Aku dan Rena memasuki salah satu mall besar di Surabaya. Kami turun dari mobil setelah berhasil parkir dibasement.
Aku berjalan disamping Rena.Kami masuk kedalam mall dan menyisiri lorong demi lorong rak makanan ringan, keperluan dapur, alat mandi dan lainnya.Setelah beberapa barang yang dibutuhkan sudah masuk semua kedalam keranjang, kami berjalan menuju kasir untuk membayarnya.Seorang kasir dengan seragam warna biru menscan satu persatu belanjaan Rena. Dia menyebutkan angka yang harus Rena bayar.Rena mengeluarkan ATM card dalam dompetnya. Mengetikkan pin dan mendapatkan struk dari kasir tersebut.“Okey, belanjaanku dah selesai. Sekarang, waktunya makan.” Rena menarik tanganku, tapi aku menahannya.“Makan dirumah aja, yuk. Aku yang masakin.” Pintaku pada Rena. Aku tidak mau merepotkannya.“No! Kamu udah capek-capek nemenin aku. Masa aku tega sih, bikin kamu capek lagi?”“Aku suka masak, Ren. Cuma masak doang gak akan bikin aku capek.”“Enggak! Kita cari café dan makan sekarang!” Dia menarik tanganku lagi. Meyeretku kesalah satu café di mall tempat kami berbelanja.Kami duduk disalah satu meja kosong. Rena memesankan makanan dan minuman untuk kami.Setiap makan di café, Rena yang selalu pesan makanan dan minumanku. Karena aku selalu bilang 'terserah'.Aku orang kampung yang tidak faham menu makanan di café. Aku malu kalau harus memesan makanan yang aku tidak tahu.Tapi Rena tahu persis seleraku. “Gimana kerjaan kamu?” Tanya Rena.“Sejauh ini baik-baik aja.” Jawabku. Rena tersenyum melihatku. Senyum yang selalu terlihat tulus dimataku.“Syukurlah. Kak Di gimana? Oke, kan?” Aku mengerutkan dahiku bingung dengan pertanyaan Rena.“Oke, kan?” Aku mengangkat kedua bahuku.“Iya, maksudku, dia memperlakukan kamu dengan baik, kan? Gak suka marah-marah, kan?”“Owh.. Sejauh ini sih, dia belum pernah marah-marah. Cuma biasa lah, sesekali kami berdebat hal-hal receh.”“Syukurlah. Lega aku dengernya.” Aku tersenyum.“Eh, Sof. Liat tuh! Panjang umur dia.” Rena mengejutkanku.Rena menunjuk kearah seorang laki-laki dengan jas cokelat tengah mengobrol bersama seorang perempuan cantik dimeja lain, disudut cafe ini.Aku menoleh kearah yang Rena tunjukkan. Laki-laki itu adalah Daniel. Daniel sedang Bersama seorang perempuan yang entah itu siapa?“Bos, Ren?” Tanyaku pada Rena. Aku ingin memastikan kami tidak salah lihat.“Iya, Sofi. Sama cewek. Siapa, yah?”Aku menggeleng dan mengangkat kedua bahuku tidak tahu.“Ah, mungkin cuma clientnya.” Rena mejawab pertanyaannya sendiri. Tapi jawaban Rena membuat sedikit lega.“Tapi masa ketemu client cuma berdua, yah? Jangan-jangan, bener ceweknya.” Rena Kembali memberi jawaban pada pertanyaannya sendiri.Kali ini, jawabannya membuat dadaku sesak. Aku melihat kearah Daniel. “Dahlah biarin aja, Ren. Toh, bukan urusan kita.”Aku mencoba mengalihkan pandanganku. Aku cemburu. Rasanya aku ingin pulang saja. Tapi aku tidak mungkin meninggalakan Rena.“Permisi.” Seorang pelayan café memakai seragam berwarna hitam datang mengantarkan makanan dan minuman yang kami pesan.Aku langsung menyeruput minumanku tanpa menunggu aba-aba dari Rena. Aku berusaha terlihat santai meski sedang tidak baik-baik saja.