"Bisa-bisanya kamu bilang maaf? Laki-laki seperti kamu bisa aja memaksaku memberikan anak untukmu, tapi ...." Sayyidah mulai meragukan ucapannya sendiri.
Dalam lubuk hatinya ia menyadari bahwa Abbas termasuk orang yang dapat di percaya dalam ucapannya, Abbas pun tak pernah memaksakan suatu hal yang di inginkannya.
Ah! Jika di bandingkan dengan Sofyan, Abbas lebih baik pastinya.
"Uh! Apa sih? Nggak jelas banget aku ini." Sayyidah bangkit, lalu memukul kepala dengan kedua tangannya sendiri.Netranya melirik kembali ponsel yang berkedip, nama panggilannya sudah berganti Zahra.Segera ia raih benda pipih itu.
"Hai Za!""Assalamuallaikum Say," sapa Zahra.Sayyidah menghela nafasnya."Wa'allaikumussalam." Ia beranjak, langkah kakinya berhenti di depan jendela."Lo lagi di mana? Sama siapa?" cecar Zahra."Ya Allah Zahra ... baru telefon langsung nyerocos aja lo?!" Sayy"Nak, kamu harus tau! Ketika kamu sudah bersuami maka ridho dan syurgamu ada pada suamimu! Ikuti dan patuhi apa kata suamimu nanti." Pesan Marwah saat Sayyidah mulai beranjak dewasa. "Sayang, jika kelak mamah tiada ... tolong bahagiakan mamah dengan amal baikmu, yah?! Do'akan mamah selalu, jadilah anak yang sholehah, ya, Sayang." Pesan dan nasehat Marwah terus terngiang dan berputar di otak Sayyidah. Ia sapu air mata di pipinya, lalu berpindah posisi duduk di sofa. Tangan Sayyidah terulur mengambil ponsel yang masih tergeletak di sana. Ia membuka galeri, lalu ia cari foto-foto kenangan bersama Marwah. "Mah, kalau Mamah bahagia Sayyidah sama Abbas ... Sayyidah bakal berusaha nerima kok, walaupun Sayyidah masih cinta sama Sofyan," ucap Sayyidah dengan sesenggukan. "Tapi Mah, Sayyidah belum bisa kembali ke Abbas. Sayyidah pengen bebas dulu Mah. Sayyidah nggak mau terkungkung hidup sama Abbas, punya anak ... Sayyidah belum siap
Sayyidah menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Waktu menunjukan pukul dua siang, cacing di perutnya sudah mulai keroncongan. Semua snack yang ia punya sudah habis sebagai penangkal lapar. Banyak orang berseliweran di lobby itu, adakalanya yang bolak-balik menatap Sayyidah dengan heran. Ia sudah berjam-jam duduk di situ, mungkin pikir mereka begitu. Seorang resepsionis berjalan menghampiri Sayyidah."Maaf Kak, ini sudah melebihi waktu cek out apakah mau di perpanjang?" tanyanya. Sayyidah segera berdiri dan seketika ia melambaikan tangannya."Tidak! Minta waktunya sebentar lagi, ya, Mba. Saya pasti akan mengurus administasi cek outnya," ujar Sayyidah dengan menghiba. "Ada yang bisa kami bantu Kak?" ucapnya lagi, sepertinya sang resepsionis mengerti ada hal yang tidak beres dengan customernya ini. "Maaf Mba, ponsel saya rusak. Saya tidak bisa menghubungi siapapun," ucap Sayyidah dengan ragu. "Silakan g
"Sia-sia aja dia dateng ke sini, cuman mau ngerusak hari bahagiaku aja." Sayyidah mendengus kesal, sesekali ia melirik tubuh suaminya yang menunduk di bangku halte itu. "Ya Allah ... nelangsa banget hidupku, terlunta-lunta nggak jelas. Mah, Sayyidah butuh mamah, hiks ... hiks ... hiks." Air matanya berderai seraya menyisir jalanan yang berlalu-lalang kendaraan. Sayyidah melirik Abbas yang tampak berjalan mendekatinya, segera ia putar tubuhnya ke arah yang berlawanan. "Pergi! Jangan dekati aku! Jangan berharap aku sudi ikut denganmu!" ujarnya dengan sesenggukan. Tidak ada jawaban apapun dari suaminya, sontak ia berbalik menatap tubuh laki-laki berbadan tegap itu. Abbas berdiri di sampingnya sembari menyodorkan secarik kertas kepadanya.Sayyidah mendengus kesal, lalu balik memutar tubuhnya. Seketika Abbas menjatuhkan kertas itu ke pangkuan Sayyidah, lalu ia beranjak kembali meninggalkan istrinya.
