakkannya di samping Elok. Mereka melihat layar laptop berdua, dan membaca lagi dokumen yang ada di flash disk yang diberikan Bumi.“Aku baru sempat lihat foto-fotonya, tapi belum sempat baca dokumennya.” Elok menoleh pada Lex, yang tetap lurus melihat layar dengan serius. Suaminya itu, memang tidak bisa dipancing jika sedang serius seperti sekarang. Padahal, Elok sudah mengenakan slip dress dan sengaja menurunkan satu tali spaghettinya dari bahu, tetapi Lex tetap saja sibuk membaca dokumen di depan mata. Belum lagi, Elok juga sudah memakai wewangian dengan aroma yang lembut, tetapi Lex …“Kamu sempat tanya siapa suami Kiya?” tanya Lex sembari menurunkan dokumen di layar, sedikit demi sedikit.“Nggak.” Elok meraih lengan kiri sang suami lalu memeluknya. “Tapi, sepertinya teman SMA-nya. Karena, mereka nika
“Beneran, aku boleh ikut Bunda?”Ini sudah kesekian kalinya Duta bertanya hal yang sama pada Kiya. Sejak bangun tidur, Duta kerap mengajukan pertanyaan tersebut, untuk meyakinkan diri, semua yang didengarnya kemarin malam bukanlah sebuah mimpi.“Boleh,” angguk Kiya seraya mengangkat bakwan sayur yang sudah matang dari penggorengan. “Makanya buruan mandi, sarapan, baru ikut Bunda ke kantor sebentar. Habis itu, kita ke hotel!”“Waaah!” Duta masih saja tidak bisa memercayainya. Setelah sekian lama, akhirnya sang bunda mengajaknya pergi mengunjungi kantor tempatnya bekerja. Selama ini, Duta hanya mendengar gambaran tempat kerja Kiya dari sang nenek. Sebuah gedung yang tingginya mengalahkan mall, sama seperti yang sering duta lihat setiap berangkat sekolah. “Kita ke hotel juga!”“Iya, makanya buruan mandi,” titah Kiya lalu mematikan kompornya dan berbalik. “Bunda nggak mau kejebak macet.”“Siiiap!” seru Duta sambil berlari ke kamar mandi.“Beneran nggak papa, kamu bawa Duta ke kantor, Ki?”
“Kita ketemu lagi.” Gilang menghampiri bocah, yang beberapa waktu lalu datang bersama Kiya. Rupa-rupanya, Kiya mulai menunjukkan jati dirinya dan tidak lagi menutupi identitasnya. Duta memandang Gilang dari ujung rambut, hingga kaki. Pria itu terlihat rapi dan lebih bersih, dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka di mall. Namun, hanya satu yang tidak berubah, penampilan Gilang tetap terlihat mahal. Sama seperti para orang tua wali murid, yang terkadang ikut mengantar jemput teman-teman Duta di sekolah. “Om Gilang kenapa pake tongkat?” tanya Duta baru menyadari hal tersebut, saat Gilang berjalan ke arahnya. Ketika Duta baru datang dan menyalami Gilang beberapa waktu yang lalu, ia tidak menyadari ada tongkat di sekitar pria itu. Mungkin karena Gilang tengah duduk, sehingga membuat Duta tidak melihat tongkat tersebut. “Kakiku sakit,” ucap Gilang lalu duduk perlahan di sebelah Duta. Ia menatap Kiya, yang tengah bicara dengan salah satu karyawan hotel, sisi ruang yang berbeda. “Ayah
Canggung.Entah mengapa, perasaan tersebut menyelinap di hati Kiya, saat Elok dan Lex meninggalkannya dengan membawa Duta, serta Kasih sekaligus. Sepasang suami istri itu mengatakan, mereka akan mengecek kamar yang akan ditempati malam ini, dan Kiya diminta menemani Gilang untuk sementara waktu.“Kenapa cerai?”“Apa, Mas?” Lamunan tidak jelas Kiya, menguap seketika saat Gilang membuka suara. “Mas Gilang tadi tanya apa?”“Kenapa cerai?” ulang Gilang mendadak ingin mempertanyakan hal tersebut pada Kiya.“Ohh …” Kiya terkekeh hambar. Mengapa Gilang mendadak bertanya hal pribadi seperti itu? Bukankah, Kiya sudah memberi batasan dengan dengan hubungan mereka. “Maaf, itu urusan pribadi saya.”“Dia selingkuh?” tanya Gilang mengabaikan ucapan Kiya.“Mas.” Kiya kembali menyalakan layar ponsel, lalu melihat jam digital yang tertera di sana sebentar. “Saya nggak pernah ikut campur dengan urusan pribadi Mas Gilang, jadi, tolong jangan ikut campur juga dengan urusan pribadi saya. Apalagi ungkit-un
