Beranda / Romansa / Cinta CEO dalam Jebakan / S2| 130. Sepertinya Kau Hamil

Share

S2| 130. Sepertinya Kau Hamil

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-01 11:01:03

Sejak pagi itu, Julian dan Mia terus sibuk mewujudkan keinginan. Mereka piknik, mengajak Cayden bermain gelembung sabun, dan mengadakan pesta barbeku dengan yang lain. Malangnya, semua itu dilakukan di taman belakang rumah Max. Keadaan di luar masih belum aman. Sang pria tidak ingin mengambil risiko jika mereka bepergian jauh demi melaksanakan keinginan lain. Kenyataan itu diam-diam membuatnya frustrasi.

“Apakah No Name sudah tertangkap?” tanya Julian dengan nada rendah. Matanya terpejam menanti jawaban yang diharapkan dari speaker ponsel.

“Maaf, Tuan. Kami belum berhasil melacaknya. Jejak penjahat itu selalu hilang tanpa bekas.”

Tiba-tiba, Julian mendengus. Sambil menautkan alis, pria itu menggertakkan geraham. “Kalian bilang sanggup menangkap No Name dalam waktu satu minggu. Tapi kenapa sampai sekarang, dia masih bebas? Ini sudah dua minggu! Tujuh hari lagi, aku akan menikah. Apakah kalian ingin bertanggung jawab jika sampai penjahat itu tiba-tiba muncul di

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 131. Bisakah Kau Bertahan?

    “Aku baru terlambat dua minggu, Nyonya. Apakah tidak terlalu cepat untuk mendeteksi kehamilan sekarang?” bisik Mia selagi sang dokter meninggalkan meja. “Tentu saja tidak. Teknologi sekarang sudah canggih. Kau tenang saja,” sahut Gabriella dengan volume suara yang sama. Mendengar jawaban itu, jantung Mia sontak berdetak lebih kencang. Ketika seorang wanita berjas putih kembali dengan senyum semringah dan sebuah map biru, deru napasnya tidak lagi teredam. Sambil menggenggam tali tas lebih erat, gadis itu berusaha untuk tetap duduk tegak dan tenang. “Bagaimana, Dok? Apakah teman saya ini benar hamil?” tanya Gabriella dengan mata bulat. Ia terlihat sudah siap bersorak jika memang Cayden akan segera mendapat teman. Masih dengan lengkung bibir yang sama, sang dokter menggeser tatapan ke arah Mia. Selang satu kedipan, ia membuka map dan melingkari sebuah angka dengan pena. “Ini menunjukkan kadar hormon hCG dalam darah Anda, Nona. Melihat hasil yang setinggi

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-02
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 132. Janji Seorang Ayah

    Bola mata Julian bergetar menatap deretan huruf yang penuh ancaman. Sambil menahan raut wajah agar tidak menampakkan emosi, pria itu bertanya-tanya dalam benaknya. “Bagaimana mungkin No Name bisa mengetahui kabar terbaru tentang Mia? Apakah penjahat itu sesungguhnya berada di dekat kami? Atau laki-laki itu menyewa mata-mata? Dan kenapa baru sekarang dia mengirimkan ancaman yang nyata? Apakah dia memang berencana untuk beraksi di hari pernikahan?” “Jawab, Julian! Apakah benar?” tanya Herbert sambil mengguncang lengan putranya. Tepat pada saat itulah, renungan sang CEO buyar digantikan kesadaran. Kini, otaknya malah dijajah oleh kebingungan. Apakah sang ayah akan marah besar jika mengetahui bahwa dirinya telah melanggar aturan? Tak sabar menanti jawaban dari Julian, Herbert pun menggeser pandangan ke arah gadis yang agak tertunduk. Masih dengan lebar mata yang sama, ia mengulangi pertanyaan. “Apakah benar kau hamil?” Meski bibirnya bergetar, Mia tak kun

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 133. Calon Menantu yang Kaku

    “Maaf kalau sebelum ini, aku masih menganggap Papa jahat,” bisik Julian dengan mata terpejam. Kerut alisnya telah melukiskan penyesalan dengan sempurna. “Aku tidak seharusnya menjaga jarak dari Papa selama dua tahun terakhir.” Mendengar penuturan sejujur itu, hati Herbert sontak menghangat. Sambil menepuk-nepuk punggung putranya, ia menarik napas dalam-dalam. “Kau mau pergi ke ujung dunia pun, aku tetap merasa dekat denganmu, Julian. Kau adalah putra yang kusayang melebihi putra kandungku sendiri. Apakah kau tidak ingat betapa malang nasib Max dulu?” Teringat akan sang adik, tawa kecil yang diwarnai haru sontak terumbar ke udara. “Ya, Papa memang terlalu menyayangiku. Tapi, tolong jangan ulangi hal itu. Kasihan Max. Dia sudah mendapat cukup banyak penderitaan.” “Ya, pasti. Aku sudah berubah, Julian. Sekarang, aku adalah seorang ayah sekaligus kakek yang adil,” ucap Herbert sebelum mendesah lega. Beban yang selama ini tersisa di dasar hati, kini tidak lagi mem

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 134. Tantangan untuk Calon Menantu

