Arka mengarahkan mobilnya ke toko bunga, ia keluar dan kembali dengan satu bucket bunga di tangan. Ara tersenyum sambil meraih bunga itu ketika Arka memasuki mobil.
“Cantik sekali mawar putih ini! Apa ini untukku?” tanya Ara. “Bukan ini untuk perempuan lain.”Ekspresi Ara mendadak berubah menjadi masam. Apalagi setelah melihat Arka menaruh bunga itu dengan penuh hati-hati di kursi belakang. Ara hanya cemberut sepanjang perjalanan. “Apa kamu berselingkuh secara terang-terangan denganku?” tanya Ara dengan jengkel. Arka hanya tersenyum tak menjawab. “Jika kamu tahu siapa wanita ini, kamu tidak akan pernah cemburu dengan dia!” Ara mengarahkan mobilnya menuju tempat pemakan umum yang biasa Ara datangi dengan Gavin. Arka dan Ara berjalan menuju ke dua makam yang berdampingan, ini adalah makan kedua orang tua Ara yang telah meninggal akibat kecelakaan pesawat ketika Ara daTante Geby kembali ke tempat duduknya dengan tubuh yang lemas. Semua orang bisa melihat perubahan ekspresi setelah wanita ini menerima telepon, gurat wajahnya menampilkan jelas hal buruk baru saja terjadi.“Mari kita akhiri makan malamnya, ada hal penting di kantor yang harus urus,” ajak Tante Geby. Kedua pasangan tua di sebelahnya menatap heran.“Apa terjadi hal buruk?” tanya Kakek Ara.“Tidak, hanya miskomunikasi dengan tim pemasaran dan perlu bicara langsung untuk menjelaskan.”Tente Geby harus berbohong, ia tidak bisa berkata jujur pada kedua orang tuanya yang tak lagi muda. Berita kecelakaan pada Gavin hanya akan membuat shock jantung mereka yang sudah lemah.“Pergilah ke Rumah Sakit Harapan, Gavin kecelakaan dan di rawat di sana,” titah Tante Geby berbisik pada Arka.Arka bersama Ada segera menuju rumah sakit sementara Tante Geby harus mengantar kedua orang tuanya
Gavin menggerakkan jarinya untuk pertama kali setelah enam hari di rawat. Ia menoleh ke arah samping dan menemukan Ara tengah tertidur saat menjaga dirinya. Di sofa tak jauh dari ranjangnya ia melihat kedua sahabatnya tertidur sambil duduk. Ia ingin bangkit tapi kepalanya terasa begitu sakit. Ara terbangun karena gerakan di atas ranjang tempat ia menyandarkan kepala. Ketika ia membuka mata, Gavin terlihat sedang berusaha untuk duduk.“Kakak,” kata Ara.“A-air,” kata Gavin sambil menunjuk ke arah meja di sebelahnya. Tenggorokannya terasa begitu kering dan begitu sulit untuk mengeluarkan suara.Dava dan Arka langsung terbangun saat Ara mengatakan kata “kakak” mereka sempat berpikir kondisi Gavin memburuk lagi tapi mereka begitu lega saat melihat Gavin akhirnya membuka mata setelah enam hari tak sadarkan diri.“Bantulah Ara mendudukkan tubuh Gavin,” pinta Arka pada Dava.Dava segera membantu Gavi
Dava dan Arka tidak pernah berhenti menemani Gavin selama masa pemulihan. Saat Dava melakukan fisioterapi untuk kakinya mereka berdua juga selalu berada di samping Gavin memberikan semangat. Berbeda dengan Arka yang selalu datang saat selesai kerja, Dava selalu menemani Gavin seolah pria ini adalah belahan jiwanya. Dava yang kini pengangguran memiliki banyak waktu luang untuk menjadi perawat pribadi bagi Gavin. “Apakah aku tidak punya pacar selama enam tahun ke belakang ini?” tanya Gavin pada Dava yang menemani dirinya menghirup udara segar di taman rumah sakit. “Kenapa menanyakan hal itu?” “Hanya aneh, kenapa tidak ada satu wanita pun yang menjengukku selama di rumah sakit.” Gavin merasa enam tahun yang lalu ia masih menjadi pria tampan yang banyak di idolakan banyak wanita, tapi ia merasa aneh ketika hampir dua minggu di rumah sakit bahkan tak ada satu wanita pun yang menjenguk dirinya. “Enam tahun ini, para g
‘Jika kamu playboy jahat tak berperasaan, maka tetaplah seperti itu. Kenapa kamu harus menjadi pria hangat yang terus menggoyahkanku?’ batin Arumi.Beberapa orang yang mengenal Arumi mulai mendatangi dirinya yang tengah duduk di taman.“Jadi benar ini Arumi yang cantik dan bersuara merdu. Bisakah kami minta tanda tangan dan foto bersama?” pinta tiga perawat muda yang masih berada di usia 20 tahunan.Arumi tersenyum sebagai tanda mempersilahkan. Dava segera berdiri menjauh dari Arumi dan para penggemar barunya yang tampak antusias. Dulu Dava pernah berada di posisi itu, menjadi idola yang bayak di puja tapi kini ia justru bagian dari penyumbang jutaan pengangguran di ibu kota. Dia hanya beruntung masih memiliki uang tabungan dan beberapa aset yang masih bisa membuat ia bertahan hidup.Saat ketiga gadis itu mulai berjalan pergi, Arumi masih di sibukkan dengan beberapa penggemar lain yang juga berdatangan.
