Home / Romansa / Cinta CEO dalam Jebakan / 60. Mencoba Tak Peduli

Share

60. Mencoba Tak Peduli

Author: Pixie
last update Last Updated: 2021-07-21 13:06:15

“Apa lagi yang Anda lakukan, Tuan? Kenapa Nyonya menangis?” selidik Minnie setelah memastikan Gabriella masuk ke kamar.

“Aku tidak sengaja menyentuhnya,” sahut Max dengan nada datar.

Mata sang pelayan sontak melebar. “Kenapa Tuan melakukan hal bodoh itu?” omelnya seraya meringis.

“Dia hampir jatuh, Bi. Aku refleks menangkapnya,” terang sang pria dengan kerut alis yang dalam.

Setelah membayangkan apa yang terjadi, perempuan tua itu mendesah lalu merendahkan suara. “Apa rencana Tuan selanjutnya?”

“Aku tidak tahu. Pikiranku buntu. Sepertinya, Gabriella tidak akan percaya lagi padaku,” sahut Max sembari tertunduk.

“Kenapa Tuan jadi mudah putus asa begini?”

“Aku sudah melanggar perkataanku sendiri, Bi, dan dia berpikir bahwa aku sengaja mencuri kesempatan,” terang sang pria sebelum mencengkeram kepalanya yang berdenyut-denyut.

Selang keheningan sejenak, Minnie akhirnya menyampaikan pendapat, “Menurut Bibi, sebaiknya Tuan mem

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indah Carolina
hahahhaa gemes
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Cinta CEO dalam Jebakan   61. Tidak Bisa Menahan Diri

    “Kita tidak seharusnya memilih kostum berwarna hitam. Seperti sedang melayat saja,” gumam Gabriella saat memperhatikan warna cerah pada pakaian tamu yang lain. “Lihatlah, semua orang jadi melihat kita.” Pria yang berjalan di sampingnya pun tersenyum. “Mereka bukan melihat kita, tapi melihatmu.” “Aku? Kenapa?” timpal sang wanita dengan mata bulat, sambil menghentikan langkah. “Karena kau sangat cantik malam ini.” Wajah Gabriella sontak berubah kaku. Rayuan sang suami terasa hambar baginya. “Aku bersedia datang ke sini bukan berarti aku sudah memaafkan kesalahanmu.” Mendengar ketegasan itu, lengkung bibir sang pria sontak menciut. Dengan raut serius, ia mendekat ke telinga sang wanita. “Kita sedang di tengah keramaian. Tidak bisakah kau menunda kekesalanmu? Kau boleh memukulku sepuasnya sepulang dari sini.” “Benarkah? Aku tidak akan ragu untuk mengerahkan semua tenagaku,” ancam sang wanita, sukses menerbitkan kembali senyum di wajah Max.

    Last Updated : 2021-07-22
  • Cinta CEO dalam Jebakan   62. Kemesraan dan Kepercayaan

    “Kau sudah tidak dalam periode, bukan?” desah Max saat mendesak sang istri memasuki sebuah ruangan. “Apa kau sudah gila? Kita sedang dalam acara pertunangan kakakmu!” “Masih ada beberapa menit sebelum acara puncak. Sebelum itu, aku harus mendapatkan klimaks dulu. Aku bisa gila jika menahannya lebih lama.” Helaan napas tak percaya spontan berembus dari mulut Gabriella. “Apakah sekarang kau mengakui bahwa dirimu menginginkan tubuhku?” “Aku memang menginginkan tubuhmu,” sahut Max seraya berjalan menuju tumpukan kursi. Setelah meletakkan jas di sana, ia kembali menghadap sang istri sambil melucuti kancing di bawah leher. “Tapi, kalimat yang lebih tepat adalah ... aku menginginkanmu seutuhnya.” Hanya dalam sekejap, suara pekikan tertahan mulai memanaskan suasana. Gabriella cepat-cepat menyumbat mulutnya dengan kepalan tangan, takut ada telinga di balik pintu yang mendengar. Mengetahui bahwa istrinya kewalahan, alih-alih melambat, sang pria

    Last Updated : 2021-07-23
  • Cinta CEO dalam Jebakan   63. Gabriella Adalah Dalangnya

    “Selamat malam, hadirin yang terhormat. Kalian pasti bertanya-tanya siapa gadis kecil dalam video. Dialah ratu sesungguhnya hari ini,” ucap Amber sebelum menyunggingkan senyum ke arah tunangannya. Tanpa terduga, Julian ikut menaikkan sudut bibir lalu mempersilakan sang wanita untuk melanjutkan bicara. Mereka berdua tampak jelas sedang merencanakan sesuatu. “Kami sudah bersusah payah mempersiapkan kejutan ini. Jadi, mohon perhatikan dengan saksama.” Tiba-tiba, foto Gabriella muncul memenuhi layar. Semua orang sontak tercengang sebelum ruangan bertambah riuh. “Benar. Gadis kecil tadi adalah perempuan bergaun hitam yang duduk di samping Tuan CEO. Haruskah aku menyebutnya calon ipar Julian? Ck, entahlah.” Tubuh Gabriella seketika membeku. Semua mata telah tertuju padanya. Dingin dan sinis. Melihat tangan sang istri mulai bergetar, Max cepat-cepat menggenggamnya. “Jangan khawatir. Apa pun yang mereka rencanakan tidak akan bisa menjatuhkanmu

    Last Updated : 2021-07-24
  • Cinta CEO dalam Jebakan   64. Tetaplah di Sisiku

    Sekeras apa pun Max memaksa untuk menemukan solusi, usahanya tetap gagal. Hati dan logika tidak berjalan searah. Ia tidak mungkin mengorbankan Gabriella, tetapi tidak mau kehilangan Quebracha. Malangnya, belum sempat otak menelurkan ide, sang istri telah berlari. Keterkejutan otomatis menyentak kesadaran sang CEO. “Gaby,” cegah pria itu sembari berusaha menangkap pergelangan tangan istrinya. Akan tetapi, sang wanita bergerak secepat angin. Tangan Max hanya berhasil menggapai udara. Melihat punggung sang istri menjauh, hati pria itu mendadak hampa. Selang satu embusan napas pasrah, ia pun ikut keluar dari ruangan. “Gaby,” panggil Max ketika ia hampir menyusul. Alih-alih menjawab, sang wanita terus berlari menuju jalan. Ia tidak peduli dengan pria yang melangkah semakin cepat di balik punggungnya. “Gabriella!” Max akhirnya berhasil mendapatkan siku tangan sang istri. Namun sedetik kemudian, wanita itu menyentak lengannya dan melo

    Last Updated : 2021-07-25
  • Cinta CEO dalam Jebakan   65. Mari Bercerai

    Gabriella menggeleng dan mendorong dada sang suami. “Bukankah kau selalu menyebutku sebagai orang yang merepotkan? Sekarang sudah waktunya bagimu untuk melepasku. Kau tidak akan memiliki beban lagi jika aku pergi.” “Apa yang sebenarnya dikatakan oleh peneror itu, hm? Kenapa kau berubah pikiran seperti ini? Kita sudah sepakat untuk mencari solusi.” Alis sang wanita berkerut semakin dalam. “Kurasa, peneror itu benar. Jika tetap bersamamu, aku akan lebih tersiksa, apalagi jika kau kehilangan jabatan dan kepercayaan orang-orang. Kau bukan hanya akan melampiaskan nafsu, tetapi juga kemarahan kepadaku. Aku tidak mau menanggung semua itu.” Dada sang pria seketika terimpit kekecewaan yang lebih besar. “Aku tidak mungkin melakukan hal itu kepadamu,” terangnya dengan asa yang semakin menipis. “Aku tidak berani mengambil risiko sebesar itu,” timpal Gabriella sembari tertunduk. Ia tidak ingin air mata yang mulai berkumpul, terlihat oleh sang suami. “Apakah kau bi