Mobil yang mereka tumpangi memasuki pekarangan rumah yang cukup luas. Gradasi hijau dan kuning mewarnai cat rumah berlantai dua tersebut. Ukiran tembok bagian luar serupa gambar kubah masjid, sekilas rumah ini seperti masjid yang megah. Namun, ternyata bangunan ini di tempati oleh saudara Abbas. "Ahlan w* sahlan w* marhaban." Sepasang laki-laki dan perempuan dew*sa riuh menyambut kedatangan mereka berdua. Khimar besar yang terbalut di kepalanya, serta gamis abaya yang berpadu warna sangat pas sekali menempel di tubuh wanita yang berusia sekitar 45 tahunan itu. Wanita itu membukakan pintu mobil sisi bagian Sayyidah, membuatnya merasa sangat di hormati sekaligus bingung harus bersikap seperti apa. Hidung mancung dengan senyumnya yang mengembang, sejurus kemudian mendekap tubuh Sayyidah. "Ahlan anak sholehah, semoga kehadiran kalian membawa berkah di keluarga kami," ujarnya. Hati Sayyidah merasa tertegu
"Assalamuallaikum ... Om Abbas!" teriak dua anak kecil seraya berhamburan memeluk Abbas."Wa'allaikumussalam.""MasyaAllah ... Aisyah, Umar." Abbas menyambut keduanya dengan merangkul seraya mencium mereka bergantian."Abah, Umi," sapa seorang wanita dewasa sembari menyalami paman dan bibi bergantian. Jika di lihat dari garis wajahnya, mungkin usianya sekitar 30 tahunan."Hana," ucapnya ketika menjabat tangan Sayyidah."Sayyidah." Tersenyum simpul membalas senyum yang merekah di bibir wanita tersebut."Ini anak bibi Nak," tutur Bibi Umamah sembari menepuk bahu wanita yang bersalaman dengan Sayyidah."Istrinya Abbas cantik sekali MasyaAllah, pasti nanti keturunannya bagus-bagus nih hehehe," selorohnya."Hana bisa aja kamu ini," ujar Bibi.Abbas tersenyum canggung, ia melirik Sayyidah yang menatap padanya sekilas."Om ayo kita main kuda-kudaan!" ajak Umar, anak kecil berus
Abbas dan Sayyidah telah memasuki mobil. Semua anggota keluarga Paman Hamzah mengantarkan mereka di depan halaman. "Hati-hati, ya?! Nanti kabari kalau sudah sampai," ujar Paman Hamzah seraya melambaikan tangan. Bibi Umamah yang berdiri di sampingnya pun serupa, beliau melemparkan senyuman hangat kepada mereka berdua. "Bas, jangan lupa, ya?! Aisyah dan Umar butuh teman!" tutur Hana seraya menyeringai. "Om Abbas segela punya dede, ya?!" ucap Aisyah dengan polosnya. "Hehehe ... do'ain biar dedenya sholeh-sholehah seperti Aisyah dan Umar, nanti kalian main, ya, ke asrama om!" tutur Abbas sembari menyembulkan kepalanya di kaca mobil. "Siap!" balas Umar dengan menempelkan tangan mungilnya di kening. "Hehehe ... iya, Insyaallah kalau abi udah pulang dari Cirebon, ya Nak?!" terang Hana menatap kedua anak kecilnya. "Syukron jazakumullahu khoiroon katsiroon atas semuanya Pak Lik, Bu Lik, Mba Hana. Assalamuallaikum
Seorang MC naik ke atas mimbar, ia membuka salam lengkap dengan penyambutan kepada Abuya.Sosok laki-laki bergamis putih, dengan imamah yang membelit di peci serta sehelai rida di pundak persis seperti penampilan yang Abbas kenakan malam ini.Hati Sayyidah merasa tenang dan damai melihat pemandangan di depan matanya.Abuya mulai membuka tausiyahnya, membaca beberapa kitab di sertai untaian nasehat."Jika hati kita berat untuk memuliakan orang lain, sekurang-kurangnya jagalah lisan kita dari menghina orang lain.""Jika kau lihat seseorang jauh dari Allah, jangan kau ejek dia! Karena Allah lebih dekat kepada pendosa dari pada orang yang sombong.""Mata yang memandang rendah terhadap orang lain adalah mata yang tak layak melihat Rosulullah Shalallahu 'alaihi wasallam," jelas Abuya dalam nasehatnya.*****Sayyidah menjabat tangan Ummah usai pembacaan do'a di lantunkan.Kira
"Kita itu tidak bisa mencegah orang lain untuk menilai hidup kita, tetapi kita bisa mencegah hati ini untuk bersu'udzon kepada mereka," ungkap Abbas seraya menempelkan tangan pada dadanya."Nih dengerin yah?! Kata ulama 'jika tiada orang yang dengki kepada kamu, maka ketahuilah sebenarnya kamu adalah orang yang gagal'. Itu artinya semakin tinggi derajat kita, maka akan semakin besar pula ujian yang menimpa. Ibaratnya seperti pohon yang tumbuh besar, semakin besar pula angin yang menerjang," sambungnya."Hidup kita bukan karena orang lain, hidup kita itu karena Allah. Jadi, seburuk apapun penilaian orang lain tidak akan merubah kehidupan yang kita jalanin. Hmmm ... maaf, ya, aku bukannya mau ceramah. Nasehat yang aku sampein sebenarnya buat diri aku sendiri juga," tutur Abbas dengan tegas."Bas, kamu nggak marah?" ujar Sayyidah dengan ekspresi penuh tanda tanya."Marah kenapa?""Marah karena aku pernah pergi dari
Sayyidah berhias diri seraya bertaut di depan cermin, ibu hamil itu tersenyum puas melihat keberhasilannya mempercantik wajah.“MasyaAllah istri abi tambah cantik,” puji Abbas menatapnya dari pantulan cermin.“Syukron Abi.” Sayyidah mengembangkan senyumnya.“Sudah siap? Ternyata abi nunggu Umi hampir satu jam,” ungkap Abbas sembari memeriksa jam di tangannya.“Hehehe ... dandannya harus yang cantik Bi, jadinya lama deh,” sanggah Sayyidah.“Iya deh.” Abbas membalasnya singkat.Semenjak hamil istrinya itu memang lebih sering berhias dari biasanya, ia juga lebih rajin dalam mengurus dan menata rumah. Abbas semakin bangga dengan sang istri.“Ayo kita berangkat!” Sayyidah beranjak seraya memegangi perutnya yang buncit.“Eh, tunggu dulu!” cegah Abbas, membuat langkah Sayyidah terhenti dan berbalik
*******Suasana pagi hari di warnai rasa kekhawatiran Abbas, saat sang istri mual muntah tanpa sebab pasti.“Wuuuek!”Sayyidah yang baru saja muncul dari pintu, kembali masuk ke dalam kamar mandi.“Umi! Umi kenapa?” Abbas menggedor-gedor pintu itu dengan cemas.Ceklek!Begitu nampak tubuh sang istri, Abbas langsung menyambarnya ke dalam pelukan.“Sayang, Umi kenapa? Umi sakitkah?” ujar Abbas seraya mengusap punggung istrinya.“Hmmm ... umi nggak papa Bi,” balas Sayyidah.Sejurus kemudian Abbas menuntunnya menuju sofa di samping ranjang.“Umi istirahat aja, ya?! Ayo!” ajak Abbas yang telah bersiap membopong tubuh istrinya ke atas kasur.“Nggak usah Bi, umi baik-baik aja,” tolak Sayyidah.