Ketik hapus ketik hapus. Itulah yang sedang dilakukan oleh Galuh. Dia ingin mengirim pesan untuk Alfa tapi bingung. "Aku kudu ketik apa ya? Ah apa gini 'assalamu'alaikum Mas Alfa?' dih, kaku banget. Atau, 'Mas Alfa ini Galuh' atau 'Mas ini adik angkatmu' lah! Tau ah." Galuh menyembunyikan wajahnya pada bantal. "Aku kudu chat apa?" Jika Galuh bingung memulai chat bagaimana, di sebuah kamar tamu di kediaman Rafly, Alfa juga sedang menunggu dengan cemas. Sesekali dia melirik ke ponsel. Zonk. Belum ada chat dari Galuh. Pertemuan tadi memang berlangsung sangat singkat. Baru juga pada kenalan ulang, malah ada beberapa peserta yang baru pulang. Jadilah Galuh langsung menuju ke motor, pakai helm, starter terus jalan. Alfa juga sama, menuju ke motor, pakai helm, starter, jalan. Meski obrolan belum lanjut, keduanya sempat menghabiskan waktu berdua, berkendara beriringan, muter-muter kota sampai balik ke desa dengan motor masing-masing alias konvoi. Memang kurang afdol tapi setidaknya A
Galuh kaget mendapati keberadaan Zami di halaman TK tempat dia mengajar. Dua pengajar lain bernama Aisyah dan Fatimah juga hanya saling menatap lalu memberikan senyum sarat godaan pada Galuh."Lu, kita duluan ya? Assalamu'alaikum." Aisyah pamit pun Fatimah."Wa'alaikumsalam," ucap Galuh. Dia pun bergegas menuju ke motornya. Zami langsung saja mendekatinya."Lu, bisa kita bicara?""Maaf, Ustaz. Saya mau pulang.""Sebentar saja."Galuh menggeleng. Tapi Zami memaksa dan malah sengaja berdiri di depan motor Galuh. Galuh beneran tak suka denga Zami. Menurut Galuh, Zami ini versi lainya Alwi."Ayolah kita bicara. Sebentar saja."Galuh menggeleng."Sebenta saja. Sambil makan siang.""Gak mau. Nanti jadi fitnah. Sudah beberapa kali saya difitnah gara-gara Ustaz samperin saya. Ini lagi malah ngajakin makan siang. Tolong lah, saya ini warga pendatang. Jangan bikin nama saya rusak. Saya juga guru di sini, tolong lihat status saya."Galuh hendak menstarter motornya tapi Zami masih ngeyel."Gak us
Galuh mengamati kesibukan Alfa dan Rafly yang terlihat sangat serius berbicara dengan beberapa orang yang katanya adalah kuasa hukum Rafly. Tiga hari ini dia ikut menemani Syifa mengurusi masalah sang suami. "Ganteng ya?""Iya. Eh!"Krik. Krik. Krik. Galuh memejamkan mata sementara Syifa terkikik. Kena jebakan batman dah. Galuh melirik sahabatnya yang terlihat masih menahan tawa."Cieee, yang sebegitunya mengamati Bang Alfa. Hihihi.""Siapa yang lagi ngamati dia.""Kamu lah.""Idih! Sok tahu.""Cieee yang ngeles.""Aku gak ngeles ya?""Hihihi. Masa?""Iya."Syifa lagi-lagi tertawa."Tatapanmu loh, intens ke arah sana." Syifa menunjuk ke arah sang suami dan perkumpulan para lelaki."Tatapanmu itu loh, Lu. Dalem banget. Gak mungkin juga kamu lagi ngelihatin Pak Haris si pengacara atau jajarannya kan? Mohon maaf secara Pak Haris udah tua, bawahannya tampangnya biasa aja. Dan gak mungkin kamu natap Mas Rafly begitu. Jadi ya, hanya bisa kusimpulkan, kamu lagi natap Bang Alfa. Hayo? Ngaku?