“Kak Di ngeliat kita, Sof. Kita nunduk!” Tangan Rena menggoyangkan lenganku.Aku lanjut melahap makananku dan pura-pura tidak melihat keberadaan Daniel. Renapun melihat kearah yang berbeda.“Heii, Rena, Sofi.” Sapa Daniel. Dia sudah ada didekat kami. Aku dan Rena menoleh ke arahnya.“Heii, kak Di..” Sahut Rena. Aku hanya tersenyum dan mengangguk padanya.“Kalian disini juga?” Tanya Daniel. Aku fokus menyuapi mulutku dengan makanan. Aku tidak perduli keberadaan Daniel dan perempuan itu.“Iya, kak. Kakak ngapain disini?” Rena balik bertanya sambil mengunyah makanannya.“Makan.” Balas Daniel singkat.Aku melirik Daniel. Mataku panas melihat perempuan itu menggandeng lengan Daniel. Ingin rasaya aku pergi dan menjauhi mereka.“Oh.. sama siapa, tuh?” Tanya Rena. Aku melirik Rena. Dia mengedipkan matanya.“Oh iya. Kenalin ini Rena seppupuku, dan ini Sofi, maid dirumahku.” Jelas Daniel.Seketika dadaku sesak. Rasanya aku sulit bernafas. Aku tersedak meski tidak sedang menyeruput minuman didepanku."Daniel benar, aku hanya maid. Tuhan, berapa kali aku lena dengan sikapnya, sampai harus berkali-kali juga aku perlu diingatkan." Hatiku berbisik.Aku tertampar dengan pernyataan Daniel. Rena saja tidak pernah menceritakan kepada siapapun tentang profesiku.Baru kali ini aku dikenalkan sebagai seorang maid. Dan itu oleh seorang laki-laki yang diam-diam aku sukai. Rasanya benar-benar sakit.“Maid sementara. Karena secepatnya dia akan berganti profesi. Dan profesinya akan lebih tinggi dari Bosnya.” Rena menarik tanganku. Aku tahu, Daniel tidak berniat untuk merendahkan aku. Dia hanya berusaha jujur.“Kita belum selesai makan, Ren.” Dia tidak menggubrisku. Dia tetap menarik tanganku dan membawaku ke basement."Naik mobil!" . Desak Rena.Dia menyalakan mesin dan melajukan mobilnya dengan cepat.“Ren.” Aku menatapnya. Rena nampak kesal, bahkan lebih kesal dariku.“Kenapa sih, dia gak punya sedikit aja rasa empati sama orang lain?” Ucap Rena dengan nada penuh amarah.“Dia gak salah, Ren. Memang begitu kenyataannya.” Kataku perlahan. Aku mencoba menenangkan Rena.“Tapi gak semua kenyataan itu harus kita ungkapkan kemuka umum, Sof. Setiap manusia punya privasi.Udahlah kamu berhenti aja kerja disana! Kamu tinggal sama aku aja. Aku bakal bayar kamu sama dengan bayarannya. Okey?” Rena membujukku.“Ren, calm down please.. Aku gak mungkin berhenti kerja cuma karena Bos ngenalin aku sebagai maidnya. Aku emang maidnya, Ren.”“Sofi!” Rena mengerem mobilnya secara mendadak sambil meneriakiku. Aku sontak kaget dan menatapnya dalam.“Stop ngebelain dia!” Rena menjerit. Mataku terbelalak melihat Rena. Aku tidak pernah melihat Rena semarah ini. Baru kali ini Rena membentakku.