“Umi kenapa sih? Apa yang di rasa? Umi habis makan apa? Semalem Umi minum j
Abbas memindai pandangannya kepada Sayyidah dan Kirani bergantian dengan ekspresi menuntut penjelesan. Sayyidah menghela nafas panjangnya, spontan ia menghamipiri sang suami dan meminta Ibrahim dari gendongannya. “Ibrahim akan punya Abi lagi, nanti main mobilnya juga nggak sendiri, ya?!” tutur Sayyidah mengajak Ibrahim bercengkrama. “Maksud Umi?!” Abbas semakin tak mengerti. Sayyidah bergeming, ia menatap wajah suaminya lekat. Namun, tak ada satupun kata yang bisa ia ucap. Sejurus kemudian ia mengibaskan pandangannya dari wajah sang suami. “Bi, jadilah abi baru untuk Ibrahim! Umi akan rela di madu dengan Kirani!” ungkap Sayyidah lantang, akan tetapi setelahnya ia harus menarik nafas panjang guna mengatur pola pernafasannya yang tidak beraturan. “Ada apa ini Sayang? Kenapa Umi berkata seperti ini?” tanya Abbas terlontar. Sayyidah menelan ludah sebelum ia membuka mulutnya untuk menyahuti pe
Sayyidah bergeming beberapa saat, akan tetapi bulir bening tak kunjung berhenti mengalir dari sudut matanya. Ia berjalan perlahan dengan langkah limbung, sesampainya di kursi tubuh Sayyidah runtuh di atasnya. “Wanita yang tak sempurna, aku wanita mandul yang nggak bisa punya anak, hiks ... hiks ... hiks ....” Sayyidah tergugu. “Memang lebih pantas kalau suamiku menikah lagi dengan wanita lain yang sempurna, tapi ... aku nggak rela!” Sayyidah meremas kepalanya yang mendongak seraya menyenderkan bahunya di sofa. “Apa aku begitu egois, ya, Allah?” gumam Sayyidah dengan menghiba. Sesaat kemudian ia mengatur pola nafas dengan menghela nafas panjangnya lalu menghembuskannya perlahan. ***** Beberapa waktu telah berlalu ... Sayyidah berhasil meredam gejolak emosinya, akan tetapi belenggu kecemasan masih melekat di hatinya. Di atas meja makan malam Abbas merasa terheran, biasanya walau
Usai menemani acara majelis rutinan di sebuah masjid, Abbas mendampingi perjalanan gurunya menuju tempat pondok.Abuya duduk di samping kemudi, sedangkan Abbas bertugas mengendarai laju mobil yang ia tumpangi.Beberapa santri lain mengawal Abuya dengan kendaraan yang berbeda, sehingga di dalam mobil itu hanya Abuya dan Abbas saja.“Belum ada pejuang yang bisa Abuya kirim ke Batam, Bas,” tutur Abuya memulai percakapan.“Kenapa Abuya?” respon Abbas seraya menengok ke arah sang guru di sampingnya.“Mereka masih memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing di sini,” tandas Abuya.Abbas menganggukkan kepalanya pelan.“Mau pilih ente, tapi ente lagi lanjut kuliah, ya, Bas?!” sambung Abuya.“Na’am Abuya.”“Santri yang Abuya tawarin buat menikahi Kirani belum pada mau Bas, makanya Abuya belum punya kep
Satu minggu telah berlalu ...Sayyidah tengah menjalani pengobatan herbal seperti yang ia dan suaminya rencanakan.Baginya yang terpenting adalah do’a dan berusaha, tidak ada lagi kalimat putus asa yang menghantuinya.Itu semua karena sugesti dari sang suami untuk terus yakin dengan kekuasaan Allah ta’ala.Sayyidah memandangi gelas berisi ramuan jamu yang terisi penuh, setiap hari kerongkongannya akan terus di lewati rasa pahit yang sangat sebanyak tiga kali.Sayyidah memasang wajah murung seraya menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.“Ayo Sayang di minum! Ini buat penawar rasa pahitnya.” Abbas menyodorkan beberapa butir kurma di atas piring kecil di hadapannya.“Sehat-sehat, ya?!” sambungnya, Abbas mengusap kepala Sayyidah dengan lembut.“Hari ini libur dulu dong Bi?!” keluh Sayyidah dengan wajah lesu.“Eh!
