Di dalam ruangan VVIP ini, selama satu minggu Rachel tidak sadarkan diri. Kini ia telah mendapatkan kembali kehidupannya. Dengan sabar Nathan membelai kepalanya, wajahnya, dan juga tangannya. Tak terungkap betapa besar rasa syukur dan bahagianya Nathan saat ini, melihat Rachel sudah kembali sadar dari komanya.
"Berapa.. lama.. aku disini?" Tanya Rachel bersusah payah mengeluarkan suaranya.
"Satu minggu." Jawab Nathan, dengan masih membelai dan mengecup punggung tangan Rachel.
"Dimana.. Key?" Tanyanya lagi.
"Saat ini, Key masih ada kelas. Nanti setelah selesai, Jihan akan membawanya kesini. Apa kau merindukannya?" Nathan menatap sedih pada wajah kekasihnya.
Rachel hanya mengangguk pelan. Masker oksigen sudah di buka, di ganti dengan selang oksigen ke hidung. Namun Rachel masih belum bisa berbicara terlalu banyak, karena saat ia berusaha berbicara, napasnya terasa sesak. Jadi, diam adalah pilihan terbaiknya untuk saat ini.
Dua jam sudah
"Dimana wanita itu di rawat?" Nathan bertanya pada Arnold. Nathan sengaja menemui Arnold di ruangannya. Untuk memastikan bahwa memang benar Celline di bawa ke Rumah Sakit ini. Dia juga ingin mengetahuai semua informasi mengenai keadaan Celline saat ini secara rinci. "Saat ini dia berada di ruang bersalin, karena kecelakaan itu, bayi yang di kandungnya meninggal di dalam perut. Tadi perawat sudah memberikannya suntik perangsang, agar bayi itu bisa keluar dengan alami layaknya persalinan normal. Meningat usia kandungannya sudah memasuki 8 bulan saat ini." Jelas Arnold panjang lebar. "Baik lah. Buat dia merasakan sakit yang luar biasa saat mengeluarkan bayi itu. Aku ingin membuatnya merasakan sakit yang sama dengan yang di alami oleh Rachel. Jangan memberikannya suntikan tenaga atau apa pun itu untuk mempermudah prosesnya. Ingat itu!" Perintah Nathan, membuat Arnold bergidik saat mendengar suaranya yang terdengar sangat kejam saat memberi perintah ini. "
Seorang perawat menggendong tubuh bayi yang telah dingin, ia bersiap untuk membawa bayi tersebut keluar. Karena mereka mendapat perintah untuk melakukan tes DNA pada bayi tersebut. Celline yang melihat bayinya akan di bawa, kembali histeris. "Hei kau, kemana kau akan membawa bayiku? Tinggalkan dia di sini. Aku yakin sebentar lagi dia akan bangun. Kau tau Nathan? Cepat telepon dia, bayi itu adalah anaknya. Dia anak Nathan. Nathan harus mengakuinya. Aku melahirkan anak untuk Nathan." Jeritannya semakin melemah, karena tenaga yang sudah terkuras habis. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk terus berteriak dan menangis histeris. Akhirnya dia terbaring dengan lemah. Air mata terus mengalir dari sudut matanya. Perawat membersihkan semua hal yang bersangkutan dengan persalinan Celline tadi. Lalu membawa semua itu untuk di segera di buang. Setelah semua perawat pergi, tinggal lah Dokter wanita itu yang menemani Celline. Saat ia akan memasang infus untuk Celline, Roy masuk
