Share

Bab 2

Author: Maria Anita
Nggak ada jalan keluar, Minda sudah menyeret aku ke acara pesta topeng itu. Begitu kami masuk, Minda langsung menarik kami ke bar dan berbisik di telingaku, "Malam ini pelayanan sendiri, jadi kamu harus minum sampai nggak rasa sedih lagi!" Minda menyodorkan dua gelas bir padaku, sementara dia sendiri memegang dua gelas lainnya. "Ayo kita habiskan ini!" Kami menenggak bir itu bersama-sama, lalu Fajar datang membawa dua gelas bir lagi untuk kami.

Minda kemudian menarikku ke lantai dansa, dan jujur saja... aku mulai bersenang-senang. Saat lagu pelan mulai mengalun, Fajar dan Minda mulai berdansa berdua. Aku pun mengambil kesempatan itu untuk pergi ke meja prasmanan, tapi aku nggak pernah sampai ke sana. Seseorang menggenggam tanganku. Saat aku menoleh, seorang pria bertopeng hitam tersenyum padaku dan senyumnya... luar biasa memikat! Dia mencium tanganku lalu menarikku mendekat, berbisik di telingaku dengan suara serak dan menggoda, "Wanita tercantik di ruangan ini pasti nggak akan menolak dansa denganku, kan?"

"Pasti dong. Ayo kita dansa," balasku sambil tersenyum.

Sulit untuk menolak suara serak yang menggoda itu, ditambah senyuman yang begitu mempesona! Dia tinggi, bahunya lebar, senyumnya menawan, dan matanya hitam, hitam kecoklatan. Bibirnya begitu menggoda, rambutnya cokelat, dan ketika dia menarik pinggangku, tanganku reflek menyentuh dadanya, keras dan berotot seperti tembok. Meskipun wajahnya tertutup topeng, aura pesonanya tidak bisa disangkal.

"Aku sudah lihatin kamu sejak kamu datang," bisik pria misterius itu di telingaku. "Kamu cantik sekali."

"Terima kasih. Tapi kamu sepertinya bukan orang sini, ya?" Ada wibawa dalam dirinya, auranya seolah memancarkan kekuatan.

“Bukan. Temanku yang ajak aku datang ke pesta ini."

"Sepertinya kita punya nasib yang sama, teman-temanku juga yang maksa aku datang."

"Beruntung sekali aku!"

"Kenapa emangnya?" Aku tersenyum.

“Karena sejak pertama kali lihat kamu, aku langsung terpesona. Kamu benar-benar memukau." Kata-katanya membuatku merinding, wajahku memanas dan tubuhku terasa geli. Dia benar-benar memikat.

"Meskipun pakai topeng?"

"Meskipun pakai topeng! Kamu cantik banget!"

"Mulutmu manis banget."

"Cuma mulutku yang manis?"

"Kamu tahu sendiri, kamu juga tampan."

"Aku senang kamu suka tampangku."

"Lalu kamu kerja apa, ganteng?" Aku merasa sedikit pusing, entah karena minuman atau karena wangi parfum yang menggoda itu. Aku bahkan tersandung kakiku sendiri.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Rasanya aku butuh udara segar."

"Ayo ikut aku." Dia menarikku ke lorong gelap yang mengarah ke pintu darurat dan mulai mengipasi wajahku." Aku pengen cium kamu. Boleh nggak?" Aku mengangguk.

Dia menatap mataku, memegang bagian belakang leherku dan bibir kami bertemu. Pertamanya lambat tetapi semakin lama semakin dalam. Dia menekanku ke dinding dan ciuman itu semakin panas, sampai kami hampir susah bernapas. Dia lalu menghentikan ciuman itu sehingga kami bisa bernapas, kami saling menatap, tapi kami makin terbakar. Dia menurunkan tangannya ke pinggangku ke pahaku dan menarik kakiku ke pinggangnya. Aku benar-benar menyerah saat itu, merasakan tubuhnya menekan tubuhku. Aku menjadi gila karena hasrat ini dan menariknya lebih dekat, melingkarkan kakiku di pinggangnya.

