"Alhamdulillah," ucap syukur Abbas setelah menghabiskan sisa nasi di piringnya.
"Say," panggil Abbas kepada istrinya yang sedang berkutat di depan laptop."Apa lagi? Kamu bisa 'kan taruh piring sendiri?" omel Sayyidah."Hmmm ... bukan gitu Say." Menghampiri istrinya di sudut kanan ruangan kamar."Akhir-akhir ini kamu 'kan sering sedih, aku juga ikut pusing ngadepinnya.""Terus? Kamu bosen sama aku? Udah sana pergi aja!" oloknya."Hey! Nggak boleh gitu kalau ngomong sayangku." Menatap istrinya dari samping."Jangan panggil sayang!" Menggertakan giginya."Hehehe ... ya udah. Kalau kita rihlah ke pantai, kamu mau nggak?""Beneran?" Menghentikan aksinya melototi layar laptop."Iya, kamu mau?" ujarnya lembut."Mau ... mau banget," ucap Sayyidah girang."Alhamdulillah.""Kenapa ngucap Alhamdulillah?""BersyukuAbbas segera berlari mengejar istrinya, laju larinya yang lebih kencang berhasil mengkap Sayyidah yang sudah menjauh dari bibir pantai. Abbas langsung mendekap tubuhnya."Lepas ... lepasin aku! Jangan mesum kamu!" Sayyidah meronta-ronta dalam pelukan suaminya. "Biarin dulu beberapa menit," jelas Abbas yang masih membelit tubuh istrinya. "Lepasin! Malu tau nanti dilihat pengunjung lain!" perintah Sayyidah. "Oke!" Ia melepas tangannya. "Ih! Nyebelin banget," umpat Sayyidah seraya memperhatikan bajunya yang ikut basah karena baju Abbas. "Hahaha basah 'kan? Lagian kamu yang bikin aku basah, jadi kamu harus ikutan basah." "Nyebelin! Dasar malaikat azab!" omel Sayyidah. "Hahaha kok malaikat azab sih? Kamu lupa namaku? Aku Abbas," jelasnya. "Nggak, sekarang nama kamu malaikat azab, penyiksa hidup orang lain!" makinya. "Hey! Nggak boleh ngomong gitu ih!" "Bi
"Hahaha ... santai! Itu mata bisa copot nanti!" Kirani semakin memanasi hati Sayyidah yang meradang."Lo nggak usah banyak cincong deh! Lo nggak tau hidup gue! Sok tau lo!" maki Sayyidah."Katanya cantik, kaya, tapi kalau ngomong asal nyablak aja!" Kirani balik menjawabnya."Hey! Lo tuh yang asal nyablak! Lo yang duluan! Bukan gue!" Sayyidah semakin menaikkan nada bicaranya."Kang Abbas sholeh, tapi nikahnya sama wanita ini, belum punya keturunan lagi,” tuturnya."Nggak iri!" cerocos Sayyidah."Ini bukan masalah iri, tapi siapa wanita yang lebih sempurna di antara kita. Coba aja kalau ana yang dulu nikah sama Kang Abbas, mungkin kita udah punya beberapa keturunan. Bang Karim ...." Ocehannya terhenti ketika Karim terlihat mulai dekat menghampiri mereka."Ini Dek minumannya! Hmmm ... Mba Sayyidah ini silakan minum." Menyodorkan minuman kepada istrinya, lalu kepadaSayyidah.
"Sayyidah!" seru Abbas, ia menelan ludah melihat istrinya berbusana dinas malam."Bas," ucap Sayyidah manja, kedua pipinya bersemu merah.Ia terlihat canggung, untuk pertama kalinya ia melakukan hal gila, itu bukan karena hasratnya yang membara, tetapi karena hawa nafsunya yang bergelora.Ia tak mau kalah dari Kirani."Aku akan buktikan kalau aku bisa hamil anak Abbas, biar aku bisa tertawa puas di hadapan nenek lampir itu!" cecar Sayyidah di lubuk hatinya.Sayyidah berjalan mendekati Abbas, lalu mengitari tubuh suaminya itu, perlahan ia menepuk bahu Abbas dengan lembut."Bas ... lakukanlah padaku malam ini , ya?!" pintanya dengan manja.Abbas beringsut mencubit lengannya."Awww! Ya Allah ... aku nggak mimpi, apa benar ini Sayyidah?!" pekik batinnya."Mungkin ini sudah waktunya, bismillah!" Meyakinkan dirinya dengan menganggukan kepalanya pelan.Sayyidah be
Nafas Abbas terengah-engah setelah berhasil lari dari makian istrinya. "Wuuuuaam!!!" Abbas menguap, ia benar-benar sangat ngantuk, setelah sebelumnya sempat terganggu oleh tingkah Sayyidah. Ia melajukan kakinya menuju sofa, lalu membaringkan tubuhnya hingga terlelap sampai waktu qiyamullail tiba. CEKLEK !Abbas membuka pintu kamar yang tak terkunci, istrinya masih tertidur dengan mengenakan baju tidur yang lebih sopan. Ia mengulum senyum mengingat kejadian semalam. CUP"Ukhibuki fiilah zaujatii," ucapnya pelan.Netranya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi. Ia bergegas masuk kamar mandi untuk bersuci, lalu mengerjakan sholat sunah menghadap illahi. "Yaa Rabb ... ampunillah hamba ini, kepada-Mu aku mengadukan diri." "Lembutkanlah hati istri hamba ya Allah ... mudahkanlah langkahnya untuk menjadi wanita yang sholehah," hibanya di atas sajadah. Lama Abbas berbincang kepada Tuhannya, sesekali b
