Penasaran.
Hal itulah, yang membuat Gilang sampai masuk ke dalam sebuah pusat perbelanjaan. Ia mengekori Kiya, dan sempat kehilangan gadis itu di antara kemacetan lalu lintas.
Namun, keberuntungan kali ini sepertinya berpihak pada Gilang. Ia kembali dipertemukan dengan sosok Kiya dan bocah seumuran keponakannya, di salah satu toko sepatu ternama. Gilang melihat gadis itu tengah berjongkok, dan memasangkan sepatu pada bocah laki-laki itu.
Akan tetapi, tatapan Gilang teralihkan pada sosok gadis lain, yang tengah bergandengan tangan dengan seorang pria. Langkah Gilang yang sudah tidak sempurna itu pun, reflek terayun mengikuti gadis itu.
Sampai akhirnya, Gilang melihat gadis dengan perut buncit itu masuk ke dalam sebuah kafe. Gilang segera memasukinya dan menyerobot kursi yang akan diduduki oleh pria yang datang bersama gadis itu.
“Masih ada kursi kosong di sini, jadi pindah sebelum aku panggil pelayan buat nyeret kamu keluar dari sini,” ucap sang pria dengan tatapan dan ucapan dinginnya.
“Gue duluan ada di sini.” Gilang beralasan dan hanya melirik sebentar pada sang pria yang bernama Banyu, kemudian kembali menatap gadis yang sudah lama tidak dijumpainya. Damay, gadis itu semakin terlihat cantik dengan aura ibu hamil, yang membuat semuanya terasa semakin sulit untuk dijangkau. Dari semua gadis yang pernah berada di sisi Gilang, entah mengapa harus Damay yang selalu tersisa di ingatan.
“Kenapa harus dia? Kenapa bukan gue yang jelas-jelas dari awal sudah—”
“Gilang.” Banyu terpaksa memutus ucapan Gilang dengan tegas. Sepertinya, Banyu akan membawa sang istri keluar dan mencari kafe atau restoran lain. “Aku yakin kamu tahu arti dari kata move on. Damay sudah jadi istriku, dia hamil anakku, jadi silakan pergi dan kembali ke mejamu.”
“Itu yang jadi masalahnya, Mas!” seru Gilang menekan keras ujung telunjuknya pada meja. “Damay nggak seharusnya nikah sama elo.”
“Tapi …” Kedua alis Banyu terangkat santai. Karena bagaimanapun juga, Banyu tetaplah pemenangnya. “Kenyataannya Damay sudah menikah denganku. Jadi, pergilah, Lang. Perbaiki sifat, sikap, dan perbuatanmu selama ini. Berhenti main-main, karena ujung tombak Jurnal ada di kamu.”
Sedari tadi, Damay memperhatikan Gilang yang tampak lebih kurus dari terakhir mereka bertemu. Apapun yang terjadi di balik itu, Damay berharap pria yang sempat singgah dan menemani hari-harinya dahulu kala, dalam keadaan baik-baik saja.
“Semua itu, bukan urusan lo, Mas.”
“Kalau aku nggak kenal Elok, aku juga nggak akan mau peduli dengan semua urusanmu, Lang.” Daripada membuang waktu dan tenaga untuk berdebat dengan Gilang, Banyu lebih memilih beranjaki dari kafe tersebut. Banyu yang sudah lebih dulu berdiri, kemudian meraih siku Damay. “Kita cari tempat lain.”
Yang bisa Damay lakukan hanya menuruti sang suami. Damay pun berdiri dan mengulas senyum canggung, pada pria yang masih menatap harap pada dirinya. Sudah tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan, karena hati Damay saat ini pun sudah menjadi milik Banyu seutuhnya.
“May!” Gilang beranjak. Menghalangi Damay yang baru saja menjauh satu langkah dari kursinya. “Kenapa harus Mas Banyu? Aku sudah pernah bilang—”
“Karena cuma Pak Banyu yang betul-betul memperjuangkan apa yang dia mau,” sela Damay yang sebenarnya juga merasa kasihan, ketika melihat Gilang seperti sekarang. Entah apa yang terjadi, sehingga penampilan Gilang tidak seperti dahulu kala. Namun, Damay tidak berani mempertanyakannya karena ia sudah menjadi istri Banyu.
