Alwi sedang asik makan siang di ruang tamu sambil sesekali ngobrol dengan Fairuz. Kyai Baihaki dan Bu Nyai Khomsah sedang berada di pondok. Alfa sendiri sedang menemui dua pengurus pondok putra, membahas beberapa hal penting di ruang perpus merangkap ruang kerjanya."Fay.""Ya Om.""Pengen punya ibu gak? Cari sana, bapakmu kan banyak yang naksir.""Fay udah punya Umi.""Siapa?""Umi Galuh. Kan kita sama wajahnya."Fairuz menunjuk kedua pipinya dengan kedua jari telunjuk. Tak lupa matanya dia kedip-kedipkan."Dih! Bukan ya! Galuh itu calon istri masa depan om.""Umi aku weee.""Istriku.""Umiku!"“Istriku.”“Umiku Umiku Umiku!”"Istriku istriku istriku!"Alwi tak mau kalah ngotot dengan Fairuz. Mereka berdua bagai kucing dan anjing. Meski Fairuz suka diledekin sama Alfa, tapi ledekan Alfa hanya akan membuat Fairuz jengkel sebentar lalu tertawa karena Alfa pintar menjungkir-balik hati sang anak yang jatuhnya tidak akan bisa betah lama-lama marah pada sang abah. Sementara Alwi, polahnya
“Dedek Faaaaay, Abah mertuamu datang!” teriak Hanan menggema. Fairuz yang sedang bermain di halaman belakang langsung melempar mainannya dan berlari menuju Hanan.“Masya Allah, mantuku yang cantik, giimana kabarmu, Sayang?” Hanan membopong Fairuz lalu mencium gemas kedua pipi Fairuz.“Woi! Lepasin anakku gak!” “Gak mau ya, orang Fay calon mantuku ya Nak ya."“Iya.”“Tuh, weeee.”Hanan kini memutar-mutar tubuh Fairuz. Bukannya takut, Fairuz malah minta lebih tinggi. Tak berselang lama Nabila dan sang putra yang kini berusia delapan belas bulan juga datang.“Fay Sayang? Peluk Umi, Nak?”“Umiii.”“Aaaaa, calon mantuku.”Nabila mengulurkan dua tangannya. Fairuz minta turun dari gendongan Hanan. Si gadis cilik berlari ke arah Nabila lalu keduanya berpelukan.“Masya Allah kamu tambah cantik, Nak.” Tak lupa Nabila mengecup pipi gembul Fairuz saking gemasnya.“Kim Kim Kim peyuk.” Bocah lelaki berusia delapan belas bulan bernama Hakim, menarik-narik baju Fairuz. Fairuz tertawa. Dia memeluk ge
Zalina sesekali melirik ke arah Alfa. Dia benar-benar mengagumi wajah Alfa yang tampan. Mana perawakan Alfa mirip sekali seperti kakak pertamanya yang tinggi besar. Jadi terlihat gagah. Kulit Alfa yang tidak terlalu putih juga menunjukkan pesona khas lelaki Jawa yang membuat Zalina betah memandang Alfa."Kamu bisa gak sih, gak kelihatan ganjen gitu, Lin," bisik Zami. Dia tentu saja sejak tadi bisa melihat tingkah genit sang adik yang sebentar-sebentar melirik Alfa."Ganteng, Bang. Mana gagah lagi.""Cih, gantengan aku.""Apaain sih, Abang mah kerempeng, noh Bang Rafly itu baru gagah bin ganteng. Kayak Bang Alfa juga."Zalina kembali tersenyum saat menatap Alfa. Sebetulnya sudah sejak tadi Zalina mencoba mencari perhatian Alfa. Sayang, si kanebo kering lebih banyak menunduk selama pengajian dan jarang menatap lawan jenis. Hal itu membuat Zalina merasa tertantang. Pasalnya di desa ini dia terkenal paling cantik dan jadi idaman banyak pria. Jadi kalau ada pria yang tidak melirik dirinya,