"Kau benar-benar pencium yang hebat! " Aku tersenyum padanya dan merasakan seluruh tubuhku bergetar.

"Oh, cantik, kamu luar biasa. Aku sangat menginginkanmu, di sini, sekarang!" katanya di antara ciuman sambil menyelipkan tangannya di bawah gaunku, lalu naik ke atas dan mencapai celana dalamku. Aku terbakar ketika dia memasukkan tangannya ke dalam celana dalamku dan mengerang. "Oh. Nikmat sekali! Sangat panas, sangat basah!" Dia berkata dan menciumku lebih keras sambil membuka ritsleting celananya. Dengan gerakan cepat, seperti seseorang yang pernah melakukan ini sebelumnya, dia merobek celana dalamku dan membelai bagian depan organ intimku, seolah meminta izin. Dia menatap mataku lagi dan bertanya, "Apa yang kamu mau aku lakukan ?"

"Aku mau kamu masuk ke dalamku sekarang!" Aku menjawab tanpa malu-malu, sudah terengah-engah dengan penuh nafsu. Aku tidak tahan godaan mata dan suara serak itu. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya, aku akan menarik diri saat dia meraih tanganku, tetapi malam ini aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk bersenang-senang dan hidup untuk saat ini jika ada seseorang yang menarik datang. Dan itulah yang aku lakukan, hidup untuk saat ini saja.

Mendengarku, dia masuk perlahan, memperhatikan saat aku menyandarkan kepalaku ke dinding dan menikmati setiap inci tubuhnya, dia sangat perkasa. Dia mengambil kesempatan untuk mencium leherku. Ketika dia sepenuhnya berada di dalam, dia berhenti dan berbisik di antara ciuman di telingaku, "Sekarang aku bergerak ya." Dia menarik keluar hanya untuk mendorong kembali dengan kekuatan penuh kali ini, rasanya luar biasa. Aku benar-benar kehilangan kendali dan menjadi gila oleh gerakannya saat dia bergerak masuk dan keluar dariku dengan cepat.

Kami kehilangan kendali dan aku menyerahkan diri sepenuhnya, seolah-olah tidak ada hal lain di sekitar kami. Aku merasakan kabut di mataku saat orgasme mulai terbentuk dan aku mengerang lembut di telinganya. Pada saat itu, dia tampak gila, mengangkat kakiku yang lain ke pinggangnya saat aku melingkarkannya di sekelilingnya. Menciumku dengan intens, dia mendorongku lebih keras, rasanya seperti surga di bumi. Aku pun mengerang di dalam mulutnya, merasakan kenikmatan yang luar biasa, tetapi dia terus bergerak sampai orgasme lain terbentuk. Aku terangsang lagi, bahkan lebih intens dari sebelumnya, membuatku terengah-engah. Saat aku benar-benar sudah tak tahan, dia berbisik bahwa dia hampir mendekati klimaks. Aku merasakan denyut nadi di sekelilingnya dan segera aku merasakan sesuatu yang hangat tersembur di dalam diriku.

Kami tetap di sana, berdiri dekat dengan dinding itu, hampir kehabisan napas, dahinya bertumpu pada dahiku. Sambil menciumku, dia perlahan menarik diri dan aku benar-benar puas, seperti yang akan dikatakan Minda. Aku tersenyum dan dia menatapku, memberiku ciuman lembut dan berkata, "Kamu benar-benar luar biasa!"

Dia dengan lembut menurunkan kakiku sampai menyentuh tanah, memperbaiki gaunku, merapikan celananya dan memelukku. Rasanya begitu intim, begitu hangat. Meskipun pertemuan kami penuh gairah dan begitu menggebu, dia tetap memperlakukanku dengan kelembutan. Aku belum pernah mengalami pengalaman luar biasa seperti ini sebelumnya. Selama ini aku hanya pernah bersama mantanku. Mantanku tak pernah peduli untuk memelukku setelahnya, bahkan tak pernah memikirkan apa aku merasa nyaman atau tidak. Baginya, semuanya hanya soal memenuhi keinginannya sendiri. Jadi ketika ada pria yang benar-benar peduli padaku, pada kenyamananku, dan memperhatikanku, rasanya begitu baru dan luar biasa. Dia mengecup leherku dan membisikkan sesuatu di telingaku, "Jadi, cantik, aku masih belum tahu namamu."