Nathan masih setia duduk di samping ranjang tempat Rachel berbaring. Kedua tangannya menggenggam sebelah tangan Rachel yang di hiasi selang infus. Cukup lama sudah Rachel tertidur. Tak sedetik pun Nathan meninggalkannya. Pintu kamar itu di ketuk. Tok... Tok... Tok... "Masuk." Jawab Nathan. Terlihat Roy membuka pintu, lalu melangkah masuk. Ia hanya berdiri si belakang pintu. Memberi salam dengan membungkuk kan badan. "Boss, semua sudah selesai. Tinggal menunggu hasil tes DNA keluar. Di perkirakan itu akan memakan waktu dua sampai tiga hari." Lapor Roy, setelah tadi ia menemui Dokter Bram dan Arnold menanyakan perihal tes itu. "Baik lah. Rachel akan pulang hari ini. Aku akan melanjutkan perawatannya di mansion. Tolong kau urus semuanya, Roy." Perintah Nathan. "Baik, Boss." Ucapnya, lalu undur diri. Keluar dari kamar itu. Nathan menatap lembut wajah kekasihnya. Dia ingin menjaga dan merawat Rachel sendiri di bawah pengawasan
Setelah penyambutan yang haru pilu itu. Semua kembali pada tempat dan tugasnya masing -masing. Rachel berbaring di kamar yang cukup besar. Dimana ia pernah berada sebelumnya. Namun, terlihat berbeda. Setelah beberapa menit berpikir, tentang apa yang berbeda dari kamar ini. Akhirnya Rachel menyadarinya. "Kapan kau mengganti dekorasi kamar ini? Warna ini terlihat sangat indah dan cocok untuk suasana hatiku." Ungkap Rachel dengan senyum bahagia. "Aku tidak sempat mengerjakannya, Roy lah yang bekerja keras melakukan semua ini." Jawab Nathan dengan sedikit tersenyum. "Kau ini, selalu saja menyusahkan Roy. Apa kau mau dia tidak bertenaga saat malam pertamanya nanti? Hah?" Rachel memberikan sedikit cubitan di perut Nathan. "Aaaww... Kenapa kau terus mengkhawatirkan Roy? Dia itu bawahanku, tentu saja kusuruh melakuan semua pekerjaan." Nathan tak mau di salah kan. "Tapi, mendekor kamar ini bukan tugasnya. Ada tukang yang ahli dalam hal in
Cukup lama kedua sahabat itu berbincang. Bella memastikan Rachel meminum obatnya sampai habis. Setelah puas, Bella menyuruh Rachel untuk kembali beristirahat. Karena, dalam masa pemulihan ini, Rachel tidak bolej terlalu banyak bergerak. Setelah melihat sahabatnya itu tertidur, Bella keluar dari kamar dengan langkah yang hati-hati. "Terima kasih, sudah mengizinkanku bertemu dengannya di mansion ini." Ucap Bella tulus pada Nathan. "Tidak masalah. Aku seharusnya berterima kasih padamu. Selama ini, kau telah menjaga dan merawatnya dengan baik selama aku tak di sampingnya." Nathan juga bersungguh-sungguh mengatakan hal itu. "Itu sudah menjadi kewajibanku. Aku sahabatnya. Tapi, bagiku dia sudah seperti adikku sendiri. Jadi, aku akan memastikan hidupnya bahagia dan baik-baik saja." Jawab Bella lagi. "Ya, aku rasa dia sangat beruntung memiliki sahabat seperti dirimu." Nathan merasa sangat bersyukur, setidaknya ada Bella yang menemani Rachel selama ini.
Wajah Rachel memerah karena malu saat mendengar ucapan Arnold. Nathan langsung menendang kaki Arnold dengan sedikit bertenaga. "Apa yang kau katakan? Apa kau tidak melihat ada anak di bawah umur di sini?" Ucapnya lalu melirik ke arah Key yang sedang asik memijit lembut tangan Ibunya. "Wah, lihat itu. Sekarang dia malu di depan Putrinya. Haha." Kelakar Arnold lagi. "Aku tidak yakin, mereka sudah pernah berolah raga malam sejak bertemu kembali." Selidik Bella, matanya menatap Rachel yang kini terlihat canggung. "Apa dia sangat payah? Ya, mungkin saja akibat kecelakaan dulu sistem reproduksinya mengalami sedikit gangguan." Sepertinya, Arnold senang sekali menganggu Nathan kali ini. "Bukan begitu, malam pernikahan akan menjadi malam yang sangat panjang. Jadi kami perlu menyiapkan tenaga untuk malam itu. Kau ingin lihat betapa perkasa dan berkualitasnya cairanku?" Nathan membela diri karena merasa terpancing oleh ucapan Arnold. "Oh ya? Bena