“Kamu yakin, nggak papa jalan dengan—” “Kita pulang ajalah, Mas.” Kiya berdecak karena Gilang kembali mempertanyakan hal tersebut. Dari sebelum perjalanan, sampai di parkiran mall, dan kini, Gilang kembali mempertanyakan hal tersebut saat mereka bertiga baru saja melewati pintu gedung pusat perbelanjaan megah tersebut. “Aku cuma khawatir—” “Saya nggak masalah,” Kiya kembali menyela ucapan Gilang. Pria itu masih saja tidak percaya dengan dirinya sendiri, dan tidak yakin dengan Kiya. “Maaf kalau saya potong lagi omongan Mas Gilang. Tapi, dengernya capek, loh, Mas.” Gilang tersenyum tipis dan menghela. Ia mencoba tidak mengacuhkan Kiya yang sudah menekuk wajah, lalu beralih pada bocah yang sudah jalan lebih dulu dan tampak berhenti di depan sebuah outlet yang menjual es krim. “Duta sepertinya mau beli es krim.” Tanpa menunggu Kiya, Gilang menapakkan tongkatnya dan berjalan pelan menghampiri bocah itu. Saat sudah berdiri di samping Duta, Gilang merangkulnya. “Mau es krim?” “Mau!” Dut
“Mas.” Kiya menghabiskan jarak dengan Gilang, sembari mengawasi Duta. “Kamu sudah gila? Barusan itu … maksudnya, Mas Gilang … “ Napas Kiya terbuang pelan. Ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya barusan, karena yang akan dikatakannya pastilah tidaklah mungkin. Gilang pasti hanya bercanda, untuk mempermainkan Kiya.Karena itulah, Kiya kembali mundur dan menjaga jarak. Ia tersenyum, lalu terkekeh menanggapi kalimat yang sudah dilontarkan oleh Gilang. “Dahlah, Mas. Ayo cari tempat makan.”“Ki.” Gilang segera meraih siku Kiya, yang baru selangkah menjauh darinya. “Aku serius dengan omonganku barusan. Dan aku yakin kamu juga ngerti dengan maksudku.”Kiya menggeleng. “Jangan becanda. Tapi, jujur aku lebih suka Mas Gilang yang mulai bisa becanda seperti sekarang. Aku jadi ingat Mas Gilang yang dulu, yang—”“Aku lagi nggak becanda.” Gilang melepaskan tangan Kiya, lalu terdiam menunggu respons gadis itu. Kiya seharusnya tahu, Gilang saat ini tidak sedang dalam mode bercanda.“Mas, aku nggak bis
“Calon … suami?” Garry menatap Gilang dari ujung rambut, hingga kaki. Pandangannya lalu terpusat pada tongkat, yang ada di genggaman tangan kanan pria itu. Garry pun tersenyum tipis, tidak bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada pria yang ada di hadapannya. Namun, bila dilihat dari setelah dan penampilan pria itu, Garry bisa melihat semua itu adalah barang bermerek. Atau … mungkin saja barang tersebut adalah barang tiruan, karena Garry tidak melihat kendaraan roda empat terparkir di sekitar mereka. Kedua orang tersebut, pastilah baru saja keluar dari taksi dan akan berlanjut ke rumah Kiya. “Kiya?” Garry kembali menatap Kiya dan memperhatikan ekspresinya. “Kenapa?” tanya Gilang berusaha sedikit sopan, karena ia tidak mau terlibat masalah di luar rumah. Gilang benar-benar harus menjaga imagenya di depan Adi, dan seluruh anggota keluarga bila hendak memimpin Jurnal nantinya. “Ada masalah?” Kiya menghela panjang dan masih berdiri di samping Gilang. Merasa pusing sendiri, karena
Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter
“O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan
“Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan
“Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng
Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada
Pada akhirnya, Gilang membiarkan Kiya kembali bicara empat mata dengan Garry. Mereka mengantarkan Duta ke hotel yang ditempati pria itu, lalu menuju ke lounge terlebih dahulu. Sebenarnya, Gilang keberatan bila Kiya masih saja bertemu dan bicara berdua dengan Garry. Namun, karena Kiya ingin sekali menuntaskan beberapa hal agar tidak menjadi beban pikiran, maka Gilang pun menyetujuinya. “Jangan lama-lama,” pesan Gilang yang sudah lebih dulu menyuruh Duta mencari tempat duduk. “Kita masih ada urusan habis ini.” “Iyaaa.” Kiya memberi senyum kecil, sambil mengusap lengan sang suami. “Aku cuma sebentar. Temenin Duta dulu.” “Oke!” Gilang meraih pinggang Kiya, dan menjatuhkan satu kecupan di pipi dengan cepat tanpa memedulikan Garry. Jika tidak ada Duta, Gilang pasti akan menyambar bibir sang istri dengan sengaja. Garry hanya diam. Menatap datar dan tidak berkomentar. Tidak ada juga yang harus dilakukannya, karena Garry benar-benar sudah kehilangan Kiya. “Jadi, Gar, ada yang mau aku bica
Kiya menutup pintu mobil, lalu melihat ke seluruh penjuru sekolah baru Duta. Dahulu kala, ia sempat beberapa kali menjemput Kasih sepulang sekolah, ketika gadis kecil itu rewel, dan Elok maupun Harry tidak bisa datang menghampiri. Karena tidak ingin merepotkan kakek nenek dari kedua belah pihak, maka Elok pasti akan mengutus Kiya ke sekolah Kasih. Kehidupan Kasih dahulu kala, tidak jauh berbeda dengan Duta. Orang tua mereka sibuk mencari nafkah, dan hampir tidak pernah memberi perhatian secara emosional. Baik Kiya maupun Elok, hanya tahu memberi materi, tanpa melimpahkan kasih sayang yang seharusnya. “Ayo ke kantor dulu,” ajak Kiya pada Duta yang baru saja menutup pintu mobil yang berseberangan dengannya. “Habis ketemu wali kelasnya, nanti Bunda tinggal. Berani, kan?” “Beran—” “Enduuut!” Duta berdecak, saat melihat Kasih melewatinya sambil melambai dari dalam mobil. Sudah seringkali Duta mengatakan, jangan memanggilnya dengan sebutan tersebut, tetapi Kasih tetap saja tidak menghir
“Kenapa mau pindah sekolah?” Sebelumnya, Kiya sudah menjelaskan pada Gilang tentang permasalah Duta. Bocah itu mengeluh lelah, dan tidak ingin lagi meneruskan sekolah full day-nya. Duta ingin pindah sekolah dengan jam belajar seperti Kasih, tetapi tidak ingin ikut les apa pun di sore harinya.“Capek.” Duta bertelungkup di kasur, dengan sebuah buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. “Aku mau pulang sekolahnya kayak Kasih, Pa.”“Terus les kayak Kasih?” Gilang mendesah panjang, saat merebahkan tubuhnya melintang di hadapan Duta. Meskipun sudah tahu jawabannya, tetapi Gilang ingin mendengar langsung dari mulut Duta sendiri.Duta menggeleng. “Aku belajar sendiri aja di rumah, sama bunda. Nggak mau les, capek.”Tatapan Gilang menerawang. Melihat langit-langit kamar yang sudah jarang ditempatinya sejak kecelakaan. Gilang menempati kamar di lantai bawah, untuk memudahkan semua mobilitasnya, dikarenakan kondisi kaki yang pada saat itu tidak bisa bergerak bebas. Daripada harus naik turun tan