“Kenapa Anda tidak menghampiri mereka, Nona? Bukankah jika Anda berada di sana, kecurigaan bisa diluruskan?” ucap sang sopir memperjelas pertanyaan.
Setelah mengakhiri perenungan, Mia tiba-tiba mengembuskan tawa hambar. “Itu sia-sia, Pak. Kehadiran saya tidak akan mengubah apa-apa,” sahutnya sembari menggeleng samar.
“Kenapa?” tanya sang sopir dengan nada menanjak.
“Karena mustahil saya bisa mengalahkan perempuan itu. Dia terlalu sempurna. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dia,” terang sang gadis sebelum tertunduk menyimpan penyesalan.
“Apakah Anda dan wanita itu sedang bersaing?”
Mendapat pertanyaan semacam itu, Mia kembali memelihara hening. Sambil berkedip-kedip, ia menerungkan kata-kata sang sopir.
“Anda mengatakan tidak bisa mengalahkan wanita itu. Bukankah itu berarti, kalian sedang bersaing? Ataukah ... saya sudah salah memahami?” tanya pria tua itu la
Sekali lagi, Mia mengamati bunga biru di telapak tangannya. Seraya menyeka air mata yang menghangatkan pipi, gadis itu menghirup napas dalam-dalam.“Aku tidak seharusnya berkecil hati. Banyak orang menyayangi dan mendukungku,” gumam sang sekretaris sebelum menggeser pandangan menuju album foto di pangkuannya.Tanpa membuang waktu, Mia meletakkan surat dan resin di atas meja. Setelah itu, sambil tersenyum tipis, ia membuka album dengan perlahan. Begitu melihat foto dirinya dalam balutan gaun pengantin, tawa kecil sontak memecah keheningan.“Ibu pasti akan terkejut jika melihat ini,” gumam Mia sembari mengamati foto-foto ia dan Julian di hadapan Jack.Wajah-wajah yang diabadikan dalam gambar itu tampak sangat kaku. Orang yang tidak mengetahui kebenaran pasti akan menganggap mereka memang sepasang pengantin yang sedang gugup dihadapkan pada janji suci.“Astaga, kenapa Julian seperti ini? Jelek sekali,” gumam Mia, me
“Apakah penampilanku berlebihan?” gumam gadis yang sudah duduk di balik meja kerja. Dengan leher yang tertekuk, ia memperhatikan pakaian yang melekat di badannya. “Karyawan lain jadi tak henti-henti melihatku.”Setelah mengembuskan napas cepat, sang sekretaris menyalakan layar di depannya. Selagi menunggu komputer siap membantunya bertugas, ia kembali merenung. “Respon apa yang akan Julian tunjukkan begitu melihatku nanti? Semoga saja, dia suka dengan penampilan baruku ini.”Usai mengangguk-angguk singkat, Mia akhirnya merapatkan kursi ke meja. Tepat ketika tangannya hampir meraih mouse, suara bayi tiba-tiba menyita perhatian.“Cacacaca!”Mata sang sekretaris sontak melebar. “Apakah aku berhalusinasi? Kenapa aku seperti mendengar suara Cayden?”Selagi gadis itu berkedip-kedip, Gabriella melangkah masuk dan menyunggingkan senyum hangat. “Lihatlah gaya baru bibimu, Pangeran Ke
Untuk pertama kalinya, Julian berkeringat dingin karena kemarahan Mia. Pria itu sadar bahwa kata-katanya telah mengiris hati sang gadis. Setelah menelan ludah dengan susah payah, ia memberanikan diri untuk menyentuh pundak yang naik turun mengimbangi tekanan besar dalam paru-paru.“Mia, tolong jangan salah paham,” ucapnya dengan suara lembut.“Saya mengerti. Saya memang tidak cocok mengenakan pakaian seperti ini,” timpal sang sekretaris tanpa menoleh. “Silakan ke ruangan Anda, Tuan. Pekerjaan telah menanti,” usirnya halus.Alih-alih melangkah mundur, Julian malah menggenggam pergelangan tangan sang gadis. “Kita harus bicara.”Dengan alis berkerut, Mia menyentak tangannya. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, Tuan. Semua sudah jelas. Perempuan seperti saya memang tidak cocok mengenakan pakaian mahal.”Tak ingin lepas kendali lagi, Julian mencengkeram lengan sang gadis. “Ikut aku sekaran
“Kau tidak marah lagi kepadaku, bukan?” tanya Julian sembari memiringkan kepala.Secepat kilat, Mia melambaikan tangan dan menggeleng. “Tentu saja tidak,” sangkal gadis itu canggung. “Kenapa saya harus marah? Itu hanya makan siang bersama, apalagi, Tuan Herbert ikut bersama kalian,” lanjutnya sebelum memaksakan senyum.Sedetik kemudian, sang pria membelai rambut kekasihnya. “Terima kasih, Mia. Kau memang wanita yang paling baik hati dan pengertian.”Mendapat pujian semacam itu, rasa bersalah sang gadis semakin tebal. Tak ingin beban itu bertambah, ia segera mengetuk-ngetuk jam tangannya. “Kita sudah terlalu banyak mengulur waktu, Tuan. Ayo mulai bekerja!”“Tunggu dulu, Mia,” sela Julian seraya menahan lengan gadisnya. “Ada satu hal lagi yang perlu kutanyakan.”“Tak bisakah menunggu waktu istirahat?” tanya Mia dengan alis tertarik ke atas.Sambil m