Tiga hari telah berlalu.Di kamar utama.Nathan, Rachel dan Key menghabiskan waktu bersama-sama. Dengan sabar, Nathan dan Rachel mendengarkan semua cerita yang di ucapkan Key. Mulai dari cerita tentang sekolah, tentang Nathan yang mendampinginya mengambil raport waktu itu, hal itu membuat Rachel terkejut. Karena ia sama sekali belum tau mengenai hal itu. Namun akhirnya, ia merasa sangat bangga pada Nathan. Ia sungguh-sungguh menerima Key sebagai Putrinya. Dulu, Rachel sempat berpikir saat mengatakan kebenaran ini, Nathan akan menyangkal. Bagaimana pun juga, Rachel belum sempat mengatakan kebenaran itu dulu. Di tambah, mereka tak pernah bertemu lebih dari tujun tahun.Key juga bercerita tentang penculikan yang di alaminya saat itu. Nathan dan Rachel memeluk Putrinya itu. Sungguh merasa bersyukur, Key memiliki ide-ide yang akhirnya bisa menyelamatkan hidupnya.Mungkin, karena terlalu lelah setelah bercerita banyak, Key tertidur di atas pangkuan Nathan. Di s
Nathan kembali ke rumah tua. Di sana, Roy sudah menunggu. Roy menyambut kedatangan Nathan dari gerbang utama. Lalu mulai mengikuti laju mobil ke depan rumah tempat mobil Nathan di parkir. "Boss." Sapa Roy dengan sedikit menundukkan badan. "Dimana surat itu, Roy?" Tanya Nathan tanpa basa-basi. "Ada di dalam, Boss. Tuan besar dan Nyonya sudah menunggu di ruang tamu." Jawab Roy dengan serius. Nathan melangkahkan kakinya ke rumah tua dengan raut wajah yang tak bisa di artikan. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah ini. Sejak pernikahannya dengan Celline, ia hanya tidur di apartemennya. Bisa di hitung berapa kali dia menginap di rumah pernikahannya itu. Tentu saja di kamar yang berbeda dengan Celline. Saat langkah besarnya memasuki ruangan yang cukup besar itu. Matanya langsung menangkap sepasang suami isteri yang usianya sudah senja. Mereka adalah Frans dan Jeny. Orang tua Nathan. "Putraku... Akhirnya, kau pulang." Jeny berdiri
Nathan telah selesai menghidangkan sarapan, yang mungkin lebih tepatnya ini makan siang. Karena, jarum jam sudah di angka sebelas. Rachel turun ke ruang makan, setelah selesai membersihkan diri dan berdandan dengan cantik dan rapi. Aroma tubuhnya membuat Nathan yang sedang asik membuatkan jus stroberi melirik dan tersenyum. Rachel mendatangi Nathan, dan memeluk tubuh kokoh itu dari belakang. "Terima Kasih, Sayang. Kau selalu menuruti apa kataku. Haruskah aku merasa bersalah karena sudah memintamu sibuk di dapur seperti ini?" Ucap Rachel sungguh-sungguh. "Tidak masalah, Sayang. Selagi aku mampu, akan kulakukan semuanya untukmu. Bahkan, jika aku sanggup akan kupindahkan Gunung Fuji ke depan mansion ini." Sahut Nathan dan membalikkan badan. "Konyol. Bagaimana itu bisa? Jangan membodohiku." Ucap Rachel menjewer telinga Nathan. "Aaaa... Sayang, kau ini laki-laki atau perempuan? Kenapa kau selalu menyiksa suamimu yang polos ini?" Nathan berdrama ria.
