Beberapa hari berikutnya, Cindy datang dan mengancam Allaric. Wanita itu kembali datang dan membuat keributan di kantor.
"Aku ingin bertemu dengan Allaric. Pria brengsek itu telah menganjurkan semua impianku," seru Cindy lantang.
"Tapi, tuan sedang tidak ada di tempat, Nona," sahut salah satu resepsionis.
"Aku tidak percaya, aku tau kalian bersekongkol. Biarkan aku menemuinya, aku akan meminta dia mengembalikan semua seperti semula," ucap Cindy.
"Bagaimana kami bisa membawa Anda menemui tuan. Sedangkan, tuan tidak berada di tempat," timpal yang lain.
"Kemana dia, katakan padaku. Aku akan menemuinya di sana," lanjut Cindy. Tapi, sayangnya kedua petugas resepsionis itu tidak mau memberitahu di mana Allaric. Sejak kejadian, dimana Cindy mengancam Allaric dengan photo-photo syur mereka. Sejak detik itu pula, Allaric menghentikan semua kontrak yang berhubungan dengan model seksi itu.<
Allaric tertegun mendengar penuturan Alan. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar."Jadi, maksudmu. Amora itu...." Allaric tidak melanjutkan kata-katanya, sebab Alan telah lebih dahulu menganggukkan kepalanya."Dari mana kau tau?" Tanya Allaric."Clara," jawab Alan singkat."Clara?" Allaric sedikit terkejut."Ternyata, yang menghubungiku kemarin adalah Clara." Alan menjeda penjelasannya, kemudian. "Semula aku tidak percaya. Tapi, akhirnya ia mengirimkan bukti itu padaku. Lengkap dengan tempat dimana perubahan dilakukan." Alan menunjuk ke arah map yang ada di tangan Allaric.Rahang Allaric mengeras, ia meremas berkas yang ada di tangannya."Batalkan semua kontrak kerja yang bersangkutan dengannya. Aku tidak mau melihatnya ada di sekelilingku," kata Allaric memberi perintah.Alan menundukkan kepalanya, kemudian ia pun meninggalkan Allar
Allaric akhirnya tahu, pa yang penyebab Kirana sering tersenyum setiap melihatnya. Itu membuat Allaric kesal sekaligus malu."Dari mana, Kirana tau masalahku dengan manusia jadi-jadian itu?" tanya Allaric pada Alan dengan kesal."Saya tidak tau," jawab Alan singkat."Tidak mungkin, kau tidak tau," timpal Allaric."Saya memang tidak tahu, Tuan," sahut Alan meyakinkan."Jadi, bagaimana dia bisa tau?" tanya Allaric.Alan menggeleng pelan. Allaric menghela napas, pelan."Bagaiman caraku menunjukkan wajahku padanya nanti?" gumam Allaric.Alan tertunduk, memikirkan solusi untuk bos-nya.Di mansionnya, Kirana sedang berbahagia. Sebab, beberapa hari sejak kejadian hari itu. Allaric tidak berani menunjukkan wajahnya pada Kirana."Aku yakin, saat dia kembali nanti. Dia akan salah tingkah saat bertemu denganku," kata Kiran
Kirana diam-diam, membeli alat tes kehamilan. Ia meminta Cecilia, orang kepercayaannya untuk membelinya. Setelah mendapatkannya, Kirana segera masuk ke kamar mandi dan mencoba alat itu.Mata Kirana terbelalak, saat ia melihat dua garis merah yang tertera di sana. Kirana bersandar di dinding dan luruh ke lantai. Kirana menyalakan kran shower dan menangis di bawah guyuran shower.Cecilia yang cemas, sebab Nyonyanya tidak kunjung keluar dari kamar mandi. Segera menerobos masuk ke kamar mandi."Nyonya ... Apa yang terjadi? Mengapa, Anda duduk di sini?" Tanya Cecilia panik. Ia pun membantu Kirana berdiri dan membawanya ke luar dari kamar mandi.Dengan sigap Cecilia mengambil handuk dan mengeringkan tubuh Kirana. Ia segera mengganti pakaian Kirana dan menyelimutinya. Ia menatap lirih ke arah majikannya dan mengambil alat tes kehamilan dari tangan Kirana."Nyonya, Anda ...?" Cecilia tid
