Hujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan suasana yang kelam. Kirana berdiri di depan jendela penginapan, memandang tetesan air yang jatuh tanpa henti. Di baliknya, Adrian duduk di sofa kecil, mengamati berkas-berkas yang menumpuk di meja. Setiap dokumen yang mereka temukan di gudang seolah menjadi potongan puzzle yang perlahan menyusun gambaran besar kejahatan yang dilakukan Rahman dan jaringannya. “Kamu yakin dengan semua ini, Adrian?” tanya Kirana, suaranya hampir tenggelam dalam suara rintik hujan. Adrian mendongak dari dokumen yang tengah ia baca. Matanya memancarkan keyakinan, meskipun terlihat lelah. “Ini bukan lagi soal yakin atau tidak. Kita tidak bisa mundur. Kalau kita berhenti sekarang, mereka akan terus melakukan kejahatan ini tanpa ada yang menghentikan.” Kirana melangkah mendekat, duduk di samping Adrian. Ia menatapnya dalam-dalam, mencoba memahami keputusan yang telah mereka ambil. “Aku hanya ingin memastikan kamu tahu risikonya. Kita bisa kehilangan segalanya
Ledakan yang mengguncang malam itu membuat Adrian, Kirana, dan Bima langsung terjaga dari kesibukan mereka. Bunyi alarm gedung tempat mereka bersembunyi mulai berdering, menambah suasana tegang.“Apa itu?” tanya Kirana, suaranya bergetar. Ia segera berlari ke jendela, tapi Adrian menariknya kembali sebelum ia sempat melihat ke luar.“Jangan terlalu dekat dengan jendela! Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi,” kata Adrian tegas.Bima, yang sudah mempersenjatai dirinya dengan apa yang ia temukan di ruangan, berdiri di dekat pintu. “Kita harus keluar dari sini sekarang. Kalau mereka tahu kita di sini, ini bisa jadi jebakan.”Adrian mengangguk setuju. “Ambil semua file penting. Kirana, kau bawa hard disk itu. Aku dan Bima akan memastikan jalan keluar aman.”Kirana, meskipun masih ketakutan, segera mengemasi dokumen dan perangkat elektronik yang menyimpan bukti mereka.Di luar gedung, suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Mereka tahu waktu mereka tidak banyak.Adrian membuka pintu
Kirana membuka matanya perlahan, mendapati sinar matahari pagi yang hangat menyusup melalui celah-celah tirai. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasakan ketenangan meski hanya sesaat. Ia melirik ke arah Adrian yang tertidur di sofa kecil dekat jendela. Ekspresi wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lebih lembut dalam lelap, seolah semua tekanan yang mereka hadapi semalam larut dalam mimpi sementara.Perlahan, Kirana bangkit dari tempat tidurnya. Ia merapikan selimut yang semalam ditaruh Adrian di tubuhnya, tanda perhatian kecil yang membuat Kirana tersenyum. Langkahnya membawanya ke meja kecil di sudut ruangan, tempat secangkir kopi dingin yang belum disentuh Adrian masih terletak. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai menyeduh kopi baru. Aroma kopi segera memenuhi udara, memberi suasana pagi yang lebih menenangkan.Tak lama, Adrian terbangun karena aroma itu. Ia mengusap wajahnya, lalu tersenyum tipis saat melihat Kirana sedang mengaduk kopi di dapur kecil. “Pagi yang