“Okey, sorry sorry. Kamu tenangin diri dulu. Kita gak usah bahas ini dulu. Kamu tenang, bawa mobil pelan-pelan. Okey.” Aku membujuk Rena.Rena Kembali melajukan mobilnya dengan kencang. Aku memilih diam, berusaha tidak banyak membantah.Aku kecewa dengan sikap Daniel. Bukan karena Daniel mengenalkan aku sebagai maidnya. Aku kecewa karena terlalu berharap padanya.Dan memngenalkan aku sebagai maidnya, adalah sebuah ketegasan bahwa dia memang tidak punyai perasaan yang sama denganku.Selama ini, aku terlalu Ge-er dengan sikap Daniel.Rena memang perempuan baik. Dia seperti malaikat dalam hidupku. Dia sanggup ribut dengan sepupunya untuk menjaga privasiku.Rena melempar tasnya. Dia berbaring diatas sofa ruang tamu rumahnya dengan wajah nampak kesal.Aku mengambil dua gelas air dingin didapur, memberikan salah satunya pada Rena agar dia sedikit tenang.Rena bangun dan meneguk air yang kusodorkan kepadanya. Ponselnya berdering dari dalam tas. Tangannya masuk kedalam tas dan meraihnya.“Ngapain sih, nelpon-nelpon?!” Rena melempar ponselnya keatas sofa.“Siapa, Ren?” Tanyaku.“Kak Di lah. Siapa lagi?.” Jawabnya ketus.“Oooh.” Aku mempersingkat jawabanku agar tidak ribut lagi.“Kamu kok kayaknya biasa aja sih, Sof? Kamu punya hati nggak, sih?” Tanya Rena sembari memandangku heran.“Kata siapa? Aku juga sakit, Ren.” Aku merasa serba salah meresponnya. Aku tidak mau Rena semakin kesal. Aku bingung memilih jawaban yang pas.“Aku sama kamu itu beda, Ren. Aku nggak bisa marah kayak kamu. Aku kan, cuma maid dia. Sedangkan kamu, sepupunya.Meskipun kita sama-sama kesal, sama-sama marah, sama-sama sakit hati, kita akan memberikan respon yang b
Pagi hari yang sejuk, aku membuka jendela disudut-sudut ruangan. Matahari mengintip kedalam rumah melalui sela-sela jendela.Aku bergegas mengambil sapu dan mulai menggoyangkannya ditanganku. Aku merapikan beberapa kertas kerja Daniel yang berserakan.Butuh waktu sebentar untuk membersihkan dan merapikan rumah ini. Karena rumah Daniel tidak terlalu besar.Daniel dan Rena memang sepupu dengan karakter yang sama. Mereka sama-sama orang kaya yang baik juga sederhana.Mungkin juga karena Daniel belum berkeluarga, jadi dia tidak terlalu membutuhkan rumah yang besar nan mewah."Tapi, kalau aku jadi istrinya, aku nggak masalah harus tinggal dirumah sederhana ini. Ah, aku mulai bermimpi disiang bolong." Gumamku.“Sofi, Kamu gak kuliah hari ini?” Daniel membuatku terkejut. Dia baru saja pulang dari jogging. Badannya masih kuyup dengan peluh.“Gak ada, bos.” Sahutku. Daniel sedang menyeka lehernya yang berpeluh dengan handuk kecil ditangannya. “Kalo gitu, boleh bikinin saya sarapan?” Danie
Aku membuka mata dan melirik jam didindingkamarku. Ternyata sudah jam 09.00 siang. Dua jam sudah aku tertidur karenaletih menangis.Aku bangun lalu duduk ditepi ranjang. Mengahadapcermin yang menempel pada lemari. Aku melihat mataku yang sedikit bengkak.Aku menghela nafas Panjang. Aku berdiri laluberjalan kekamar mandi untuk mencuci mukaku yang lusuh.Seusai dari kamar mandi, mataku berkelilingmencari sosok Daniel. Aku menangkap sosok Daniel sedang duaduk disofa ruangtamu.Mungkin labih baik aku meminta maaf untukmengakhiri perselisihan ini.Aku hanya seorang maid. Aku tidak berhak untukmarah-marah apa lagi sampai sok-sokan ngambek dan meninggalkan dia sebelum diaselesai berbicara.Daniel adalah bosku, kalau sewaktu-waktu dia marahdan memecatku, kemana lagi aku harus mencari pekerjaan?Kakiku berjalan menghampirinya.“Bos.”Aku menyapa Daniel.Aku berdiri disamping sofa tempat Daniel duduk.Tapi Daniel tidak mau menoleh kearahku.“Hemm..”Jawabnya singkat.Daniel terlihat