Kesehatan Kirana kembali menurun, itu membuat Allaric semakin memperlihatkan kekhawatirannya. Allaric bahkan memaksa Kirana untuk segera ke dokter, namun Kirana tetap bersikeras menolaknya."Lebih baik kau memeriksakan dirimu ke Dokter, Kirana," ucap Allaric."Aku bilang tidak perlu, aku hanya flu biasa," sahut Kirana."Tubuhnya sudah lemas seperti itu, kau masih bilang flu biasa?" kata Allaric kesal."Tubuhku lemas, karena aku belum makan," kilah Kirana. Ia tidak mau kalau sampai, Allaric tahu keadaannya yang sebenarnya. Saat ini, Kirana berada di trimester pertama kehamilannya. Semua rasa hampir tidak bisa ia rasakan. Ia bisa menikmati makanan apa saja, namun tidak lama setelahnya ia akan memuntahkannya kembali."Kalau kau tidak mau ke dokter, maka aku yang akan meminta dokter datang ke mari." Allaric berlalu meninggalkan Kirana di kamarnya.Kirana yang panik, segera mengejar Allaric dan mencoba untuk menahannya."Tunggu!" tahan Kirana.
"Nona, Kirana," kata seseorang yang menyapa Kirana, saat ia baru saja keluar dari klinik dokter Bertha."Ya, saya," sahut Kirana.Wanita itu berjalan mendekati Kirana dan segera mengulurkan tangannya."Namaku, Cindy," katanya memperkenalkan diri.Kirana menera uluran tangan Cindy. "Apa aku mengenalmu?""Mungkin, kau tidak mengenalku. Tapi, aku mengenalmu," kata Cindy lagi.Kirana menatap wajah Cindy bingung."Aku juga tau, kalau kau juga wanita yang spesial di hati Allaric," lanjut Cindy."Aku tidak mengerti, apa maksudmu? Jika, kau hanya mau mengatakan agar aku menjauhi Allaric dan meninggalkannya. Maka, aku akan mengatakannya padamu. Kalau aku, sudah berusaha untuk pergi dari kehidupannya. Tapi, dia tidak mau melepaskan," terang Kirana panjang lebar.Kirana ingin meninggalkan Cindy, namun wanita itu segera me
Kirana kembali ke mansion, tanpa menghiraukan sapaan dari para pelayan, ia berjalan langsung masuk ke kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Kirana kembali mengingat, dua tubuh yang penuh keringat. Sedang bergumul di atas ranjang, yang juga sering ia gunakan.Kirana meremas kasar rambutnya, berusaha untuk mengusir dan menghapus pemandangan yang baru saja ia saksikan. Kirana kembali mengingat, apa yang dikatakan Cindy? Wanita itu berkata benar, Allaric memang masih seperti dulu. Sampai kapanpun, pria itu tidak akan pernah bisa berubah.Kirana merenungi kebodohannya. Mengapa ia, cepat percaya dengan semua yang Allaric katakan? Kirana pun memutuskan untuk pergi dari tempat ini. Ia segera beranjak kembali dari duduknya dan berjalan menuju pintu.Ceklek....Kirana menghentikan langkahnya, saat melihat beberapa pelayan yang menyapanya. Kirana hanya tersenyum tipis, sembari menutup pintu d