Setelah melewati malam pengantin yang penuh gairah, pagi ini Nathan masih memandang wajah Rachel yang masih tidur dengan nyenyak. Rachel memimpin permainan dengan sangat agresif dan liar. Nathan tidak pernah melihat Rachel menjadi wanita yang seperti itu selama hidupnya. Tentu saja saat ini dia lelah dan butuh waktu tidur tambahan. Mengingat, mereka melakukannya berulang-ulang kali semalam suntuk. "Kau sangat cantik, bahkan saat sedang tidur tanpa busana sekali pun, Sayang." Nathan bermonolg. Nathan sudah bangun lebih dari dua jam, namun ia tak berniat turun dari ranjang. Karena Rachel tidur dengan tangan mengalung pada tubuhnya. Nathan takut gerakannya akan membangunkan Rachel. Sebesar itu lah cinta yang Nathan punya untuk Rachel. Nathan kembali mengingat dan membayangkan tahun demi tahun yang telah wanita dalam pelukannya ini lalui tanpa dirinya. Sendiri membawa anak dalam kandungan, sendiri berjuang di ruang bersalin, sendiri bekerja keras banting tu
Mereka saling menatap dalam waktu lama. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya, Nathan dengan lembut mencumbu bibir Rachel. Cumbuan itu langsung dibalas oleh Rachel. Mereka saling melepaskan gairah melalui ciuman. Pemanasan yang cukup bagus. Mengingat, sudah lama mereka tidak melakukannya. Tangan Nathan mulai menjelajah bagian atas tubuh Rachel. Gaun yang seksi itu, memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Tangan Nathan bermain disana, tanpa melepaskan lumatan bibirnya. Nathan mengelusnya dengan pelan, sehingga membuat deru napas Rachel tak beraturan. Dadanya naik turun, mengikuti permainan lidah Nathan dan tangannya yang semakin liar menyapu dada montok itu. "Hmmpp.." desahnya di sela-sela ciuman yang menggairahkan itu. "Mendesah lah dengan keras malam ini, sayang. Tidak akan ada yang mendengarnya selain aku." Ucap Nathan seraya berbaring di sebelah Rachel. Lalu ia memiringkan tubuh Rachel, agar bisa lebih leluasa
"Kenapa kau memanggilku dengan sebutan Tuan? Bukan kah sekarang, aku adalah Mertuamu?" Willy protes. "I-itu.. boleh kah aku memanggilmu Ayah Mertua?" Nathan bertanya dengan ragu. "Tentu saja. Aku Ayah mertuamu mulai saat ini." Willy menepuk bahu Nathan lambat. Frans dan Jeny sangat bersyukur, akhirnya Nathan mendapatkan kebahagiaan yang benar-benar dia harapkan sejak dulu. Jeny menyesal pernah menentangnya. Ternyata menantu yang sangat ia harapkan tak lebih dari wanita berhati iblis. "Nathan, Rachel, Mami dan Papi akan pulang sekarang. Lain kali kami akan berkunjung kembali, atau kalian bisa datang kapan pun ke rumah tua." Ucap Jeny ingin segera memberikan waktu untuk pengantin baru ini. "Mami benar, kami harus segera pergi. Karena kalian harus berusaha keras memberikan kami cucu kedua mulai sekarang." Frans pum tertawa dan beranjak dari kursinya. "Key, ayo ikut Nenek. Biarkan Momy dan Papi berdua saja beberapa hari ini." Ucap Je
Setelah pesta usai, kini hanya tinggal keluarga besar Nathan dan Rachel yang berada di mansion itu. Mereka duduk di satu meja bundar yang besar. Key terlihat sangat akrab duduk di pangkuan Willy. "Jadi, ketika kau baru saja lahir dlu, aku sengaja menitipkanmu pada kaki tangan kepercayaanku. Nana, Ibumu itu awalnya sangat menentang keputusanku. Tapi, setelah ia tau alasannya terpaksa dia menerima keadaan. Harus hidup layaknya sebagai suami isteri dengan Danu, yang notabane-nya adalah pengawal kami dulu." Willy membuka suara saat keadaan telah lama hening. "Apa alasanmu melakukan semua itu? Jadi, Ibu dan Ayahku..maksudku Danu itu tidak memiliki hubungan apa pun selama hidupnya?" Rachel tentu saja memiliki banyak pertanyaan untuk menanti penjelasan dari Nathan. "Ibumu rela melakukan semua itu, demi dirimu. Agar kau tidak kehilangan sosok ayah dalam hidupmu. Aku tidak berdaya saat itu. Aku dulu terlibat dalam satu gank mafia, jika lawan mengetahui keberadaan iste
