Bola mata Julian bergetar menatap deretan huruf yang penuh ancaman. Sambil menahan raut wajah agar tidak menampakkan emosi, pria itu bertanya-tanya dalam benaknya.
“Bagaimana mungkin No Name bisa mengetahui kabar terbaru tentang Mia? Apakah penjahat itu sesungguhnya berada di dekat kami? Atau laki-laki itu menyewa mata-mata? Dan kenapa baru sekarang dia mengirimkan ancaman yang nyata? Apakah dia memang berencana untuk beraksi di hari pernikahan?”
“Jawab, Julian! Apakah benar?” tanya Herbert sambil mengguncang lengan putranya. Tepat pada saat itulah, renungan sang CEO buyar digantikan kesadaran. Kini, otaknya malah dijajah oleh kebingungan. Apakah sang ayah akan marah besar jika mengetahui bahwa dirinya telah melanggar aturan?
Tak sabar menanti jawaban dari Julian, Herbert pun menggeser pandangan ke arah gadis yang agak tertunduk. Masih dengan lebar mata yang sama, ia mengulangi pertanyaan. “Apakah benar kau hamil?”
Meski bibirnya bergetar, Mia tak kun
“Maaf kalau sebelum ini, aku masih menganggap Papa jahat,” bisik Julian dengan mata terpejam. Kerut alisnya telah melukiskan penyesalan dengan sempurna. “Aku tidak seharusnya menjaga jarak dari Papa selama dua tahun terakhir.” Mendengar penuturan sejujur itu, hati Herbert sontak menghangat. Sambil menepuk-nepuk punggung putranya, ia menarik napas dalam-dalam. “Kau mau pergi ke ujung dunia pun, aku tetap merasa dekat denganmu, Julian. Kau adalah putra yang kusayang melebihi putra kandungku sendiri. Apakah kau tidak ingat betapa malang nasib Max dulu?” Teringat akan sang adik, tawa kecil yang diwarnai haru sontak terumbar ke udara. “Ya, Papa memang terlalu menyayangiku. Tapi, tolong jangan ulangi hal itu. Kasihan Max. Dia sudah mendapat cukup banyak penderitaan.” “Ya, pasti. Aku sudah berubah, Julian. Sekarang, aku adalah seorang ayah sekaligus kakek yang adil,” ucap Herbert sebelum mendesah lega. Beban yang selama ini tersisa di dasar hati, kini tidak lagi mem
“Maaf, Tuan. Tapi ..., itu tidak terdengar seperti cara untuk membalas utang budi, melainkan cara untuk menambahnya,” tutur sang gadis, pelan dan sangat berhati-hati. “Tidak juga. Justru dengan melakukan hal itu, kalian membantu kami untuk merasa lega. Max dan Gabriella sering merasa bersalah setiap melihat John dan Minnie masih menganggap mereka raja dan ratu. Bisakah kau menempatkan diri di posisi itu? Mereka merasa tidak sopan terhadap calon mertua Julian.” Mendengar penjelasan tersebut, ketegangan Mia sedikit memudar. Ia memang sudah beberapa kali melihat Gabriella dan Minnie berebut spatula ataupun teko. “Melayani keluarga Evans sama sekali bukan beban, Tuan, melainkan suatu kehormatan. Saya yakin, orang tua saya juga tidak akan mau jika diminta berhenti dari pekerjaan mereka,” ujar gadis itu dengan anggukan tulus. “Itulah tugasmu. Carilah cara untuk mengubah pikiran mereka. Dan kau juga ... bisakah berhenti memanggilku Tuan? Aku ini calon mertua
“Julian? Kenapa kau ke sini?” tanya Mia dengan mata bulat. Setelah menutup pintu rapat-rapat, sang pria menghampiri calon istrinya dan duduk di tepi kasur. “Aku merindukanmu,” sahutnya sebelum mendaratkan kecupan di kening sang gadis. “Rindu?” timpal Mia diiringi embusan napas samar. “Kita bahkan masih bersama saat makan malam, Julian,” ujar gadis itu sebelum kembali mempertemukan pandangan. Sedetik kemudian, sang pria menekan ujung hidung kekasih dengan sentuhan ringan. “Ya, tapi tiga jam terasa sangat lama bagiku,” goda Julian, sukses melebarkan lengkung bibir sang gadis. “Jadi, bagaimana pesta bujanganmu? Apakah menyenangkan?” tanya Mia, membuka perbincangan. “Itu tidak terasa seperti pesta. Aku hanya berbincang santai bersama para lelaki di taman belakang. Tidak ada satu pun yang berkesan. Saking bosannya, Cayden bahkan tertidur di dekapan Max,” sahut Julian dengan nada manja. “Kalian seharusnya mengundang seorang penari ke dalam p
