Aku membuka mata dan melirik jam didinding kamarku. Ternyata sudah jam 09.00 siang. Dua jam sudah aku tertidur karena letih menangis. Aku bangun lalu duduk ditepi ranjang. Mengahadap cermin yang menempel pada lemari. Aku melihat mataku yang sedikit bengkak. Aku menghela nafas Panjang. Aku berdiri lalu berjalan kekamar mandi untuk mencuci mukaku yang lusuh. Seusai dari kamar mandi, mataku berkeliling mencari sosok Daniel. Aku menangkap sosok Daniel sedang duaduk disofa ruang tamu. Mungkin labih baik aku meminta maaf untuk mengakhiri perselisihan ini. Aku hanya seorang maid. Aku tidak berhak untuk marah-marah apa lagi sampai sok-sokan ngambek dan meninggalkan dia sebelum dia selesai berbicara. Daniel adalah bosku, kalau sewaktu-waktu dia marah dan memecatku, kemana lagi aku harus mencari pekerjaan? Kakiku berjalan menghampirinya. “Bos.” Aku menyapa Daniel. Aku berdiri disamping sofa tempat Daniel duduk. Tapi Daniel tidak mau menoleh kearahku. “Hemm..” Jawabnya singkat. Daniel terlihat sibuk dengan lembaran kertas ditangannya. Entah dia benar-benar sibuk, atau masih marah padaku karena kejadian tadi. “Maafin saya, Bos.” Ucapku lirih. Aku duduk disofa depan Daniel, tapi dia belum sudi melihatku. “Maaf, buat apa?” Daniel meletakkan lembaran kertas itu diatas meja. Aku kira dia akan menoleh kearahku. Ternyata dia mengambil ponselnya dan kembali menunduk. “Untuk apa yang udah saya lakuin tadi. Untuk saya yang berani membantah, untuk saya yang pergi sebelum bos selesai berbicara.” Kataku berusaha berdamai. Aku menatap wajah daniel, aku merasa bersalah. “Oh..” Daniel Kembali merspon dengan singkat. “Bos maafin saya, kan?” Tanyaku memastikan. Karena jawaban Daniel sebelumnya gantung. Aku mengambil ponsel dari tangan Daniel. Dia mulai menolehku. “Bukannya kamu sering begitu? Kenapa sekarang minta maaf?” Daniel merampas ponselnya kembali dari tanganku, tapi aku menahannya. “saya tahu, saya minta maaf. Mulai sekarang. Saya janji, saya nggak akan begitu lagi.” Aku menarik ponsel itu dari tangan Daniel dan meletakkannya di meja. “Okey, good. Dan satu lagi, jangan pergi kalau saya lagi ngomong. Saya nggak suka!” Daniel menatap mataku. Hatiku berdebar kencang. Aku menunduk menghindari mata Daniel. aku mulai salah tingkah. “Baik, Bos.” Jawabku singkat. “Jadi, sekarang aku mau ajak kamu ketemu Farah, bisa?” Tanya Daniel. Aku kira Daniel sudah melupakan rencananya untuk mengajakku bertemu perempuan itu. Ternyata aku hanya mengulur waktu, karena endingnya sama. Aku tetap harus menemui perempuan itu. “Bisa, Bos.” Jawabku pada Daniel. Kali ini aku mengiyakan saja ajakan Daniel. Aku sudah memilih berdamai dengannya, aku juga harus berdamai dengan semua perintahnya. Aku harus ingat pekerjaanku sebagai maidnya. Aku tidak bisa selalu menolak dan membantah perintahnya, meskipun aku tidak menyukainya. “Oke, sekarang siap-siap. Aku juga mau siap-siap. Jangan lama-lama! okey.” Daniel berdiri didepanku. “Baik, Bos.” Aku juga berdiri didepannya. Daniel menyeringai. Mungkin dia Bahagia berhasil membuatku patuh pada perintahnya kali ini. Dia berjalan kekamarnya. Akupun bergegas masuk kedalam kamarku lalu berganti baju. Ingin rasanya aku berpenampilan lebih baik dari Farah. Tapi apalah daya, aku hanya seorang maid. Aku tidak punya apa-apa selain baju lusuh dan bedak murahan. Tapi tak apa. Setidaknya, dibalik baju lusuh ini, aku