Butuh beberapa detik bagiku untuk mencerna semuanya. Aku baru saja berhubungan seks dengan seseorang yang bahkan namanya pun aku tidak tahu. Saat aku hendak menyebutkan namaku, dia mengambil HP-nya dari saku dan meminta waktu sebentar untuk menjawab telepon. Dia menjauh sedikit, dan aku hanya bisa mendengar suaranya meninggi, berkata, “Apa kamu bilang?” Saat itu juga, pria asing itu pergi terburu-buru, seolah melupakan kehadiranku atau seperti sedang melarikan diri dari wanita yang baru saja dia tiduri dengan cepat di pesta tadi.

Tentu saja, Citra, kamu memang bodoh! Tapi ya sudahlah! Toh aku juga cuma ingin bersenang-senang, aku nggak tahu siapa dia dan dia juga nggak tahu siapa aku. Nggak masalah. Aku merapikan diriku, mencari pakaian dalamku yang robek, entah di mana dibuangnya, lalu keluar dari lorong itu.

Aku kembali ke meja dan menemukan Minda dan Fajar lagi bermesraan. Tapi melihatku, mereka langsung berhenti.

“Min, aku rasanya baru saja bertemu Serigala Jahat!” Aku tertawa dan dia ikut tertawa.

“Nanti waktu kita sampai rumah, aku mau dengar semuanya!”

“Tentu saja!” jawabku dengan mata berbinar.

"Sayang, kurasa kita bisa pergi sekarang. Gimana, Cit?”

“Aku siap kapan pun kalian siap!” kataku sambil minum segelas air.

Kalau gitu, ayo kita pulang, cewek-cewek!” Kata Fajar sambil memimpin kami ke pintu keluar.

Begitu sampai rumah, Minda langsung menyerbu, “Ayo, ceritakan semua, siapa dia, gimana kejadiannya, apa yang terjadi dan nggak terjadi, semua!”

Aku tertawa dan menceritakan semuanya padanya. Setelah aku selesai, temanku menatapku dengan mulut menganga dan bertanya, "Kalian pakai kondom, kan ?"

Jantungku mulai berdetak kencang! Sial, kami nggak pakai kondom. Aku menggeleng pelan, masih syok menyadari betapa cerobohnya aku tadi. Dia langsung mencoba menenangkanku.

"Nggak apa-apa Cit, tenang. Aku yakin nggak akan terjadi apa-apa. Tapi kamu tetap perlu cek biar lebih pasti. Aku ke dapur buat bikin teh, oke? Jangan panik dulu!”
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 3

    Pada hari Senin saat jam makan siang, aku bertemu Minda. Dia memberiku sebuah tas kecil dari toko mewah, membuatku menatapnya dengan bingung."Ibuku minta aku untuk kasih ini ke kamu. Katanya parfum ini cocok banget buat kamu, nggak cocok sama dia,” kata Minda sambil tersenyum lebar.Aku buka tas itu dan di dalamnya ada parfum yang kupakai waktu pesta topeng. Senyum lebar langsung merekah di wajahku. Aku suka banget parfum itu, bagian dari malam terbaik dalam hidupku. Aku hanya berharap malam terbaikku itu nggak akan meninggalkanku dengan penyakit kelamin sebagai kenang-kenangan. Aku berterima kasih pada Minda dan bilang akan menelepon ibunya nanti. Lalu aku juga bilang ingin menelepon dokter untuk menjadwalkan pemeriksaan.Saat aku menghubungi dokter, mereka bilang aku butuh surat rujukan klinik agar biayanya bisa ditanggung BPJS. Untungnya, perusahaan tempatku bekerja menyediakan BPJS. Kalau nggak, aku nggak tahu harus gimana. Gajiku pas-pasan dan sebagian besar kupakai untuk bantu k