“Pak Banyu nggak pernah ragu, walau sudah tahu latar belakang saya. Pak Banyu juga nggak pernah mundur, walau tahu perjalan kami ke depannya nggak akan mudah. Jadi, Kak Gilang pasti paham kenapa saya lebih milih bersama Pak Banyu, daripada … harus menjalani sesuatu yang nggak pasti dan penuh keraguan dengan Kak Gilang.”
“Shoot!” Gilang memaki dan hanya diam di tempat, saat melihat sepasang suami istri itu pergi dari hadapan. Makian tersebut, sebenarnya ditujukan untuk Gilang sendiri. Ia merutuk dan menyesal karena pernah menjauh Damay karena status ibu gadis itu. Harusnya, Gilang bisa lebih bijak lagi. Semua kesalahan yang dilakukan oleh ibu Damay hingga berada di penjara, tidak seharusnya membuat Gilang goyah.
Lamunan Gilang akan masa lalunya bersama Damay, terpecah karena sebuah panggilan di ponselnya. Evan menelepon, dan hal tersebut membuat Gilang kembali mengumpat sambil menerima panggilan tersebut.
“Apa!” seru Gilang tidak ramah. Ia berjalan keluar kafe, dan melihat punggung Damay yang semakin jauh dari pandangan. Kali ini, Gilang memang sudah kalah telak, dan tidak bisa melakukan hal apapun. Ia tidak mungkin merebut gadis itu dari tangan Banyu, karena Gilang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan pria itu. Bisa-bisa, sang ayah mendepaknya dari Jurnal dan membuatnya berakhir di jalanan.
“Bapak nelpon, Mas,” ujar Evan. “Disuruh balik sekarang.”
Gilang berdecak, sambil terus berjalan menuju lift. Adi memang tidak pernah mau lagi menelepon Gilang, karena seluruh ulah nakalnya di masa lalu. Sang ayah lebih memilih menelepon orang lain, untuk bertanya keberadaannya daripada menelepon Gilang. Karena percuma saja, di masa lalu, Gilang juga tidak pernah mengangkat telepon Adi karena kesibukannya.
“Kirim pesan, kita lagi otewe pulang,” titah Gilang lalu memelankan langkah dan menurunkan ponsel dari telinga. Gadis yang dibuntutinya sejak tadi, akhirnya ada di depan mata dan sedang berdiri menunggu lift bersama bocah itu. “Kiya …
~~~~
“Mas … Gilang …” Kiya menelan ludah. Menunduk sekilas, untuk menatap Duta yang menggenggam telapak tangannya. Lantas, Kiya kembali mengangkat wajah dan melihat pada pria yang tengah menatap datar padanya.
“Duta!” Gilang sengaja menyebut nama tersebut, untuk melihat respons bocah yang bersama Kiya. Tebakan Gilang benar, bocah laki-laki dengan tubuh berisi itu menoleh padanya. Menatap tanya, sekaligus bingung.
“Bund!” Duta kemudian mendongak. Menatap Kiya untuk meminta penjelasan, karena ia sama sekali tidak mengenal pria itu. “Om itu siapa? Teman Bunda?”
Kiya berusaha tenang, meskipun jantungnya sudah berdegup kencang. Menarik napas panjang nan samar, agar kepanikannya tidak terlalu tampak di mata Gilang. Kiya tersenyum pada Duta, dan memberi anggukan. Entah penjelasan seperti apa, yang nantinya akan Kiya berikan pada pria itu.
“Mas Gilang … ke mall?” Kiya juga menyematkan senyum pada Gilang. Akhirnya, pria itu mulai percaya diri pergi keluar rumah, dengan kondisi fisik yang jauh berbeda. Lebih kurus, tidak terlalu terawat, dan langkah yang tidak bisa dikatakan sempurna. Bagi Kiya, hal tersebut merupakan awal yang cukup baik.
“Iya, kenapa?” Gilang menghabiskan jarak. Berhenti saat satu tangannya jatuh di kepala bocah itu, dan mengusapnya sebentar. Gilang menebak, usia bocah tersebut sepertinya sama dengan keponakannya. “Jadi, kamu yang namanya Duta? Iya, kan?”
“Om tahu dari mana?” tanya Duta setelah mengangguk satu kali.
“Mamamu sering cerita,” jawab Gilang memberi senyum miring pada Kiya.
“Bunda,” ralat Duta sambil menelisik Gilang dari atas hingga bawah. Ia merasa, pria yang menjadi teman sang bunda, bukanlah pria biasa. Meskipun terlihat berantakan, tetapi penampilan GIlang tampak mewah dan Duta bisa membedakan hal tersebut. Belum lagi, kulit pria itu tampak sangat bersih dan terawat, dengan wangi parfum yang tidak pernah Duta hidu sebelumnya. “Aku manggilnya Bunda.”
“Ohh … Bunda.” Tatapan tajam Gilang lantas tertuju pada Kiya sebentar. Bila diperhatikan lagi, wajah Duta memang memiliki kemiripan dengan gadis itu. Jadi, hal inilah yang disembunyikan Kiya. “Kamu kelas berapa?”
“Kelas dua,” jawab Duta tegas.
Tebakan Gilang hanya meleset sedikit. Usia bocah itu, ternyata lebih tua satu tahun dari Kasih.
“Mas, bisa kita bicara sebentar,” sela Kiya ingin segera memberi penjelasan, dan melakukan sebuah negosiasi dengan Gilang. Jangan sampai, Kiya kehilangan pekerjaan yang memberinya pundi-pundi rupiah yang fantastis, karena masalah tersebut.
“Sorry.” Gilang menggeleng. “Gue sudah ditelpon pak Adi barusan. Disuruh balik.”
Kiya yang mulai panik, segera mengedarkan pandangannya. Mencari sebuah kursi tunggu kosong terdekat, agar bisa meminta Duta menunggunya di sana. Saat ia menemukannya, Kiya segera berjongkok dengan menangkup kedua lengan putranya.
“Bunda mau bicara sama Om sebentar.” Kiya lantas menunjuk sebuah kursi kosong, yang berada tidak jauh dari mereka. “Duta tunggu Bunda di sana dulu, ya! Lima menit.”
Duta mengangguk. Namun, sebelum pergi menuruti perintah sang bunda, ia kembali menatap Gilang dengan telisik. “Aku pinjam hape, mau telpon ayah sebentar.”
Kiya reflek mengumpat di dalam hati. Duta benar-benar melontarkan kalimat yang sangat tidak tepat di depan GIlang. Pria itu pasti semakin berpikiran macam-macam tentang Kiya setelah ini.
“Ayah?” celetuk Gilang dengan rasa penasaran yang semakin jadi.
Kiya buru-buru mengeluarkan ponsel dari tasnya. Memberi pada Duta, lalu berdiri dan menyuruh putranya pergi menuju kursi tunggu.
“Mas–”
“Duta itu anak lo?” putus Gilang tidak ingin membuang waktu, karena Adi sudah menunggunya di rumah. Kalau dahulu, GIlang pasti tidak akan memedulikan pria tua itu. Namun, sekarang keadaannya sudah berbeda dan Gilang tidak bisa mengabaikan Adi sama sekali. “Jadi, selama ini lo sudah nikah dan punya anak? Apa mbak Elok tahu kalau asistennya selama ini sudah bohongin dia? Gila ya, lo, Ki! Kami sudah ngasih kepercayaan ke elo, tapi lo–”
“Mas, tolong dengerin penjelas–”
“Lo gue pecat!” seru Gilang tidak mau tahu lagi, dengan drama yang mungkin akan dilontarkan Kiya. “Nggak usah lagi datang ke rumah gue, dan nggak usah lagi sok jadi cewek baik yang innocent di depan gue.”
“Mas, saya nggak–”
“Nggak ada,” sahut Gilang kembali menghentikan ucapan Kiya. Ia melewati Kiya dan menekan tombol lift yang ada di hadapan. “Gue nggak suka kerja dengan orang yang sudah ngebohongin gue, dan keluarga gue.”