masih punya mimpi. Aku yakin hidupku akan membaik nantinya. Dan bila sampai pada masanya, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang indah. Saat ini, gajiku memang tidak kecil. Aku bukan tidak mampu membeli baju bagus, aku juga tidak punya tanggungan apa-apa selain diriku sendiri. Tapi setiap gajian aku selalu menggunakannya untuk membeli buku dan biaya transport ke kampus. Aku juga mengirimkan sedikit uangku kepada bibi dikampung. Aku mengirimkan uang untuknya sebagai tanda terima kasih karena sudah sudi merawatku setelah aku ditinggal orang tuaku. Selebihnya, aku tabung untuk kebutuhan yang tidak terduga. Aku keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Ternyata Daniel sudah duduk disana sedang menungguku. “Saya udah siap, Bos. Maaf kalau lama nunggu.” Daniel menolehku. “It’s oke..” Daniel berdiri dan menatapku. Aku menunduk malu. “Masuk mobil.” Daniel memberi aba-aba. Aku berjalan keluar dan menunggu didepan pintu. “Kenapa berdiri disitu? Saya kan nyuruh kamu masuk mobil.” Daniel kembali menyuruhku. Aku gelagapan salah tingkah. Aku segera menaiki mobil Daniel. Aku fikir aku yang akan mengunci pintu. Karena aku maidnya, dan itu tugasku. Aku sungkan setiap kali dia menyuruhku untuk naik mobil duluan. Aku merasa tidak pantas mendapat pelayanan seperti itu dari Daniel. karena dia majikanku. Daniel mulai menyalakan mobilnya. Dia melihatku. Kepalanya tiba-tiba mendekatiku. Tangan kanannya hampir memelukku, matanya bertemu dengan mataku. Hatiku berdebar hebat, keringat mulai bercucuran. Aku mulai nervous. Daniel Kembali menarik tangannya setelah berhasil meraih sabuk pengamanku. Dan memasangkan sabuk pengamanku. “Makasih, Bos.” Ucapku lirih. Aku menarik nafas Panjang untuk menenangkan hatiku yang berdebar tak beraturan. “Sama-sama.” Daniel menyalakan type dalam mobilnya. Dia memutar lagu lawas ‘no women no cry’ yang dipopulerkan oleh Bob Marley and The Wailers. Daniel begitu menikmati lagu tersebut. Aku melihat kearah tepi jalan. Toko-toko memadati tepian jalan Surabaya. Lama sudah aku tidak menikmati berjalan kaki didepan toko sambil melihat kedepan tanpa tujuan. Dulu, aku selalu melakukannya saat aku jenuh dikostan dan tidak tahu mau kemana. Mungkin kalau aku masih punya bapak atau ibu, aku akan menelpon mereka saat waktu senggang. Aku akan banyak bercerita tentang bagaimana kuliahku, teman-temanku, dan suasana Surabaya. Sayangnya mereka sudah tidak ada. “Kamu tahu lagu ini?” Tanya Daniel membuyarkan ingatanku pada kenangan beberapa waktu silam, kenangan sebelum aku bekerja dirumahnya. “Tahu. Tapi saya nggak suka, Bvos.” Jawabku. Daniel mengerutkan dahinya. “Kenapa? Enak loh, lagunya.” Aku tersenyum, lalu mematikan type yang sedang memutar lagu tersebut. “Saya perempuan. Ibu saya perempuan. Kalau Bos ngerasa no woman no cry, saya no woman no happy.” Daniel melirikku. “Hei, I love my mom. Kalau kamu nanti ketemu sama mamah, pasti kamu juga bakal suka sama dia. Itu cuma lagu, Sofi. Jangan dibawa kekehidupan nyata. Aku suka lagu itu enggak bermakna aku benci perempuan. Kalau aku benci perempuan, gimana nanti aku mau punya anak?” Jawaban Daniel membuatku lega. Aku menghidupkan Kembali type yang sempat aku matikan tadi. Kami menikmati lagu tersebut tanpa mengaitkannya pada kehidupan. Daniel benar, selagi ada sesuatu yang bisa dinikmati, kenapa kita harus mempermasalahkannya.
Aku dan Danielmemasuki sebuah mall. Tangan Daniel mempersilahkan aku untuk berjalandisampingnya.Aku maju kedepan dan mulai berjalan disampingDaniel. Ada perasaan bahagia karena Daniel lagi-lagi membuat aku merasadihargai.Aku merasa dia tidak pernah merendahkan aku yanghanya seorang maid.Daniel membawaku masuk ke outlet baju. Mungkin diaingin membelikan baju untuk Farah.“Pilihbaju yang kamu suka.” Ucap Daniel.“Buatsiapa, Bos?” Aku bertanya heran.“Buatkamu.” Jawab Daniel.Dia semakin membuatku bingung. “Enggak usah, Bos. saya nggak punya duitbuat beli baju mahal disini.” Akumengelak.“Aku yangbayar.” Jelasnya.“Tapi,Bos.”“Kamubaru tadi loh, minta maaf sama saya karena kamu ngebantah. Sekarang kamu maungebantah lagi?” Aku menggelengkan kepalaku.“Okey,sekarang kerjakan apa yang saya perintahkan. Please!” Aku mengangguk danberjalan menuju baju-baju yang berjejer.Aku mengambil satu dress cantik berwarna hitam.Kemudian masuk ke fitting room untuk mencoba dr
"Plak" Aku terpental kesofa. Tamparan Farah sangat keras. "Jangan kurang ajar kamu Farah!" Daniel mendorong Farah dan membantuku berdiri. Entah apa salahku sampai Farah datang kerumah Daniel dan menyerangku. "Eh, gembel. Ngapain kamu disini?!" Teriak Farah. "Farah!" Suara Daniel melengking dalam rumah. "Duduk!" Telunjuk Daniel memberi aba-aba. Farah duduk dengan raut wajah murka disofa ruang tamu. "Kamu nggak apa-apa, Sofi?" Daniel duduk disampingku. Mengelus pipiku dengan lembut. "Nggak usah deket-deket." Farah menarik bahuku sangat kencang. Air mataku jatuh tak tertahan. “Heii..!” Daniel membentak Farah lagi. “Siapa dia, Dan? Kenapa kamu belain dia terus?” Farah menoleh kearahku penuh amarah. Daniel berjaga didepanku. "Kalo kamu masih kayak gini, mending kamu keluar sekarang!" Usir Daniel. Farah diam dan membuang muka. "Kamu ngusir aku demi gembel ini, Dan?! Hah.." Farah tertawa picik. "Kalo kamu gak bisa tenang, aku minta kamu keluar dari sini!" Usir Daniel.
Hari ini gerimisdatang lagi. Seperti biasa, Daniel selalu mengantarku kekampus saat gerimis.Dia tidak mengizinkan aku untuk pergi sendiri naik taxi.Kali ini Daniel tidak menyalakan type atau radiodalam mobilnya. Susana masih terasa hening.Aku memilih diam saja sebelum Daniel yang memulaipercakapan.Aroma parfum kopi yang memenuhi kabin mobil terasamenenangkan diiringi suara gemercik hujan yang jatuh pada kaca mobil Daniel.“Dressyang cantik, kayak yang makek.” Puji Daniel memecah keheningan. Hatiku berbunga.“Makasih..Ini baju yang Bos belikan, loh” Aku menyeringai salah tingkah. Menyilangkankaki agar terlihat lebih elegan.“O, ya?Cantik." Pujinya lagi. Aku semakin salah tingkah. "Kamu tahu, nggak?Hitam itu warna favorite saya.”“Sayatahu." Timpalku."Tahu dari siapa?" Daniel tersenyumdengan wajah bingung."Nebak aja. Karena Bos sering banget pakaibaju warna hitam. Barang-barang Bos dirumah juga, dominan warna hitam. So, sayafikir warna favorite kita sama.”“O ya?