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 4

    Waktu aku lulus kuliah, Panji sudah berusia dua tahun. Saat itu, dia sudah bisa berjalan ke mana-mana, dan selalu menempel pada nenek, kata pertamanya pun adalah “nenek”. Dia anak yang sangat tampan, dengan rambut hitam lurus, kulit cerah, hidung mungil yang mengarah ke atas, dan mata hitam kecokelatan yang membuatku selalu menghela napas kagum. Dia adalah sinar matahariku! Dan sekarang aku akan punya lebih banyak waktu untuknya.Setelah lulus, bosku memanggilku untuk mengobrol. Dia adalah bos yang sangat baik dan mengatakan dia sangat senang dengan pekerjaanku, tetapi dia tahu kalau aku pantas dapat yang lebih, jadi aku harusnya cari kerja sesuai bidangku dan dia mengerti. Dia meyakinkanku kalau pekerjaanku di perusahaan konstruksi akan tetap ada kalau aku mau. Kalau aku pergi dan ternyata nggak cocok, aku selalu bisa kembali. Namun, dia menyarankanku untuk cari pekerjaan sesuai bidangku, demi masa depan anakku yang lebih baik. Aku sangat tersentuh dengan perhatian itu dan menerima na

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 5

    Aku tiba di kantor pukul 8 pagi. Bu Maya menyambutku dengan hangat dan mengenalkanku pada semua orang. Mereka semua sangat ramah. Bos sedang nggak ada di tempat. Beliau sedang pergi dinas dan baru akan kembali di akhir minggu. Kantornya sangat indah, bergaya modern, didominasi warna putih dengan sentuhan baja tahan karat dan aksen hijau, terlihat profesional namun tetap terasa hangat. Desainnya elegan dan aku langsung menyukainya. Aku juga senang karena memilih memakai setelan hitam dengan blus sutra hijau tua dan sepatu hak tinggi hitam. Sepertinya aku memang harus berpakaian rapi dan elegan setiap hari, karena aku akan langsung kerja bersama presdir perusahaan.Menjelang siang, aku dapat pesan dari Minda. Dia berhasil buat janji dengan direktur tempat penitipan anak dekat apartemen kami, yaitu saat jam makan siang. Aku pun menjelaskan situasinya pada Bu Maya dan bertanya apa aku bisa keluar sebentar saat itu. Aku juga janji akan kembali tepat waktu."Ternyata kamu punya anak? Umurnya

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 6

    Sudut Pandang Aditya.Di kamar hotelnya di Kota Norramus, satu pikiran terus mengganggu benak Aditya Mahadi, seperti apa asisten barunya nanti?Suara itu seolah-olah telah menetap di dalam kepalaku. Saat aku menelepon kantor hari ini, aku hanya ingin memberitahu Maya bahwa aku telah dapatkan kerja sama yang aku negosiasikan di Kota Umura, tapi saat dengar suara itu, entah kenapa ada sesuatu dalam diriku yang langsung terguncang. Suaranya begitu merdu, tenang... aku sendiri nggak mengerti kenapa justru itu membuatku kesal.Sekarang aku duduk di kamar hotel dengan segelas bir di tangan, memandang ke arah taman dari jendela dan terus memikirkan siapa pemilik suara itu. Suara itu membuatku lupa semua detail yang harus kukonfirmasi dan aku jadi kesal sendiri karena tak tahu harus berkata apa, pikiranku berantakan. Aku malah berakhir membentak wanita di ujung telepon seperti orang gila. Mungkin aku membuatnya takut. Bisa jadi dia bahkan nggak akan ada di sana lagi saat aku kembali dan Maya p