“Mas, dengerin saya du–”
“Bye, Ki!” sela Gilang merasa kesal sendiri. Ia tidak bisa menjelaskan, mengapa perasaannya bisa sampai kesal seperti sekarang. Yang jelas, Gilang sudah tidak mau bertemu dengan Kiya lagi. Terlebih ketika ia tahu, Kiya sudah memiliki seorang suami. “Gue peringatkan sekali lagi, jangan pernah lagi datang ke rumah gue! Titik!”
Panik. Kedua tangan Kiya sampai gemetar, karena pemecatan sepihak yang dilakukan Gilang. Bukan maksud Kiya untuk berbohong, tetapi keadaanlah yang memaksanya. Dulu, demi mendapatkan pekerjaan sebagai asisten Elok, Kiya harus berbohong tentang statusnya saat wawancara. Membuat beberapa alasan, dan sempat memalsukan beberapa dokumen penting. Kiya tahu itu semua salah. Namun, demi menghidupi keluarganya dan memberikan mereka kehidupan yang layak, Kiya harus melakukan semua itu. “Duta …” Karena mempertimbangkan putranya, maka Kiya tidak bisa mengejar Gilang saat itu juga. “Kita pulang sekarang, ya!” “Apa, Bund?” Kekesalan Duta semakin bertambah. Saat sang ayah tidak kunjung mengangkat panggilan videonya, kini Kiya mengajaknya pulang dengan mendadak. “Tapi kita belum dapat sepatu, belum lihat-lihat sepeda juga!” “Bunda ditelpon orang kantor.” Hanya satu alasan itu, yang bisa membuat Duta tidak membantah. “Ada kerjaan mendadak, tapi nggak lama. Nanti sore, atau malam kita jalan lagi
Gilang tidak punya jalan keluar, selain kembali ke rencana awal. Jika dibandingkan dengan Kiya, jelas saja papanya itu lebih percaya pada wanita itu daripada Gilang sendiri. Ulah Gilang selama inilah, yang membuat seluruh kepercayaan Adi hilang kepadanya. Karena itulah, Gilang butuh orang seperti Kiya untuk meyakinkan Adi, dirinya saat ini sudah berubah dan bisa diberi kepercayaan untuk masuk ke jajaran direksi Jurnal.“Kalau suka, dilamar, Jangan tunggu jadi CEO, baru dinikahin.”Gilang sontak membeku beberapa saat. Lamunannya tentang Kiya menguap detik itu juga. Kemudian, ia menoleh pelan pada Elok yang tersenyum, dengan pandangan yang tertuju ke halaman rumah. Apa kakaknya tahu mengenai perjanjian yang telah disepakatinya dengan Kiya? Atau, hal tersebut hanyalah sindiran semata, tanpa ada maksud apa-apa.Lantas, Gilang pun terkekeh hambar untuk menanggapi ucapan Elok tersebut. “Lagi ngomongin siapa, Mbak?” tanyanya pura-pura tidak tahu.“Kamu, sama Kiya?” todong Elok tanpa ingin be
“Bokap gue mau ngomong.” Gilang menarik paksa Kiya, ke sudut ruang tersembunyi di bawah tangga. “Gue barusan bilang mau balik ke Jurnal, tapi bokap minta ketemu sama lo dulu.”“Kenapa Mas Gilang nggak berunding sama saya dulu,” ujar Kiya bicara dengan perlahan. “Harusnya—““Bilang ke bokap, kalau gue sudah siap,” putus Gilang terburu. “Terus, masalah hubungan kita, bilang juga sudah selesai, karena kita lebih cocok jadi partner kerja. Nggak lebih dari itu. Paham, lo?”Kiya mengangguk. “Lain kali, semua masalah harus dibicarakan dan direncanakan—““Ki, mending lo diam, terus masuk ke ruang kerja.” Gilang sudah tidak sabar menunggu keputusan Adi. “Pokoknya lo bilang, seperti yang sudah gue kasih tahu barusan. Ngerti, kan, lo? Entar gue tambahin gajian lo bulan ini. Jangan khawatir.”Mentang-mentang Kiya melakukan semua hal demi uang, bukan berarti Gilang lantas memperlakukannya seperti sekarang. “Mas, ini bukan Cuma masalah uang. Tapi—““Udahlah nggak usah muna,” putus Gilang lagi. “Lo
