Beberapa warga sekitar berhambur menghampirinya.
"Biar saya bantu ustadz, ya Allah ... kasian." Seorang bapak membantunya mengangkat motor yang terguling."Apa yang sakit ustadz?" tanya laki-laki lainnya yang lebih muda dari bapak tadi."Ini cuman berdarah sedikit." Meringis menunjukan siku dan lututnya. Warna merah darah sangat kontras dengan gamis putihnya."Ayo saya bawa ke puskesmas ustadz!” ajaknya."Nggak usah Pak, biar di obatin di rumah aja," tolak Abbas."Beneran nggak papa ustadz?" ucapnya ragu."Iya Pak," ujar Abbas singkat.Ia menaiki kembali motornya, beruntung tidak terjadi kerusakan berat, hanya beberapa body motornya saja yang lecet."Hati-hati ustadz!" pesan laki-laki yang telah membantunya."Terima kasih banyak Pak, assalamuallaikum." Melajukan motornya seraya melemparkan senyuman hangat menutupi perih dan sakit yang perlahan menjaYa, lagi-lagi tentang keturunan yang membuat hati Abbas semakin kecut. Dambaan memiliki anak masih redup di hatinya karena sikap Sayyidah yang belum berubah. "Aamiin, syukron katsiroon Sob, semoga antum bisa nambah tahun ini hehehe." Abbas berusaha mencairkan suasana hati. "Hehehe ... aamiin, tapi Sarah belum mau Bas, katanya repot ngurus Fatih, apalagi kalau harus nambah," ungkap Sobri. "Syukurin aja Sob, antum 'kan udah punya satu, lah ana?" "Ikhtiarnya setiap malem Bas biar hasil," bisik Sobri di telinga Abbas. "Hahaha ... Oke!" Menautkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf 'O'. Hati Abbas cukup terhibur berbincang dengan Sobri, ia melupakan sedikit kegelisahan hatinya karena Sayyidah. "Ya salam ... udah jam setengah sebelas aja Bas, ana harus pulang sebelum istri ana tidur duluan, bisa-bisa malam ini nggak dapet jatah," ujar Sobri sembari memeriksa jam di pergelangan tangannya.
Beberapa foto menyembul di antara kertas yang berserakan, memantik penasaran kedua netra Sayyidah. Terdapat foto dirinya dengan sang suami di pantai, ia ingat saat itu Abbas mentertawakannya karena pose foto yang manyun menghadap wajah suaminya. Masih banyak lagi foto-foto yang lainnya, saat mereka makan bersama di luar, saat di bromo dan lain-lain. Ternyata diam-diam Abbas selalu mengabadikan moment bersamanya, anehnya semua foto menggambarkan wajah Sayyidah yang manyun. Ada satu lagi yang berbeda dari foto yang lainnya, tangan Sayyidah segera menariknya untuk ia tatap lebih lekat. Gambar siluet foto bertanda 'keluarga bahagia' dengan beberapa nama yang sudah di tulis oleh yang punya, di antaranya Abi Abbas, Umi Sayyidah, sedangkan gambar dua bayi di pangkuan keduanya bertuliskan anak sholeh, sholehah. Sayyidah mendengus kesal melihatnya, seketika ia langsung merobek gambar itu. "Jangan harap akan ada k
Tidak ada mood baik yang bisa mendorong Sayyidah untuk mengerjakan tugas kuliah, iapun tak ingin melakukan apa-apa selama emosinya masih memanas.Sayyidah meraih gawainya di atas nakas.Ia merayapkan jarinya membuka status yang di buat teman-teman dalam kontak ruang percakapan.Muncul nama Sofyan pada deretan paling atas. Ia klik begitu saja, seketika menampakkan wajah Sofyan yang terlihat dari samping, hidung mancung dan bibir yang seksi terlihat menggoda dengan baju pantai yang di biarkan terbuka di bagian dada.Caption di bawahnya tertulis 'Holiday in Bali'."Kok nggak sama Rani? Bukannya semalem dia sama kamu?" Sayyidah merutuki layar ponselnya sendiri, lalu ia mengirim balasan pada status itu.Sayyidah[Liburan kok nggak ngajak Sof?]send.Satu menit berlalu gawainya langsung memberikan notifikasi pesan.Sofyan.[Maaf sayang ini urusan bisnisnya papi, jadi gue