Sofi, aku punyasesuatu buat kamu.” Salman menyodorkan sebuah bucket berisi cokelat.“Cie..suit, suit..” Kelas mulai riuh meneriaki tingkah Salman.“MaafBang, aku nggak suka cokelat.” Ujarku.“Terimaaja kali, Sof. Hargai effort dia. Kasian tahu.” Rena berbisik sambil menyenggollenganku. Aku terdiam.“SiniMan, Sofi sebenernya suka banget sama cokelat. Tapi dia malu sama kamu.” Akumemeloti Rena, tapi Rena balas memelototiku.“Oya?Kalo gitu, ambil dong, Sofi. please.. Kamu bawa pulang.Nanti kamu makan cokelat ini, biar inget terussama aku.” Kelakuan Salman semakin menjadi.“Cie..”Kelas Kembali bising. Aku sangat terganggu dengan situasi ini. Kenapa Salmantidak penah menyerah.Padahal, aku tidak pernah sekalipun meresponnya.Ingin rasanya aku buang saja cokelat itu. Aku malu menjadi sorotan teman-temandikelas.“Selamatpagi..” Dosenku, Bu Farisa tiba dikelas.“Selamatpagi, Bu.” Kami serentak menjawab.Bu Farisa memulai mata kuliah ekonomi makro.Mataku memandang keara
"Bangun,Sofi." Aku membuka mataku yang perih setelah lama pura-pura tertidur."Makasih tumpangannya, Bang." Ucapkupada salman."Sama-sama, cantik." Aku muak denganperlakuan Salman.Mungkin seperti ini rasanya digoda oleh orang yangnggak kita sukai. Aku turun dari mobil Salman.Aku membuka gerbang rumah Daniel. Salmanmembunyikan klakson dan pergi melajukan mobilnya.Kepalaku pusing karena harus pura-pura tidurselama dalam perjalanan. Aku tidak mau Salman membicarakan sesuatu yang tidakaku sukai.Rayuan, gombalan, juga hal pribadi yang selama iniaku sembunyikan. Aku mulai membuka pintu rumah Daniel dan masuk kedalamnya.Aku melihat Daniel sedang duduk disofa ruang tamu.Aku menghampirinya.“Bos.”Aku menegur Daniel.“Hemm..”Dia hanya bergumam. Matanya fokus melihat ponsel ditangannya.“Bos,pulang cepet hari ini?” Tanyaku basa basi.“Iya.”Dia menoleh kearahku. “ Gimana kabar kamu, Nona Sofi?" Tanya Daniel dengannada sinis."Apa kamu bahagia hari ini? Oo tentu sangatbahag
Malam yang tenang.Aku duduk seorang diri diteras rumah dengan bukuditangan. Buku itu hanya menemaniku. Karena tidak sedikitpun aku membukanyamalam ini.Aku mendongakkan kepalaku. Melihat langit yangindah dihiasi sang bulan. Bintang gemintang menjadi pelengkapnya.Aku menyingkap dressku yang tertiup angin. Anginmalam memang lebih kencang. Tapi ia membuat sejuk yang menyenangkan.Aku melirik jam dilayar ponsel. Jam menunjukkanpukul 09.00 malam, tapi aku belum mau tidur.Aku melihat sekeliling rumah, mencerna setiapdetailnya satu persatu. Suatu saat nanti, aku akan merindukan rumah ini.Beberapa bulan lagi, aku akan lulus kuliah danmencari pekerjaan baru. Aku tidak mungkin selamanya menjadi maid Daniel.“Coffee?”Daniel mengagetkanku dengan tangan kanan menyodorkan kopi.“Thank's.”Aku meraih kopi yang disodorkan. Akhir-akhir ini Daniel memang terlihat berbedasejak dia marah padaku karena bucket cokelat itu.Daniel tambah perhatian. Aku tidak mengerti maksuddari setiap perhat
"Aduh.." Kakiku tersandung bebatuanpantai Tambak Wedi Surabaya. Pantai dengan spot Jembatan Suramadu."Kamu nggak apa-apa?" Tangan Danielmenahanku yang hampir jatuh"Sakit, Mas.""Ayok naik." Daniel membungkukkanbadannya. Dia memintaku untuk naik kepunggungnya."Nggak usah, Mas." Aku menolak."Udah cepetan. Aku bawa kamu ketempat duduklesehan dibibir pantai." Aku masih ragu untuk menaiki punggung Daniel."Cepataaan.. Tenang aja, aku kuat, kok."Aku menaiki punggung Daniel perlahan.Daniel membawaku kebibir pantai. Kami dudukditikar yang sudah disediakan oleh para pedagang disana.Daniel memesan dua susu jahe hangat untuk kami."Sini kakinya, aku pijitin. Sakit, kan?""Wah.. Selain menikmati semilir angin pantai,kita juga bisa menikmati service pijatan, ya?"Aku dan Daniel tertawa. Aku meluruskan kakiku,kemudian Daniel memijatnya perlahan."Enak juga mijitnya. Belajar dari mana?""Seperti kata kamu. Bakat terpendam."Kami kembali tertawa."Indah sekali viewnya. Lampu kelap kelip