“Sekali lagi saya ingatkan, jangan perlakukan Gilang dengan istimewa,” pesan Adi saat berhenti di depan meja Kiya. “Gilang Mahardika bukan anak pemilik Jurnal, dan dia di sini CUMA karyawan biasa. Tiga bulan bulan pertama, anggap dia anak magang dan jangan mau diperintah sama dia. Paham, Kiya?”Kiya yang sudah berdiri dari kursinya segera mengangguk. “Baik, Pak.”“Pagi semuaaa.” Elok menahan tawa saat melihat Gilang berdiri di balik mejanya. Ia menghampiri sang adik, lalu berdiri di sebelah Gilang dan merangkulnya. “CEO, kan?” bisiknya di telinga Gilang, sambil menepuk keras dada pria itu. “Semangat!”Hanya itu, kemudian Elok melepas tawa sambil berlalu menuju ruangannya. Sekilas, Elok memberi anggukan formal pada Adi, tetapi tidak berniat berhenti melangkah ataupun menegur sang papa.Sementara Gilang, spontan memegang dadanya yang nyeri karena ulah Elok barusan. Akhirnya, daripada harus kembali mengurus Event Organizer miliknya, Gilang memilih menjadi asisten Kiya. Bersabar selama sa
Kiya menelan ludah. Menatap Adi dan Elok yang berada di depannya secara bergantian. Kemudian, ia tertunduk dan menghela panjang karena memikirkan nasibnya saat ini. Gilang sungguh keterlaluan, karena sudah membongkar rahasia yang selama ini Kiya simpan rapat-rapat. Hanya satu harapan Kiya saat ini, jangan sampai kedua orang itu memecatnya. Banyak hal yang belum Kiya selesaikan, termasuk biaya sekolah Duta yang memang tidak murah. Karena ingin memberi semua yang terbaik, maka Kiya juga menyekolahkan putranya di tempat yang terbaik pula. “Jadi Ki, saya mau dengar semuanya dari mulut kamu sendiri,” pinta Elok. “Pak Adi dan saya di sini, sudah nganggap kamu itu seperti keluarga sendiri, jadi, ceritakan semuanya dan nggak perlu sungkat.” “Dan jangan ada lagi yang ditutupi,” tambah Adi bersedekap tegak menatap Kiya. Sulit dipercaya, bila Kiya memang benar sudah memiliki suami dan seorang putra. Bahkan, usia putranya lebih tua satu tahun daripada Kasih. Sementara itu, selama ini Kiya sela
Gilang menutup pintu ruangan Elok dengan kasar, sehingga membuat sang kakak yang baru saja duduk di kursinya kembali berdiri dan menghardik pria itu.“Apa-apaan, sih, Lang!” Elok menghela panjang, sambil mengusap perutnya dengan kedua tangan. “Belum waktunya lahiran, aku sudah brojol duluan gara-gara kamu!” “Itu!” Gilang menghampiri Elok, sembari mengarahkan telunjuk ke arah luar ruangan. “Si Kiya itu makin besar kepala gara-gara papa nggak mecat dia!”“Lang.” Elok membuang napas kecil, lalu kembali duduk di kursinya. Ia bersandar pelan, kemudian menyalakan perangkat komputer di mejanya. “Setelah aku sama papa ngobrol empat mata, yang bermasalah di sini itu sebenarnya kamu, bukan Kiya.”“Aku?” Gilang menunjuk wajahnya sendiri. Ia menarik kursi yang berseberangan dengan Elok, kemudian menghempas kasar tubuhnya di sana. “Aku nggak ada masalah, Mbak. Tapi Kiya sudah bohongin keluarga kita selama ini.”“Dan dia punya alasan untuk itu.” Elok berusaha sabar, kerena sudah membahas permasala
