“Apa ini, Mia?” tanya Julian seraya memungut selembar kertas foto sang kekasih bersama keponakannya. “Apakah ini benar hadiah untukku? Bukan untuk Cayden? Ini terlihat seperti kumpulan memori kalian. Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?”
Mendengar suara sang kekasih mulai terseret emosi, Mia spontan menelan ludah. Sambil mengepalkan jari, ia mencoba untuk mempertahankan kebohongan. “Itu memang hadiah untukmu. Bukankah kami berdua adalah orang yang paling kau sayang?”
“Apakah kau diam-diam mempersiapkan diri untuk perpisahan?” selidik Julian dengan tatapan meruncing. Matanya yang berkaca-kaca mulai dilapisi oleh guratan merah.
Mengetahui kemarahan sang pria, bibir Mia mulai bergetar. Ia ingin menyangkal, tetapi tidak sanggup mengucap kebohongan. Lidahnya terlalu kaku untuk memecah ketegangan.
“Jawab dengan jujur, Mia! Apakah yang kau berikan kepada mereka itu adalah kado perpisahan?”
Belum sempat sang gadis menyatakan kejujuran, helaan na
“Apakah kalian melihat Julian?” tanya Max yang baru kembali dari kamar sang kakak. Sembari menarik kursi dan duduk menghadap meja makan, ia menambahkan keterangan. “Dia tidak ada di kamarnya.” Tanpa aba-aba, para pelayan yang sedang sibuk menata piring-piring dan gelas, menggeleng secara bersamaan. “Tidak biasanya Julian bangun pagi di akhir pekan,” gumam wanita yang sedang memakaikan celemek di leher putranya. “Entahlah .... Yang jelas, dia tidak ada di kamarnya,” sahut Max seraya mengangkat pundak sekilas. “Mungkin, Tuan Julian tertidur di kamar Nona Mia. Mereka mengerjakan sesuatu sepanjang malam,” celetuk pelayan termuda yang bertetangga dengan sang sekretaris. Pengakuan gadis itu sukses membelalakkan mata semua orang dan bahkan, menghentikan langkah kaki si kepala pelayan. Selang satu embusan napas samar, wanita tua itu menghampiri punggung Lena dan menyentuhnya. “Apa katamu? Tuan Julian tidur di kamar Mia?” Dalam sekejap, suasana
Sejak pagi itu, Julian dan Mia terus sibuk mewujudkan keinginan. Mereka piknik, mengajak Cayden bermain gelembung sabun, dan mengadakan pesta barbeku dengan yang lain. Malangnya, semua itu dilakukan di taman belakang rumah Max. Keadaan di luar masih belum aman. Sang pria tidak ingin mengambil risiko jika mereka bepergian jauh demi melaksanakan keinginan lain. Kenyataan itu diam-diam membuatnya frustrasi. “Apakah No Name sudah tertangkap?” tanya Julian dengan nada rendah. Matanya terpejam menanti jawaban yang diharapkan dari speaker ponsel. “Maaf, Tuan. Kami belum berhasil melacaknya. Jejak penjahat itu selalu hilang tanpa bekas.” Tiba-tiba, Julian mendengus. Sambil menautkan alis, pria itu menggertakkan geraham. “Kalian bilang sanggup menangkap No Name dalam waktu satu minggu. Tapi kenapa sampai sekarang, dia masih bebas? Ini sudah dua minggu! Tujuh hari lagi, aku akan menikah. Apakah kalian ingin bertanggung jawab jika sampai penjahat itu tiba-tiba muncul di
“Aku baru terlambat dua minggu, Nyonya. Apakah tidak terlalu cepat untuk mendeteksi kehamilan sekarang?” bisik Mia selagi sang dokter meninggalkan meja. “Tentu saja tidak. Teknologi sekarang sudah canggih. Kau tenang saja,” sahut Gabriella dengan volume suara yang sama. Mendengar jawaban itu, jantung Mia sontak berdetak lebih kencang. Ketika seorang wanita berjas putih kembali dengan senyum semringah dan sebuah map biru, deru napasnya tidak lagi teredam. Sambil menggenggam tali tas lebih erat, gadis itu berusaha untuk tetap duduk tegak dan tenang. “Bagaimana, Dok? Apakah teman saya ini benar hamil?” tanya Gabriella dengan mata bulat. Ia terlihat sudah siap bersorak jika memang Cayden akan segera mendapat teman. Masih dengan lengkung bibir yang sama, sang dokter menggeser tatapan ke arah Mia. Selang satu kedipan, ia membuka map dan melingkari sebuah angka dengan pena. “Ini menunjukkan kadar hormon hCG dalam darah Anda, Nona. Melihat hasil yang setinggi