Aku berjalan beriringan bersama seorang laki-laki muda manis nan rupawan. Laki-laki yang menjadi majikan sekaligus keluarga untukku saat ini.Hari ini, Daniel membawaku untuk meeting bersama rekan bisnisnya.Tidak hanya hari ini, mungkin beberapa hari kedepan aku akan mengikuti kegiatan Daniel untuk aku tulis dalam skripsiku.Daniel menarik kursi dan memeprsilahkan aku untuk duduk, lalu menarik kursi disampingku untuk dirinya sendiri.Dimeja ini, sudah ada dua orang laki-laki. Yang satu sudah paruh baya, dan satunya lagi masih muda energik yang ternyata itu adalah PA dari si bapak paruh baya tersebut.“Kenalkan, ini Sofi.” Daniel mengenalkan aku pada mereka. Aku mengulurkan tanganku bersalaman dengan mereka.Aku melempar senyum tipis pada mereka. Mereka membalas senyumku."Kebetulan Sofi sedang menyusun skripsi dikampusnya, dan judul skripsinya relate dengan apa yang akan kita bahas hari ini.Jadi, dia ikut meeting untuk bahan penelitiannya. Semoga Bapak tidak keberatan dia ada disin
“So beautiful, anak Mamah.” Aku memeluk Mamah Daniel. Aku mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Memeluk mamah Daniel serasa memeluk Ibuku. Aku merasa sedikit damai dalam pelukannya. “Makasih, Mah. Makasih juga udah mau dateng.” Dia melepas pelukanya dan tersenyum sambil menatap mataku. Mata Mamah Daniel berbinar. Terpancar kebahagiaan disana. Ada perasaan kecewa dalam hatiku atas kebahagiaannya. Kecewa, karena Ia bahagia atas pernikahanku yang bukan dengan anaknya. “Mamah pasti dateng sayang. Kan, yang nikah anak Mamah.” Jawab Mamah Daniel teduh. 'Iya. Mamah Daniel bahagia, karena dia menganggapku anaknya. Ah, aku terlalu berlebihan karena kecewa.' “Mas Di nggak dateng?” Dia Kembali melempar senyumnya. “Dateng, dong.. kalau nggak dateng, gimana kamu nikahnya?” Balasnya. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memang berharap Daniel bisa datang, tapi kalaupun dia tidak datang, itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada pernikahanku. Aku mengangguk, meskipun aku tidak meng
Untuk Mas Daniel, Daniel, Satu nama yang terpateri dalam hati ini. Terima kasih karena sempat menjadi warna dalam hidupku. Sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Sangat. Meski raga ini sudah tak mampu lagi berlari mengejarmu, tapi hati ini senantiasa merindumu. Semua memang sudah terlambat. Aku tidak bisa melawan takdirku.Tapi tak salah bukan, kalau aku berharap, suatu saat takdir berpihak padaku. Aku masih mengaharapkanmu, mas. Meski secuil saja harap adalah sesuatu yang mustahil. Tapi, bukankah berawal dari kemustahilan mencintai dengan derajat yang berbeda sudah kita lewati? Sekarang, aku hampir menjadi isteri orang, dan kamu masih sendiri. Apakah ini juga akan menjadi mustahil? Ah, entahlah! Kamu terlalu dalam untuk aku keluarkan dari lubuk hatiku. Kamu terlalu berkuasa dalam otakku hingga aku tak mampu melupakanmu. Kalau boleh aku bilang ‘aku benci takdirku’. Tapi itu tidak boleh, kan? Karenanya, aku tidak membencinya. Apapun dan siapapun. Selamat tingg