    “Maaf, Tuan. Tapi ..., itu tidak terdengar seperti cara untuk membalas utang budi, melainkan cara untuk menambahnya,” tutur sang gadis, pelan dan sangat berhati-hati. “Tidak juga. Justru dengan melakukan hal itu, kalian membantu kami untuk merasa lega. Max dan Gabriella sering merasa bersalah setiap melihat John dan Minnie masih menganggap mereka raja dan ratu. Bisakah kau menempatkan diri di posisi itu? Mereka merasa tidak sopan terhadap calon mertua Julian.” Mendengar penjelasan tersebut, ketegangan Mia sedikit memudar. Ia memang sudah beberapa kali melihat Gabriella dan Minnie berebut spatula ataupun teko. “Melayani keluarga Evans sama sekali bukan beban, Tuan, melainkan suatu kehormatan. Saya yakin, orang tua saya juga tidak akan mau jika diminta berhenti dari pekerjaan mereka,” ujar gadis itu dengan anggukan tulus. “Itulah tugasmu. Carilah cara untuk mengubah pikiran mereka. Dan kau juga ... bisakah berhenti memanggilku Tuan? Aku ini calon mertua

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-05
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 135. Pengantin yang Sempurna

    “Julian? Kenapa kau ke sini?” tanya Mia dengan mata bulat. Setelah menutup pintu rapat-rapat, sang pria menghampiri calon istrinya dan duduk di tepi kasur. “Aku merindukanmu,” sahutnya sebelum mendaratkan kecupan di kening sang gadis. “Rindu?” timpal Mia diiringi embusan napas samar. “Kita bahkan masih bersama saat makan malam, Julian,” ujar gadis itu sebelum kembali mempertemukan pandangan. Sedetik kemudian, sang pria menekan ujung hidung kekasih dengan sentuhan ringan. “Ya, tapi tiga jam terasa sangat lama bagiku,” goda Julian, sukses melebarkan lengkung bibir sang gadis. “Jadi, bagaimana pesta bujanganmu? Apakah menyenangkan?” tanya Mia, membuka perbincangan. “Itu tidak terasa seperti pesta. Aku hanya berbincang santai bersama para lelaki di taman belakang. Tidak ada satu pun yang berkesan. Saking bosannya, Cayden bahkan tertidur di dekapan Max,” sahut Julian dengan nada manja. “Kalian seharusnya mengundang seorang penari ke dalam p

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-06
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 136. Pernikahan yang Sangat Indah

    Denting piano mulai mengalun indah, bersiap menyambut kehadiran mempelai wanita. Akan tetapi, pintu utama tidak kunjung dibuka. Bayi mungil yang mengenakan jas biru dan dasi kupu-kupu masih berdiri menghalangi jalan masuk. Bibirnya mengerucut, sedangkan alisnya berkerut. Dengan tatapan memelas, ia melihat ke arah orang tuanya yang menunggu di tepi karpet. “Kurasa Cayden takut,” bisik Max kepada sang istri. “Ya. Sepertinya, ia tertekan karena semua mata memandangnya,” gumam Gabriella sebelum mendesah samar. Sedetik kemudian, ia menghampiri sang putra dan berlutut. “Ada apa, Pangeran Kecil?” Masih dengan keranjang kecil berisi kelopak bunga di tangannya, sang bayi masuk ke dekapan sang ibu. Air mata mulai membentuk butiran di tepi pelupuk. “Apakah kau takut?” bisik Gabriella seraya mengusap rambut yang telah disisir licin. “Yayayaya ...” oceh Cayden sendu sembari memperdalam kerut alis. Sambil meniru raut wajah putranya, sang wanit

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-08
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 137. Kau Boleh Mencium Pengantinmu

    Sembari bertatapan, kedua mempelai menghirup kebahagiaan yang sama. Mata mereka berkaca-kaca, tergenang oleh keharuan, sementara sudut bibir mereka berkedut, tidak bisa lagi terangkat. Kegembiraan dalam hati mereka telah mencapai posisi puncak. “Julian Evans, apakah kau bersedia menerima Mia Sanders sebagai seorang istri?” Dalam sekejap, jantung sang pria bergejolak meluapkan berbagai emosi. Meski ia sudah pernah mendengar pertanyaan itu sebelumnya, kesan yang ditimbulkan kali ini sungguh berbeda. Selagi sang pendeta membacakan isi perjanjian, kilas balik tentang perjuangannya mendapatkan hati sang gadis terputar dalam ingatan. Seberapa banyak ia memohon kepada Mia, seberapa sering gadis itu menolak cintanya, dan seberapa besar tekadnya untuk tetap mengejar ... Julian gagal menghitungnya. Tepat ketika ruangan kembali hening, mempelai pria itu tiba pada satu kesimpulan. Ia telah berhasil mendapatkan gadis impian. Bersamaan dengan desah napas yang kenta

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-09
  • Cinta CEO dalam Jebakan   S2| 138. Meresapi Kedamaian

    Melihat kesedihan di wajah Tuan Hunt, mata Mia ikut berkaca-kaca. Wanita itu mampu merasakan apa yang mengaduk-aduk hati sang kakek. Menyadari hal itu, Julian spontan mengelus punggung istrinya. Dengan senyum minim, ia menyatakan dukungan untuk menyimak perbincangan. “Aku sungguh menyesal atas apa yang sudah dilakukan oleh putraku,” tutur Tuan Hunt dengan suara serak yang tidak lagi ceria. Penyesalan telah mempersempit kerongkongannya. “James tidak seharusnya merebut istrimu. Aku sangat-sangat malu atas kelakuannya itu.” Tak menduga akan mendapat pengakuan semacam itu, Herbert pun mematung. Selang satu kedipan lambat, ia mencoba memecah ketegangan lewat lengkung bibir yang kaku. “Anda tidak perlu merasa bersalah, Tuan Hunt. Hal itu telah berlalu. Saya sudah melupakan sakitnya dan bahkan, memaafkan mereka.” Tanpa terduga, pria berambut putih mengibaskan tangan dan menggelengkan kepala. “Tidak mungkin ada manusia yang mampu melupakan pengkhianatan sebes

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-10

Bab terbaru

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status