Keesokan harinyaSetelah berkemas, Abbas menuliskan sepucuk surat untuk Sayyidah.Lama ia menuangkan semua pesan dan perasaan kepada istrinya, ketika ujung penanya mencapai titik, ia lipat kertas itu lalu melenggangkan kaki dari ruangan perpustakaannya.Langkah kakinya berhenti di depan pintu kamar, rasa ingin membukanya timbul, tapi ia mengurungkan niat tersebut. Ia takut mengganggu istrinya, apalagi jika emosi Sayyidah belum padam, maka akan semakin runyam keadaan.Abbas menghempaskan nafasnya kasar."Aku tinggal dulu, ya?! Jaga diri baik-baik," ungkapnya sembari meraba pintu yang masih tertutup.Beberapa menit berlaluCEKLEKSayyidah membuka pintu kamarnya, sejurus kemudian ia merentangkan kedua tangannya ke atas, tak ketinggalan ia pun menguap beberapa kali seraya mengumpulkan kesadarannya kembali.Ia melirik jam di dinding yang menunjukan angka setengah del
"Tasya, lo tinggal berapa hari lagi di sini?" Sayyidah menatap sahabatnya yang terlihat menyiapkan minuman di sudut ruangan dapur."Paling dua hari lagi Say, besok gue ada lomba, besoknya lagi gue nyantai dulu lah di sini," terang Tasya."Yah cuman dua hari," keluh Sayyidah dalam hatinya."Sepupu lo nggak nganterin?" Tasya menyuguhkan es lemon tea kepadanya."Minum dulu!" perintahnya."Hhhhhh ... ng-ngak Tas," jawab Sayyidah gugup, ia langsung menyambar gelas di hadapannya dan meminumnya sampai tandas."Tasya, ajak gue jalan-jalan, ya?! Keliling kemana gitu!" tandasnya."Kemana?" Tasya mengernyitkan dahinya, ia tak menyangka setelah sekian lama baru berjumpa sahabatnya menjadi lebih excited."Ya kemana aja, gue pengen refreshing," ungkap Sayyidah, ia tatap pemandangan di balik jendela kamar hotel."Hahaha ... lo habis di kurung kaya burung apa gimana? Kaya baru keluar
Sayyidah beranjak dari kursi tunggu menanti Tasya keluar dari ruang ganti. "Tasya! Kamu hebat!" Berhambur memeluknya sembari mengucapkan selamat setelah sahabatnya berhasil memenangkan perlombaan. "Terima kasih Sayyidah, ini berkat dukungan lo juga," ucap Tasya. "Tasya!" pekik seorang wanita, sontak Sayyidah dan Tasya memeriksa asal suara. "Celine!" ucap mereka bersamaan.Sayyidah melebarkan bola matanya melihat tangan Celine bergelayut manja di lengan seorang pria. "Selamat, ya, Tasya! Gue bangga sama lo!" Celine menyambar Tasya dengan pelukan. "Lo langsung dari Bali?" tanya Tasya setelah terlepas dari pelukan Celine. "Iyalah, demi support sahabat, tapi Sayyidah juga dateng buat support lo, ya?!" Manik mata Celine menatap Sayyidah yang mematung di samping Tasya. "Lo dateng kesini buat liat perlombaan Tasya, Sayyidah? Salut banget sama lo, care banget sih?!" Memeluk tubuh Sayyidah yang dia
Tiga hari berlaluHujan menghuyur di tengah kegelapan, suasana sepi, walaupun waktu masih menunjukkan angka sepuluh di pergelangan tangannya.Tok ... tok ... tok ..."Assalamuallaikum, Sayyidah?" Abbas meneriaki nama istrinya di depan pintu asrama, ia menunggu sahutan dari dalam. Namun, setelah menunggu selama tiga puluh menit hasilnya tetap nihil.Ia putar gagang pintu yang ternyata tak terkunci.Abbas menerobos begitu saja pintu yang terbuka, perasaannya menjadi tak menentu. Ada apa dengan istriku?Ia terus menusuri setiap ruangan asrama yang ia tinggali."Sayyidah kamu di mana?” ujarnya dengan gusar.Abbas memeriksa ruang kamarnya sekali lagi, ia buka seisi lemari. Baju Sayyidah masih ada, tapi ada satu tumpuk baju yang kosong.Kembali Abbas telusuri, barangkali masih ada jejak yang Sayyidah tinggali."Tidak ada, semua bahan makanan yang aku ting
"Bisa-bisanya kamu bilang maaf? Laki-laki seperti kamu bisa aja memaksaku memberikan anak untukmu, tapi ...." Sayyidah mulai meragukan ucapannya sendiri.Dalam lubuk hatinya ia menyadari bahwa Abbas termasuk orang yang dapat di percaya dalam ucapannya, Abbas pun tak pernah memaksakan suatu hal yang di inginkannya.Ah! Jika di bandingkan dengan Sofyan, Abbas lebih baik pastinya."Uh! Apa sih? Nggak jelas banget aku ini." Sayyidah bangkit, lalu memukul kepala dengan kedua tangannya sendiri.Netranya melirik kembali ponsel yang berkedip, nama panggilannya sudah berganti Zahra.Segera ia raih benda pipih itu."Hai Za!""Assalamuallaikum Say," sapa Zahra.Sayyidah menghela nafasnya."Wa'allaikumussalam." Ia beranjak, langkah kakinya berhenti di depan jendela."Lo lagi di mana? Sama siapa?" cecar Zahra."Ya Allah Zahra ... baru telefon langsung nyerocos aja lo?!" Sayy
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt