“Rumahnya nggak banyak berubah,” ujar Cita setelah melihat semua sudut rumah yang pernah ditempatinya dahulu kala.Banyak kenangan manis sekaligus pilu, ketika mengingat kondisinya pasca keluar dari rumah sakit. Lumpuh, terluka, tidak percaya diri, dan masih banyak hal lain yang tersimpan rapi di ingatan. Di antara semua luka itu, Cita juga masih mengingat banyak hal manis yang dilakukannya bersama Arya. Di masa-masa terpuruknya dahulu kala, pria itulah yang selalu berada di samping Cita dan tidak lelah menyemangatinya.Jika dipikir lagi, pada dasarnya Arya adalah pria yang baik. Bahkan terlalu baik. Mungkin karena itulah, Arya bisa berempati pada Almira sehingga sempat melupakan perannya sebagai seorang suami kala itu.“Memang nggak ada yang berubah,” ujar Arya memperjelas. “Cuma diisi perabotan kantor sama yang penting-penting. Sisanya masih sama untuk menghemat pengeluaran. Kalau furniture lama, yang nggak dipake di jual dan yang masih bisa dipake di taruh di atas.”Cita mendekat k
“Nggak selamanya, baik itu juga membawa hasil yang baik.” Cita masih saja mengingat perihal pembicaraan mereka pagi tadi dengan Almira. “Ih! Aku masih aja kesel kalau inget pagi tadi.”Sambil menyantap gimbab yang dipesan Cita, Arya hanya bisa mengangguk-angguk. Tidak berniat membahas kejadian tadi pagi, karena pasti akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Arya juga sudah berkali-kali mengaku salah dan tidak membela diri, karena sadar dengan perbuatannya dahulu kala.“Aak, Sayang,” ujar Arya menyodorkan satu potong gimbab ke mulut Cita dan langsung dilahap oleh gadis itu. “Barusan, aku minta bu Hana, sekretarisnya mas Qai ubah jadwal penerbangan.”“Apa dia ada ngubungin kamu lagi, Mas?” tanya Cita tidak mengacuhkan perkataan Arya. Sembari mengunyah, Cita tetap saja bicara karena hatinya masih tidak merasa tenang. “Almira?”“Tadi siang, aku sudah minta Ardi hubungi Almira untuk mengakhiri kontrak dan proses semuanya sampai selesai.” Meskipun masih ada rasa tidak tega, tetapi Arya h
“Sayang, kenapa kamu mau pindah ke Singapur?” selidik Arya mengikuti saran Gemi. Ia akan bicara baik-baik dengan Cita, agar dapat mengetahui alasan di balik ajakan sang istri kemarin malam. “Kamu tahu, kan, kita sekarang sudah jadi suami istri? Jadi, aku mau kita saling terbuka supaya nggak ada salah paham lagi ke depannya.”Cita tidak langsung merespons pertanyaan dan perkataan Arya. Ada hal yang sebenarnya ingin ia utarakan, tetapi Cita tidak bisa mengolah kata-katanya. Untuk satu hal ini, mungkin hanya Sandra yang bisa mengerti.“Sayang?” tegur Arya karena keterdiaman Cita.Arya bisa melihat segaris beban dari tatapan sang istri. Namun, Cita sepertinya enggan membagi hal tersebut padanya. Atau, mungkin Cita belum siap mengatakan alasan di balik keinginannya pindah ke Surabaya.“Nggak papa kalau kamu nggak bisa bicara sekarang, tapi—”“Aku pengen bebas,” putus Cita yang sejak tadi bersandar pada beanbag di depan televisi. Sementara Arya, masih duduk melantai di meja tamu sambil meman
“Tumben Papa di rumah pagi-pagi?” tanya Cita sembari menuruni tangga. “Nggak jalan-jalan?”“Off dulu,” jawab Harry mengalihkan pandangan dari berita yang ditontonnya di televisi. “Arya masih tidur?”Cita menggeleng dan berhenti di sudut tangga. Ia menoleh ke dapur sebentar dan melihat Sandra tengah berdiri di depan kompor. Ingin rasanya Cita menghampiri Harry, tetapi ia urungkan karena akan terasa canggung jika Sandra tidak ada di antara mereka. Selain itu, Cita juga tidak memiliki bahan yang harus diobrolkan sehingga ia masih terpaku di ujung tangga.“Mas Arya sibuk buat persiapan meeting sama pak Pras.”Harry mengangguk kecil sembari menepuk sisi kosong yang masih luas di sampingnya. “Duduk sini sebentar, temani Papa nonton berita.”“Em, nanti,” ucap Cita masih tidak melangkah ke mana pun. Bukannya tidak mau, tetapi Cita pasti merasa canggung jika harus berada bersama Harry tanpa Sandra. “Aku mau bikinin mas Arya susu sebentar.”“Sekalian buatkan Papa.” Harry tersenyum. Mencoba mengh
