Setelah mendengar bahwa Gavin masih berusaha mencarinya, Nayara merasakan sakit di ulu hatinya. Sebesar keinginan dia untuk melupakan Gavin, semakin besar pula rasa rindu di hatinya. Gavin masih menjadi satu-satunya pria yang pernah ia cintai sepanjang hidupnya. Ia sudah melihat banyak perjuangan Gavin selama di rumah sakit jiwa untuk menebus kesalahan dirinya di masa lalu. Semua usaha itu membuat dinding es yang menyelubungi hatinya kembali mencair untuk pria itu.
Hanya saja kini ia sudah dalam kondisi stabil dan mengetahui lubang besar yang ada pada dirinya. Ia tetap meminum obat, meski sekarang Dokter Hana sudah meresepkan obat seminggu sekali untuknya. Skizofrenia akan terus melekat pada dirinya, walau ia sekarang sudah merasa baik-baik saja. Hanya saja ia harus tetap bergantung pada obat sepanjang hidupnya, meski dengan jangka waktu minum obat yang tidak sesering dulu. Skizofrenia yang ia derita sekarang sedang tertidur untuk sementara waktu dan bisaArumi dan Dava tengah berada di ruang karaoke. Mereka bukan datang untuk bernyanyi bersama, justru selama dua jam mereka berada di sini tidak ada satu lagu pun yang di putar melalui layar. Pengeras suara di ruangan itu tidak berbunyi sedikit pun. Hanya ada suara gitar dan suara merdu Arumi di ruangan itu.“Ternyata tidak semudah yang kubayangkan,” keluh Arumi setelah hampir dua jam ia masih belum bisa menghafalkan kunci gitar yang akan mengiringi lagunya.“Tak apa, masih ada beberapa hari tersisa,” tenang Dava.Ini sudah hari ketiga mereka berlatih gitar, masih di tempat yang sama yaitu tempat karaoke keluarga tak jauh dari tempat tinggal Dava. Bagi Dava ini adalah tempat teraman, mereka tidak mungkin berlatih di Cafe di mana banyak orang bisa dengan mudah mengenali Dava. Ia juga sudah mengepak semua barang-barangnya di manajemen Stone, Dava merasa begitu enggan jika harus melatih gitar Arumi di sana. Jadi pilihan tempat terakhir yang Dava putuskan adalah
Arumi membopong tubuh Dava keluar dari dikotik, sebenarnya lelaki itu cukup kuat untuk berjalan sendiri tapi entah kenapa perhatian Arumi membuat ia ingin terlihat lemah lebih lama lagi. Pelukan Arumi membuat ia lupa diri untuk sesaat.Arumi segera mengemudi mobil Dava, setelah memastikan Dava sudah duduk dengan an di kursi penumpang bagian depan.“Kita mau kemana?” tanya Dava.“Rumah sakit,” jawab Arumi singkat sambil memundurkan mobilnya dari tempat parkir.“Hai, tidak perlu! Aku tidak separah itu hingga harus dibawa ke rumah sakit,” tolak Dava.“Lihatlah wajahmu memar dan bibirmu juga robek!”“Ini tidak separah itu! Antar saja aku pulang ke apartemen.”Arumi tidak dapat berbuat banyak, ia akhirnya mengemudikan mobilnya menuju apartement Dava. Menurunkan pria itu tepat di depan loby apartemen.“Apa kamu yakin bisa berjalan sendir
Pagi hari Gavin sudah memacu mobilnya menuju dataran tinggi bogor. Ia pergi ke sebuah Vila yang agak jauh dari Vila kebanyakan yang berada di sini. Bukan sebuah Vila yang jauh dari keramaian, justru sebuah Vila yang dekat dengan perkampungan warga dan juga daerah persawahan terasering.Ini adalah lokasi terakhir Damar bisa melacak keberadaan Nayara. Ia menunggu dengan tenang di dalam mobil hitamnya yang ia parkir tak jauh dari Vila tempat Nayara berada. Setelah tiga jam menunggu Gavin melihat gadis itu keluar dengan seorang remaja wanita yang mengekor di belakangnya.Gavin keluar dari mobilnya dan mengekor perlahan pada langkah kedua wanita itu. Kini mereka berjalan menuju pematang sawah, mereka terus berjalan hingga ke sebuah sungai kecil tempat Nayara suka menghabiskan waktu untuk duduk dan menikmati udara pagi.Gavin perlahan menghampiri Nayara, gadis remaja di sebelahnya hanya bisa menatap diam keheranan. “Kamu siapa?” tanya Ranum pada