Beberapa warga sekitar berhambur menghampirinya."Biar saya bantu ustadz, ya Allah ... kasian." Seorang bapak membantunya mengangkat motor yang terguling."Apa yang sakit ustadz?" tanya laki-laki lainnya yang lebih muda dari bapak tadi."Ini cuman berdarah sedikit." Meringis menunjukan siku dan lututnya. Warna merah darah sangat kontras dengan gamis putihnya."Ayo saya bawa ke puskesmas ustadz!” ajaknya."Nggak usah Pak, biar di obatin di rumah aja," tolak Abbas."Beneran nggak papa ustadz?" ucapnya ragu."Iya Pak," ujar Abbas singkat.Ia menaiki kembali motornya, beruntung tidak terjadi kerusakan berat, hanya beberapa body motornya saja yang lecet."Hati-hati ustadz!" pesan laki-laki yang telah membantunya."Terima kasih banyak Pak, assalamuallaikum." Melajukan motornya seraya melemparkan senyuman hangat menutupi perih dan sakit yang perlahan menja
Ya, lagi-lagi tentang keturunan yang membuat hati Abbas semakin kecut. Dambaan memiliki anak masih redup di hatinya karena sikap Sayyidah yang belum berubah. "Aamiin, syukron katsiroon Sob, semoga antum bisa nambah tahun ini hehehe." Abbas berusaha mencairkan suasana hati. "Hehehe ... aamiin, tapi Sarah belum mau Bas, katanya repot ngurus Fatih, apalagi kalau harus nambah," ungkap Sobri. "Syukurin aja Sob, antum 'kan udah punya satu, lah ana?" "Ikhtiarnya setiap malem Bas biar hasil," bisik Sobri di telinga Abbas. "Hahaha ... Oke!" Menautkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf 'O'. Hati Abbas cukup terhibur berbincang dengan Sobri, ia melupakan sedikit kegelisahan hatinya karena Sayyidah. "Ya salam ... udah jam setengah sebelas aja Bas, ana harus pulang sebelum istri ana tidur duluan, bisa-bisa malam ini nggak dapet jatah," ujar Sobri sembari memeriksa jam di pergelangan tangannya.
Beberapa foto menyembul di antara kertas yang berserakan, memantik penasaran kedua netra Sayyidah. Terdapat foto dirinya dengan sang suami di pantai, ia ingat saat itu Abbas mentertawakannya karena pose foto yang manyun menghadap wajah suaminya. Masih banyak lagi foto-foto yang lainnya, saat mereka makan bersama di luar, saat di bromo dan lain-lain. Ternyata diam-diam Abbas selalu mengabadikan moment bersamanya, anehnya semua foto menggambarkan wajah Sayyidah yang manyun. Ada satu lagi yang berbeda dari foto yang lainnya, tangan Sayyidah segera menariknya untuk ia tatap lebih lekat. Gambar siluet foto bertanda 'keluarga bahagia' dengan beberapa nama yang sudah di tulis oleh yang punya, di antaranya Abi Abbas, Umi Sayyidah, sedangkan gambar dua bayi di pangkuan keduanya bertuliskan anak sholeh, sholehah. Sayyidah mendengus kesal melihatnya, seketika ia langsung merobek gambar itu. "Jangan harap akan ada k
Tidak ada mood baik yang bisa mendorong Sayyidah untuk mengerjakan tugas kuliah, iapun tak ingin melakukan apa-apa selama emosinya masih memanas.Sayyidah meraih gawainya di atas nakas.Ia merayapkan jarinya membuka status yang di buat teman-teman dalam kontak ruang percakapan.Muncul nama Sofyan pada deretan paling atas. Ia klik begitu saja, seketika menampakkan wajah Sofyan yang terlihat dari samping, hidung mancung dan bibir yang seksi terlihat menggoda dengan baju pantai yang di biarkan terbuka di bagian dada.Caption di bawahnya tertulis 'Holiday in Bali'."Kok nggak sama Rani? Bukannya semalem dia sama kamu?" Sayyidah merutuki layar ponselnya sendiri, lalu ia mengirim balasan pada status itu.Sayyidah[Liburan kok nggak ngajak Sof?]send.Satu menit berlalu gawainya langsung memberikan notifikasi pesan.Sofyan.[Maaf sayang ini urusan bisnisnya papi, jadi gue
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt