“Selamat malam, hadirin yang terhormat. Kalian pasti bertanya-tanya siapa gadis kecil dalam video. Dialah ratu sesungguhnya hari ini,” ucap Amber sebelum menyunggingkan senyum ke arah tunangannya.
Tanpa terduga, Julian ikut menaikkan sudut bibir lalu mempersilakan sang wanita untuk melanjutkan bicara. Mereka berdua tampak jelas sedang merencanakan sesuatu.
“Kami sudah bersusah payah mempersiapkan kejutan ini. Jadi, mohon perhatikan dengan saksama.”
Tiba-tiba, foto Gabriella muncul memenuhi layar. Semua orang sontak tercengang sebelum ruangan bertambah riuh.
“Benar. Gadis kecil tadi adalah perempuan bergaun hitam yang duduk di samping Tuan CEO. Haruskah aku menyebutnya calon ipar Julian? Ck, entahlah.”
Tubuh Gabriella seketika membeku. Semua mata telah tertuju padanya. Dingin dan sinis.
Melihat tangan sang istri mulai bergetar, Max cepat-cepat menggenggamnya. “Jangan khawatir. Apa pun yang mereka rencanakan tidak akan bisa menjatuhkanmu
Sekeras apa pun Max memaksa untuk menemukan solusi, usahanya tetap gagal. Hati dan logika tidak berjalan searah. Ia tidak mungkin mengorbankan Gabriella, tetapi tidak mau kehilangan Quebracha. Malangnya, belum sempat otak menelurkan ide, sang istri telah berlari. Keterkejutan otomatis menyentak kesadaran sang CEO. “Gaby,” cegah pria itu sembari berusaha menangkap pergelangan tangan istrinya. Akan tetapi, sang wanita bergerak secepat angin. Tangan Max hanya berhasil menggapai udara. Melihat punggung sang istri menjauh, hati pria itu mendadak hampa. Selang satu embusan napas pasrah, ia pun ikut keluar dari ruangan. “Gaby,” panggil Max ketika ia hampir menyusul. Alih-alih menjawab, sang wanita terus berlari menuju jalan. Ia tidak peduli dengan pria yang melangkah semakin cepat di balik punggungnya. “Gabriella!” Max akhirnya berhasil mendapatkan siku tangan sang istri. Namun sedetik kemudian, wanita itu menyentak lengannya dan melo
Gabriella menggeleng dan mendorong dada sang suami. “Bukankah kau selalu menyebutku sebagai orang yang merepotkan? Sekarang sudah waktunya bagimu untuk melepasku. Kau tidak akan memiliki beban lagi jika aku pergi.” “Apa yang sebenarnya dikatakan oleh peneror itu, hm? Kenapa kau berubah pikiran seperti ini? Kita sudah sepakat untuk mencari solusi.” Alis sang wanita berkerut semakin dalam. “Kurasa, peneror itu benar. Jika tetap bersamamu, aku akan lebih tersiksa, apalagi jika kau kehilangan jabatan dan kepercayaan orang-orang. Kau bukan hanya akan melampiaskan nafsu, tetapi juga kemarahan kepadaku. Aku tidak mau menanggung semua itu.” Dada sang pria seketika terimpit kekecewaan yang lebih besar. “Aku tidak mungkin melakukan hal itu kepadamu,” terangnya dengan asa yang semakin menipis. “Aku tidak berani mengambil risiko sebesar itu,” timpal Gabriella sembari tertunduk. Ia tidak ingin air mata yang mulai berkumpul, terlihat oleh sang suami. “Apakah kau bi
Max terdiam mendengarkan ucapan sang istri. Tangannya terkepal erat sementara rahangnya berdenyut-denyut menahan kemarahan. Sekilas, Gabriella seolah berhasil mendobrak pertahanan sang suami. Namun sebenarnya, bukan kata-kata yang telah menusuk jantung Max, melainkan air mata sang wanita. “Berhentilah menangis! Aku tidak suka melihatnya,” ucap pria itu sontak mengubah makna pada kedipan mata sang istri. “Apa?” desah Gabriella tak percaya. Bukan itu respon yang ia harapkan. Setelah mencengkeram kepala sejenak, Gabriella kembali membalas tatapan sang pria. “Apa kau masih belum mengerti juga? Sejak awal, aku sudah membencimu. Dan sekarang—“ “Kebencianmu telah berubah menjadi kepedulian,” sela Max sukses membuat istrinya kehilangan kata-kata. “Tapi jika kebencian bisa membuatmu tetap berada di sisiku, teruslah membenciku. Dengan begitu, kau tidak akan mendesakku untuk menceraikanmu.” Tanpa memberikan Gabriella kesempatan untuk bica