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 7

    Saat Bu Maya menjelaskan semuanya padaku, aku mencatat dengan teliti semua informasi penting. Kami sudah mulai menemukan ritme kerja yang nyaman dan tanpa terasa. Sore itu berlalu dengan cepat. Dia memberitahuku bahwa dia perlu menelepon untuk urusan pribadi dan meninggalkan ruangan, sambil berkata seseorang dari Departemen IT akan datang untuk serahkan HP kantor yang harus selalu dalam keadaan aktif.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi, kurus, dan berpenampilan agak kutu buku masuk ke ruangan dan tampak terkejut saat melihatku."Wow! Maaf, kamu siapa?”Aku langsung berdiri menyambutnya.“Citra Lestari, asisten baru Pak Aditya.” Dia menatapku dari ujung kepala sampai kaki, seperti sedang menilai penampilanku."Nona Citra Lestari ?"Aku mengangguk dengan senyum profesional. Dia menyeringai dan berkata, “Sebenarnya ini untuk kamu.” Dia mengulurkan tangan, memberikan sebuah HP baru dan tablet. “Ini HP kantor kamu. Bos sudah punya nomormu, dan nomornya juga sudah tersimpan di kontak. E

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 8

    Sepulang kerja, Minda sudah menungguku di depan pintu, dengan Panji yang sudah duduk manis di kursi mobilnya di belakang. Kami memang berencana pergi ke mal untuk beli perlengkapan Panji sebelum masuk ke tempat penitipan anak."Hai! Gimana hari pertamamu? Ceritain semua dong!” katanya ceria dengan senyum lebar.“Min, kayaknya aku harus telepon om kamu dan minta kerjaanku balik,” kataku agak sedih. Dia langsung menatapku dengan ekspresi kaget. “Tapi sebelumnya, kamu cerita dulu gimana wawancara kamu.”"Nggak mungkin, Citra! Kamu dipecat di hari pertama? Serius? Cerita dulu dong, baru nanti aku cerita tentang wawancaraku.”Aku tersenyum lalu mulai bercerita dari awal. Saat dia mematikan mesin mobil di parkiran mal, dia sudah tertawa ngakak mendengar kisahku.“Cit, cuma kamu yang bisa-bisanya ribut sama bos di hari pertama. Kamu tahu kan, dia itu masih muda banget?!”Aku menatapnya dengan sangat terkejut dan bertanya, “Apa maksudmu masih muda?”“Iya, Cit, kamu nggak cari info soal bosmu d

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 9

    "Selamat pagi, Citra. Apa kabar?" Maya masuk ke kantor dengan senyum lebar, menaruh tasnya sebelum menatapku.“Selamat pagi, Bu Maya. Baik-baik saja, gimana dengan Anda?” Aku sedang berdiri, merapikan beberapa dokumen. Ketika aku berbalik, ekspresi wajahnya sama persis seperti Minda dan pegawai toko waktu itu. Aku sedang mengenakan gaun baruku, sepatu hak tinggi yang baru, dan tentu saja, pakaian dalam super menggoda pemberian Minda.“Citra Lestari, kamu kelihatan seperti baru keluar dari majalah! Ya ampun, kamu cantik banget pakai gaun itu.”“Terima kasih, Bu,” jawabku sambil tersipu malu dan mulai bertanya-tanya apakah penampilanku terlalu berlebihan. Tapi dia dengan cepat menghapus keraguanku.“Kamu tahu nggak, kamu pasti bakal bikin si bos terkesan. Dia datang hari ini, lho. Sebenarnya aku kaget juga, soalnya mereka rencananya baru balik hari Jumat. Tapi kelihatannya Aditya putuskan untuk selesaikan semua urusan dari sini. Oh ya, tolong jangan panggil aku ‘Bu’ lagi, ya.” Aku membal