“Siang, Pak Pemred,” sapa Elok menghampiri Bumi lalu mengulurkan tangan lebih dulu. “Lama kita nggak bersua, ya! Apa kabar? Antariksa baik, kan? Pak Dewa gimana? Galak, nggak?”Bumi segera berdiri, lalu menyambut jabat tangan Elok dengan suka Cita. Ia juga memberi kekehan, karena Elok langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. “Lebih galak dari Bu Elok.”Elok tertawa kecil, lalu mempersilakan Bumi untuk duduk kembali. Ia melihat secangkir kopi yang sudah ada di hadapan, dan tersenyum. Satu langkah kecil ini, bisa membuat Gilang sedikit menurunkan egonya di hadapan semua orang.“Tapi bukan pak Dewa yang ngurus Antariksa, Bu,” lanjut Bumi seraya duduk dengan perlahan. “Pak Reno! Kabar awalnya bu Rindu yang diminta masuk Antariksa, tapi beliau nggak mau karena sibuk ngurus anak sama kuliah.”“Ah! Ya, ya, ya.” Elok jadi memikirkan permintaan Lex untuk berhenti bekerja, setelah anak mereka lahir nantinya. Namun, Elok masih bernegosiasi agar bisa tetap bekerja membantu sang papa di Ju
“Sore Pak Lex,” sapa Kiya yang baru saja berdiri dan hendak pergi ke ruangan Adi. Ia melihat Lex berjalan menuju mejanya, dan memberi anggukan singkat pada saat Kiya menyapanya.“Sore, Ki.” Lex membalas saat sudah berhenti di depan meja Kiya. Ia tersenyum kecil pada Gilang, lalu ikut menyapanya. “Sehat, Lang?”“Sehat, Mas.” Gilang balas tersenyum dan menyapa, sembari membereskan barang-barang di mejanya. Ia melirik sejenak pada Kiya, yang selalu saja terlihat memiliki energi lebih untuk menghadapi semua hal.“Bu El, ada di ruangan pak Adi,” kata Kiya setelah mendengar Gilang membalas sapaan Lex. “Biar saya panggilkan sebentar dan silakan menunggu di ruangan bu Elok.” Kiya mempersilakan Lex masuk ke ruangan istrinya, dan membukakan pintu terlebih dahulu. “Silakan, Pak.”“Terima kasih.” Lex mengangguk dan segera pergi menuju ruangan Elok, setelah kembali menegur adik iparnya.Kiya berbalik, dan segera pergi ke ruangan Adi. Mengetuk pintunya dua kali, kemudian masuk dan menghampiri kedua
Setelah melalui minggu-minggu yang cukup berat dan melelahkan, akhirnya hari itu datang juga. Hari di mana kemampuan Gilang akhirnya diakui oleh seluruh dewan direksi dan komisaris Jurnal. Sehingga, hasil Rapat Umum Pemegang Saham akhirnya mengeluarkan satu keputusan, yang benar-benar mengubah hidup Gilang sepenuhnya. CEO. Akhirnya, impian Gilang untuk memegang kendali atas Jurnal terwujud sudah. Meskipun tidak mudah, tetapi semua cobaan yang sudah dilaluinya berakhir sepadan dengan hasil yang diterima. “Bunda ke mana, Ta?” Saat memasuki ruang makan, Gilang hanya menemukan Duta tengah sarapan seorang diri. Biasanya, akan ada Kiya menemani karena hanya Duta saja yang sarapan di pagi hari sebelum berangkat sekolah. “Bunda?” Duta menoleh pada Gilang yang menatap ke area dapur. “Emang nggak ada di kamar Papa?” “Papa kira sama kamu?” Tidak melihat istrinya ada di dapur, Gilang lantas menatap Duta yang sudah terlihat rapi dengan seragam batiknya. “Bunda tadi nyuruh sarapan duluan,” ter
“O!” Suara kecil nan lembut dari Rezky, membuat Gilang yang baru saja menarik kursi di meja makan menoleh. Ia segera berjongkok, lalu melebarkan kedua tangan untuk menyambut bocah yang kini berlari ke arahnya. Saat Rezky sudah berada di pelukan, Gilang berdiri perlahan sembari menggendong keponakannya itu. “Om, bukan O,” ralat Gilang hanya bisa terkekeh bila mendengar panggilan yang disematkan Rezky untuknya. Padahal, Gilang sudah berkali-kali meralat dan mengajari Rezky agar memanggilnya dengan benar, tetapi tetap saja, keponakannya itu memanggilnya dengan kata “O”. Bertemu dengan Rezky hampir setiap hari, setidaknya bisa mengobati kerinduan Gilang akan kehadiran seorang anak. Namun, Tuhan masih berkata lain dan belum menjawab semua doa-doanya. Selama ini, Kiya belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan, padahal mereka sudah melakukan usaha semaksimal mungkin. “Mama ke mana Sayang?” tanya Kiya yang segera berdiri. Ia memundurkan lagi kursi Gilang, agar sang suami bisa duduk dengan