"Apa maksudmu, Pak Tua? Siapa yang kau sebut sebagai putrimu? Katakan dengan jelas, dan jangan berbelit-belit." Tuntut Rachel tak sabar. "Kau... Putriku satu-satunya." Jawab Pak Tua itu. "Berikan aku bukti, agar aku bisa percaya." Pinta Rachel lagi. Rachel tidak terlalu terkejut, karena ia mengingat pesan dari mendiang neneknya. Sebelum meninggal, neneknya sempat berkata bahwa ayah kandung Rachel sebenarnya masih hidup. Apa pun alasannya meninggalkan Rachel, jangan pernah membencinya. Karena ia melakukan semua itu demi keselamatan hidup Rachel. Sebab itu Rachel bisa bersikap tetap tenang saat ini. "Siapa nama belakangmu?" Tanya Pak Tua itu. "Willona." Jawab Rachel. "Apa kau tau siapa namaku?" Tanya Pak Tua itu lagi. "Tidak, aku tidak pernah tau siapa namamu." Jawab Rachel. Pak Tua itu menyerahkan sebuah dokumen bukti kelahiran Rachel. Tertulis nama ayah kandung, Willy Horizon yang sama sekali bukan nama ayah yang membes
Setelah delapan tahu berlalu, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh Rachel dan Nathan sudah ada didepan mata. Saat ini keduanta tengah bersiap di kamar rias masing-masing. Mereka memilih mengadakan pernikahan di mansion mewah itu. Dengan bujuk rayu Rachel, tentu saja Nathan merelakan mansion itu di datangi ratusan umat Para rekan bisnis hadir semua. Bahkan tak sedikit dari mereka yang jauh-jauh datang dari luar negeri. Karena ingin menyaksikan langsung pernikahan mewah yang akan di gelar oleh keluarga Darke. Mungkin, lebih tepatnya oleh Nathan. Meski sebelumnya Nathan pernah menikah dengan Celline, namun tidak banyak orang yang tau dan menghadiri pernikahan tersebut. "Sayang, apa kau sudah siap?" Tanya Nathan saat membuka pintu kamar tempat Rachel dan Key sedang di make over. "Hampir selesai, hanya tinggal memakai sepatu kacaku." Jawab Rachel sambil berdiri. Rachel terlihat sangat cantik meski hanya dibalut gaun putih sederhana
Waktu terlalu cepat berlalu. Tak terasa, besok adalah hari pernikahan Nathan dan Rachel. Saat ini Rachel hanya duduk di atas ranjang kamarnya. Ada Bella dan Key juga bersamanya. Sementara Jihan tengah sibuk membuatkan persiapan makan siang untuk menjamu orang tua Nathan yang akan datang ke mansion ini untuk pertama kalinya. "Aku sungguh tidak pernah menyangka, bahwa akhirnya hari bahagia ini datang juga dalam hidupku." Ucap Rachel dengan mata berkaca-kaca. Bella menatap sahabatnya dengan sendu. Dia tau, tidak mudah bagi Rachel untuk akhirnya sampai di titik ini. Dia bahkan melewati berbagai tindakan kriminal belum lama ini, kekerasan dan ancaman tak luput dari hari-harinya bersama Key. Melihat Rachel berjuang dan bertahan sejauh itu, hati Bella seakan ikut merasakan sakit. Saat ini, hari bahagia yang telah tertunda selama delapan tahun akhirnya akan tiba. Bella adalah orang pertama yang bersorak bahagia mendengar kabar ini. Dialah saksi perjuangan cinta Rache
Hari ini Rachel sudah kembali sehat dan bugar. Setelah dua hari dia tak pernah meninggalkan kamarnya. Pagi ini Rachel sangat sibuk menyiapkan diri. Nathan yang sudah menunggu lebih dari satu jam tidak sabar lagi dan mencoba bertanya. "Sayang, sebenarnya apa yang ingin kau pakai? Dari tadi kau hanya memegang semua pakaian itu tanpa mencobanya langsung." "Aku bingung, harus memakai pakaian yang mana. Aku ingin terlihat sebagai wanita yang cantik dan elegant di depan orang tuamu. Tapi aku juga harus memakai pakaian yang sopan." Rachel menjelaskan kegundahan hati yang sejak tadi menderanya. "Sayang... Apa pun yang kau kenakan, kau selalu terlihat canti dan berkelas." Nathan memegang kedua sisi bahu Rachel. "Semua laki-laki akan berkata seperti itu, karena mereka malas menunggu wanitanya berdandan." Rengut Rachel, lalu kembali dengan aktifitas pilih memilih pakaiannya. "Honey.. percaya lah padaku. Aku rela menunggumu berjam-jam asal kau tau.