Adrian Hartanto, CEO NextWave, duduk di ruang rapat kaca dengan ekspresi dingin. Dia baru saja menyelesaikan presentasi strategi pertumbuhan perusahaan untuk kuartal berikutnya, dan ruangan itu penuh dengan keheningan tegang. Para manajer senior mengangguk, mencatat setiap detail, terlalu takut untuk mempertanyakan idenya. Adrian selalu perfeksionis, seorang pemimpin yang tidak pernah menerima kegagalan sebagai jawaban.Namun, di balik tatapan tajamnya, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. NextWave, startup yang ia dirikan dari nol, sedang menghadapi tekanan besar. Sebuah proyek besar—peluncuran platform teknologi baru yang diharapkan akan menjadi titik balik perusahaan—sedang tertunda, dan ini bisa memengaruhi reputasi mereka di pasar. Dia tahu bahwa dia membutuhkan orang baru untuk memimpin proyek ini, seseorang yang bisa berpikir di luar kebiasaan dan tidak takut mengambil risiko.Di saat itulah, ia mendengar ketukan di pintu. Sekretarisnya, Laila, masuk dengan membawa berkas.“Pak Ad
Kirana menarik napas panjang di depan pintu kaca besar bertuliskan “NextWave - Innovate Your Future.” Hari pertamanya sebagai project manager resmi dimulai, dan meski ia berusaha terlihat tenang, dadanya berdebar. Kantor ini jauh lebih modern daripada tempat kerjanya sebelumnya—dengan ruang terbuka, meja-meja minimalis, dan karyawan yang sibuk dengan laptop masing-masing.Saat masuk, Laila, sekretaris Adrian, menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi, Kirana. Pak Adrian ingin bertemu Anda sebelum Anda mulai.”Tentu saja, pikir Kirana sambil tersenyum tipis. Dia sudah menduga akan ada sesi penyambutan yang lebih menyerupai ujian daripada perkenalan.Kirana mengikuti Laila menuju ruang rapat utama. Ketika pintu terbuka, Adrian sudah duduk di ujung meja, mengenakan jas abu-abu yang sempurna seperti biasanya, dengan ekspresi serius yang tampaknya sudah menjadi ciri khasnya.“Selamat datang di NextWave,” katanya singkat, tanpa basa-basi. “Saya ingin Anda tahu bahwa proyek ini a
Hari pertama Kirana di tim NextWave telah usai, tapi malam itu kepalanya dipenuhi daftar tugas yang belum selesai. Pagi harinya, Kirana tiba di kantor lebih awal. Ia yakin, untuk mengelola tim dengan baik, ia harus memulai dengan memberikan contoh. Namun, setibanya di sana, suasana kantor sudah lebih sibuk dari yang ia duga.Amara terlihat asyik mendiskusikan desain antarmuka dengan Johan, sementara Rendy mengetik dengan cepat di laptopnya, ekspresinya serius seperti biasa. Arif, yang tampak ceria, sedang membagi hasil analisis awal kepada Tina. Kirana merasa lega melihat semangat awal ini, tapi ia tahu itu hanyalah permukaan.“Pagi, Mbak Kirana!” sapa Arif dengan semangat. “Saya sudah menyiapkan laporan kecil untuk analisis kebutuhan klien. Ada beberapa poin yang sepertinya bisa kita tambahkan.”Kirana tersenyum dan menerima dokumen itu. “Terima kasih, Arif. Kerja bagus.”Namun, saat ia mulai membaca laporan itu, langkah cepat seseorang terdengar mendekati mejanya.“Pagi, Kirana,” uj
Pagi di kantor NextWave dimulai dengan lebih ramai dari biasanya. Kirana memperhatikan anggota timnya terlihat lebih fokus, meskipun ada lingkaran gelap di bawah mata beberapa dari mereka. Itu bukan pertanda baik—tekanan pekerjaan mulai terlihat. Namun, Kirana tahu ia tidak bisa menunjukkan kelemahan. Sebagai pemimpin, ia harus menjaga semangat mereka tetap tinggi.Saat memulai briefing pagi, Kirana menatap satu per satu anggota timnya. “Kita telah membuat kemajuan yang signifikan dengan simulasi data, dan itu semua berkat kerja keras kalian. Tapi kita belum selesai. Hari ini, saya ingin memastikan semua komponen sudah sinkron sebelum data asli dari vendor tiba. Johan, bagaimana perkembangan sistem backend?”Johan mengusap wajahnya yang terlihat letih. “Backend sudah hampir selesai. Tapi ada beberapa fitur tambahan dari klien yang belum saya pahami secara teknis. Saya mungkin perlu waktu lebih untuk mendalaminya.”“Kita bisa atasi itu bersama,” balas Kirana. “Amara, desain antarmuka s
Keesokan paginya, Kirana tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Hawa dingin masih terasa, dan hanya beberapa lampu di lantai kantor yang sudah menyala. Dengan secangkir kopi di tangan, ia berjalan menuju ruang kerja bersama timnya.Hari ini adalah hari penting. Kirana dan tim harus menyelesaikan simulasi akhir sebelum data asli dari vendor tiba. Ia tahu bahwa setiap kesalahan kecil bisa menjadi bencana besar nantinya.Namun, begitu ia membuka laptop, sebuah pesan pop-up dari Tina langsung menarik perhatiannya.Tina: Mbak, saya baru saja mendapat kabar dari vendor. Data asli mereka tidak akan sesuai dengan format yang kita harapkan.Kirana membacanya dengan alis berkerut. “Tidak sesuai format? Apa maksudnya ini?” pikirnya.Tanpa membuang waktu, ia segera menelepon Tina, yang masih dalam perjalanan ke kantor.“Tina, apa maksud pesan kamu tadi? Kenapa datanya tidak sesuai?”“Mbak, mereka bilang ada perubahan dalam cara mereka menyimpan data. Saya juga baru tahu pagi ini,” jawab Tina de
Kirana membuka matanya perlahan, mendapati sinar matahari pagi yang hangat menyusup melalui celah-celah tirai. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia merasakan ketenangan meski hanya sesaat. Ia melirik ke arah Adrian yang tertidur di sofa kecil dekat jendela. Ekspresi wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat lebih lembut dalam lelap, seolah semua tekanan yang mereka hadapi semalam larut dalam mimpi sementara.Perlahan, Kirana bangkit dari tempat tidurnya. Ia merapikan selimut yang semalam ditaruh Adrian di tubuhnya, tanda perhatian kecil yang membuat Kirana tersenyum. Langkahnya membawanya ke meja kecil di sudut ruangan, tempat secangkir kopi dingin yang belum disentuh Adrian masih terletak. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai menyeduh kopi baru. Aroma kopi segera memenuhi udara, memberi suasana pagi yang lebih menenangkan.Tak lama, Adrian terbangun karena aroma itu. Ia mengusap wajahnya, lalu tersenyum tipis saat melihat Kirana sedang mengaduk kopi di dapur kecil. “Pagi yang
Ledakan yang mengguncang malam itu membuat Adrian, Kirana, dan Bima langsung terjaga dari kesibukan mereka. Bunyi alarm gedung tempat mereka bersembunyi mulai berdering, menambah suasana tegang.“Apa itu?” tanya Kirana, suaranya bergetar. Ia segera berlari ke jendela, tapi Adrian menariknya kembali sebelum ia sempat melihat ke luar.“Jangan terlalu dekat dengan jendela! Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi,” kata Adrian tegas.Bima, yang sudah mempersenjatai dirinya dengan apa yang ia temukan di ruangan, berdiri di dekat pintu. “Kita harus keluar dari sini sekarang. Kalau mereka tahu kita di sini, ini bisa jadi jebakan.”Adrian mengangguk setuju. “Ambil semua file penting. Kirana, kau bawa hard disk itu. Aku dan Bima akan memastikan jalan keluar aman.”Kirana, meskipun masih ketakutan, segera mengemasi dokumen dan perangkat elektronik yang menyimpan bukti mereka.Di luar gedung, suara langkah kaki terdengar semakin dekat. Mereka tahu waktu mereka tidak banyak.Adrian membuka pintu