Allaric membuka lemari milik Kirana. Namun, anehnya tak satupun barang milik Kirana bergerak dari tempatnya. Semua masih tersusun rapi, pada tempatnya bahkan tidak ada yang berkurang.Allaric mengepalkan tangannya, ia kembali memeriksa lemari yang lainnya. Bahkan, perhiasan saja, masih berada di tempatnya. Allaric teringat akan id card, yang diminta Kirana tempo hari. Rahang Allaric mengeras, ia mengertakan giginya kesal."Jadi, selama ini. Kau hanya berpura-pura, untuk menarik simpati serta untuk mendapat kepercayaan dariku," gumam Allaric kesal.Alan yang baru tiba, terkejut melihat kondisi kamar yang sudah seperti diterjang badai."Ada apa?" tanya Alan."Dia kabur, tanpa membawa apapun selain apa yang ia kenakan dan tanda pengenalnya," jawab Allaric geram."Kau memberikannya?" tanya Allaric lagi."Kau pikir aku gila, jika memberikannya
Allaric kembali mengunjungi club' malam, untuk minum hingga mabuk. Ia ingin menghibur kesepiannya. Semenjak kepergian Kirana, Allaric merasa enggan untuk menetap di mansionnya. Bayang-bayang Kirana terusa saja menghantuinya, setiap kali ia berada di mansionnya. Masih teringat jelas senyum yang terukir di wajah wanita itu, saat bersama Allaric.Kepergian Kirana pun, seperti membawa separuh jiwa Allaric. Ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Di dalam club' pun, ia tidak mau ditemani oleh siapapun. Ia hanya ingin sendiri, meratapi kesedihannya. Allaric benar-benar hancur tanpa Kirana.Di tengah kegalauan hatinya, seseorang mendekatinya."Apa ini? Masalah besar apa, yang menimpa seorang Allaric hingga bisa hancur seperti ini?" ucap orang itu.Allaric menatap nanar, ke arah sumber suara."Mau apa kau?" tanya Allaric ketus."Aku hanya datang untuk menghibur diri. Ta
Kirana menahan emosinya, saat mendapat laporan dari pengasuh kedua buah hatinya. Wanita bernama Darla, itu mengatakan. Jika, seseorang sering menemui Carmen dan Carlo. Saat ia menanyakan, siapa orangnya pada kedua anak kembarnya. Ia terkejut, ketika tahu nama yang disebut Carlo."Darla, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Jika, saat aku tidak di rumah. Aku mau kau mengawasi si kembar. Aku tidak mau, sampai pria itu menemui mereka lagi," kata Kirana pada pengasuhnya.Darla mengangguk mengerti. Kirana berencana, akan menemui Davi untuk membicarakan hal ini. Ia tidak mau, berhubungan dengan keluarga itu lagi. Setelah apa yang terjadi, Kirana masih mengingat setiap luka, yang keluarga Davi berikan padanya.Setelah semuanya siap, Kirana segera berpamitan pada kedua anaknya. Ia tetap memperingatkan Darla lagi, tentang hal tadi. Ia juga berpesan pada anak-anaknya, untuk tidak berbicara pada orang asing.****Sementara di kediamannya, Davi terlihat bahagia saya mendapat satu pesan dari Kiran
Kirana berang, saat ia tahu kalau Davindra menipunya. Pria yang pernah mengisi hatinya dulu, yang sengaja mengajaknya keluar dengan alasan untuk membicarakan bisnis mereka. Ternyata, pria itu menggunakan kesempatan itu untuk merayu Kirana kembali."Jadi, kau mengajakku ke mari hanya untuk membicarakan itu?" Seru Kirana lantang."Na, dengarkan aku. Aku hanya ingin berbicara padamu secara pribadi," kata Davi, berusaha untuk menjelaskan pada Kirana."Apa lagi yang ingin kamu bicarakan? Sudah tidak ada lagi yang harus dibicarakan," tegas Kirana."Na, aku hanya ingin kita bisa seperti dulu," ucap Davi lirih."Tidak!" tegas Kirana.Davindra tercegat medengar suara tegas Kirana."Aku tidak mau, memulai sesuatu yang telah aku lupakan," lanjut Kirana."Apa salahnya, jika mencobanya, Na," pinta Davi lirih.Sampai saat ini, Davindra masih mencintai Kirana. Sampai kapanpun, hanya Kirana yang ada di dalam hati Davindra.Setelah perceraiannya bersama Laura selesai. Davindra berusaha mencari keberad
