Sudut Pandang Aditya. Setelah semua orang keluar dari kantorku, aku manfaatkan waktu untuk menelepon beberapa orang lagi dan menyelesaikan beberapa dokumen. Pagi hari berlalu begitu cepat, dan tak lama kemudian Peter datang dan menyeretku keluar untuk makan siang. Saat kami kembali, aku putuskan mampir ke toko roti, berniat buat asistenku agak senang. Rasa penasaran tentang ayah dari putranya membakar dalam pikiranku, tapi aku bisa tunggu sampai dia nggak terlalu tegang untuk menceritakannya padaku.Ketika aku kembali ke kantor, dia sudah duduk di mejanya, bekerja. Aku bertanya tentang anaknya, dan dengan senyum lebar, dia bilang anaknya baik-baik saja dan tetap cerewet seperti biasa. Aku ikut tersenyum dan kembali ke ruanganku.Menjelang akhir hari, aku berjalan ke pintu dan memanggil asistenku. Saat dia masuk, aku mengunci pintu. Matanya membesar melihatku, dan aku memintanya duduk di sofa. Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan untuknya, tapi aku putuskan untuk menundanya sampai be
Sudut Pandang Aditya.Aku duduk di kursiku dan menjawab telepon dengan speaker. Suara tajam langsung terdengar."Aditya, apa-apaan ini kamu renovasi lantai keuangan tanpa persetujuan dariku?!”"Kecilkan suaramu, Jodi. Aku bukan pesuruhmu yang bisa kamu bentak sesukamu, aku bosmu. Dan aku nggak butuh izinmu untuk lakukan apa pun di perusahaanku!”"Ini nggak sopan! Aku baru saja keluar gedung ketika dapat pesan dari Maya yang bilang mulai Senin nanti, divisi keuangan bakal pindah ke lantai 16, satu lantai dengan divisi pemasaran. Ini benar-benar konyol! Keuangan harus bagi lantai dengan departemen lain? Apalagi berbagi dengan pemasaran? Aku sudah coba kembali ke lantai itu, tapi lift-nya nggak berhenti di lantai kita. Sebenarnya ada apa sih?!""Persis seperti yang ditulis di pesan itu. Lantai departemen keuangan akan direnovasi. Ikuti instruksi di email. Mulai Senin, kamu akan kerja di lantai 16. Keuangan dan pemasaran akan bagi lantai untuk sementara, kita nggak punya lantai kosong lain
Aku meninggalkan kantor dengan perasaan nggak percaya atas apa yang baru saja terjadi, tapi itu benar-benar luar biasa.Aku putuskan naik taksi supaya bisa sampai di rumah lebih cepat dan segera melihat anakku. Saat aku tiba, dia langsung berlari ke arahku sambil tersenyum lebar, dengan suara sengau kecilnya berteriak bahagia, "Ibuuu!" Anakku memenuhi hatiku dengan cinta.Minda belum pulang. Aku pun ngobrol sebentar dengan Lina. Dia benar-benar luar biasa. Dia sudah siapkan semuanya, termasuk makan malam dan Panji pun sudah minum obatnya."Lina, aku nggak tahu gimana harus terima kasih sama kamu," kataku tulus."Ah, nggak usah terima kasih segala, Cit. Anakmu itu anak paling gemesin yang pernah aku jaga. Sama sekali nggak ngerepotin, walaupun lagi pilek. Lagi pula, waktu Bu Sasa telepon dan bilang butuh aku jaga cucunya, aku senang banget, di rumah aku sering kesepian." Aku tersenyum mendengar ucapannya. Memang benar, ibu temanku itu menganggap anakku seperti cucunya sendiri, dan dia