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 10

    Sudut Pandang Aditya.Saat aku berhenti di ambang pintu dan melihat wanita itu membungkuk di depan lemari arsip dengan punggung menghadap pintu, mataku langsung tertuju pada kakinya dan sepatu seksi yang dia kenakan.Dan sepatu itu… luar biasa menggoda! Hak tinggi seperti itu harusnya kularang masuk kantor. Lalu aku mendengar Peter bersiul. Wanita itu langsung berdiri, dan barulah terlihat jelas tubuhnya yang memikat! Rambut hitam panjangnya yang terurai sampai pinggang sebagian diikat ke belakang, berkilau indah di bawah cahaya. Tentu saja Peter langsung terpana. Lelaki itu memang tukang gombal sejati. Aku menatapnya tajam, tapi bukannya sadar, dia malah semakin lebar tersenyum saat menyadari ekspresi tak senangku.Tapi saat wanita itu berbalik… mata Peter membelalak. Dia luar biasa cantik, dengan mata coklat muda yang menyala seperti permata. Saat itu juga aku ingin menarik Peter menjauh dan melarangnya menatap wanita itu lagi. Aku tahu pasti, dia adalah asisten baruku. Dan aku tidak

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 50

    Aku memandang sekeliling ruangan itu, nggak mengerti apa-apa. Selain aku dan bosku, Pak Guntur, ada juga Minda, Heru, Aditya, Peter, Robin, Maya, dan Alex.‘Apa maksudnya semua ini?’ Aku menatap Minda, dan dia mengangkat bahu, sama bingungnya denganku. Heru menarik sebuah kursi dan memberi isyarat agar aku duduk di sebelah Aditya. Dia bercanda?'Aku mulai curiga kalau ini hanyalah trik Aditya lagi supaya bisa bicara denganku. Tentu saja dia nggak sungguh-sungguh mau beli sistem itu. Tapi aku akan tetap profesional dan lakukan yang terbaik, setidaknya bosku bisa menilai kinerjaku.“Citra, tolonglah, aku tahu kamu profesional hebat dan bisa atasi ini.” Heru berkata seolah-olah membaca pikiranku. “Aku minta kamu datang karena kamu pernah kerja di Grup Mahadi dan paham dengan masalah yang sedang mereka hadapi.”“Baik, Pak. Saya akan bantu sebisa mungkin.” Aku pun duduk dan menjaga sikap profesional.Pak Guntur mulai mempresentasikan aplikasinya, dan aku menambahkan beberapa pandangan dan o

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 49

    Aku benar-benar capek. Minggu ini terasa kacau dan aku nggak bisa tidur dengan nyenyak, setiap malam menangis hingga tertidur. Bicara dengan Aditya kemarin juga nggak membantu, justru buat aku semakin hancur.“Selamat pagi, Citra! Apa kabar?” Minda masuk ke dapur dan memegang wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dengan seksama.“Aku benar-benar berantakan, Min. Riasan ini cuma tutupin lingkaran hitam di bawah mata. Aku capek banget!”Saat ini kami mendengar bel rumah berbunyi, dan Minda pergi menjawabnya sementara aku menyuapi Panji sarapan. Aku teralihkan memperhatikan si kecil, dia adalah cinta terbesarku, dan hanya dengan menatapnya saja, hatiku bisa tenang. Aku tahu aku akan kuat dan terus maju karena dia. Dia menatapku dengan senyum lebar serta mata hitam kecokelatan itu, membuat hatiku meleleh oleh cinta.“Kamu anak tercinta ibu, Nak!” Aku berkata padanya dan dia bertepuk tangan sambil mengirim ciuman. Senyumku semakin lebar.“Cit, ini untukmu.” Minda datang dari pintu memba

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 48

    Sudut Pandang Aditya.Aku benar-benar kaget ketika Heru kasih aku segelas bir.“Minum ini, bisa buat kamu tenang. Setelah kamu tenang, kamu bisa cerita ke aku apa yang terjadi,” kata Heru dengan nada serius sambil mengambil telepon. “Guntur, aku kasih Citra libur untuk sisa hari ini. Terima kasih ya.”Heru menutup telepon, duduk di depanku, dan minum bersamaku. Setelah tiga kali tegukan, akhirnya aku bisa berkata, “Aku kacaukan semuanya, Heru, aku ngerusak satu-satunya kesempatan yang aku punya untuk bahagia. Aku cinta Citra tapi aku malah kacaukan semuanya. Sekarang dia benci aku.”Heru menyesap birnya lagi dan berbicara dengan lembut, “Sejak kapan kamu jadi pengecut yang nyerah hanya karena satu pintu tertutup?”Aku memandangnya seolah-olah mendadak dia jadi aneh. Dia benar-benar nggak mengerti kalau Citra membenciku.“Nanti aku akan telepon Peter dan kita bertiga akan minum sampai mabuk di rumahku,” katanya sambil berdiri. “Mana kunci mobilmu?”Sambil menyerahkan kunci mobilku, Heru