Kirana sedang berjanji untuk bertemu salah satu kliennya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya klien yang di maksud tiba. Kirana hampir tidak percaya, siapa kliennya kali ini.Davindra datang bersama Papanya. Ayah dan anak itu sempat tidak menduga, jika yang menjadi utusan adalah Kirana."Selamat siang, Tuan Oscar dan Tuan Davindra." Kirana mengulurkan tangan dan menjabat keduanya, secara bergantian."Anda Nona Kirana, utusan perwakilan dari perusahaan X?" tanya Oscar."Benar, Tuan. Silahkan duduk," ucap Kirana mempersilahkan tamunya."Saya kira Anda, ini seseorang yang...." ucapan Oscar di potong Kirana."Tua dan jelek," potong Kirana.Oscar tersenyum tidak enak."Kita langsung saja." Kirana membuka map yang ia bawa dan mengunjukkan kepada Oscar dan putranya. Kirana mulai menjelaskan semuanya pad
"Siapa namamu?" tanya Allaric pada seorang anak berumur lima tahun."Namaku, Carlo," jawabnya.Allaric sempat menatap dalam wajah lugu dan polos itu. Mata coklat dan senyumnya, mampu menembus tepung hati Allaric. Ada rasa nyaman dan damai saat ia menatapnya. Mata itu juga mengingatkan Allaric pada seseorang di masa lalu."Carlo, kau di sini bersama orang tuamu?" tanya Alan."Tidak! Aku ke sini bersama teman-teman dan guruku," jawab Carlo."Kau salah satu dari mereka?" Mata Allaric tertuju pada sekelompok anak kecil yang sedang bermain bersama gurunya.Carlo mengangguk cepat."Apa yang kau lakukan di sini?" terdengar suara cempreng, namun penuh dengan ketegasan.Kursi roda Allaric berputar ke arah sumber suara. Kembali mata Allaric di suguhi pemandangan yang menyejukkan matanya."Maafkan saudaraku, Tuan," ucap Carmen.
Sudah tiga hari, Kirana sampai. Hari ini, ia bersiap untuk ke kantor. Perempuan itu segera menyelesaikan urusan kantornya, kemudian bergegas untuk pulang. Ia harus segera menjemput anak-anaknya, yang ia titipkan ke penitipan anak.Kirana yang baru saja tiba, memang mengalami sedikit masalah dalam mencari pengasuh untuk kedua buah hatinya. Ia sangat teliti dalam memilih, seorang yang akan dia percayakan untuk menjaga kedua anaknya."Momm, ada baiknya jika kami masuk sekolah," cetus Carmen.Mata Kirana melirik ke arah putrinya, kemudian melemparkan pandangan pada kembarannya."Kamu mau, sekolah di sini?" sela Carlo.Carmen mengangguk. "Dari pada setiap hari, di penitipan. Lebih baik sekolah, kan?"Kirana tertegun sejenak. Apa yang dikatakan, Carmen ada benarnya. Jika, keduanya dimasukkan ke sekolah, mungkin Kirana akan tenang bekerja. Setidaknya, ia tidak perlu berusaha paya