Aku tiba di gedung tempat tinggal Aditya dan langsung kagum melihat tempat itu, desainnya sangat indah dan modern. Aku memperkenalkan diri, dan sang satpam mempersilakan masuk. Di dalam lift, pikiranku mulai dipenuhi dengan semua rencana jahil yang akan kulakukan untuk mengganggu bosku.Aku dan Minda begadang semalam untuk pilih baju, sepatu, pakaian dalam, dan merancang apa yang dia sebut sebagai "Strategi Menggoda."Dia membujukku untuk pakai gaun oranye, warna terang yang mencuri perhatian. Katanya warna itu sangat cocok dengan kulitku yang cerah dan rambutku yang gelap, membuatku terlihat bercahaya. Gaunnya sepanjang lutut, pas badan, dengan belahan di kedua sisi yang akan memperlihatkan banyak bagian dari kaki saat aku duduk. Lehernya berbentuk kotak dengan tali pundak yang lebar. Dia memilihkan pakaian dalam putih dari renda dengan pita-pita kecil, sandal hitam bertali tinggi, dan menata rambutku setengah diangkat, membiarkan dua helaian rambut jatuh menghiasi wajah. Riasanku dib
Sambil bekerja berdampingan, aku juga cari kesempatan goda Aditya dengan sentuhan halus sambil melewati kertas, menyilangkan kakiku agar gaunku naik sedikit lebih tinggi, godaan halus. Setiap kali aku "secara nggak sengaja" menyentuhnya, matanya membakarku, seolah memperingatkanku dia nggak akan bertanggung jawab atas tindakannya.Pada satu titik, ketika aku berdiri untuk ambil dokumen yang lebih jauh, aku dengan ringan menyapukan payudaraku ke lengannya, seperti "kecelakaan kecil". Aditya mengerang dan menatapku dengan tegas.Aku meraih dokumen itu dan masih berdiri di samping Aditya, membungkuk sedikit terlalu jauh, membuat payudaraku hampir tumpah keluar dari leherku, lalu berbicara di dekat telinganya, "Bos, rasanya ada yang aneh sama laporan ini."Dia dengan cepat menaruh tangannya di meja, mendorong semua kertas ke samping, hingga dokumen berserakan di lantai. Dia meraih pinggangku dan menempatkanku di atas meja, berdiri dan memposisikan dirinya di antara kakiku. Sambil menekank
Setelah mengumpulkan kembali dokumen yang berserakan, kami mulai menyusunnya satu per satu. Menjelang sore, kami masih belum selesai memeriksa rekening perusahaan, tetapi Aditya menyarankan agar kami istirahat sejenak dan cari makan. Sementara dia terima telepon dari Peter, aku manfaatkan waktu untuk hubungi Minda, memastikan anakku baik-baik saja dan memberi tahunya aku masih ada banyak kerjaan."Cit, santai saja. Panji dan aku baik-baik saja. Kita akan makan malam sambil nonton kartun, lalu tidur. Selesaikan kerjaanmu, tapi sempatkan juga ‘taklukkan bosmu, ya," kata Minda sambil tertawa di ujung telepon."Min, aku serius, kami beneran sibuk," jawabku berusaha terdengar tegas meski sebenarnya nggak berhasil."Cit, istirahat dua jam itu wajib! Lagi pula, jangan sia-siakan usaha aku, aku sudah habis-habisan bantu kamu goda si bos itu," sahut temanku sambil terkekeh puas. "Serius deh, aku dan Panji senang banget bisa habiskan waktu bersama. Kamu tahu aku suka banget merawat dia.""Oke, M
Ketika kami tiba di kamarnya, Adit menaruhku di lantai dan memelukku, menciumku dengan dalam. Bibir kami bertemu, dan aku merasakan tubuhku tergelitik oleh sentuhannya. Lidahnya menyerbu mulutku, dia terasa seperti kopi yang kami minum setelah makan malam. Aku berada di surga, merasakan mulutnya di mulutku dan lidahnya memilikiku secara posesif.Tangannya berada di pinggangku, dia memelukku dalam pelukan yang membuatku merasa terlindungi dan dihargai. Adit menghentikan ciuman kami, menempelkan dahinya ke dahiku, dan dengan mata tertutup mulai berbicara, "Sayang, aku nggak bisa jelasin apa yang terjadi padaku sejak kamu datang. Ini seperti api yang melahapku, aku pengen banget bersamamu setiap detik, aku pengen sentuh kamu dan benar- benar pengen masuk ke dalammu. Aku pengen banget, Citra. Kamu sendiri mau apa?"Matanya terbuka dan terkunci dengan mataku. Tatapan hampir hitam kecokelatan itu menembus jiwaku dan benar-benar melucuti pertahananku, membuatku tertawan dan merindukan sentuh