"Kamu kenapa, Zam?" tanya Ardi salah satu sahabat Zami."Aku lagi stres, bingung, kalut. Pokoknya nano-nano, Di.""Kenapa?"Zami pun menceritakan kegalauan dirinya akan upaya perjodohan dengan Cut Intan, hubungan yang buruk dengan keluarganya terutama dengan kakak tirinya dan terakhir keinginan mendapatkan Galuh."Kisahmu pelik. Untuk masalah sama kakakmu, kamu gak bisa menyalahkan Bang Rafly sepenuhnya. Soalnya, kalau ditelusuri dengan kepala dingin, semua masalah itu berakar dari kelakuan ibumu dan ayahmu. Coba kamu di posisi Bang Rafly, aku yakin kamu akan bersikap sama. Kemudian untuk Cut Intan, ya gimana ya? Gak mungkin juga kamu bisa menolak. Pengaruh keluarga Cut Intan itu terlalu besar. Tapi untuk masalah Ustazah Lulu, aku malah bingung kenapa kamu suka sama dia? Aku malah mikirnya kamu cuma penasaran aja.""Dia cantik.""Kata siapa?""Kata Aisyah dan Fatimah.""Hahaha. Kamu yakin? Soalnya, kabar yang kuterima, wajah Ibu Anjani itu jelek, jadi gak mungkin putrinya cantik.""Ta
Aiman menatap Galuh dan Alfa dengan tatapan garang bagai singa mau mencabik mangsanya. Tiga wanita yang lain sudah ketar-ketir melihat tampang Aiman. Galuh sendiri hanya menunduk dengan perasaan campur aduk. Alfa? Dengan tenang dia duduk di ruang tamu menghadapi sosok Aiman yang mode siap senggol bacok.“Jadi, bisa dijelaskan kenapa kalian pulang bersama dan boncengan?”Alfa mengangguk. Dengan tenang dia menjelaskan kronologis kenapa dia sampai mengantar Galuh dan membuat kehebohan.“Saya percaya Lulu bisa melindungi dirinya. Buktinya empat preman berhasil dia kalahkan. Tapi ego saya sebagai lelaki merasa terpanggil. Melihat Lulu kalian yang mau jadi korban para preman dan berhasil selamat harus pulang sendirian, masa saya diam saja? Meski saya tak bisa banyak membantu, setidaknya saya mencoba melindungi dia dengan menjadi tukang ojek dadakan. Saya bisa mengantar Lulu pulang dengan selamat. Itu semacam kelegaan tersendiri. Coba Pak Aiman jadi saya, saya yakin, salah satu cara yang say
Aiman sudah berada di depan rumahnya dengan mode senggol bacok seperti biasa. Alfa dengan santai berjalan ke teras rumah Aiman, mengulurkan tangan. Aiman menatap tangan Alfa, kesal. Meski begitu tangannya terulur juga, salim dah.“Pagi bener!”“Lulu kan mau ke TK, jadi motornya saya anter gasik saja.”“Ck!” Aiman menatap ke sekelilingnya. “Kamu gak bawa bala kurawa?""Enggak.""Lah, terus balik ke tempat Rafly pakai apa?”“Sudah ngomong sama mas-mas di perempatan sana, saya minta jemput lima belas menit lagi.”Aiman memainkan bibirnya, mutar-muter, mencang-mencong, lucu sekali. Ingin sekali Alfa tertawa karena gerakan bibir Aiman persis sekali gerakan Bulik-nya kalau lagi sewot.“Ya sudah sana balik!”“Nanti, tungguin mas tukang ojek datang. Boleh saya duduk dulu, kan? Di teras gak papa.”“Gak bo--”“Loh, Nak Alfa.”Suara Zainab terdengar. Dengan sopan Alfa mengucap salam dan menyapa Zainab. Tentu saja salim khas anak muda ke yang lebih tua Alfa lakukan.“Nganter motor ya?”“Nggih, B
Cut Intan berjalan mondar-mandir sejak tadi. Dia bingung, dia kalut. Pasalnya, para preman yang dia sewa kini sedang ditahan. Zami masih di rumah sakit. Intan takut kalau sampai para preman ini dicecar terus, mereka akan menceritakan upayanya untuk menyakiti Galuh. "Aduh! Gimana ini? Aku harus gimana?" Intan masih bolak-balik macem setrikaan hingga kemudian dia mengingat sesuatu. Dia pun menghubungi Aulia. Salah satu sahabatnya. Dia menceritakan semua keluh kesahnya pada Aulia. Dia dan Aulia terus berkirim pesan, bahkan kini sedang berteleponan. Satu jam saling menelepon, senyum Intan langsung terbit. "Makasih ya Lia. Kamu emang sahabat sejatiku," ucap Intan ceria. "Sama-sama, Intan. Aku kalau bisa bantu ya kubantu," jawab Aulia dari seberang telepon. Mereka masih mengobrol beberapa waktu hingga saling mengucap salam. Sambungan pun terputus. "Aih, untung ada Aulia. Kalau enggak, aku akan sulit membuat Bang Zami mau nikah sama aku. Hihihi." Intan terlihat bahagia namun