Alfa sedang duduk sambil menikmati es buah di salah satu meja bersama teman-temannya yang lain. Sesekali mereka bercerita dan tertawa. Di sebelahnya ada hijab yang menghalangi dan tanpa bertanya pun Alfa paham kalau di seberang hijab adalah para tamu wanita termasuk teman-teman Syifa di sana.“Sssst, lihat cowok yang tadi sama Teuku Rafly, kan?”“Yang cowok dari Jawa itu, kan?”“Iya.”“Ganteng ya?”“Banget.”“Hihihi, udah punya istri belum ya?”“Aku udah tanya Bang Rafly, masih munfarid tapi udah ada anak cewek satu?”“Anak?!” pekik semua gadis. Lalu mereka menutup mulut, takut dimarahi para tetua karena berisik.“Anak angkat.”“Oooo.”Para wanita yang tadi kaget kini bisa menghela napas lega termasuk gadis bercadar yang sedang duduk sendirian. Pasalnya tiga rekannya yang bercadar juga, sedang meng-ASI-hi anak mereka masing-masing. Ya, dari mereka berlima, hanya Lulu alias Galuh yang masih single. Galuh yang tidak ada teman ngobrol malah jadi ikutan mendengarkan gosip.Tak berapa jauh
Selama perjalanan ke rumah Aiman, empat orang yang ada di mobil cenderung diam. Tak ada yang bersuara hanya lagu-lagu berbahasa Arab yang bertema cinta selalu mengalun dengan merdunya. Galuh dibuat merinding, pasalnya dia ingat, sang kakak angkat paling anti dengan musik selain sholawat dan bacaan Alquran. Kenapa sekarang berbeda? Yah albi nadak witmannak tib anta wayaya Yah ba’d esniin shuk wa haniin alaiik hina ma’aya Yah dummini liik, danta habibi hayati liik Wa ha’iish ‘umri ‘ashana ‘ineek wa ‘umri fadak (Hatiku memanggil, harapkan engkau senantiasa setia Selepas bertahun tahun lihatlah sayang kita berjumpa disini dan bersama Air mataku mengalir karenamu, engkaulah kasih, hidupku hanya untukmu Seluruh hidupku, usiaku, karena matamu, aku serahkan segalanya) Lirik lagu Albi Nadak entah kenapa begitu meresap di hati Galuh. Dia merasa seolah-olah Alfa sedang menyampaikan rasa rindunya pada dirinya. Tapi? Apa benar kalau ini merupakan pesan rindu? Gimana kalau Galuh ya
Ketik hapus ketik hapus. Itulah yang sedang dilakukan oleh Galuh. Dia ingin mengirim pesan untuk Alfa tapi bingung. "Aku kudu ketik apa ya? Ah apa gini 'assalamu'alaikum Mas Alfa?' dih, kaku banget. Atau, 'Mas Alfa ini Galuh' atau 'Mas ini adik angkatmu' lah! Tau ah." Galuh menyembunyikan wajahnya pada bantal. "Aku kudu chat apa?" Jika Galuh bingung memulai chat bagaimana, di sebuah kamar tamu di kediaman Rafly, Alfa juga sedang menunggu dengan cemas. Sesekali dia melirik ke ponsel. Zonk. Belum ada chat dari Galuh. Pertemuan tadi memang berlangsung sangat singkat. Baru juga pada kenalan ulang, malah ada beberapa peserta yang baru pulang. Jadilah Galuh langsung menuju ke motor, pakai helm, starter terus jalan. Alfa juga sama, menuju ke motor, pakai helm, starter, jalan. Meski obrolan belum lanjut, keduanya sempat menghabiskan waktu berdua, berkendara beriringan, muter-muter kota sampai balik ke desa dengan motor masing-masing alias konvoi. Memang kurang afdol tapi setidaknya A
Galuh kaget mendapati keberadaan Zami di halaman TK tempat dia mengajar. Dua pengajar lain bernama Aisyah dan Fatimah juga hanya saling menatap lalu memberikan senyum sarat godaan pada Galuh."Lu, kita duluan ya? Assalamu'alaikum." Aisyah pamit pun Fatimah."Wa'alaikumsalam," ucap Galuh. Dia pun bergegas menuju ke motornya. Zami langsung saja mendekatinya."Lu, bisa kita bicara?""Maaf, Ustaz. Saya mau pulang.""Sebentar saja."Galuh menggeleng. Tapi Zami memaksa dan malah sengaja berdiri di depan motor Galuh. Galuh beneran tak suka denga Zami. Menurut Galuh, Zami ini versi lainya Alwi."Ayolah kita bicara. Sebentar saja."Galuh menggeleng."Sebenta saja. Sambil makan siang.""Gak mau. Nanti jadi fitnah. Sudah beberapa kali saya difitnah gara-gara Ustaz samperin saya. Ini lagi malah ngajakin makan siang. Tolong lah, saya ini warga pendatang. Jangan bikin nama saya rusak. Saya juga guru di sini, tolong lihat status saya."Galuh hendak menstarter motornya tapi Zami masih ngeyel."Gak us