Aku terkesima dengan kenikmatan yang dirasakan Aditya. Aku pun pastikan untuk membersihkannya semuanya dengan mulutku. Ketika aku menjilat bibirku, Aditya menatapku dengan ekspresi mabuk, menampilkan senyum yang indah. Dia mengusap ibu jarinya di pipiku dan menarikku ke pelukannya, berbisik di telingaku, “Kamu benar-benar luar biasa! Lezat! Dan sangat bersemangat! Tapi sekarang, aku mau kamu baring aja di ranjang ini." Dia menggendongku dan menaruhku di ranjang, menggerakkan tangannya ke seluruh tubuhku, menatapku seolah-olah aku seorang dewi.Lalu dia berbaring di atasku dan mulai menciumku sembari menyentuh seluruh tubuhku dengan tangannya. Dia gerakkan tangannya ke area intimku dan memasukkan satu jari, bergerak perlahan masuk dan keluar sebelum menambahkan jari kedua."Sialan, Citra, kamu sudah sangat siap untukku. Aku nggak bisa tolak!" Dia berkata dengan mata berbinar, dan aku merasa dia terangsang sepenuhnya lagi. "Aku ingin bercinta denganmu dalam banyak posisi, tapi aku mau m
Aku memandang sekeliling ruangan itu, nggak mengerti apa-apa. Selain aku dan bosku, Pak Guntur, ada juga Minda, Heru, Aditya, Peter, Robin, Maya, dan Alex.‘Apa maksudnya semua ini?’ Aku menatap Minda, dan dia mengangkat bahu, sama bingungnya denganku. Heru menarik sebuah kursi dan memberi isyarat agar aku duduk di sebelah Aditya. Dia bercanda?'Aku mulai curiga kalau ini hanyalah trik Aditya lagi supaya bisa bicara denganku. Tentu saja dia nggak sungguh-sungguh mau beli sistem itu. Tapi aku akan tetap profesional dan lakukan yang terbaik, setidaknya bosku bisa menilai kinerjaku.“Citra, tolonglah, aku tahu kamu profesional hebat dan bisa atasi ini.” Heru berkata seolah-olah membaca pikiranku. “Aku minta kamu datang karena kamu pernah kerja di Grup Mahadi dan paham dengan masalah yang sedang mereka hadapi.”“Baik, Pak. Saya akan bantu sebisa mungkin.” Aku pun duduk dan menjaga sikap profesional.Pak Guntur mulai mempresentasikan aplikasinya, dan aku menambahkan beberapa pandangan dan o
Aku benar-benar capek. Minggu ini terasa kacau dan aku nggak bisa tidur dengan nyenyak, setiap malam menangis hingga tertidur. Bicara dengan Aditya kemarin juga nggak membantu, justru buat aku semakin hancur.“Selamat pagi, Citra! Apa kabar?” Minda masuk ke dapur dan memegang wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dengan seksama.“Aku benar-benar berantakan, Min. Riasan ini cuma tutupin lingkaran hitam di bawah mata. Aku capek banget!”Saat ini kami mendengar bel rumah berbunyi, dan Minda pergi menjawabnya sementara aku menyuapi Panji sarapan. Aku teralihkan memperhatikan si kecil, dia adalah cinta terbesarku, dan hanya dengan menatapnya saja, hatiku bisa tenang. Aku tahu aku akan kuat dan terus maju karena dia. Dia menatapku dengan senyum lebar serta mata hitam kecokelatan itu, membuat hatiku meleleh oleh cinta.“Kamu anak tercinta ibu, Nak!” Aku berkata padanya dan dia bertepuk tangan sambil mengirim ciuman. Senyumku semakin lebar.“Cit, ini untukmu.” Minda datang dari pintu memba