"Apa, Tuan? Anda ingin mengirim saya ke sana?" tanya Kirana terkejut."Tidak ada orang lain, yang bisa saya andalankan selain kamu Kirana. Dengan kemampuan yang kamu punya, saya yakin kamu bisa menangani masalah di kantor cabang," jelas atasannya."Tapi, saya tidak mau ke sana," tolak Kirana. "Anda bisa mengirim saya kemanapun, asal jangan ke sana.""Mengapa? Apa kamu ada masalah, dengan tempat itu?" tanya bos-nya.Kirana terdiam, die enggan menjelaskannya pada sang atasan."Bersiaplah. Lusa, aku akan mengatur keberangkatanmu," putus Bos-nya.Kirana melangkah gontai, meninggalkan ruangan Bos-nya. Ia duduk dan kembali mengingat kejadian di tempat itu. Kirana memutuskan untuk pulang lebih cepat dan saat tiba di rumah. Ia lebih memilih masuk ke kamarnya, hingga saat makan malam.Dua hari kemudian, mau tidak mau. Kirana harus berangkat juga, ia meminta waktu untuk mempersiapkan segalanya. Mengingat ia memiliki dua anak kembar, yang pasti
Allaric kembali mengunjungi club' malam, untuk minum hingga mabuk. Ia ingin menghibur kesepiannya. Semenjak kepergian Kirana, Allaric merasa enggan untuk menetap di mansionnya. Bayang-bayang Kirana terusa saja menghantuinya, setiap kali ia berada di mansionnya. Masih teringat jelas senyum yang terukir di wajah wanita itu, saat bersama Allaric.Kepergian Kirana pun, seperti membawa separuh jiwa Allaric. Ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Di dalam club' pun, ia tidak mau ditemani oleh siapapun. Ia hanya ingin sendiri, meratapi kesedihannya. Allaric benar-benar hancur tanpa Kirana.Di tengah kegalauan hatinya, seseorang mendekatinya."Apa ini? Masalah besar apa, yang menimpa seorang Allaric hingga bisa hancur seperti ini?" ucap orang itu.Allaric menatap nanar, ke arah sumber suara."Mau apa kau?" tanya Allaric ketus."Aku hanya datang untuk menghibur diri. Ta
Allaric membuka lemari milik Kirana. Namun, anehnya tak satupun barang milik Kirana bergerak dari tempatnya. Semua masih tersusun rapi, pada tempatnya bahkan tidak ada yang berkurang.Allaric mengepalkan tangannya, ia kembali memeriksa lemari yang lainnya. Bahkan, perhiasan saja, masih berada di tempatnya. Allaric teringat akan id card, yang diminta Kirana tempo hari. Rahang Allaric mengeras, ia mengertakan giginya kesal."Jadi, selama ini. Kau hanya berpura-pura, untuk menarik simpati serta untuk mendapat kepercayaan dariku," gumam Allaric kesal.Alan yang baru tiba, terkejut melihat kondisi kamar yang sudah seperti diterjang badai."Ada apa?" tanya Alan."Dia kabur, tanpa membawa apapun selain apa yang ia kenakan dan tanda pengenalnya," jawab Allaric geram."Kau memberikannya?" tanya Allaric lagi."Kau pikir aku gila, jika memberikannya
Kirana kembali ke mansion, tanpa menghiraukan sapaan dari para pelayan, ia berjalan langsung masuk ke kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Kirana kembali mengingat, dua tubuh yang penuh keringat. Sedang bergumul di atas ranjang, yang juga sering ia gunakan.Kirana meremas kasar rambutnya, berusaha untuk mengusir dan menghapus pemandangan yang baru saja ia saksikan. Kirana kembali mengingat, apa yang dikatakan Cindy? Wanita itu berkata benar, Allaric memang masih seperti dulu. Sampai kapanpun, pria itu tidak akan pernah bisa berubah.Kirana merenungi kebodohannya. Mengapa ia, cepat percaya dengan semua yang Allaric katakan? Kirana pun memutuskan untuk pergi dari tempat ini. Ia segera beranjak kembali dari duduknya dan berjalan menuju pintu.Ceklek....Kirana menghentikan langkahnya, saat melihat beberapa pelayan yang menyapanya. Kirana hanya tersenyum tipis, sembari menutup pintu d