Denting piano mulai mengalun indah, bersiap menyambut kehadiran mempelai wanita. Akan tetapi, pintu utama tidak kunjung dibuka. Bayi mungil yang mengenakan jas biru dan dasi kupu-kupu masih berdiri menghalangi jalan masuk. Bibirnya mengerucut, sedangkan alisnya berkerut. Dengan tatapan memelas, ia melihat ke arah orang tuanya yang menunggu di tepi karpet. “Kurasa Cayden takut,” bisik Max kepada sang istri. “Ya. Sepertinya, ia tertekan karena semua mata memandangnya,” gumam Gabriella sebelum mendesah samar. Sedetik kemudian, ia menghampiri sang putra dan berlutut. “Ada apa, Pangeran Kecil?” Masih dengan keranjang kecil berisi kelopak bunga di tangannya, sang bayi masuk ke dekapan sang ibu. Air mata mulai membentuk butiran di tepi pelupuk. “Apakah kau takut?” bisik Gabriella seraya mengusap rambut yang telah disisir licin. “Yayayaya ...” oceh Cayden sendu sembari memperdalam kerut alis. Sambil meniru raut wajah putranya, sang wanit
Sembari bertatapan, kedua mempelai menghirup kebahagiaan yang sama. Mata mereka berkaca-kaca, tergenang oleh keharuan, sementara sudut bibir mereka berkedut, tidak bisa lagi terangkat. Kegembiraan dalam hati mereka telah mencapai posisi puncak. “Julian Evans, apakah kau bersedia menerima Mia Sanders sebagai seorang istri?” Dalam sekejap, jantung sang pria bergejolak meluapkan berbagai emosi. Meski ia sudah pernah mendengar pertanyaan itu sebelumnya, kesan yang ditimbulkan kali ini sungguh berbeda. Selagi sang pendeta membacakan isi perjanjian, kilas balik tentang perjuangannya mendapatkan hati sang gadis terputar dalam ingatan. Seberapa banyak ia memohon kepada Mia, seberapa sering gadis itu menolak cintanya, dan seberapa besar tekadnya untuk tetap mengejar ... Julian gagal menghitungnya. Tepat ketika ruangan kembali hening, mempelai pria itu tiba pada satu kesimpulan. Ia telah berhasil mendapatkan gadis impian. Bersamaan dengan desah napas yang kenta
Melihat kesedihan di wajah Tuan Hunt, mata Mia ikut berkaca-kaca. Wanita itu mampu merasakan apa yang mengaduk-aduk hati sang kakek. Menyadari hal itu, Julian spontan mengelus punggung istrinya. Dengan senyum minim, ia menyatakan dukungan untuk menyimak perbincangan. “Aku sungguh menyesal atas apa yang sudah dilakukan oleh putraku,” tutur Tuan Hunt dengan suara serak yang tidak lagi ceria. Penyesalan telah mempersempit kerongkongannya. “James tidak seharusnya merebut istrimu. Aku sangat-sangat malu atas kelakuannya itu.” Tak menduga akan mendapat pengakuan semacam itu, Herbert pun mematung. Selang satu kedipan lambat, ia mencoba memecah ketegangan lewat lengkung bibir yang kaku. “Anda tidak perlu merasa bersalah, Tuan Hunt. Hal itu telah berlalu. Saya sudah melupakan sakitnya dan bahkan, memaafkan mereka.” Tanpa terduga, pria berambut putih mengibaskan tangan dan menggelengkan kepala. “Tidak mungkin ada manusia yang mampu melupakan pengkhianatan sebes
“Mia ... Mia ... Mia ....” Orang-orang terus menyorakkan nama sang mempelai wanita. Tak ingin membuat tamu undangan kecewa, Julian pun menarik istrinya ke lantai dansa. “Tidak, Julian. Aku tidak bisa berdansa,” tolak Mia dengan alis tersangga keraguan. “Tidak apa-apa. Aku akan memandumu. Ikuti saja langkahku,” timpal sang pria tanpa beban. Sembari meringis, wanita bergaun putih itu berbisik, “Tapi, bagaimana dengan Putri Kecil kita?” “Putri Kecil akan senang diajak berdansa. Mungkin saja, dia akan terlahir sebagai seorang penari,” gurau Julian seraya mulai memosisikan diri di hadapan sang istri. “Apakah tidak apa-apa?” tanya Mia hampir tak terdengar. Keningnya kini ikut melukiskan kekhawatiran. Sembari menempatkan sebelah tangan di balik punggung sang wanita, Julian mendekatkan bibir ke telinga. “Tenang saja. Kita hanya akan bergerak pelan. Putri Kecil akan tetap aman.” “Bagaimana kalau aku tersandung lalu terjatuh?” de
Tiga menit sebelumnya, Herbert menyambut tangan sang menantu dengan senyum semringah. Sorot matanya tidak lagi tegas, melainkan hangat. “Terima kasih, Mia. Kau berhasil membuatku merasa muda lagi,” gumam pria tua itu, sontak mengundang tawa kecil dari sang pengantin. “Papa memang masih muda. Lihatlah! Gerakan dansa Papa bahkan lebih luwes dariku,” timpal wanita bergaun putih itu sembari menyelipkan keyakinan di bawah alis. “Lebih muda dari Tuan Hunt, maksudmu?” gurau sang mertua, lagi-lagi memancing keceriaan dari mulut menantunya. Selang satu embusan napas ringan, Herbert menggeleng samar. “Kau tidak perlu menghiburku, Mia. Aku sadar bahwa umurku sudah tidak lagi muda. Cucuku saja ... sebentar lagi bertambah menjadi dua.” Belum sempat sang menantu menimpali, pria tua itu telah menghela napas berat. “Aku semakin tidak sabar ingin berjumpa dengannya. Akhir-akhir ini, aku sering menerka-nerka seperti apa wajahnya. Apakah dia mirip denganmu ... atau Juli