Aku dan Danielmemasuki sebuah mall. Tangan Daniel mempersilahkan aku untuk berjalandisampingnya.Aku maju kedepan dan mulai berjalan disampingDaniel. Ada perasaan bahagia karena Daniel lagi-lagi membuat aku merasadihargai.Aku merasa dia tidak pernah merendahkan aku yanghanya seorang maid.Daniel membawaku masuk ke outlet baju. Mungkin diaingin membelikan baju untuk Farah.“Pilihbaju yang kamu suka.” Ucap Daniel.“Buatsiapa, Bos?” Aku bertanya heran.“Buatkamu.” Jawab Daniel.Dia semakin membuatku bingung. “Enggak usah, Bos. saya nggak punya duitbuat beli baju mahal disini.” Akumengelak.“Aku yangbayar.” Jelasnya.“Tapi,Bos.”“Kamubaru tadi loh, minta maaf sama saya karena kamu ngebantah. Sekarang kamu maungebantah lagi?” Aku menggelengkan kepalaku.“Okey,sekarang kerjakan apa yang saya perintahkan. Please!” Aku mengangguk danberjalan menuju baju-baju yang berjejer.Aku mengambil satu dress cantik berwarna hitam.Kemudian masuk ke fitting room untuk mencoba dr
"Plak" Aku terpental kesofa. Tamparan Farah sangat keras. "Jangan kurang ajar kamu Farah!" Daniel mendorong Farah dan membantuku berdiri. Entah apa salahku sampai Farah datang kerumah Daniel dan menyerangku. "Eh, gembel. Ngapain kamu disini?!" Teriak Farah. "Farah!" Suara Daniel melengking dalam rumah. "Duduk!" Telunjuk Daniel memberi aba-aba. Farah duduk dengan raut wajah murka disofa ruang tamu. "Kamu nggak apa-apa, Sofi?" Daniel duduk disampingku. Mengelus pipiku dengan lembut. "Nggak usah deket-deket." Farah menarik bahuku sangat kencang. Air mataku jatuh tak tertahan. “Heii..!” Daniel membentak Farah lagi. “Siapa dia, Dan? Kenapa kamu belain dia terus?” Farah menoleh kearahku penuh amarah. Daniel berjaga didepanku. "Kalo kamu masih kayak gini, mending kamu keluar sekarang!" Usir Daniel. Farah diam dan membuang muka. "Kamu ngusir aku demi gembel ini, Dan?! Hah.." Farah tertawa picik. "Kalo kamu gak bisa tenang, aku minta kamu keluar dari sini!" Usir Daniel.
Hari ini gerimisdatang lagi. Seperti biasa, Daniel selalu mengantarku kekampus saat gerimis.Dia tidak mengizinkan aku untuk pergi sendiri naik taxi.Kali ini Daniel tidak menyalakan type atau radiodalam mobilnya. Susana masih terasa hening.Aku memilih diam saja sebelum Daniel yang memulaipercakapan.Aroma parfum kopi yang memenuhi kabin mobil terasamenenangkan diiringi suara gemercik hujan yang jatuh pada kaca mobil Daniel.“Dressyang cantik, kayak yang makek.” Puji Daniel memecah keheningan. Hatiku berbunga.“Makasih..Ini baju yang Bos belikan, loh” Aku menyeringai salah tingkah. Menyilangkankaki agar terlihat lebih elegan.“O, ya?Cantik." Pujinya lagi. Aku semakin salah tingkah. "Kamu tahu, nggak?Hitam itu warna favorite saya.”“Sayatahu." Timpalku."Tahu dari siapa?" Daniel tersenyumdengan wajah bingung."Nebak aja. Karena Bos sering banget pakaibaju warna hitam. Barang-barang Bos dirumah juga, dominan warna hitam. So, sayafikir warna favorite kita sama.”“O ya?