Sudut Pandang Aditya.Aku benar-benar kaget ketika Heru kasih aku segelas bir.“Minum ini, bisa buat kamu tenang. Setelah kamu tenang, kamu bisa cerita ke aku apa yang terjadi,” kata Heru dengan nada serius sambil mengambil telepon. “Guntur, aku kasih Citra libur untuk sisa hari ini. Terima kasih ya.”Heru menutup telepon, duduk di depanku, dan minum bersamaku. Setelah tiga kali tegukan, akhirnya aku bisa berkata, “Aku kacaukan semuanya, Heru, aku ngerusak satu-satunya kesempatan yang aku punya untuk bahagia. Aku cinta Citra tapi aku malah kacaukan semuanya. Sekarang dia benci aku.”Heru menyesap birnya lagi dan berbicara dengan lembut, “Sejak kapan kamu jadi pengecut yang nyerah hanya karena satu pintu tertutup?”Aku memandangnya seolah-olah mendadak dia jadi aneh. Dia benar-benar nggak mengerti kalau Citra membenciku.“Nanti aku akan telepon Peter dan kita bertiga akan minum sampai mabuk di rumahku,” katanya sambil berdiri. “Mana kunci mobilmu?”Sambil menyerahkan kunci mobilku, Heru
“Citra, Pak Heru mau kamu segera ke kantornya,” kata bos baruku yang muncul di bilik kerja tempatku duduk. “Kamu bisa pergi sekarang. Tugas yang aku kasih sudah selesai?”Aku memandang pria bertubuh pendek dan berisi itu, dengan kacamata bulat bergagang motif kura-kura, lalu tersenyum. Dia memang sedikit nyentrik, tapi sangat baik dan sering bersenandung seharian di kantor.Aku ditempatkan di departemen pemasaran, di mana seluruh lantainya terbuka dengan bilik kerja yang diatur berkelompok berisi empat orang. Satu-satunya ruangan tertutup hanya milik atasanku. Suasananya sibuk dan penuh warna, dipenuhi dengan suara, semua orang sibuk berbicara, entah lewat telepon atau satu sama lain. Aku merasa lingkungan ini santai dan menarik, sepertinya aku akan bisa beradaptasi dengan baik. Bahkan aku sudah punya satu teman. Tapi sekarang, setelah dipanggil oleh Pak Heru, aku mulai khawatir kalau dia berubah pikiran dan nyesal mempekerjakanku.Aku mendongak dan menyerahkan beberapa folder kepada b
Sudut Pandang Aditya.Aku kembali ke kantor dengan perasaan terluka seperti binatang yang terkurung. Aku benar-benar putus asa. Aku pengen banget kejar Citra dan mohon agar dia maafin aku. Tapi aku nggak bisa begitu saja melakukannya. Dia sedang kerja di perusahaan Heru dan aku nggak bisa sembarangan masuk ke sana. Itu nggak sopan dan dia akan makin benci aku.Tapi aku juga nggak sanggup tunggu sampai jam kerja selesai. Jadi, aku putusin untuk kejar dia. Aku keluar kantor dan kasih tahu Carisa kalau aku nggak akan kembali hari itu. Aku ingin menyeret ular itu keluar dan usir dia dari gedungku, tapi aku nggak bisa lakukan itu juga. Aku harus tunggu... Itu membuatku gila.Aku pergi ke perusahaan Dunia Liantar dengan ribuan pikiran berputar dalam kepalaku. Tapi aku berniat minta bantuan Heru agar bisa bicara dengan Citra tanpa buat dia malu.“Selamat siang, Pak Aditya. Ada yang bisa saya bantu?” Sekretaris Heru selalu bersikap profesional, meski dia kelihatan heran karena aku tiba-tiba da
Sudut Pandang Aditya.Kemarin, aku datang ke kantor dengan kepala pusing akibat mabuk parah dan sama sekali nggak pengen lakuin apa pun. Maya, Alex, Patrick, dan Robin seharian bela Citra. Mereka bilang nggak percaya kalau Citra yang kirim email-email itu dan khianati aku seperti itu. Mereka bahkan tegur aku karena nggak mau dengar dia dulu, dan sekarang semuanya lagi tunggu hasil audit untuk lihat apa yang akan terungkap. Maya pergi ke departemen keuangan untuk ambil dokumen-dokumen yang katanya sedang diverifikasi. Saat dia di sana, Jodi telepon aku marah besar, bicara ngawur di telingaku. Tapi aku terlalu lelah untuk peduli. Aku cuma bilang, serahkan semua pada Maya kalau dia masih mau pertahankan pekerjaannya.Maya bawa dokumen-dokumen itu ke auditor. Aku bilang ke Alex semua ini percuma karena dokumennya memang ada dan Jodi sudah kasih itu semua, artinya Carisa nggak mungkin bocorin informasi. Tapi Alex peringatkan aku kalau dia sudah punya salinan dokumen sebelumnya, lebih baik