Hari-hari berikutnya Gavin sering terduduk di bangku taman sendiri. Hampir dua puluh hari ia di rawat di sini. Ia merasa bosan, meski kedua temannya selalu datang memberi hiburan. Belum ada perubahan di kakinya, tulang di kakinya masih saja terasa berat untuk di gerakkan. Gavin setengah putus asa, pikiran bahwa akan terjadi kelumpuhan permanen menghantui dirinya.Ia sering menghabiskan waktu duduk di taman, karena hanya di sinilah setiap pagi ia bisa melihat seorang wanita cantik pembagi bunga.“Siapa wanita itu? Kenapa tiap kali melihatnya hatiku merasa sakit.”Gavin memperhatikan seorang wanita yang sering membagikan tiap tangkai bunga mawar pada anak kecil. Gavin satu-satunya orang dewasa yang selalu ia beri bunga itu. Setangkai bunga mawar merah yang selalu ia berikan dengan pesan ‘Semoga lekas sembuh,’.“Semoga lekas sembuh!” sapa wanita itu dengan memberikan setangkai bunga lagi pada Gavin.
“Bolehkah aku meminta nomor teleponmu?” tanya Dokter Ardi setelah menjabat tangan Ara.Ara terdiam, ia menoleh ke arah Arka dan melihat wajah pria itu terlihat kacau. Jemarinya mengepal erat hingga kuku panjangnya menusuk pori.“Apa yang kamu pikirkan? Cepat berikan nomormu!” pinta Gavin.“Aku permisi dulu, ada telepon dari sekretarisku di kantor,” pamit Arka. Ia segera melangkah pergi menuju taman. Tak ada telepon yang bergetar di sakunya. Ia hanya tidak kuasa melihat itu semua sementara dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.“Ayo antar aku ke kamar,” pinta Gavin sambil menepuk punggung telapak tangan Dava.Gavin sengaja meninggalkan Ara dan Dokter Ardi. Ia tersenyum puas melihat perjodohan yang ia lakukan setengah berhasil.“Kamu tidak seharusnya seperti itu, bagaimanapun Ara sudah dewasa. Lihatlah betapa kikuknya dia tadi. Itu mungkin saja melukai harga
Pagi ini Nayara sudah datang di taman tempat biasa Gavin berjemur, Dava akan selalu meninggalkan pria itu sebentar untuk mencari sarapan di restoran terdekat, saat Dava sudah pergi Nayara akan selalu datang menghampiri Gavin yang sendiri dan memberikan setangkai bunga mawar.Mata Nayara terus menyapu ke setiap Arah, ini sudah lebih dari satu jam dari pada waktu bisanya Gavin berjemur, tapi lelaki itu belum terlihat. Mata Arumi mulai menangkap sosok Dava sudah keluar dari rumah sakit dengan pakaian rapi, tidak seperti pakaian biasanya yang ia kenakan untuk mencari sarapan. Biasanya dia hanya akan mengenakan kaos oblong sederhana.“Apakah Gavin di tinggal sendiri? Sepertinya Dava akan pergi untuk urusan penting,” gumam Nayara.Ia memberanikan diri memasuki gedung rumah sakit, menuju kamar tempat Gavin dirawat. Bola matanya mengintip dari jendela kecil dan menemukan pria yang ia cari tengah duduk di depan jendela dan menatap keluar. Lelaki d
Keesokan paginya Gavin kembali menyuruh Dava mengantar dirinya di taman. Ia menunggu Lintang datang lagi pagi ini. Pagi ini sebelum pergi ke taman Gavin merapikan penampilan dirinya terlebih dulu. Ia mengenakan pomade di rambutnya, memakai krim pelembab di wajah dan menggunakan parfum edisi terbatas brand parfum luar negeri yang menjadi favorit dirinya.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Gavin pada Dava yang tak juga pergi mencari sarapan.“Perutku mulas dari tadi, aku masih belum lapar,” jawab Dava.Gavin mengerutkan keningnya, ia ingin melakukan pendekatan dengan Lintang tapi jika Dava berada di sini rencana itu hanya akan menjadi sia-sia.“Kalau begitu pergilah bertapa di toilet atau istirahat di kamarku. Aku sedang ingin sendiri.”Mendengar Gavin sudah mengusirnya Dava seketika memancungkan bibirnya dengan jengkel. Ia sudah berteman lama, maksud Gavin bisa ia tangkap dengan jelas. Sebelum pergi