Mia melirik ke arah jam dinding, lalu beralih ke pintu. Jam istirahat sudah berakhir lima menit yang lalu, tetapi Herbert dan Katniss belum juga meninggalkan ruangan.“Apa yang sedang mereka bahas? Apakah seseru itu sampai Julian melupakan rapat siang ini?” gerutu sang sekretaris sebelum tertunduk lesu. Ia merasa tidak berdaya jika dihadapkan pada kebimbangan yang menyangkut perasaan.Selagi menyangga dagu dengan sebelah tangan, Mia mengetuk-ngetuk jari pada sisi tablet. Alisnya berkerut, mengekspresikan seberapa sulit pertimbangan yang sedang ia lakukan dalam otaknya. Selang beberapa kedipan, gadis itu akhirnya beranjak dari kursi dan mengambil tablet. Tepat ketika ia hendak melangkah, pintu yang dituju tiba-tiba terbuka.“Kau mau ke mana?” tanya Julian yang tergesa-gesa menghampiri.“Saya baru saja mau mengingatkan tentang rapat siang ini, Tuan,” sahut Mia dengan tampang datar. Hatinya tidak dapat memutuskan ekspresi
Jam kerja telah berakhir, tetapi Julian masih belum kembali. Perasaan yang berusaha Mia ingkari pun tak bisa lagi dihindari. Semakin lama menunggu, semakin dalam kepala gadis itu tertunduk.“Kenapa Julian tidak mengabari sama sekali? Apakah mungkin, dia sudah melupakanku dan langsung pulang?” pikir Mia sembari menggenggam ponsel lebih erat. Ia sangat berharap layar hitam itu menyala dan memunculkan nama Julian.Malangnya, satu menit berlalu, penantian gadis itu tetap sia-sia. Udara di sekitarnya terasa semakin berat dan sesak.“Haruskah aku menghubunginya?”Selang perenungan sesaat, sang sekretaris akhirnya menarik napas panjang. Sembari menegakkan wajah, ia menanti suara seseorang muncul dari speaker ponsel yang ditempelkan ke telinganya.“Ada apa, Mia?” tanya Julian begitu menjawab telepon dari sang kekasih.Dengan ekspresi kaku, sang gadis balas bertanya, “Anda sedang berada di mana, Tuan? Kenapa
Dengan tatapan yang mulai kabur, otak Mia merekam bagaimana perempuan lain menautkan tangan pada lengan kekar yang selalu ingin ia dekap. Dengan kedipan lambat, gadis itu memperhatikan betapa lebar senyum yang terlukis di wajah kekasihnya.“Kenapa Julian membiarkan Katniss begitu dekat dengannya?” pikir Mia, berusaha mencari alasan yang masuk akal.Namun malang, benak gadis itu telah terselimuti kepedihan yang bersumber dari hati. Segala sesuatu tentang sang pria kini tampak salah di matanya.“Teganya Julian membohongiku,” batin sang sekretaris sebelum menelan ludah yang amat pahit.Sembari menghapus butir kekecewaan yang meluncur di pipi, gadis itu menggigit bibir. Ditemani denyut jantung yang memelintir hati, ia mengamati gerak-gerik dua orang yang sesekali tertawa kecil. Tidak ada rasa bersalah yang terlukis pada wajah ceria itu. Mata mereka bahkan tampak berbinar-binar menyimak ucapan wanita modis, yang sepertinya pemilik butik
“Ada apa, Mia?” tanya Minnie, memaksa kaki-kaki rentanya untuk bergerak lebih cepat memasuki kamar.Begitu melihat sang putri sedang duduk di tepi ranjang dengan senyum terpaksa, helaan napas pun berembus cepat dari mulut keriputnya.“Astaga .... Lena membuatku panik saja,” gumam wanita tua itu sembari duduk di samping putrinya. Setelah mengamati air mata yang mengintip, ia pun mengambil tangan sang gadis dan menggosok-gosoknya agar hangat. “Ada apa, Mia?”“Apakah Ibu masih ingat tentang perkataan Nona Amber dulu?” tanya gadis itu dengan suara yang tak stabil.Dalam sekejap, alis Minnie berkerut memeras ingatan. “Perkataan yang mana?”“Tentang bagaimana nenek moyang dari ibunya percaya bahwa kepribadian manusia sesuai dengan unsur hidupnya—air, kayu, api, tanah, dan logam,” sahut Mia sembari mendongak, menahan jatuhnya air mata. Setelah menarik napas berat, barulah ia lan