Galuh sedang menyelesaikan berkas untuk keperluan akreditasi sekolah. Lagi-lagi dia lupa akan waktu dan membiarkan dirinya pulang terlambat. Beberapa pesan dan telepon mampir di ponselnya dari para orang tersayang. Memintanya segera pulang, tapi Galuh belum ingin pulang dengan alasan ‘tanggung, tinggal sedikit lagi’. Sebuah pesan kembali mampir di ponselnya. Kini giliran Alfa yang sewot.Alfa : [Kamu dimana? Udah pulang belum?]Galuh : [Belum]Alfa : [Pulang!]Galuh : [Bentar lagi, tanggung]Alfa : [Pulang, Galuh. Kalau dalam lima menit gak pulang, aku samperin]Galuh : [Bentar lagi, tanggung. Beneran habis ini pulang]Lalu Galuh kembali menyibukkan diri dengan berkas akreditasi. Galuh lama berkutat tanpa mengenal waktu hingga pekerjaannya selesai. Galuh mengecek ke arah jam, dia meringis mendapati kalau waktu sudah menunjuk ke arah jam tiga.“Aduh, melebihi jam satu. Pakdhe pasti marah ini.”Galuh segera bersiap-siap pulang. Dia segera menata segala sesuatu kembali ke tempatnya. Galu
Semua orang kini duduk di ruang keluarga. Namun sejak setengah jam yang lalu, tidak ada yang membahas apapun. Hanya Alfa yang mondar-mandir memanggil mantri lalu mengurusi Faris yang terluka. Begitu Faris sudah diberikan pertolongan pertama kini Kyai Baihaki mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan. Fairuz sendiri kini berada dalam asuhan para mbak santri di pondok. Bu Nyai Latifah sendiri ikutan gabung karena kepo. Tak ada yang mempermasalahkan kehadirannya bahkan seperti kehadirannya dianggap tak ada."Baiklah. Kita selesaikan masalah hari ini juga."Kyai Baihaki menatap kepada Faris yang mengangguk lalu kepada Aiman yang terlihat masih emosional."Iman. Aku minta, kamu tahan emosimu. Biarkan Faris bercerita terlebih dahulu."Aiman tak bicara apapun tapi Kyai Baihaki tahu kalau Aiman mengerti akan maksudnya."Faris. Ceritakan semuanya."Faris mengangguk. Dia pun bercerita bagaimana dia sadar, dan bagaimana dia selalu menanyakan dimana Anjani. Tapi jawaban kedua orang tuanya selal
Faris terus menarik tangan Anjani. Keduanya entah pergi kemana, mereka pun tak tahu. Pokoknya saat itu, Faris hanya berpikir yang penting mereka menjauh sejauh-jauhnya dari si nenek sihir."Lepas! Lepas! Aku bilang lepas!" teriak Anjani. Dia mencoba melepaskan cekalan Faris dengan kasar. Tapi sulit hingha akhirnya bisa terlepas saat Anjani menggigit lengan kanan Faris."Aaaa!" teriak Faris.Cekalan Faris pun terlepas. Anjani menatap Faris dengan linangan air mata. Dia lalu berbalik hendak pergi meningalkan Faris. Dia berlari secepat mungkin namun Faris mengejarnya."Tunggu Anjani!"Anjani terus berlari tapi Faris berhasil menyusul dan secepat kilat meraih tangan Anjani menyebabkan Anjani sedikit tertarik hingga menubruk dada Faris yang meski sudah tua masih terasa bidang."Tunggu dulu. Jangan pergi.""Lepas!""Gak. Gak akan aku lepas lagi."Anjani berontak. Faris tak mau kehilangan sang istri lagi."Lepas! Lepas brengsek!" teriak Anjani."Gak akan Sayang. Mas gak akan lepasin kamu lag