Sofi, aku punyasesuatu buat kamu.” Salman menyodorkan sebuah bucket berisi cokelat.“Cie..suit, suit..” Kelas mulai riuh meneriaki tingkah Salman.“MaafBang, aku nggak suka cokelat.” Ujarku.“Terimaaja kali, Sof. Hargai effort dia. Kasian tahu.” Rena berbisik sambil menyenggollenganku. Aku terdiam.“SiniMan, Sofi sebenernya suka banget sama cokelat. Tapi dia malu sama kamu.” Akumemeloti Rena, tapi Rena balas memelototiku.“Oya?Kalo gitu, ambil dong, Sofi. please.. Kamu bawa pulang.Nanti kamu makan cokelat ini, biar inget terussama aku.” Kelakuan Salman semakin menjadi.“Cie..”Kelas Kembali bising. Aku sangat terganggu dengan situasi ini. Kenapa Salmantidak penah menyerah.Padahal, aku tidak pernah sekalipun meresponnya.Ingin rasanya aku buang saja cokelat itu. Aku malu menjadi sorotan teman-temandikelas.“Selamatpagi..” Dosenku, Bu Farisa tiba dikelas.“Selamatpagi, Bu.” Kami serentak menjawab.Bu Farisa memulai mata kuliah ekonomi makro.Mataku memandang keara
"Bangun,Sofi." Aku membuka mataku yang perih setelah lama pura-pura tertidur."Makasih tumpangannya, Bang." Ucapkupada salman."Sama-sama, cantik." Aku muak denganperlakuan Salman.Mungkin seperti ini rasanya digoda oleh orang yangnggak kita sukai. Aku turun dari mobil Salman.Aku membuka gerbang rumah Daniel. Salmanmembunyikan klakson dan pergi melajukan mobilnya.Kepalaku pusing karena harus pura-pura tidurselama dalam perjalanan. Aku tidak mau Salman membicarakan sesuatu yang tidakaku sukai.Rayuan, gombalan, juga hal pribadi yang selama iniaku sembunyikan. Aku mulai membuka pintu rumah Daniel dan masuk kedalamnya.Aku melihat Daniel sedang duduk disofa ruang tamu.Aku menghampirinya.“Bos.”Aku menegur Daniel.“Hemm..”Dia hanya bergumam. Matanya fokus melihat ponsel ditangannya.“Bos,pulang cepet hari ini?” Tanyaku basa basi.“Iya.”Dia menoleh kearahku. “ Gimana kabar kamu, Nona Sofi?" Tanya Daniel dengannada sinis."Apa kamu bahagia hari ini? Oo tentu sangatbahag
“So beautiful, anak Mamah.” Aku memeluk Mamah Daniel. Aku mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Memeluk mamah Daniel serasa memeluk Ibuku. Aku merasa sedikit damai dalam pelukannya. “Makasih, Mah. Makasih juga udah mau dateng.” Dia melepas pelukanya dan tersenyum sambil menatap mataku. Mata Mamah Daniel berbinar. Terpancar kebahagiaan disana. Ada perasaan kecewa dalam hatiku atas kebahagiaannya. Kecewa, karena Ia bahagia atas pernikahanku yang bukan dengan anaknya. “Mamah pasti dateng sayang. Kan, yang nikah anak Mamah.” Jawab Mamah Daniel teduh. 'Iya. Mamah Daniel bahagia, karena dia menganggapku anaknya. Ah, aku terlalu berlebihan karena kecewa.' “Mas Di nggak dateng?” Dia Kembali melempar senyumnya. “Dateng, dong.. kalau nggak dateng, gimana kamu nikahnya?” Balasnya. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memang berharap Daniel bisa datang, tapi kalaupun dia tidak datang, itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada pernikahanku. Aku mengangguk, meskipun aku tidak meng
Untuk Mas Daniel, Daniel, Satu nama yang terpateri dalam hati ini. Terima kasih karena sempat menjadi warna dalam hidupku. Sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Sangat. Meski raga ini sudah tak mampu lagi berlari mengejarmu, tapi hati ini senantiasa merindumu. Semua memang sudah terlambat. Aku tidak bisa melawan takdirku.Tapi tak salah bukan, kalau aku berharap, suatu saat takdir berpihak padaku. Aku masih mengaharapkanmu, mas. Meski secuil saja harap adalah sesuatu yang mustahil. Tapi, bukankah berawal dari kemustahilan mencintai dengan derajat yang berbeda sudah kita lewati? Sekarang, aku hampir menjadi isteri orang, dan kamu masih sendiri. Apakah ini juga akan menjadi mustahil? Ah, entahlah! Kamu terlalu dalam untuk aku keluarkan dari lubuk hatiku. Kamu terlalu berkuasa dalam otakku hingga aku tak mampu melupakanmu. Kalau boleh aku bilang ‘aku benci takdirku’. Tapi itu tidak boleh, kan? Karenanya, aku tidak membencinya. Apapun dan siapapun. Selamat tingg
"I love you, Mas." Aku terisak dibahu Daniel. Bahu yang selalu kuharapkan dapat menopang kepalaku saat aku sedih."Love you too, sayang." Jawab Daniel. Malam ini kami sedang duduk bersama diteras rumah Daniel. Aku ingin menghabiskan malamku bersama Daniel.Orang tua Daniel sedang keluar untuk menemui koleganya.Besok, aku harus kembali menjadi Sofi tunangan Salman. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pernikahanku atas permintaan Daniel.Daniel memberikan alasan yang masuk akal untuk tidak merebutku dari tangan Salman. Daniel bukan tipikle laki-laki curang dan licik.Dan aku harus bertanggung jawab atas semua keputusan yang kuambil. Sebenarnya, bisa saja waktu itu aku menggagalkan pertunanganku.Tapi aku memilih meresmikan pertunanganku dengan Salman."Mas, udah beberapa hari lagi aku akan nikah sama Salman. Aku akan jadi milik dia Mas." Daniel menatapku. Hatiku sakit melihat mata Daniel yang juga meneteskan air mata."Apapun yg terjadi esok, aku harap kamu akan selalu bahagia sayan
“Ada apa Di?” Samar-amar aku mendengar suara Mamah Daniel.“Sofi sakit, Mah.” Jawab Daniel sambil menggendongku dan berjalan terburu-buru. Daniel membawaku kekamarnya. Kamar Dimana aku meninggalkan Daniel saat dia terbaring lemah.“Kamu nggak apa-apa, sayang?” Tanya Mamah Daniel. wajah yang seiras dengan Daniel inipun sama-sama mengkhawatirkanku. Aku melihat ketulusan mereka menyayangiku.“Nggak apa-apa, Mah. Mamah nggak usah khawatir, yah..” Jawabku menenangkan Mamah Daniel.Aku melihat Daniel yang sedari tadi tidak tenang.“Ini buburnya, Pak.” Maid Daniel mengantarkan mangkuk berisi bubur pada Daniel.“Makasih, Bi.” Daniel meraih mangkuk itu dan menghampiriku. “Makan dulu ya, sayang.” Ucap Daniel. Aku melirik Mamah Daniel. Aku malu Daniel memanggilku sayang didepan Mamahnya. Aku mengangguk dan membuka mulutku saat Daniel menyuapiku. Entah kenapa aku bisa jatuh ketangan Salman, padahal begitu lebarnya jalan untukku masuk kekeluarga Daniel.Aku sangat yakin, ini bukan takdir. Mela
Seusai meeting, semua staff keluar dari ruang meeting. Aku tidak benar-benar fokus pada meeting hari ini."Rena nggak masuk lagi, Mas?" Tanyaku pada Daniel. Aku tidak melihat Rena sedari pagi. "Begitulah." Jawab Daniel yang masih sibuk memeriksa kertas-kertas laporan hasil meeting. Aku masih duduk terpaku melihat Daniel sambil berfikir keras bagaimana cara menggagalkan penikahanku tanpa menyakiti dan membuat malu pihak manapun. Selain itu juga, aku teringat bagaimana kemarahan Ayah Salman dan ancamannya terhadapku semalam. Aku takut. Tanganku mulai gematar lagi.Dari semalam aku belum makan. Aku letih memikirkan semuanya.“Sofi.” Daniel menoleh kearahku lalu memanggilku. Aku mencoba menahan semua rasa sakit. “Heii.. kamu kenapa, sayang?” Daniel menghampiriku.Terlihat wajah Daniel nampak khawatir melihat kondisiku. Aku tidak bisa menyembunyikan kondisiku yang lemah. Tapi aku masih berusaha kuat. “Kita pulang, ya.” "Aku nggak apa-apa, Mas. Aku cuma terlalu panik menghadapi semuany
Daniel menghampiriku dan memberikan kotak kecil yang ia ambil dimeja kerjanya. “Buka.” Pinta Daniel. Aku mengambil kotak tersebut dan membukanya. Ada cincin cantik dengan permata hitam diatasnya. Warna favorite kami. “Apa ini?” Tanyaku masih bingung. “Cincin. Cincin ini aku beli buat aku kasih kekamu untuk menyatakan perasaanku sama kamu. Waktu itu, Rena masuk keruangan ini dan dia liat cincin ini. Aku bilang, kalau aku mau melamar kamu. Tapi dia nggak ngizinin aku dengan alasan, kalau kamu nggak suka sama aku. Dia bilang, kamu cinta sama Salman. Dan hampir bertunangan sama dia.” Mataku terbelalak mendengar penjelasan Daniel. sebelumnya, aku sudah bisa menebak, bahwa Rena adalah dalangnya. Tapi aku tidak menyangka, sejauh ini dia menipu kami. “Oke, satu lagi yang masih jadi teka teki dan sampai sekarang Mas belum ngasih tahu aku. Mas inget kan, waktu aku masih kerja dirumah Mas sebagai maid? Waktu itu Mas pergi ke Turki. Dan sepulang Mas dari Turki, Mas marah dan nuduh
Aku sampai dikantor pukul 07.00 pagi ini. Kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Semalaman aku terus menerus memikirkan ancaman Ayah Salman, tapi aku juga harus menyelesaikan masalahku dengan Daniel. Aku sudah janji untuk menemui Daniel pagi ini,dan sebelum Daniel samapi kantor, aku juga harus menyelesaikan laporan untuk persiapan meeting. Aku langsung menghadap komputer dimeja kerjaku. Menyelesaikan semua tugas yang dibutuhkan. Sesekali aku menyeruput kopi yang aku buat sebelum aku duduk dimeja kerjaku.Beberapa staff mulai berdatangan dan menyapaku. Mereka menempati kursi mereka masing-masing.“Temen-temen, kita nanti meeting jam 10.00. Maaf ngasih tahu mendadak. Soalnya Bos baru ngasih tahu kemaren. Jadi sekarang kalian masih punya waktu sampe jam 10.00 buat ngerjain laporan. Okey..“Oke, Mba Sofi.” Jawab mereka Bersama-sama. Aku Menyusun lembaran demi lembaran laporan yang sudah selesai kubuat. Aku menatap pintu ruangan Daniel yang belum juga dibuka oleh tuannya. Aku me
Aku berjalan masuk kedalam salah satu Restoran mahal dikota Surabaya. Mahal menurutku yang tidak mampu membeli makanan didalamnya. Aku belum pernah masuk ke Restoran ini.Aku melihat kesekeliling Restoran, mencari sosok yang memintaku untuk datang kesini.“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang pelayan Restoran berseragam hitam putih penghampiriku. Pelayan itu menanyaiku. Mungkin dia melihatku yang sedang kebingungan.“Oh, iya, Mba. Aku nyari meja pesanan atas nama Salman.” Aku memberi tahu pelayan tersebut.“Mari ikut saya, Bu.” Pelayan itu menunjukkan jalan dengan sangat sopan. Ia berjalan perlahan, dan aku menyusulinya dari belakang. Aku diantarkan kemeja makan tertutup dipojok Restoran ini. “Silahkan duduk, Bu." Pelayan itu menarik kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk. "Ini buku menunya, Bu. Silahkan diliat-liat dulu." Dia menyodorkan buku menu padaku. "Nanti kalau mau pesan bisa pencet bel aja disini.” Pelayan itu menunjuk tombol bel disamping meja.Aku menatap b
Hari ini kepalaku masih sakit. Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku tidak berhenti memikirkan semua cerita Salman. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubunganku dengannya. Setelah semua yang terjadi, sepertinya kali ini aku harus terlebih dulu mencari kebenaran. Aku mulai ragu dengan semuanya.Aku harus mencari dalang dari semua skenario ini.Aku mengambil tas yang tergantung dibalik pintu dan menjinjingnya dibahu. Aku berjalan keluar lalu menyetop taxi. Aku menaiki taxi dan meminta driver tersebut untuk mengantarkan aku kerumah Daniel. Aku harus meminta penjelasan Daniel sebelum meminta penjelasan dari Rena. Aku harus mendengarkan semua pihak.Atau mungkin dari Daniel aku akan menemukan sedikit jawaban kepada siapa aku harus percaya.Setelah sampai didepan rumah Daniel, aku melihat gerbang rumah Daniel sudah menganga. Aku yakin Daniel sudah bangun. Aku melihat seorang Ibu paruh baya yang sedang menyapu diteras rumah Daniel. sepertinya dia adalah maid baru Daniel lagi. “Selam