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 47

    “Citra, Pak Heru mau kamu segera ke kantornya,” kata bos baruku yang muncul di bilik kerja tempatku duduk. “Kamu bisa pergi sekarang. Tugas yang aku kasih sudah selesai?”Aku memandang pria bertubuh pendek dan berisi itu, dengan kacamata bulat bergagang motif kura-kura, lalu tersenyum. Dia memang sedikit nyentrik, tapi sangat baik dan sering bersenandung seharian di kantor.Aku ditempatkan di departemen pemasaran, di mana seluruh lantainya terbuka dengan bilik kerja yang diatur berkelompok berisi empat orang. Satu-satunya ruangan tertutup hanya milik atasanku. Suasananya sibuk dan penuh warna, dipenuhi dengan suara, semua orang sibuk berbicara, entah lewat telepon atau satu sama lain. Aku merasa lingkungan ini santai dan menarik, sepertinya aku akan bisa beradaptasi dengan baik. Bahkan aku sudah punya satu teman. Tapi sekarang, setelah dipanggil oleh Pak Heru, aku mulai khawatir kalau dia berubah pikiran dan nyesal mempekerjakanku.Aku mendongak dan menyerahkan beberapa folder kepada b

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 46

    Sudut Pandang Aditya.Aku kembali ke kantor dengan perasaan terluka seperti binatang yang terkurung. Aku benar-benar putus asa. Aku pengen banget kejar Citra dan mohon agar dia maafin aku. Tapi aku nggak bisa begitu saja melakukannya. Dia sedang kerja di perusahaan Heru dan aku nggak bisa sembarangan masuk ke sana. Itu nggak sopan dan dia akan makin benci aku.Tapi aku juga nggak sanggup tunggu sampai jam kerja selesai. Jadi, aku putusin untuk kejar dia. Aku keluar kantor dan kasih tahu Carisa kalau aku nggak akan kembali hari itu. Aku ingin menyeret ular itu keluar dan usir dia dari gedungku, tapi aku nggak bisa lakukan itu juga. Aku harus tunggu... Itu membuatku gila.Aku pergi ke perusahaan Dunia Liantar dengan ribuan pikiran berputar dalam kepalaku. Tapi aku berniat minta bantuan Heru agar bisa bicara dengan Citra tanpa buat dia malu.“Selamat siang, Pak Aditya. Ada yang bisa saya bantu?” Sekretaris Heru selalu bersikap profesional, meski dia kelihatan heran karena aku tiba-tiba da

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 45

    Sudut Pandang Aditya.Kemarin, aku datang ke kantor dengan kepala pusing akibat mabuk parah dan sama sekali nggak pengen lakuin apa pun. Maya, Alex, Patrick, dan Robin seharian bela Citra. Mereka bilang nggak percaya kalau Citra yang kirim email-email itu dan khianati aku seperti itu. Mereka bahkan tegur aku karena nggak mau dengar dia dulu, dan sekarang semuanya lagi tunggu hasil audit untuk lihat apa yang akan terungkap. Maya pergi ke departemen keuangan untuk ambil dokumen-dokumen yang katanya sedang diverifikasi. Saat dia di sana, Jodi telepon aku marah besar, bicara ngawur di telingaku. Tapi aku terlalu lelah untuk peduli. Aku cuma bilang, serahkan semua pada Maya kalau dia masih mau pertahankan pekerjaannya.Maya bawa dokumen-dokumen itu ke auditor. Aku bilang ke Alex semua ini percuma karena dokumennya memang ada dan Jodi sudah kasih itu semua, artinya Carisa nggak mungkin bocorin informasi. Tapi Alex peringatkan aku kalau dia sudah punya salinan dokumen sebelumnya, lebih baik