Sepanjang perjalanan Alfa menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia sedang mencari keberadaan ayah mertuanya. Sama dengan Alfa, Kyai Baihaki dan Hanan juga ikut mengedarkan pandang. Hanan malah sudah mengkode sepupunya itu.“Bapak mertuamu, mana?” bisiknya.“Aku juga lagi nyari.” Alfa juga berbisik.Sampai di rumah, sosok Faris tetap saja tak ketahuan rimbanya. Nomer telepon Faris juga tidak aktif. Bahkan, ketika Alfa menelepon salah satu ustaz yang tinggal di sebelah rumah yang ditinggali Faris, sang ustaz mengatakan kalau Faris sudah tak terlihat sejak dia keluar dari rumah.Alfa ingin mencari tapi dia tak bisa karena ada beberapa urusan pekerjaan yang harus dia urus. Hanan sendiri malah sudah disuruh balik pagi itu juga, karena mau ada tamu sementara sang abah belum bisa pulang karena ada suatu urusan mendesak. Kyai Baihaki juga sama, beliau sibuk dengan jadwal ngajarnya yang padat pun Bu Nyai Khomsah. Galuh bahkan sudah kembali sibuk mengurusi sekolah. Zahra sendiri memilih menghabiskan w
Galuh menggerakkan tubuhnya. Dia kaget dan segera bangun. Galuh mengucek-ngucek matanya. "Mas Alfa?!" pekik Galuh mendapati sang suami sudah di kamar dan tidur di sebelah kirinya seperti biasa. "Mas Alfa. Mas." Galuh mengguncang bahu sang suami, pelan. Alfa seperti tidak merespon. Jadilah Galuh mengguncang lebih keras "Hem." Alfa hanya bergumam dan malah kembali tidur tak lupa dia menarik sang istri agar rebahan lagi. Galuh sedikit memekik tapi dia rebahan juga. Galuh memiringkan badan ke sang suami. Kini keduanya tidur berhadapan. Dia mengguncang bahu Alfa lagi. "Mas. Mas kapan pulang? Kata Abah Mas Alfa mungkin baliknya besok baru OTW dari Tegal. Kok sudah di sini?" Galuh menatap jam di dinding yang menunjuk pukul setengah tiga pagi. Dia lalu menoleh ke arah Fairuz yang masih bobo anteng sambil memeluk gulingnya. "Mas, ish. Jangan tidur, kamu belum jawab pertanyaanku. Mas pulangnya kapan?" Alfa sedikit membuka matanya lalu kembali merem. Lagi, Alfa mengeratkan pelukannya pad
Galuh dan Anjani masih berpelukan. Lalu Galuh tiba-tiba ingat sesuatu."Ibu.""Iya, Nduk.""Bu, berarti Galuh bukan anak hasil zina, kan? Galuh bukan anak haram, kan?" tanya Galuh dengan binar mata penuh ketakutan.Anjani menggeleng. Dia meraih kedua pipi sang putri."Bukan. Ibu menikah saat usia ibu sembilan belas tahun lebih satu bulan. Ibu dan ayahmu menikah resmi, Sayang. Di rumah kakekmu dari pihak ibu. Ada saksi ada buku nikahnya juga. Hanya saja bukunya hilang saat ibu dalam pelarian." Ada raut sedih di wajah Anjani. Galuh jadi ikutan sedih."Bu."Anjani mencoba tersenyum. "Tidak apa. Semua luka dan kesedihan ibu sudah terganti dengan kamu yang tumbuh baik seperti sekarang. Itu sudah cukup."Galuh mengangguk. Lalu antara rasa ragu dan rasa penasaran, rasa penasarannya lebih besar. Jadilah dia bertanya saja perihal ayahnya."Lalu, siapa ayahku?"Senyum yang sejak tadi sudah mulai Anjani keluarkan terganti dengan raut sedih. Galuh merasa bersalah sekali. "Bu, maaf. Galuh cuma ..
Anjani terlihat gelisah. Dia menatap ke seluruh ruangan hingga matanya tertuju pada lemari berkaca bening dengan setumpuk album foto di sana. Anjani menoleh ke kanan kiri. Dia penasaran tapi dia takut dikira tidak sopan. Tangannya tetulur memegang gagang pintu. Dia dilema diantara harus membuka atau meminta ijin.Diantara kebimbangannya, Bu Nyai Khomsah kembali masuk rumah. "Bu Anjani.""Ya," jawab Anjani kaget."Ada apa?""Maaf. Saya cuma ...." Anjani melirik ke arah lemari penuh album foto. Dia malu ketahuan tidak sopan tapi dia juga penasaran. Bu Nyai Khomsah tersenyum. "Diambil saja. Di sana banyak fotonya Galuh. Saya tahu, njenengan katanya sayang banget sama itu anak.""Nggih Bu Nyai. Saya sayang banget sama Lulu. Bahkan saya sudah menganggap Lulu anak saya."Bu Nyai Khomsah terkekeh. "Ya gimana gak sayang ya? Anaknya cantik, gemesin gitu. Saya juga begitu Bu Anjani. Uh, apalagi pas Galuh masih kecil. Nggemesine puol. Lihat aja foto-fotonya.""Apa saya boleh lihat, Bu Nyai?""