“Kita bicara sebentar.” Begitu melihat Arya berada di lobi hotel, Nando segera menghampiri dan menarik pria itu menuju lounge. Ia tahu hari ini Arya ada pertemuan dengan Pras, karena itulah Nando sejak tadi sudah menunggu pria itu di lobi hotel.“Mas, a—”“Meeting-mu sama pak Pras masih setengah jam lagi,” sela Nando tidak ingin mendengar protes dari Arya. Ia menariku kursi di salah satu meja, lalu mendudukkan Arya di sana. Sementar Nando sendiri, memilih duduk pada sofa yang berada di depan Arya. “Sekarang jelaskan, kenapa Leoni mendadak resign?”Arya ternganga karena dugaan yang sempat berputar di kepala ternyata salah. Ia mengira, Nando akan membahas masalah Cita, tetapi tidak. Nando justru mempertanyakan perihal Leoni yang sudah mengajukan surat pengunduran diri minggu lalu.“Kenapa nggak tanya langsung sama Leoni?” Arya mengangkat tangan. Memanggil pelayan untuk memesan minum.“Kalau aku tanya sama kamu, itu berarti dia nggak ngasih jawaban.”“Ya aku nggak tahu, Mas,” jawab Arya
“A-apa ini?” Arya ternganga melihat beberapa paper bag yang tergeletak di lantai kamar hotel. Dilihat dari nama yang tercetak di paper bag tersebut, semua barang yang di dalamnya pastilah mahal. Mungkin, nilainya hampir menghabiskan seluruh simpanan Arya di bank. “Ini semua, bukannya siang tadi kamu pergi sama enda Sinar?”“He’em,” gumam Cita dengan senyuman dan menghambur ke pelukan Arya yang baru pulang dari Sagara Citra. Satu kecupan ia jatuhkan pada bibir sang suami dan tetap mengangkat wajah menatap Arya. “Aku diajak shopping! Kami keliling Orchard Road tadi siang. Coba aja mami ikut, pasti tambah rame.”Arya menggaruk kepala dengan ekspresi bingung, syok, dan mungkin terlihat bodoh di depan Cita. Bukannya ingin perhitungan, tetapi Arya bukanlah seorang Nando yang sudah terlahir dengan sendok emas di tangan. Arya masih merintis perusahaannya setelah jatuh terpuruk karena kesalahan di masa lalu.“Terus, sebelum pulang kami mampir ke spa,” lanjut Cita masih dengan senyum yang teruki
Mendengar suara deritan pagar rumahnya bergeser, Cita bangkit dari tempat tidur dan menyingkap gorden kamarnya. Ketika melihat Arya tengah menarik kembali pagar dan menutupnya, Cita lantas keluar kamar dan membukakan pintu untuk sang suami.“Sorry telat,” ujar Arya sambil meringis ketika melihat Cita berdiri di bibir pintu. “Restoran Padangnya lumayan rame pas jam makan siang gini.”Bukannya meraih kantong kresek yang disodorkan Arya, Cita justru menghabiskan jarak lalu memeluk sang suami.“Itu, sih, ngotot pulang,” ujar Cita sambil memonyongkan bibir. “Padahal tadi aku sudah bilang, mas Arya makan di kantor aja daripada bolak balik.”“Itu karena ada yang mau aku omongin.” Arya mengecùp bibir Cita, lalu mengajak sang istri masuk ke dalam rumah. Mereka langsung menuju meja makan dan bersiap makan siang bersama.“Ada masalah di kantor?” tanya Cita segera mengambil dua buah piring, lalu meletakkannya di meja makan. Sambil mengeluarkan bungkus nasi padang dari kantong kresek, Cita mendeng