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 44

    Keesokan harinya, kami berangkat pagi-pagi. Saat tiba di kantor, Pak Heru memanggil kami masuk ke ruangannya.“Citra, apa kabar? Aku sudah bicara dengan Peter, dan dia sangat khawatir. Dia cerita sedikit tentang apa yang terjadi, nggak terlalu rinci, tapi sepertinya Aditya memang bertindak bodoh.”“Aku nggak yakin dia bodoh atau nggak, Pak Heru. Tapi yang jelas, aku nggak lakuin hal yang dituduhkan padaku,” jawabku. Aku mulai membayangkan beliau berubah pikiran tentang mempekerjakanku.“Aku yakin kamu nggak lakuin itu, Citra. Aku sudah lama kenal Keluarga Lurdi. Mereka nggak akan bela kamu kalau mereka nggak yakin sepenuhnya dengan kejujuranmu! Dan kalau Omar bilang kamu orang paling jujur di dunia, aku percaya itu.” Heru tersenyum hangat padaku. “Sayangnya, aku nggak bisa kasih posisi sebagus sebelumnya, tapi aku butuh orang tambahan di departemen penjualan. Gajinya cukup baik dan aku yakin kamu bisa tangani pekerjaannya dengan mudah. Jadi kalau kamu mau, pekerjaan ini milikmu.”Aku t

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 43

    Aku merasa benar-benar kehilangan arah, nggak tahu harus berbuat apa. Minda pergi pagi-pagi, bersikeras untuk antar Panji ke tempat penitipan anak, sementara Lina bersikeras menemaniku seharian. Aku merasa itu ide yang bagus, dia orang yang luar biasa, memberiku banyak nasihat dan berkata bahwa tidak ada kesulitan yang berlangsung selamanya.Minda sempat bilang sebelum pergi kalau aku tak perlu melakukan apa-apa hari ini. Katanya dia akan bicara dengan ayahnya, dan malam ini kami akan putuskan langkah selanjutnya. Tapi entah kenapa, aku merasa nggak nyaman. Rasanya aku sudah terlalu sering ngerepotin Keluarga Lurdi.Aku dan Lina makan siang bersama, dan dia bercerita tentang anak-anak serta cucu-cucunya, yang ternyata nggak tinggal di Kota Pekanida. Semuanya tinggal terlalu jauh, jadi dia nggak bisa bertemu mereka setiap minggu. Makanya dia bilang betapa bahagianya dia bisa merawat Panji.Sore harinya, dia pergi ke pasar dan bilang akan jemput Panji setelah itu. Dia menyuruhku istiraha

  • Cinta Diam-Diam Sang Bos   Bab 42

    Sudut Pandang Jodi. Aku bersandar di ranjang dan menyalakan sebatang rokok, meniupkan asapnya sambil memandangi gimana asap itu menghilang di udara. Aku tersenyum dan berkata pada wanita di sampingku, “Selamat, sayang. Lagi-lagi kamu luar biasa banget. Nanti aku transfer uang ke rekeningmu, beli sesuatu yang kamu suka.” Aku tersenyum geli, membayangkan suaminya yang percaya dia wanita suci. “Aku cuma heran, gimana suami bodohmu itu nggak curiga dari mana asal uangmu?”Aku menatap selingkuhanku yang berbaring telanjang di sampingku. Ini bukan pertama kalinya dia memberiku informasi dan bantuan kecil. Kami sudah jadi kekasih gelap selama bertahun-tahun, dan nggak ada satu pun orang pernah curiga. Dia penuh tipu daya dan aku suka itu. Dia tertawa saat aku sebut suaminya, lalu mengambil rokok dari tanganku, mengisapnya, dan berkata, “Suamiku memang bodoh. Dia pikir semua yang aku beli itu palsu dan dia percaya aku cuma pakai perhiasan imitasi. Dia sebodoh Aditya, yang nggak sadar apa ya

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status