Galuh mengamati kesibukan Alfa dan Rafly yang terlihat sangat serius berbicara dengan beberapa orang yang katanya adalah kuasa hukum Rafly. Tiga hari ini dia ikut menemani Syifa mengurusi masalah sang suami. "Ganteng ya?""Iya. Eh!"Krik. Krik. Krik. Galuh memejamkan mata sementara Syifa terkikik. Kena jebakan batman dah. Galuh melirik sahabatnya yang terlihat masih menahan tawa."Cieee, yang sebegitunya mengamati Bang Alfa. Hihihi.""Siapa yang lagi ngamati dia.""Kamu lah.""Idih! Sok tahu.""Cieee yang ngeles.""Aku gak ngeles ya?""Hihihi. Masa?""Iya."Syifa lagi-lagi tertawa."Tatapanmu loh, intens ke arah sana." Syifa menunjuk ke arah sang suami dan perkumpulan para lelaki."Tatapanmu itu loh, Lu. Dalem banget. Gak mungkin juga kamu lagi ngelihatin Pak Haris si pengacara atau jajarannya kan? Mohon maaf secara Pak Haris udah tua, bawahannya tampangnya biasa aja. Dan gak mungkin kamu natap Mas Rafly begitu. Jadi ya, hanya bisa kusimpulkan, kamu lagi natap Bang Alfa. Hayo? Ngaku?
Semua orang kini duduk di ruang keluarga. Namun sejak setengah jam yang lalu, tidak ada yang membahas apapun. Hanya Alfa yang mondar-mandir memanggil mantri lalu mengurusi Faris yang terluka. Begitu Faris sudah diberikan pertolongan pertama kini Kyai Baihaki mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan. Fairuz sendiri kini berada dalam asuhan para mbak santri di pondok. Bu Nyai Latifah sendiri ikutan gabung karena kepo. Tak ada yang mempermasalahkan kehadirannya bahkan seperti kehadirannya dianggap tak ada."Baiklah. Kita selesaikan masalah hari ini juga."Kyai Baihaki menatap kepada Faris yang mengangguk lalu kepada Aiman yang terlihat masih emosional."Iman. Aku minta, kamu tahan emosimu. Biarkan Faris bercerita terlebih dahulu."Aiman tak bicara apapun tapi Kyai Baihaki tahu kalau Aiman mengerti akan maksudnya."Faris. Ceritakan semuanya."Faris mengangguk. Dia pun bercerita bagaimana dia sadar, dan bagaimana dia selalu menanyakan dimana Anjani. Tapi jawaban kedua orang tuanya selal
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?
"Kak Umar," panggil seorang lelaki berusia tepat lima puluh tahun pada sosok lain yang usianya dua tahun di atasnya. Sosok itu tidak langsung menjawab tapi terlihat menyelesaikan dzikir dan doanya baru dia berbalik menghadap ke arah sepupunya. "Ada apa Syakib?" "Ami (paman) memanggilmu, Kak." Sosok yang dipanggil Umar mengangguk. Dia bangkit berdiri, meninggalkan masjid rumah sakit untuk menuju ke kamar rawat sang ayah. Sampai di ruang rawat nomer 12, sosok itu langsung mengucap salam dan duduk di kursi dekat brankar sang ayah. "Aba panggil Umar?" Sosok lelaki tua yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun mengangguk. "Aba mau minta apa? Nanti Umar cariin," ucap sang lelaki lembut. Sang ayah menggeleng. Dia hendak mengulurkan tangan, demi menggapai sang putra. Umar yang melihat, menangkap tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan lembut. "M-maaf. Ma-afin aba, maafin umi kamu juga," ucap sang pria paruh baya. "Umar sudah maafin Aba, mendiang Umi juga. Aba