Sudah beberapa kali Max berusaha menghubungi sang interogator. Namun, tidak ada satu pun panggilan yang terjawab. “Apakah Sharp Knife tahu bahwa kamera yang dia pasang sudah terbongkar?” batin Max seraya memutuskan panggilan dan meletakkan ponsel di atas meja. Sambil mengetuk-ngetukkan jari, pria itu berpikir. “Apa hubungannya dengan peneror itu? Mungkinkah ... kedatangannya juga sudah diatur?” Embusan napas samar terlepas dari mulut sang pria. “Karena itukah Sebastian sengaja menceritakan tentang Sharp Knife? Agar aku tergerak untuk menyewa jasanya menginterogasi Gaby?” Selang keheningan sejenak, Max berdecak kesal. “Apa yang harus kulakukan jika dia benar-benar si peneror?” Merasa kepalanya semakin berat, pria itu akhirnya beranjak dari kursi. “Sebaiknya, aku mengurus Gabriella lebih dulu. Tidak seharusnya aku mengurung istri di kamar seperti ini.” Tanpa sedikit pun curiga, Max kembali menuju kamar, membiarkan koper sang istr
“Tolong jangan membohongiku. Aku tahu, kau mengatakan itu hanya untuk menahanku agar tidak pergi,” ucap Gabriella seraya mengepalkan tangan.Mendengarkan penyangkalan itu, kekesalan Max tak dapat lagi diredam. Sembari mencengkeram lengan sang wanita, ia menunjukkan keseriusan lewat matanya.“Aku benar-benar mencintaimu. Untuk apa aku menahanmu jika tidak ada rasa itu?”Bibir Gabriella bergetar sejenak. “Untuk dijadikan pelampiasan jika memang tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan jabatan.”Napas Max seketika kembali menderu. Ia sadar bahwa kepala wanita di hadapannya lebih keras dari batu. Perdebatan hanya akan menyia-nyiakan waktu.“Terserah kau mau percaya atau tidak. Kau harus tetap ikut denganku.”Tanpa basa-basi, sang pria mengunci pergelangan tangan istrinya. Selagi Gabriella kembali meronta, ia berjalan cepat membawa wanita itu menuju mobil.“Hentikan, Max! Lepas
“Sejujurnya, aku mulai curiga saat pertama kali dia memanggilku Gaby. Aneh rasanya ketika seseorang yang tidak begitu akrab menyebut nama itu,” jabar Gabriella sebelum menggeleng samar. “Tapi itu hanya berdasarkan perasaanku saja.”Mata pria yang menyimak langsung menyipit. “Apakah ada hal lain?”Sang wanita mengangguk. “Dia terlalu sering menanyakan tentang proyek rahasiamu. Seolah-olah, ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera tahu.”“Selain itu?”Alis Gabriella berkerut semakin dalam. “Peneror itu berkata bahwa kami pernah bertatap muka beberapa kali. Satu-satunya pria yang memenuhi kondisi itu adalah Sebastian.”“Bagaimana dengan Julian? Bukankah kalian juga pernah bertemu?”“Tidak. Sebelum aku menerima telepon itu, kami hanya bertemu dua kali. Dan, aku yakin bukan dia orangnya.”Helaan napas berembus samar dari mulut Max. “Kenap
“Aku datang ke sini dengan maksud baik, ingin memeriksa kondisimu karena terancam kehilangan jabatan. Tapi ternyata, kau malah menuduhku sebagai orang jahat?” ucap Sebastian tak terima. “Kau tidak konsisten, Bas. Tadi kau bilang ingin mengucapkan selamat. Sekarang, kau menyatakan maksudmu untuk memeriksa kondisiku. Yang mana yang benar?” Helaan napas cepat terlepas dari mulut sang sekretaris. “Ini benar-benar tidak masuk akal,” gelengnya lambat. “Bagian mana yang tidak masuk akal? Kau diam-diam mengincar istriku atau kau menusukku dari belakang?” Sebastian tiba-tiba berdiri hingga kursinya hampir terjungkal. “Hentikan candaanmu! Ini sama sekali tidak lucu, Max. Selama ini, aku selalu berusaha menjaga kepercayaanmu. Apakah ini balasan yang kau berikan kepada orang yang telah setia kepadamu?” “Kau terlalu setia, Bas, dan aku baru menyadari hal itu. Kau bisa saja meneruskan perusahaan ayahmu. Tapi, kenapa kau malah memilih menjadi sekretarisku? B
Satu kilometer dari gedung Quebracha, Max dapat melihat lampu menyala terang di ruang kerjanya. Hanya dalam sekejap, gemuruh napas yang sempat mereda kembali terdengar. “Kurang ajar! Peneror itu benar-benar mengobrak-abrik kantorku,” gumam sang pria seraya menggenggam kemudi lebih erat. “Kuharap dia masih di sana saat aku tiba. Dia tidak boleh lolos dan membahayakan Gabriella.” Selang beberapa menit, sang CEO akhirnya tiba. Entah kebetulan atau memang sudah direncanakan, pintu masuk terbuka lebar untuknya. “Apakah dia memang ingin menyambutku?” pikir Max yang sempat memperlambat langkah. Namun, setelah menimbang-nimbang sejenak, ia akhirnya mempercepat gerak menuju lift. Tepat di depan pintu yang tertutup rapat, pria itu mendesah tak percaya. Tulisan “error” tertera di semua layar. “Apakah dia mempermainkanku atau sedang menguji keseriusanku?” Setelah berdecak kesal, Max bergegas menuju tangga darurat. *** Gabr