“Makanya kalau istrinya ngomong itu didengerin, Mas.” Kiya segera menyusul Gilang yang baru saja keluar dari kamar mandi, lalu berjalan menuju walk in closet. Mereka berdua bangun kesiangan, karena melakukan berbagai hal hingga larut malam.Padahal, pagi-pagi sekali Gilang akan pergi ke luar kota bersama Adi dan Elok untuk menghadiri sebuah undangan formal. Namun, akibat tidak mau mendengarkan Kiya, alhasil mereka harus terburu-buru melakukan segala sesuatunya.“Untung Duta lagi libur, jadi aku nggak bingung ke sana kemari.” Karena asisten rumah tangga mereka tahu sang majikan hendak pergi ke luar kota pagi-pagi sekali, maka sarapan pagi sudah siap lebih awal. Selagi Gilang di kamar mandi, Kiya pun bergegas ke dapur dan mengambilkan sarapan untuk dibawa ke kamar. “Aaak.”Gilang dengan segera menyambar satu suapan nasi goreng seafood, yang baru disodorkan Kiya ke mulutnya. Sembari memakai pakaiannya satu per satu.“Tarik napas, Bun.” Meskipun mereka kesiangan, tetapi Gilang tidak sepan
“Mas.” Kiya mempercepat mendorong trolley belanjaan, sembari memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Berjalan terburu, ketika melihat seseorang yang baru saja melewati ujung lorong di hadapannya. “Telponnya aku tutup dulu, biar cepat belanjanya. Nanti aku telpon lagi kalau sudah sampe di rumah bunda.” Setelah Gilang mengiyakan dari ujung sana, Kiya langsung mengakhiri pembicaraan tersebut. Ia segera menyusul seseorang yang sempat dilihatnya agar tidak kehilangan jejak. “Tante …” Kiya melepas trolley belanjaannya, agar bisa lebih leluasa menghampiri wanita tersebut. Kiya berhenti di samping trolley belanjaan wanita itu, lalu menelan ludah saat melihat tatapan terkejut nan tajam yang diarahkan padanya. “Tante Amel, bisa kita bicara sebentar?” “Pergi, atau mau saya panggilkan satpam?” Amel mengeratkan pegangannya pada trolley belanjaan. “Tante, sepuluh menit.” Kiya memohon dengan sangat, karena mungkin hanya ini satu-satunya kesempatan yang bisa didapatnya agar bisa bicara deng
Gilang menghela panjang, saat menatap pantulan dirinya di dinding kaca. Tidak ada yang berubah. Penampilannya sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Namun, hari ini adalah hari pertama Elok kembali ke Jurnal dan Gilang akan menghadapi Adi, juga kakak perempuannya sekaligus ketika bekerja.Menghadapi Adi saja, sudah membuat kepala Gilang pusing tujuh keliling. Sekarang, ditambah dengan kembalinya Elok di dalam tim direksi. Bisa-bisa, kepala Gilang langsung berasap seketika, bila kedua orang itu memberinya setumpuk tugas dan pelajaran sekaligus.“Harusnya, cuti bersalin itu diperpanjang jadi 6 bulan.” Gilang kembali menghela napas dan membenarkan dasi yang masih terlihat rapi. “Tiga bulan itu nggak berasa. Kayaknya baru kemaren mbak Elok itu lahiran, tapi, hari ini tahu-tahu sudah masuk. Coba kalau aku jadi presidennya, aku langsung minta—”“Mas, jadi CEO aja dulu.” Kiya ingin tertawa, tetapi ia tahan. “Nanti kalau sudah jadi CEO, baru kita pikirin cara untuk jadi presiden.”Gilang mel