Keesokan harinya, kami berangkat pagi-pagi. Saat tiba di kantor, Pak Heru memanggil kami masuk ke ruangannya.“Citra, apa kabar? Aku sudah bicara dengan Peter, dan dia sangat khawatir. Dia cerita sedikit tentang apa yang terjadi, nggak terlalu rinci, tapi sepertinya Aditya memang bertindak bodoh.”“Aku nggak yakin dia bodoh atau nggak, Pak Heru. Tapi yang jelas, aku nggak lakuin hal yang dituduhkan padaku,” jawabku. Aku mulai membayangkan beliau berubah pikiran tentang mempekerjakanku.“Aku yakin kamu nggak lakuin itu, Citra. Aku sudah lama kenal Keluarga Lurdi. Mereka nggak akan bela kamu kalau mereka nggak yakin sepenuhnya dengan kejujuranmu! Dan kalau Omar bilang kamu orang paling jujur di dunia, aku percaya itu.” Heru tersenyum hangat padaku. “Sayangnya, aku nggak bisa kasih posisi sebagus sebelumnya, tapi aku butuh orang tambahan di departemen penjualan. Gajinya cukup baik dan aku yakin kamu bisa tangani pekerjaannya dengan mudah. Jadi kalau kamu mau, pekerjaan ini milikmu.”Aku t
Aku merasa benar-benar kehilangan arah, nggak tahu harus berbuat apa. Minda pergi pagi-pagi, bersikeras untuk antar Panji ke tempat penitipan anak, sementara Lina bersikeras menemaniku seharian. Aku merasa itu ide yang bagus, dia orang yang luar biasa, memberiku banyak nasihat dan berkata bahwa tidak ada kesulitan yang berlangsung selamanya.Minda sempat bilang sebelum pergi kalau aku tak perlu melakukan apa-apa hari ini. Katanya dia akan bicara dengan ayahnya, dan malam ini kami akan putuskan langkah selanjutnya. Tapi entah kenapa, aku merasa nggak nyaman. Rasanya aku sudah terlalu sering ngerepotin Keluarga Lurdi.Aku dan Lina makan siang bersama, dan dia bercerita tentang anak-anak serta cucu-cucunya, yang ternyata nggak tinggal di Kota Pekanida. Semuanya tinggal terlalu jauh, jadi dia nggak bisa bertemu mereka setiap minggu. Makanya dia bilang betapa bahagianya dia bisa merawat Panji.Sore harinya, dia pergi ke pasar dan bilang akan jemput Panji setelah itu. Dia menyuruhku istiraha
Sudut Pandang Jodi. Aku bersandar di ranjang dan menyalakan sebatang rokok, meniupkan asapnya sambil memandangi gimana asap itu menghilang di udara. Aku tersenyum dan berkata pada wanita di sampingku, “Selamat, sayang. Lagi-lagi kamu luar biasa banget. Nanti aku transfer uang ke rekeningmu, beli sesuatu yang kamu suka.” Aku tersenyum geli, membayangkan suaminya yang percaya dia wanita suci. “Aku cuma heran, gimana suami bodohmu itu nggak curiga dari mana asal uangmu?”Aku menatap selingkuhanku yang berbaring telanjang di sampingku. Ini bukan pertama kalinya dia memberiku informasi dan bantuan kecil. Kami sudah jadi kekasih gelap selama bertahun-tahun, dan nggak ada satu pun orang pernah curiga. Dia penuh tipu daya dan aku suka itu. Dia tertawa saat aku sebut suaminya, lalu mengambil rokok dari tanganku, mengisapnya, dan berkata, “Suamiku memang bodoh. Dia pikir semua yang aku beli itu palsu dan dia percaya aku cuma pakai perhiasan imitasi. Dia sebodoh Aditya, yang nggak sadar apa ya