    Last Updated : 2021-07-25
  • Cinta CEO dalam Jebakan   66. Kabur

    Max terdiam mendengarkan ucapan sang istri. Tangannya terkepal erat sementara rahangnya berdenyut-denyut menahan kemarahan. Sekilas, Gabriella seolah berhasil mendobrak pertahanan sang suami. Namun sebenarnya, bukan kata-kata yang telah menusuk jantung Max, melainkan air mata sang wanita. “Berhentilah menangis! Aku tidak suka melihatnya,” ucap pria itu sontak mengubah makna pada kedipan mata sang istri. “Apa?” desah Gabriella tak percaya. Bukan itu respon yang ia harapkan. Setelah mencengkeram kepala sejenak, Gabriella kembali membalas tatapan sang pria. “Apa kau masih belum mengerti juga? Sejak awal, aku sudah membencimu. Dan sekarang—“ “Kebencianmu telah berubah menjadi kepedulian,” sela Max sukses membuat istrinya kehilangan kata-kata. “Tapi jika kebencian bisa membuatmu tetap berada di sisiku, teruslah membenciku. Dengan begitu, kau tidak akan mendesakku untuk menceraikanmu.” Tanpa memberikan Gabriella kesempatan untuk bica

    Last Updated : 2021-07-26
  • Cinta CEO dalam Jebakan   67. Aku Mencintaimu

    Sudah beberapa kali Max berusaha menghubungi sang interogator. Namun, tidak ada satu pun panggilan yang terjawab. “Apakah Sharp Knife tahu bahwa kamera yang dia pasang sudah terbongkar?” batin Max seraya memutuskan panggilan dan meletakkan ponsel di atas meja. Sambil mengetuk-ngetukkan jari, pria itu berpikir. “Apa hubungannya dengan peneror itu? Mungkinkah ... kedatangannya juga sudah diatur?” Embusan napas samar terlepas dari mulut sang pria. “Karena itukah Sebastian sengaja menceritakan tentang Sharp Knife? Agar aku tergerak untuk menyewa jasanya menginterogasi Gaby?” Selang keheningan sejenak, Max berdecak kesal. “Apa yang harus kulakukan jika dia benar-benar si peneror?” Merasa kepalanya semakin berat, pria itu akhirnya beranjak dari kursi. “Sebaiknya, aku mengurus Gabriella lebih dulu. Tidak seharusnya aku mengurung istri di kamar seperti ini.” Tanpa sedikit pun curiga, Max kembali menuju kamar, membiarkan koper sang istr

    Last Updated : 2021-07-26
  • Cinta CEO dalam Jebakan   68. Dasar Bodoh!

    “Tolong jangan membohongiku. Aku tahu, kau mengatakan itu hanya untuk menahanku agar tidak pergi,” ucap Gabriella seraya mengepalkan tangan.Mendengarkan penyangkalan itu, kekesalan Max tak dapat lagi diredam. Sembari mencengkeram lengan sang wanita, ia menunjukkan keseriusan lewat matanya.“Aku benar-benar mencintaimu. Untuk apa aku menahanmu jika tidak ada rasa itu?”Bibir Gabriella bergetar sejenak. “Untuk dijadikan pelampiasan jika memang tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan jabatan.”Napas Max seketika kembali menderu. Ia sadar bahwa kepala wanita di hadapannya lebih keras dari batu. Perdebatan hanya akan menyia-nyiakan waktu.“Terserah kau mau percaya atau tidak. Kau harus tetap ikut denganku.”Tanpa basa-basi, sang pria mengunci pergelangan tangan istrinya. Selagi Gabriella kembali meronta, ia berjalan cepat membawa wanita itu menuju mobil.“Hentikan, Max! Lepas

    Last Updated : 2021-07-27

Latest chapter

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 20. Bahagia Selama-lamanya

    “Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 19. Ayo Kita Pulang

    “Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 18. Aku Lebih Baik Menghilang

    “Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 17. Kau Seharusnya Bersyukur

    “Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 16. Aku Akan Meminta Maaf

    Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 15. Sudah Keterlaluan

    “Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 14. Penyesalan Tuan Hunt

    “Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 13. Keputusasaan Seorang Ayah

    Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng

  • Cinta CEO dalam Jebakan   Extra Chapter 12. Grace dan sang Kakek

    Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb

DMCA.com Protection Status