Arka bersandar pada pintu mobil sambil menunggu Ara turun. Sudah sepuluh menit ia menunggu Ara di depan rumah Via. Rencana pagi ini mereka akan menonton pertandingan basket Indonesia melawan Thailand.“Maaf menunggu lama,” kata Ara begitu menghampiri Arka. Ia tampak cantik dengan balutan kaos sederhana berwarna-warni biru muda dan celana jeans.Arka segera merapat mendekati Ara, ia mencium pipi Ara kanan dan kiri dengan hangat. Ciuman itu membuat Ara tersipu, rasanya sudah lama sekali ia tidak melihat kehangatan yang Arka berikan. Terakhir lelaki ini mencium dirinya adalah ketika mereka di Swiss.“Apa kamu sudah sarapan?” tanya Arka.“Sudah, Ibu Via memasakkan sup jamur kancing yang enak. Apa kamu belum sarapan?”“Sudah dengan roti dan selai kacang.”Mereka segera memacu mobil menuju lapangan basket ternama di tengah kota. Hiruk pikuk suporter dari dua negara sudah memba
Arka mengarahkan mobilnya ke toko bunga, ia keluar dan kembali dengan satu bucket bunga di tangan. Ara tersenyum sambil meraih bunga itu ketika Arka memasuki mobil.“Cantik sekali mawar putih ini! Apa ini untukku?” tanya Ara.“Bukan ini untuk perempuan lain.”Ekspresi Ara mendadak berubah menjadi masam. Apalagi setelah melihat Arka menaruh bunga itu dengan penuh hati-hati di kursi belakang. Ara hanya cemberut sepanjang perjalanan.“Apa kamu berselingkuh secara terang-terangan denganku?” tanya Ara dengan jengkel.Arka hanya tersenyum tak menjawab.“Jika kamu tahu siapa wanita ini, kamu tidak akan pernah cemburu dengan dia!”Ara mengarahkan mobilnya menuju tempat pemakan umum yang biasa Ara datangi dengan Gavin. Arka dan Ara berjalan menuju ke dua makam yang berdampingan, ini adalah makan kedua orang tua Ara yang telah meninggal akibat kecelakaan pesawat ketika Ara da
Tante Geby kembali ke tempat duduknya dengan tubuh yang lemas. Semua orang bisa melihat perubahan ekspresi setelah wanita ini menerima telepon, gurat wajahnya menampilkan jelas hal buruk baru saja terjadi.“Mari kita akhiri makan malamnya, ada hal penting di kantor yang harus urus,” ajak Tante Geby. Kedua pasangan tua di sebelahnya menatap heran.“Apa terjadi hal buruk?” tanya Kakek Ara.“Tidak, hanya miskomunikasi dengan tim pemasaran dan perlu bicara langsung untuk menjelaskan.”Tente Geby harus berbohong, ia tidak bisa berkata jujur pada kedua orang tuanya yang tak lagi muda. Berita kecelakaan pada Gavin hanya akan membuat shock jantung mereka yang sudah lemah.“Pergilah ke Rumah Sakit Harapan, Gavin kecelakaan dan di rawat di sana,” titah Tante Geby berbisik pada Arka.Arka bersama Ada segera menuju rumah sakit sementara Tante Geby harus mengantar kedua orang tuanya
Gavin menggerakkan jarinya untuk pertama kali setelah enam hari di rawat. Ia menoleh ke arah samping dan menemukan Ara tengah tertidur saat menjaga dirinya. Di sofa tak jauh dari ranjangnya ia melihat kedua sahabatnya tertidur sambil duduk. Ia ingin bangkit tapi kepalanya terasa begitu sakit. Ara terbangun karena gerakan di atas ranjang tempat ia menyandarkan kepala. Ketika ia membuka mata, Gavin terlihat sedang berusaha untuk duduk.“Kakak,” kata Ara.“A-air,” kata Gavin sambil menunjuk ke arah meja di sebelahnya. Tenggorokannya terasa begitu kering dan begitu sulit untuk mengeluarkan suara.Dava dan Arka langsung terbangun saat Ara mengatakan kata “kakak” mereka sempat berpikir kondisi Gavin memburuk lagi tapi mereka begitu lega saat melihat Gavin akhirnya membuka mata setelah enam hari tak sadarkan diri.“Bantulah Ara mendudukkan tubuh Gavin,” pinta Arka pada Dava.Dava segera membantu Gavi
Dava dan Arka tidak pernah berhenti menemani Gavin selama masa pemulihan. Saat Dava melakukan fisioterapi untuk kakinya mereka berdua juga selalu berada di samping Gavin memberikan semangat. Berbeda dengan Arka yang selalu datang saat selesai kerja, Dava selalu menemani Gavin seolah pria ini adalah belahan jiwanya. Dava yang kini pengangguran memiliki banyak waktu luang untuk menjadi perawat pribadi bagi Gavin. “Apakah aku tidak punya pacar selama enam tahun ke belakang ini?” tanya Gavin pada Dava yang menemani dirinya menghirup udara segar di taman rumah sakit. “Kenapa menanyakan hal itu?” “Hanya aneh, kenapa tidak ada satu wanita pun yang menjengukku selama di rumah sakit.” Gavin merasa enam tahun yang lalu ia masih menjadi pria tampan yang banyak di idolakan banyak wanita, tapi ia merasa aneh ketika hampir dua minggu di rumah sakit bahkan tak ada satu wanita pun yang menjenguk dirinya. “Enam tahun ini, para g