Hujan turun perlahan, menyelimuti kota dengan suasana yang kelam. Kirana berdiri di depan jendela penginapan, memandang tetesan air yang jatuh tanpa henti. Di baliknya, Adrian duduk di sofa kecil, mengamati berkas-berkas yang menumpuk di meja. Setiap dokumen yang mereka temukan di gudang seolah menjadi potongan puzzle yang perlahan menyusun gambaran besar kejahatan yang dilakukan Rahman dan jaringannya. “Kamu yakin dengan semua ini, Adrian?” tanya Kirana, suaranya hampir tenggelam dalam suara rintik hujan. Adrian mendongak dari dokumen yang tengah ia baca. Matanya memancarkan keyakinan, meskipun terlihat lelah. “Ini bukan lagi soal yakin atau tidak. Kita tidak bisa mundur. Kalau kita berhenti sekarang, mereka akan terus melakukan kejahatan ini tanpa ada yang menghentikan.” Kirana melangkah mendekat, duduk di samping Adrian. Ia menatapnya dalam-dalam, mencoba memahami keputusan yang telah mereka ambil. “Aku hanya ingin memastikan kamu tahu risikonya. Kita bisa kehilangan segalanya
Setelah pertemuan mengejutkan dengan Pak Wisnu, Adrian langsung memanggil Bima dan Kirana ke ruangannya. Dengan wajah tegang, Adrian menjelaskan apa yang baru saja terjadi. “Dia datang untuk mengancam,” kata Adrian dengan nada marah, sembari berjalan mondar-mandir di ruangan. “Mereka tahu kita semakin dekat dengan inti masalah ini.” Kirana mencoba menenangkan Adrian. “Ini berarti kita membuat mereka merasa terancam, Adrian. Mereka tidak akan bertindak seperti ini kalau tidak merasa posisinya mulai goyah.” Bima, yang sedari tadi mendengarkan, tiba-tiba berkata, “Kalau begitu, kita harus bertindak lebih cepat. Aku punya ide, tapi ini cukup berisiko.” Adrian dan Kirana memandangnya penuh harap. “Apa idemu, Bima?” tanya Adrian. “Kalau kita bisa menyusup ke salah satu server utama perusahaan, ada kemungkinan kita menemukan data rahasia yang selama ini mereka sembunyikan. Data itu mungkin cukup untuk menjatuhkan mereka sekaligus,” jelas Bima. “Tapi menyusup ke server itu… Bukan
Kebenaran yang Mulai TerbukaSidang Internal yang MenegangkanPagi itu, Adrian memimpin rapat darurat di ruang rapat utama perusahaan. Hanya tim inti yang hadir: Kirana, Bima, Kevin, dan beberapa anggota tim hukum yang terpercaya. Di meja mereka, dokumen-dokumen penting dari brankas gudang tersusun rapi, siap untuk dianalisis lebih dalam.“Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Adrian membuka rapat. “Pak Wisnu pasti sudah menyadari bahwa kita membawa sesuatu dari gudang. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka menutup semua celah.”Salah satu anggota tim hukum, Maya, mengangkat tangan. “Dari dokumen yang sudah saya periksa, jelas ada keterlibatan Pak Wisnu dalam manipulasi data proyek dan aliran dana ilegal. Tapi kita perlu lebih banyak bukti untuk mengaitkan Rahman Kurnia alias Rizky Darmawan secara langsung.”“Kalau begitu, kita fokus pada aset mereka,” kata Adrian. “Bima, pastikan kamu memonitor semua transaksi mencurigakan. Kirana dan Kevin, coba cari informasi tambahan dari dokume
Keberanian di Tengah AncamanPersiapan untuk Serangan BalikAncaman yang diterima Adrian membuat suasana di tim semakin tegang. Namun, ia tidak menunjukkan rasa gentarnya di depan tim. Kirana memperhatikan betapa tenangnya Adrian, meski jelas bahwa ia juga memikirkan keselamatan semua orang.“Kita tidak bisa berhenti sekarang,” ujar Adrian di depan Bima, Lani, Kirana, dan Pak Bram di ruang rapat. “Ancaman ini justru bukti bahwa mereka mulai goyah. Kita harus melanjutkan langkah kita dengan lebih hati-hati, tapi juga lebih cepat.”Pak Bram mengangguk. “Kita sudah punya cukup bukti untuk menggoyahkan mereka. Tapi yang kita butuhkan adalah langkah strategis. Jangan hanya mengandalkan dokumen-dokumen ini. Kita harus menguatkan dengan saksi.”“Bu Ratih sudah setuju untuk membantu,” kata Kirana. “Tapi kita harus melindunginya. Dia merasa ada risiko besar jika terlalu terlibat.”Adrian menatap Pak Bram. “Bisakah Anda mengatur perlindungan untuknya?”“Saya punya beberapa kenalan yang bisa mem
Kebenaran yang Mulai TerkuakRencana StrategisKeesokan paginya, Adrian mengumpulkan seluruh timnya di ruang rapat kecil di kantor. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan siapa pun tahu tentang penemuan di gudang malam sebelumnya, kecuali orang-orang yang benar-benar dipercayainya.“Aku sudah memeriksa dokumen-dokumen yang kita temukan di gudang,” ujar Adrian sambil meletakkan berkas-berkas di meja. “Ini bukan hanya soal sabotase terhadap aku, tapi ada indikasi korupsi besar yang melibatkan beberapa proyek perusahaan di masa lalu.”Bima menatap dokumen itu dengan serius. “Apa kamu yakin kita bisa melibatkan tim hukum tanpa memancing perhatian mereka?”Adrian mengangguk. “Kita harus melibatkan mereka. Tapi kita harus hati-hati memilih siapa yang akan kita ajak bicara. Tim hukum punya dua divisi, dan salah satunya berada di bawah pengaruh Pak Wisnu.”Kirana yang duduk di sisi Adrian angkat bicara. “Kalau begitu, kita hanya punya satu pilihan: langsung lapor ke kepala tim hukum yang netral
Jejak yang TersisaPerburuan DimulaiSetelah mendapatkan petunjuk dari dokumen yang mereka temukan di gudang tua, Adrian segera menyusun langkah strategis. Nama Ardianto kini menjadi fokus utama mereka. Adrian meminta Bima untuk menggali lebih dalam aktivitas digital Ardianto.“Kalau dia benar pelakunya, pasti ada jejak yang dia tinggalkan di jaringan,” ujar Adrian sambil mengamati layar komputer Bima.Bima mengangguk dan mengetik cepat. “Aku akan coba melacak pola transaksi digitalnya. Kalau dia menggunakan perangkat atau akun palsu, kita bisa mencoba melacak sumber dana atau aktivitas lainnya.”Sementara itu, Kirana tetap terjaga di apartemennya. Pikirannya dipenuhi dengan spekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Adrian telah memberi tahu dia untuk beristirahat, tetapi ia tahu tidak mungkin baginya untuk benar-benar bersantai.Ponselnya berdering. Itu Adrian.“Ada perkembangan?” tanya Kirana.“Aku ingin kamu datang ke kantor pagi ini. Kita punya sesuatu yang penting,” jawab Ad
Jaringan yang TersembunyiKejutan di Balik DataMalam itu, Adrian tidak bisa tidur. Kata-kata terakhir Pak Wisnu terus terngiang di kepalanya. “Ada orang lain yang jauh lebih kuat dari kamu.” Siapa yang dimaksud? Apa motif mereka?Bima, yang masih bekerja hingga larut, kembali menemukan sesuatu. “Adrian, aku baru saja memeriksa ulang seluruh log aktivitas jaringan. Ada pola aneh di sini.”Adrian bergegas menghampiri meja Bima. “Apa yang kamu temukan?”“Ada akses ke server dari lokasi yang tidak tercatat sebagai kantor atau rumah salah satu karyawan. Lokasinya berubah-ubah, seolah mereka menggunakan koneksi yang sulit dilacak. Tapi ada satu perangkat yang konsisten terhubung setiap kali ada transfer data.”Adrian mengamati layar dengan seksama. “Ini berarti ada pihak eksternal yang terlibat. Kita butuh bantuan dari luar untuk melacak ini lebih jauh.”“Kita bisa minta bantuan konsultan forensik IT,” saran Bima. “Tapi mereka pasti butuh waktu untuk memproses semuanya.”“Hubungi mereka,”