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada
Pada akhirnya, Gilang membiarkan Kiya kembali bicara empat mata dengan Garry. Mereka mengantarkan Duta ke hotel yang ditempati pria itu, lalu menuju ke lounge terlebih dahulu. Sebenarnya, Gilang keberatan bila Kiya masih saja bertemu dan bicara berdua dengan Garry. Namun, karena Kiya ingin sekali menuntaskan beberapa hal agar tidak menjadi beban pikiran, maka Gilang pun menyetujuinya. “Jangan lama-lama,” pesan Gilang yang sudah lebih dulu menyuruh Duta mencari tempat duduk. “Kita masih ada urusan habis ini.” “Iyaaa.” Kiya memberi senyum kecil, sambil mengusap lengan sang suami. “Aku cuma sebentar. Temenin Duta dulu.” “Oke!” Gilang meraih pinggang Kiya, dan menjatuhkan satu kecupan di pipi dengan cepat tanpa memedulikan Garry. Jika tidak ada Duta, Gilang pasti akan menyambar bibir sang istri dengan sengaja. Garry hanya diam. Menatap datar dan tidak berkomentar. Tidak ada juga yang harus dilakukannya, karena Garry benar-benar sudah kehilangan Kiya. “Jadi, Gar, ada yang mau aku bica
Kiya menutup pintu mobil, lalu melihat ke seluruh penjuru sekolah baru Duta. Dahulu kala, ia sempat beberapa kali menjemput Kasih sepulang sekolah, ketika gadis kecil itu rewel, dan Elok maupun Harry tidak bisa datang menghampiri. Karena tidak ingin merepotkan kakek nenek dari kedua belah pihak, maka Elok pasti akan mengutus Kiya ke sekolah Kasih. Kehidupan Kasih dahulu kala, tidak jauh berbeda dengan Duta. Orang tua mereka sibuk mencari nafkah, dan hampir tidak pernah memberi perhatian secara emosional. Baik Kiya maupun Elok, hanya tahu memberi materi, tanpa melimpahkan kasih sayang yang seharusnya. “Ayo ke kantor dulu,” ajak Kiya pada Duta yang baru saja menutup pintu mobil yang berseberangan dengannya. “Habis ketemu wali kelasnya, nanti Bunda tinggal. Berani, kan?” “Beran—” “Enduuut!” Duta berdecak, saat melihat Kasih melewatinya sambil melambai dari dalam mobil. Sudah seringkali Duta mengatakan, jangan memanggilnya dengan sebutan tersebut, tetapi Kasih tetap saja tidak menghir
“Kenapa mau pindah sekolah?” Sebelumnya, Kiya sudah menjelaskan pada Gilang tentang permasalah Duta. Bocah itu mengeluh lelah, dan tidak ingin lagi meneruskan sekolah full day-nya. Duta ingin pindah sekolah dengan jam belajar seperti Kasih, tetapi tidak ingin ikut les apa pun di sore harinya.“Capek.” Duta bertelungkup di kasur, dengan sebuah buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. “Aku mau pulang sekolahnya kayak Kasih, Pa.”“Terus les kayak Kasih?” Gilang mendesah panjang, saat merebahkan tubuhnya melintang di hadapan Duta. Meskipun sudah tahu jawabannya, tetapi Gilang ingin mendengar langsung dari mulut Duta sendiri.Duta menggeleng. “Aku belajar sendiri aja di rumah, sama bunda. Nggak mau les, capek.”Tatapan Gilang menerawang. Melihat langit-langit kamar yang sudah jarang ditempatinya sejak kecelakaan. Gilang menempati kamar di lantai bawah, untuk memudahkan semua mobilitasnya, dikarenakan kondisi kaki yang pada saat itu tidak bisa bergerak bebas. Daripada harus naik turun tan