“Mas, pak Jodi barusan ngirim desain 3D rumah papa yang mau direnov,” ujar Cita sambil menghempas tubuhnya di tempat tidur. Di sampingnya, Arya masih memangku laptop karena harus mengecek beberapa berkas yang dikirim ke email-nya. “Kalau mau lihat, buka hapeku ada di email. Aku mau tidur cepat.”Padahal, malam ini adalah malam minggu. Rencananya, mereka akan pergi nonton setelah pertemuan keluarga ayah Duta dan Arkatama selesai dilaksanakan. Namun, Qai mendadak menelepon atas perintah Pras dan meminta Arya mengirimkan beberapa berkas. Karena itulah, mereka akhirnya pulang dan saat ini Arya sedang memilah-milah file yang diminta oleh pria tua itu.“Sudah yakin mau dibuat kos-kosan?” tanya Arya tanpa menoleh.“Yakin! Biar ada passive income tiap bulan,” terang Cita sudah memikirkannya hingga berulang kali. Lagi pula, Harry setuju dengan idenya karena bisa menjadi sumber pemasukan lain yang berkepanjangan.“Aku ngikut kamu aja.” Arya hanya bisa mendukung, karena merasa tidak memiliki hak
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Siapa lagi yang mau ditelpon?”Cita menggeleng pelan melihat sikap Arya yang berubah 180 derajat. Hampir semalaman tidak tidur, ditambah dengan ketegangan yang mereka hadapi di siang harinya di ruang bersalin, ternyata tidak membuat tenaga Arya terkuras. Suaminya itu benar-benar tampak bersemangat menghubungi semua keluarganya, untuk mengabarkan perihal kelahiran putra pertamanya.Dari sini pula, Cita semakin menyadari bahwa sifat dasar Arya yang periang, agak konyol, dan terlalu baik memang tidak bisa diubah. Setiap kali Arya menelepon keluarganya, mereka selalu menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbicara dengan banyak gurauan yang seakan tidak pernah ada habisnya.“Sudah semua sepertinya.” Arya terkekeh kemudian beranjak menghampiri bayi mungilnya yang tengah tertidur lelap di boks bayi.Setelah melihat perjuangan Cita yang luar biasa di ruang persalinan, membuatnya merasa belum siap menambah anak dalam waktu dekat. Mereka memang pernah berencana untuk memiliki tiga atau emp
Pelan dan pasti, Cita mulai menaruh rasa percayanya pada Arya. Setiap perhatian dan kesungguhan sikap yang ditunjukkan pria itu, benar-benar membuat Cita semakin nyaman dan menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar. Arya tidak pernah menutupi apa pun darinya dan mereka selalu membicarakan semua hal agar tidak terjadi kesalahpahaman.“Hamil di negeri orang itu, susahnya kalau lagi ngidam gini.” Cita kembali mengeluh, karena tidak bisa memakan makanan yang diinginkannya. Sebenarnya, Sandra juga bisa membuatkan makanan yang diinginkan Cita, tetapi tetap saja ada sesuatu yang terasa kurang. Di lain sisi, Cita juga tidak enak jika meminta sang mami terus-terusan membuatkan makanan yang diinginkannya.“Kamu sendiri yang minta pindah ke Singapur, loh, ya,” balas Arya yang malam ini memenuhi keinginan sang istri untuk pergi ke salah satu sentra kuliner yang ada di tengah kota. “Kamu nyalahin aku, Mas?” Cita mulai merengut. Menunduk menyantap nasi hainannya. “Nggak.” Arya buru-buru berujar a