Bola mata Julian bergetar menatap deretan huruf yang penuh ancaman. Sambil menahan raut wajah agar tidak menampakkan emosi, pria itu bertanya-tanya dalam benaknya. “Bagaimana mungkin No Name bisa mengetahui kabar terbaru tentang Mia? Apakah penjahat itu sesungguhnya berada di dekat kami? Atau laki-laki itu menyewa mata-mata? Dan kenapa baru sekarang dia mengirimkan ancaman yang nyata? Apakah dia memang berencana untuk beraksi di hari pernikahan?” “Jawab, Julian! Apakah benar?” tanya Herbert sambil mengguncang lengan putranya. Tepat pada saat itulah, renungan sang CEO buyar digantikan kesadaran. Kini, otaknya malah dijajah oleh kebingungan. Apakah sang ayah akan marah besar jika mengetahui bahwa dirinya telah melanggar aturan? Tak sabar menanti jawaban dari Julian, Herbert pun menggeser pandangan ke arah gadis yang agak tertunduk. Masih dengan lebar mata yang sama, ia mengulangi pertanyaan. “Apakah benar kau hamil?” Meski bibirnya bergetar, Mia tak kun
“Maaf kalau sebelum ini, aku masih menganggap Papa jahat,” bisik Julian dengan mata terpejam. Kerut alisnya telah melukiskan penyesalan dengan sempurna. “Aku tidak seharusnya menjaga jarak dari Papa selama dua tahun terakhir.” Mendengar penuturan sejujur itu, hati Herbert sontak menghangat. Sambil menepuk-nepuk punggung putranya, ia menarik napas dalam-dalam. “Kau mau pergi ke ujung dunia pun, aku tetap merasa dekat denganmu, Julian. Kau adalah putra yang kusayang melebihi putra kandungku sendiri. Apakah kau tidak ingat betapa malang nasib Max dulu?” Teringat akan sang adik, tawa kecil yang diwarnai haru sontak terumbar ke udara. “Ya, Papa memang terlalu menyayangiku. Tapi, tolong jangan ulangi hal itu. Kasihan Max. Dia sudah mendapat cukup banyak penderitaan.” “Ya, pasti. Aku sudah berubah, Julian. Sekarang, aku adalah seorang ayah sekaligus kakek yang adil,” ucap Herbert sebelum mendesah lega. Beban yang selama ini tersisa di dasar hati, kini tidak lagi mem
“Maaf, Tuan. Tapi ..., itu tidak terdengar seperti cara untuk membalas utang budi, melainkan cara untuk menambahnya,” tutur sang gadis, pelan dan sangat berhati-hati. “Tidak juga. Justru dengan melakukan hal itu, kalian membantu kami untuk merasa lega. Max dan Gabriella sering merasa bersalah setiap melihat John dan Minnie masih menganggap mereka raja dan ratu. Bisakah kau menempatkan diri di posisi itu? Mereka merasa tidak sopan terhadap calon mertua Julian.” Mendengar penjelasan tersebut, ketegangan Mia sedikit memudar. Ia memang sudah beberapa kali melihat Gabriella dan Minnie berebut spatula ataupun teko. “Melayani keluarga Evans sama sekali bukan beban, Tuan, melainkan suatu kehormatan. Saya yakin, orang tua saya juga tidak akan mau jika diminta berhenti dari pekerjaan mereka,” ujar gadis itu dengan anggukan tulus. “Itulah tugasmu. Carilah cara untuk mengubah pikiran mereka. Dan kau juga ... bisakah berhenti memanggilku Tuan? Aku ini calon mertua
“Julian? Kenapa kau ke sini?” tanya Mia dengan mata bulat. Setelah menutup pintu rapat-rapat, sang pria menghampiri calon istrinya dan duduk di tepi kasur. “Aku merindukanmu,” sahutnya sebelum mendaratkan kecupan di kening sang gadis. “Rindu?” timpal Mia diiringi embusan napas samar. “Kita bahkan masih bersama saat makan malam, Julian,” ujar gadis itu sebelum kembali mempertemukan pandangan. Sedetik kemudian, sang pria menekan ujung hidung kekasih dengan sentuhan ringan. “Ya, tapi tiga jam terasa sangat lama bagiku,” goda Julian, sukses melebarkan lengkung bibir sang gadis. “Jadi, bagaimana pesta bujanganmu? Apakah menyenangkan?” tanya Mia, membuka perbincangan. “Itu tidak terasa seperti pesta. Aku hanya berbincang santai bersama para lelaki di taman belakang. Tidak ada satu pun yang berkesan. Saking bosannya, Cayden bahkan tertidur di dekapan Max,” sahut Julian dengan nada manja. “Kalian seharusnya mengundang seorang penari ke dalam p
Denting piano mulai mengalun indah, bersiap menyambut kehadiran mempelai wanita. Akan tetapi, pintu utama tidak kunjung dibuka. Bayi mungil yang mengenakan jas biru dan dasi kupu-kupu masih berdiri menghalangi jalan masuk. Bibirnya mengerucut, sedangkan alisnya berkerut. Dengan tatapan memelas, ia melihat ke arah orang tuanya yang menunggu di tepi karpet. “Kurasa Cayden takut,” bisik Max kepada sang istri. “Ya. Sepertinya, ia tertekan karena semua mata memandangnya,” gumam Gabriella sebelum mendesah samar. Sedetik kemudian, ia menghampiri sang putra dan berlutut. “Ada apa, Pangeran Kecil?” Masih dengan keranjang kecil berisi kelopak bunga di tangannya, sang bayi masuk ke dekapan sang ibu. Air mata mulai membentuk butiran di tepi pelupuk. “Apakah kau takut?” bisik Gabriella seraya mengusap rambut yang telah disisir licin. “Yayayaya ...” oceh Cayden sendu sembari memperdalam kerut alis. Sambil meniru raut wajah putranya, sang wanit