Bu Nyai Khomsah terlihat menautkan dua alisnya. Kabar yang dibawa sang suami lewat sambungan telepon membuatnya kaget. Rupanya bukan hanya Bu Nyai Khomsah, Galuh juga sudah menerima berita itu dari sang suami."Iya Mas. Aku gak papa. Tenang aja. Mas selesaikan urusan Mas di sana."Galuh mengangguk beberapa kali lalu menimpali ucapan sang suami. Sambungan pun berakhir setengah jam kemudian. Galuh terlihat menghela napas, dia kembali ke ruang tengah dimana sang umi rupanya baru juga selesai menelepon."Ada apa Bu Nyai? Kok kelihatan sedih begitu?" pancing Zainab. Jujur saja dia penasaran tentang kabar dari Andalusia tapi dia mencoba bermain cantik."Lulu juga kelihatannya habis denger berita yang gak bagus."Galuh yang baru duduk di samping ibu Anjani bercerita kabar yang dia dengar dari sang suami."Astaghfirullah, bisa begitu?""Iya Budhe. Kata Mas Alfa ini bukan yang pertama, tapi pas Bu Nyai Sepuh meninggal juga begini. Putranya bahkan sampai menelepon dan menghubungi banyak orang,
“Dasar anak yatim, anak haram, bisa-bisanya dia balik lagi ke sini. Mana jadi istrinya Alfa lagi, huh! Sebel, sebel!” Bu Nyai Latifah ngomel-ngomel sambil berjalan keluar dari rumah sang kakak. “Huh, padahal sudah bagus dia pergi. Malah balik lagi. Tapi … setidaknya dia gak bakalan bisa gangguin Alwi lagi. Cih, si Alfa ngelepas anak dubes demi anak haram jad---aw!” Bu Nyai Latifah tanpa sengaja menabrak sosok Zahra yang sedang berdiri diam karena menunggu Fairuz. Mereka baru pulang dari arah minimarket. Fairuz minta membeli jajan. “Maaf, Bu Nyai saya tidak se--” “Heh, kau! Punya mata gak sih?!” bentak Bu Nyai Latifah. Zahra yang hendak meminta maaf tak jadi melanjutkan kalimatnya. “Matamu buta ya?!” Zahra yang awalnya ingin menggunakan sikap sopan santunnya jadi terpancing emosi. “Saya sudah meminta maaf, loh Bu Nyai. Lagian Bu Nyai juga salah kok, intinya kita sama-sama salah. sama-sama gak lihat jalan.” “E e e, kamu ya?! Anak muda gak ada sopan santun, berani kamu?
"Kak Umar," panggil seorang lelaki berusia tepat lima puluh tahun pada sosok lain yang usianya dua tahun di atasnya. Sosok itu tidak langsung menjawab tapi terlihat menyelesaikan dzikir dan doanya baru dia berbalik menghadap ke arah sepupunya. "Ada apa Syakib?" "Ami (paman) memanggilmu, Kak." Sosok yang dipanggil Umar mengangguk. Dia bangkit berdiri, meninggalkan masjid rumah sakit untuk menuju ke kamar rawat sang ayah. Sampai di ruang rawat nomer 12, sosok itu langsung mengucap salam dan duduk di kursi dekat brankar sang ayah. "Aba panggil Umar?" Sosok lelaki tua yang diperkirakan berusia hampir delapan puluh tahun mengangguk. "Aba mau minta apa? Nanti Umar cariin," ucap sang lelaki lembut. Sang ayah menggeleng. Dia hendak mengulurkan tangan, demi menggapai sang putra. Umar yang melihat, menangkap tangan sang ayah dan menggenggamnya dengan lembut. "M-maaf. Ma-afin aba, maafin umi kamu juga," ucap sang pria paruh baya. "Umar sudah maafin Aba, mendiang Umi juga. Aba