“Awan nelpon,” ujar Harry terburu setelah keluar kamar. “Kasih kontraksi.”Sandra berhenti mengupas jeruk dan meletakkannya di meja. “Maju berarti,” ucapnya sembari berdiri lalu mengusap pundak Cita yang duduk di sebelahnya. Mereka memang sudah berencana kembali ke Jakarta minggu depan, tetapi sepertinya harus dimajukan karena perkiraan hari lahir Kasih ternyata di luar prediksi. “Kita balik hari ini?”“Kalau dapat tiket, iya.” Harry mengangguk dan menoleh pada Arya yang baru menutup pintu kamar. Menantunya itu sudah terlihat rapi dan akan bersiap pergi karena ada meeting direksi di pagi hari. “Ar, bisa tolong lihatkan tiket ke Jakarta hari ini? Kasih kontraksi dari subuh tadi.”“Sudah kontraksi?” Arya mengangguk-angguk dan segera mengeluarkan ponsel untuk mencari tiket. Tanpa beranjak ke mana-mana, Arya segera membuka aplikasi pemesanan tiket dan mencari jadwal penerbangan yang ada. “Mau sore atau malam, Pa?”“Sore ada?”“Ada, emm ...” Arya melihat ketersediaan kursi di pesawat. “Bus
“Maaf kalau aku ngerepotin.”Walaupun bahagia tidak terkira, tetapi Cita masih memiliki perasaan tidak enak hati karena Harry dan Sandra tiba-tiba harus terbang ke Singapura. Setelah hasil general check up tidak ada masalah, kedua orang tua Cita segera memesan tiket karena khawatir dengan keadaannya.“Siapa yang bilang kalau kamu ngerepotin.” Sandra mengusap kepala Cita yang berbaring di tempat tidur. Kondisi kehamilan Cita yang kedua ternyata sangat berbeda dengan yang pertama dahulu kala. Putrinya terlihat pucat dan tidak bertenaga.“Kamu nggak pernah ngerepotin,” timpal Harry yang duduk di tengah tempat tidur menemani Cita. “Justru Papa sama mami senang, karena kamu lagi hamil.”“Kak Kasih ... nggak papa?” tanya Cita kembali merasa tidak nyaman. Cita merasa seperti telah merebut Harry dari kakak perempuannya.Kasih memang sudah menelepon Cita dan wanita itu ikut berbahagia atas kehamilannya. Namun, Cita tetap saja memiliki perasaan tidak enak karena telah menjauhkan Harry dari putr
Arya mengernyit dan membuka mata ketika mendengar suara yang tidak biasa. Sambil mengumpulkan kesadarannya, ia melihat pada sisi tempat tidur yang sudah terlihat kosong. Menyadari hal tersebut, Arya bangkit perlahan lalu berjalan menuju kamar mandi.Saat melihat Cita terduduk lemas di samping kloset kamar mandi, di situlah kesadaran Arya kembali sepenuhnya.“Sayang! Kamu kenapa?” Arya bergegas menghampiri Cita dan bejongkok di samping sang istri. Arya menempelkan punggung tangan ke dahi Cita untuk mengecek suhu tubuhnya. “Ayo ke rumah sakit, kamu lemas gini. Habis muntah?” tanya Arya segera menekan tombol flush untuk membersihkan cairan yang baru saja Cita muntahkan. “Kepalaku tambah pusing,” ujar Cita pelan. Merasa tidak memiliki tenaga untuk bangkit. “Perutku mendadak mual pagi-pagi.”“Kamu nggak telat makan, kan?” Arya mengingat-ingat, selama menghabiskan akhir minggu kemarin mereka sama sekali tidak telat makan. Bahkan, mereka berdua justru lebih banyak menyantap makanan dari bia
“Nikahan mbak Chandi dulu, nggak kayak gini.” Arya cukup takjub dengan semua dekorasi mewah yang ada di pernikahan Duta dan adiknya. “Kamu ... nggak iri, kan?”Arya khawatir jika sang istri memiliki rasa cemburu yang terpendam, karena pernikahan mereka tidak semewah dan semegah resepsi Duta dan Leoni. Setelah melakukan banyak pembicaraan dengan Sandra, Arya baru menyadari istrinya itu kerap memendam semua sakitnya sendiri. Cita enggan berbagi, karena tidak ingin menyusahkan dan merepotkan orang lain.“Mas, resepsi begini ini capeeek banget,” ungkap Cita mengingatkan Arya akan alasannya meminta intimate wedding kala itu. “Aku sudah pernah sekali sama Pandu, kan? Jadi, aku nggak mau lagi. Enakan kayak kita kemarin. Singkat, padat, dan nggak terlalu capek.”“Kalau—”“Titip Kasih bentar,” sela Awan sambil menarik kursi kosong di samping Cita. Kursi tersebut memang sengaja Cita kosongkan untuk Kasih yang mengabarkan akan terlambat datang. “Aku mau ambilin makan.”“Oh!” Saat melihat Awan, A