Setelah menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Abbas kembali mengajak Sayyidah berkonsultasi kepada dokter di rumah sakit seraya membawa hasil pemeriksaan.Dokter berhijab itu menghembuskan nafasnya kasar sembari memperhatikan hasil laboratorium atas nama Sayyidah Fatimah Zahra tersebut.“Selain kista sepertinya ada masalah lain di kandungan Ibu,” kata yang terucap dari mulutnya.“Ada apa Dok?” sergah Sayyidah segera.Laki-laki yang duduk di sampingnya meraih tangannya, lalu menggenggam erat ... membuat rasa takut serta kekhawatiran Sayyidah kembali mundur.“Saluran tuba falopi rahim Ibu Sayyidah mengalami penyumbatan, sehingga menyebabkan sperma Pak Abbas tidak bisa membuahi sel telur Ibu. Mohon maaf sekali ....” Dokter wanita itu menjeda ucapan, terdengar helaan nafas dari mulutnya.“Dalam penilaian medis Ibu Sayyidah tidak bisa hamil, adapun jika ingin menjalani pr
Sayyidah berjalan mendekati sang suami yang telah berdiri menyambutnya. Abbas menuntun langkah kakinya untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan dokter. “Kistanya berukuran 6,7 senti. Maaf sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” tanyanya. “Hampir tiga tahun, Dok,” jawab Abbas. “Kista tersebut bisa saja menjadi penyebab Ibu sulit hamil, akan tetapi masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya.” “Maka dari itu saya akan memberikan surat rujukan agar Ibu Sayyidah menjalani HSG, yang bertujuan untuk mengevaluasi kondisi rahim dan saluran indung telur.” Ia menggoreskan tinta di atas lembaran kertas, lalu menyodorkannya kepada Abbas dan Sayyidah. ***** Suasana hening di dalam mobil, Abbas menatap lurus ke jalan tanpa sepatah katapun ucapan yang ia lontarkan sejak berada di rumah sakit, hingga sekarang. Sayyidah terus menatap wajah suaminya d
Menyadari sesuatu yang mungkin terjadi pada suaminya, Sayyidah beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas air putih.“Minum dulu Abi!” titah Sayyidah menyodorkan gelas sembari duduk di samping sang suami.Abbas meneguk air yang di berinya hingga tandas, lalu terdengar helaan nafas yang panjang keluar dari mulutnya."Alhamdulillah," ucap pelan Abbas seraya meletakkan gelas di atas meja.“Ada apa? Abi dari mana?” tanya Sayyidah seraya meraih kedua tangan sang suami dan menggenggamnya.Laki-laki yang ia tatap menghempaskan nafasnya kasar.“Karim sudah tiada, tadi abi menanti kedatangannya di pondok,” ucap Abbas pelan.“Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un ... sejak kapan Bi? Berarti jenazahnya di bawa pulang dari Batam?” Sayyidah terbelakak.“Semalem salah satu pengurus mengabari abi. Iya, atas permintaan dari keluarga unt