"I love you, Mas." Aku terisak dibahu Daniel. Bahu yang selalu kuharapkan dapat menopang kepalaku saat aku sedih."Love you too, sayang." Jawab Daniel. Malam ini kami sedang duduk bersama diteras rumah Daniel. Aku ingin menghabiskan malamku bersama Daniel.Orang tua Daniel sedang keluar untuk menemui koleganya.Besok, aku harus kembali menjadi Sofi tunangan Salman. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pernikahanku atas permintaan Daniel.Daniel memberikan alasan yang masuk akal untuk tidak merebutku dari tangan Salman. Daniel bukan tipikle laki-laki curang dan licik.Dan aku harus bertanggung jawab atas semua keputusan yang kuambil. Sebenarnya, bisa saja waktu itu aku menggagalkan pertunanganku.Tapi aku memilih meresmikan pertunanganku dengan Salman."Mas, udah beberapa hari lagi aku akan nikah sama Salman. Aku akan jadi milik dia Mas." Daniel menatapku. Hatiku sakit melihat mata Daniel yang juga meneteskan air mata."Apapun yg terjadi esok, aku harap kamu akan selalu bahagia sayan
“Ada apa Di?” Samar-amar aku mendengar suara Mamah Daniel.“Sofi sakit, Mah.” Jawab Daniel sambil menggendongku dan berjalan terburu-buru. Daniel membawaku kekamarnya. Kamar Dimana aku meninggalkan Daniel saat dia terbaring lemah.“Kamu nggak apa-apa, sayang?” Tanya Mamah Daniel. wajah yang seiras dengan Daniel inipun sama-sama mengkhawatirkanku. Aku melihat ketulusan mereka menyayangiku.“Nggak apa-apa, Mah. Mamah nggak usah khawatir, yah..” Jawabku menenangkan Mamah Daniel.Aku melihat Daniel yang sedari tadi tidak tenang.“Ini buburnya, Pak.” Maid Daniel mengantarkan mangkuk berisi bubur pada Daniel.“Makasih, Bi.” Daniel meraih mangkuk itu dan menghampiriku. “Makan dulu ya, sayang.” Ucap Daniel. Aku melirik Mamah Daniel. Aku malu Daniel memanggilku sayang didepan Mamahnya. Aku mengangguk dan membuka mulutku saat Daniel menyuapiku. Entah kenapa aku bisa jatuh ketangan Salman, padahal begitu lebarnya jalan untukku masuk kekeluarga Daniel.Aku sangat yakin, ini bukan takdir. Mela
Seusai meeting, semua staff keluar dari ruang meeting. Aku tidak benar-benar fokus pada meeting hari ini."Rena nggak masuk lagi, Mas?" Tanyaku pada Daniel. Aku tidak melihat Rena sedari pagi. "Begitulah." Jawab Daniel yang masih sibuk memeriksa kertas-kertas laporan hasil meeting. Aku masih duduk terpaku melihat Daniel sambil berfikir keras bagaimana cara menggagalkan penikahanku tanpa menyakiti dan membuat malu pihak manapun. Selain itu juga, aku teringat bagaimana kemarahan Ayah Salman dan ancamannya terhadapku semalam. Aku takut. Tanganku mulai gematar lagi.Dari semalam aku belum makan. Aku letih memikirkan semuanya.“Sofi.” Daniel menoleh kearahku lalu memanggilku. Aku mencoba menahan semua rasa sakit. “Heii.. kamu kenapa, sayang?” Daniel menghampiriku.Terlihat wajah Daniel nampak khawatir melihat kondisiku. Aku tidak bisa menyembunyikan kondisiku yang lemah. Tapi aku masih berusaha kuat. “Kita pulang, ya.” "Aku nggak apa-apa, Mas. Aku cuma terlalu panik menghadapi semuany
Daniel menghampiriku dan memberikan kotak kecil yang ia ambil dimeja kerjanya. “Buka.” Pinta Daniel. Aku mengambil kotak tersebut dan membukanya. Ada cincin cantik dengan permata hitam diatasnya. Warna favorite kami. “Apa ini?” Tanyaku masih bingung. “Cincin. Cincin ini aku beli buat aku kasih kekamu untuk menyatakan perasaanku sama kamu. Waktu itu, Rena masuk keruangan ini dan dia liat cincin ini. Aku bilang, kalau aku mau melamar kamu. Tapi dia nggak ngizinin aku dengan alasan, kalau kamu nggak suka sama aku. Dia bilang, kamu cinta sama Salman. Dan hampir bertunangan sama dia.” Mataku terbelalak mendengar penjelasan Daniel. sebelumnya, aku sudah bisa menebak, bahwa Rena adalah dalangnya. Tapi aku tidak menyangka, sejauh ini dia menipu kami. “Oke, satu lagi yang masih jadi teka teki dan sampai sekarang Mas belum ngasih tahu aku. Mas inget kan, waktu aku masih kerja dirumah Mas sebagai maid? Waktu itu Mas pergi ke Turki. Dan sepulang Mas dari Turki, Mas marah dan nuduh
Aku sampai dikantor pukul 07.00 pagi ini. Kondisiku sedang tidak baik-baik saja. Semalaman aku terus menerus memikirkan ancaman Ayah Salman, tapi aku juga harus menyelesaikan masalahku dengan Daniel. Aku sudah janji untuk menemui Daniel pagi ini,dan sebelum Daniel samapi kantor, aku juga harus menyelesaikan laporan untuk persiapan meeting. Aku langsung menghadap komputer dimeja kerjaku. Menyelesaikan semua tugas yang dibutuhkan. Sesekali aku menyeruput kopi yang aku buat sebelum aku duduk dimeja kerjaku.Beberapa staff mulai berdatangan dan menyapaku. Mereka menempati kursi mereka masing-masing.“Temen-temen, kita nanti meeting jam 10.00. Maaf ngasih tahu mendadak. Soalnya Bos baru ngasih tahu kemaren. Jadi sekarang kalian masih punya waktu sampe jam 10.00 buat ngerjain laporan. Okey..“Oke, Mba Sofi.” Jawab mereka Bersama-sama. Aku Menyusun lembaran demi lembaran laporan yang sudah selesai kubuat. Aku menatap pintu ruangan Daniel yang belum juga dibuka oleh tuannya. Aku me
Aku berjalan masuk kedalam salah satu Restoran mahal dikota Surabaya. Mahal menurutku yang tidak mampu membeli makanan didalamnya. Aku belum pernah masuk ke Restoran ini.Aku melihat kesekeliling Restoran, mencari sosok yang memintaku untuk datang kesini.“Maaf, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Seorang pelayan Restoran berseragam hitam putih penghampiriku. Pelayan itu menanyaiku. Mungkin dia melihatku yang sedang kebingungan.“Oh, iya, Mba. Aku nyari meja pesanan atas nama Salman.” Aku memberi tahu pelayan tersebut.“Mari ikut saya, Bu.” Pelayan itu menunjukkan jalan dengan sangat sopan. Ia berjalan perlahan, dan aku menyusulinya dari belakang. Aku diantarkan kemeja makan tertutup dipojok Restoran ini. “Silahkan duduk, Bu." Pelayan itu menarik kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk. "Ini buku menunya, Bu. Silahkan diliat-liat dulu." Dia menyodorkan buku menu padaku. "Nanti kalau mau pesan bisa pencet bel aja disini.” Pelayan itu menunjuk tombol bel disamping meja.Aku menatap b
Hari ini kepalaku masih sakit. Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku tidak berhenti memikirkan semua cerita Salman. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan hubunganku dengannya. Setelah semua yang terjadi, sepertinya kali ini aku harus terlebih dulu mencari kebenaran. Aku mulai ragu dengan semuanya.Aku harus mencari dalang dari semua skenario ini.Aku mengambil tas yang tergantung dibalik pintu dan menjinjingnya dibahu. Aku berjalan keluar lalu menyetop taxi. Aku menaiki taxi dan meminta driver tersebut untuk mengantarkan aku kerumah Daniel. Aku harus meminta penjelasan Daniel sebelum meminta penjelasan dari Rena. Aku harus mendengarkan semua pihak.Atau mungkin dari Daniel aku akan menemukan sedikit jawaban kepada siapa aku harus percaya.Setelah sampai didepan rumah Daniel, aku melihat gerbang rumah Daniel sudah menganga. Aku yakin Daniel sudah bangun. Aku melihat seorang Ibu paruh baya yang sedang menyapu diteras rumah Daniel. sepertinya dia adalah maid baru Daniel lagi. “Selam